Senin, 31 Juli 2017

[RESENSI] London: Malaikat Surga dan Keajaiban Cinta

Posted by Menukil Aksara | 7:57:00 AM Categories:


Judul                : London – Angel
Penulis            : Windry Ramadhina
Editor              : Ayuning & Gita Romadhona
Proofreader  : Jia Effendie
Penerbit         : GagasMedia
Cetakan         : pertama, 2013
Tebal             : x + 330 hlm; 13 x 19 cm


BLURB:
Pembaca tersayang,
Mari berjalan di sepanjang bantaran Sungai Thames, dalam rintik gerimis dan gemilang cahaya dari London Eye.

Windry Ramadhina, penulis novel ‘Orange’, ‘Memori’, dan ‘Montase’ membawa kita menemani seorang penulis bernama Gilang mengejar cinta Ning hingga Fitzrovia. Namun, ternyata tak semudah itu menyatakan cinta. Kota London malah mengarahkannya kepada seorang gadis misterius berambut ikal. Dia selalu muncul ketika hujan turun dan menghilang begitu hujan reda. Sementara itu, cinta yang dikejarnya belum juga ditemuinya. Apakah perjalanannya kali ini sia-sia belaka?

Setiap tempat punya cerita.
Dalam dingin kabut Kota London, ada hangat cinta menyelusup.
Enjoy the journey.

Edtor

SINOPSIS:
    “Ning gadis yang cantik, benar-benar cantik. Dibutuhkan delapan tahun bagiku untuk menyadari hal tersebut.” (hal. 20)

    “Aku tidak punya cukup waktu untuk mengungkapkan perasaanku kepada Ning, apalagi menjadikannya milikku. Tahu-tahu saja dia sudah terbang ke London, kuliah di kota berpenduduk sepuluh juta orang itu, lalu bekerja di galeri seni kontemporer paling ternama di dunia. Tahu-tahu saja dia tak terjangkau. Padahal, sebelum itu dia selalu ada di sisiku.” (hal. 21)

    “Sebagai seorang penulis, terlebih aku adalah seorang penulis roman, seharusnya aku tahu hal utopis semacam ‘mengejar gadis ke London atas nama cinta’ hanya berjalan lancar dalam kisah-kisah fiksi.” (hal. 55)

          Gilang yang seorang editor di sebuah penerbit karya sastra, cerpenis, sekaligus novelis yang ‘terjebak’ di penggarapan satu novelnya bersahabat karib dengan seorang gadis bernama Ning. Mereka telah bersahabat semenjak di bangku sekolah menengah. Hingga suatu hari di masa kuliah, seorang kawan baik lelakinya menyadarkan Gilang bahwa Ning terlalu indah untuk dipandang sebatas sahabat. Gilang pun mulai melihat Ning sebagai wanita tapi tak punya cukup keberanian maupun waktu untuk mengungkapkan perasaannya. Ning melanjutkan kuliah ke London hingga kemudian bekerja sebagai seorang kurator di sebuah galeri seni kontemporer ternama di sana. Semenjak Ning menetap di London, komunikasi mereka hanya berjalan lewat bantuan koneksi internet. Berawal dari Sabtu malam mabuk-mabukan bersama keempat sahabat prianya (Brutus, Hyde, Dum, Dee), terlontarlah pertaruhan untuk mengejar cinta Ning—gadisnya—hingga ke London. Sayangnya, acapkali harapan tidak seindah kenyataan.

    Dengan keinginan memberi kejutan, Gilang tak memberitahukan kedatangannya pada Ning. Nahasnya, Ning sedang bertugas ke luar kota selama beberapa hari dan tak ada kepastian kapan kembali ke apartemennya di Colville Place ketika Gilang sudah tiba di sana. Tak tahu harus menghabiskan waktu melakukan apa, jadilah Gilang mengunjungi beberapa tempat menarik di London, antara lain London Eye dan Shakespeare Globe Theatre. Di sinilah dia lantas berjumpa dengan seorang gadis asing berparas sangat menawan dengan rambutnya yang keemasan—yang lantas dia juluki Goldilocks—dan payung berwarna merah. Gadis misterius ini selalu muncul tiba-tiba di saat hujan mengguyur London, untuk kemudian menghilang begitu saja kala hujan reda. Ajaibnya, payung merah yang ditinggalkannya dan disimpan Gilang sempat ‘menyelamatkan’ pernikahan seorang pria yang dikenal Gilang di pesawat. Dan baru Gilang tahu kemudian juga membawa pada keajaiban cinta lain.


    Tentang kisah Gilang dan Ning, ketika akhirnya bisa bertemu, Gilang sempat diliputi keraguan akan pernyataan cintanya. Akankah Ning memiliki perasaan yang sama, atau jika tidak akankah pengakuan Gilang menghancurkan persahabatan yang telah terjalin belasan tahun? Dalam masa keraguan ini, banyak hal terjadi yang pada akhirnya memantapkan hati Gilang untuk jujur dengan perasaannya. Salah satu hal yang terjadi adalah kisah cinta pemilik motel di mana Gilang menetap, yaitu Madge atau yang biasa disapa Madam Ellis. Janda yang suaminya tewas dalam sebuah kecelakaan ini berubah murung dan menutup diri. Ia bahkan tak ingin menganggap keberadaan seorang pria sekaligus sahabat masa kecil yang telah lama mencintainya, yakni John Lowesley atau Mister Lowesley. Hingga suatu hari, kenekatan John mengubah segalanya. Kejadian menarik lain selama Gilang berada di London adalah beberapa perjumpaan tak disengaja antara dia dan seorang gadis Indonesia bernama Ayu. Ayu adalah seorang penggila buku tua dan klasik dan sibuk keluar masuk toko buku demi mendapatkan cetakan pertama ‘Wuthering Heights’ karya Emily Bronte. Sikapnya yang tak ramah dan sinis membuat Gilang keheranan.



REVIEW:
    “Menunggu cinta bukan sesuatu yang sia-sia,” kubilang. “Menunggu seseorang yang tidak mungkin kembali, itu baru sia-sia.” (hal. 247)

    “Kau tidak belajar mencintai. Kau mencintai dengan sendirinya.” (hal. 297)

    “Malaikat-malaikat yang turun bersama hujan? Ya. Aku pernah melihat satu.” (hal. 315)

    “Setiap orang punya keajaiban cintanya sendiri.” (hal. 320)

    Tema keajaiban cinta dan persahabatan menjelma cinta, demikian novel ini hendak mengarahkan cerita. Persahabatan pria dan wanita yang berubah cinta memang sudah sering diangkat dalam fiksi. Namun, berkat setting London di musim gugur dengan hujan yang mengguyur nyaris setiap waktu dan kepercayaan tentang malaikat yang turun ke bumi selama hujan turun, membuat kisah Gilang dan Ning ini sangat menarik dan membawa aura magis. Deskripsi London dalam balutan gerimis, dengan galeri-galeri seni kontemporer yang tersebar di Fitzrovia, melatarbelakangi kisah cinta yang ‘muram’, membuat saya merasakan betul feeling yang ingin disampaikan sekaligus keindahan novel ini. Penuturan menggunakan sudut pandang orang pertama, ‘aku’ sebagai Gilang pun, sekali lagi mampu menghipnotis saya sekaligus menyelami apa yang dirasakan dan dipikirkan tokoh pria yang bisa dibilang flamboyan ini. Salah satu deskripsi yang saya sukai, contohnya: “Namun, bunyi ketukan sepatu gadis itu seperti mantra. Iramanya menumpulkan akal sehat, menyulapku menjadi anak dungu dari Hamelin yang tunduk pada nada-nada seruling Pied Piper si pengusir tikus dalam legenda Jerman.”(hal. 263).

    Karakter-karakter dalam cerita juga tak ada yang ‘sia-sia’. Semua punya korelasi signifikan bagi plot cerita. Gilang, mengutip salah satu dialog, mengakui dirinya mengidolakan penulis legendaris Scott Fitzgerald, penyuka pub, bir, pesta (dalam hal ini bersama kawan-kawan prianya), yang saya rasa terinspirasi dari tokoh-tokoh fiksi Fitzgerald. Tapi, Gilang juga lucu, selera humornya bagus, dan tipe sahabat yang menyenangkan. Gilang memiliki kesamaan dengan Ayu, ‘terobsesi’ dengan buku-buku klasik dan tua, semacam cetakan pertama atau edisi khusus, terutama ‘Burmese Days’ yang gagal dia dapatkan. Gilang senang menjuluki sahabat-sahabatnya, semacam Brutus, Hyde, Dum, Dee, Jules, berdasarkan karakter spesifik mereka. Bahkan pria asing yang ditemuinya di perjalanan mendapat julukan ‘V’ yang berasal dari film, demikian juga si gadis misterius yang dijuluki Goldilocks karena mengingatkannya pada tokoh gadis cilik dalam cerita ‘Three Bears’. Menurut saya detail seperti ini merupakan nilai plus yang saya tunggu-tunggu dalam sebuah novel. Ning, di lain sisi, digambarkan sebagai gadis yang cantik, sangat cerdas, tahu apa yang dia mau, pencinta seni kontemporer, dan sahabat yang sportif. Cara Kak Windry membangun karakter Ning diperkuat dengan detail setting Fitzrovia dan galeri seni kontemporernya, semacam Tate Modern, di mana Ning bekerja. Karakter lain yang menarik bagi saya tentu saja Madame Ellis sang pemilik motel, Mister Lowesley si pemilik toko buku, dan Ed pelayan berdarah India yang cerewet dan suka ikut campur urusan orang lain. Kehadiran tiga orang ini membuat perasaan saya campur aduk.

    Novel ini akan jadi bacaan yang sangat tepat bagi para pencinta roman dan hujan. Bagi saya sebagai pembaca baru karya-karya Kak Windry, paragraf penutup yang diberikan membuat saya penasaran dan ingin lekas membaca kisah Gilang yang lain dalam ‘Angel in the Rain’. Great job!



[RESENSI] Montase: Idealisme Perfilman Hingga Filosofi Sakura

Posted by Menukil Aksara | 7:50:00 AM Categories:


Judul             : Montase
Penulis          : Windry Ramadhina
Editor            : Ayuning & Gita Romadhona
Proofreader: Christian Simamora
Penerbit       : GagasMedia
Cetakan        : kelima, 2014
Tebal            : viii + 360 hlm; 13 x 19 cm

BLURB:
    Aku berharap tak pernah bertemu denganmu. Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku. Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu. Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu. Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.
    Tapi..., kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa. Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai... dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.

SINOPSIS:

    “Ada sesuatu dalam film dokumenter, entah apa, yang menyebabkan aku sangat tertarik. Kejujurannya, mungkin, atau detail-detail autentik yang memperlihatkan kehidupan apa adanya. Barangkali juga, pemikiran yang membumi, kesadaran akan keberadaan masalah-masalah di dunia, dan kepedulian untuk mengatasi semua itu. Atau, bisa jadi, momen magis kala film itu usai dan aku merasa ada sesuatu yang berubah dari diriku.” (hal. 62)

    “Lalu, ketika tiba-tiba dia melempar pandangannya kepadaku dan tersenyum, aku merasakan sesuatu yang aneh, nyaris magis. Saat itu, waktu seolah-olah berhenti sejenak dan ruang di sekeliling kami menjadi beku. Haru ikut beku. Sosoknya yang berada dalam pelukan lili mengkristal selama sepersekian detik dan bermetamorfosis menjadi potret indah yang merenggut napasku.” (hal. 73-74)

    “Selama ini, setiap aku terbangun pada pagi hari, yang terpikir pertama kali di kepalaku adalah si Babe dan rencana syuting film dokumenter.” (hal. 219)

    “Menjadi pembuat film dokumenter? Ya. Itu impianku sejak masih sekolah. Bahkan, aku tidak ingat apa aku pernah memimpikan hal lain.” (hal. 249)

    “Menyukai seseorang dan mendapat balasan dari orang itu adalah salah satu impian Haru.” (hal. 340)

    Rayyi, seorang mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta Peminatan Produksi sesungguhnya tak pernah tertarik mengikuti jejak ayahnya, mengelola sebuah rumah produksi besar yang melahirkan banyak film dan sinetron komersil. Bermula dari perkenalannya pada film hitam-putih tanpa suara karya Dziga Vertov, “The Man with a Movie Camera” milik mendiang sang mama, Rayyi yang oleh ketiga sahabat karibnya selalu disapa Bao-Bao ini jatuh cinta pada film dokumenter dan selalu bermimpi membuat film dokumenter terbaik. Perbedaan pendapat dan kepentingan dengan sang papa ini tak kunjung menjumpai titik kompromi. Rayyi lantas kerap membolos kuliah Peminatan Produksi untuk syuting film dokumenter bersama kamera kesayangannya yang dinamai Babe. Rayyi juga seringkali menyusup ke kelas Peminatan Dokumenter untuk menimba ilmu. Suatu hari, di tengah kekecewaannya karena kalah dari seorang mahasiswi ‘studi banding’ dari Jepang, Haru Enomoto, dalam sebuah seleksi film dokumenter yang diselenggarakan Greenpeace, Rayyi kembali menyusup ke kelas Peminatan Dokumenter di mana seorang sineas muda ternama Samuel Hardi sedang menjadi dosen tamu. Tak disangka, Haru mengikuti kelas yang sama. Di kelas ini, Rayyi dan ketiga sahabatnya (Sube, Andre, Bev)—yang ikut-ikutan menyusup—mendapat tugas membuat sebuah film pendek dokumenter bertema observasi. Bermula dari usul iseng Andre agar Rayyi menjadikan Haru objek filmnya, Rayyi pun mulai mengenal Haru lebih dekat, setelah tawaran Rayyi disambut antusias oleh Haru. Boneka kokeshi Jepang, gadis berkepala angin, adalah julukan-julukan Rayyi pada Haru. Awalnya Rayyi meremehkan dan menganggap Haru gadis sembrono yang aneh dan tidak menarik, namun sebuah momen yang terekam kameranya mengubah pandangan itu.

    Pertemuan demi pertemuan makin mengakrabkan Rayyi dan Haru, hingga tanpa Rayyi sadari cinta telah tumbuh di hatinya. Momen kebersamaan mereka terasa sederhana namun indah, hingga suatu hari kebersamaan itu dihancurkan dengan terungkapnya rahasia mengenai kondisi kesehatan Haru. Rayyi juga tengah dihadapkan pada keputusan pahit papanya untuk ‘mendisiplinkan’ dan mengawasi ketat gerak-gerik Rayyi di kampus, usai insiden nilai ujian yang bobrok. Rayyi terpaksa menurut, menjadi karyawan magang di rumah produksi papanya setiap akhir pekan dan tak lagi membolos di kelas Peminatan Produksi. Tawaran Samuel Hardi untuk belajar langsung di rumah produksinya dan mengikuti ajang kompetisi internasional pun terpaksa Rayyi tolak. Kabar buruk lain datang tak lama kemudian. Haru mendadak kembali ke negerinya dengan hanya sebuah ucapan selamat tinggal singkat lewat pesan teks pada Rayyi. Rayyi tak mampu menghalangi kepergian Haru. Sepeninggal Haru, konflik antara Rayyi dan papanya memuncak hingga sampai pada pilihan Rayyi untuk hengkang dari rumah dan meminta Samuel Hardi menampungnya.

    Walaupun terpisah jauh, Rayyi tetap rajin bertukar kabar lewat surel dengan Haru. Rayyi pun bekerja keras merintis impian di rumah produksi milik Samuel Hardi. Hingga suatu hari, sebuah kabar diterima Rayyi dari orangtua Haru. Komunikasi lantas terputus. Namun, ketika Rayyi masih berjuang melanjutkan hidup, dua tahun kemudian datang sepucuk surat dari Haru. Sontak Rayyi kembali berharap dan tanpa pikir panjang terbang ke Tokyo. Di Tokyo, Rayyi menyaksikan langsung keindahan Sakura yang pernah ditunjukkan Haru lewat film pendeknya dan semangat untuk meraih impian besar kian terpacu.

REVIEW:
    “Jangan berhenti mengejar impianmu atau kau akan menyesal, Rayyi.” (hal. 249)

    “Selalu ada impian yang lebih besar dari impian lain, kan?” (hal. 250)

    “Kita tidak hidup selamanya, Rayyi. Karena itu, jangan buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak kita inginkan.” (hal. 250)

    “Keindahan Sakura hanya sebentar, tapi karena itu dia begitu berharga.” (hal. 347)

    “Sakura adalah ciri kehidupan yang tidak abadi.” (hal. 347)

    Seingat saya, baru kali ini saya membaca novel yang mengangkat tema, setting, dan tokoh seputar dunia perfilman dokumenter. Yang mana, ini menjadi daya tarik tersendiri. Suasana perkuliahan, pergaulan para mahasiswa Fakultas Film dan Televisi IKJ pun kental mewarnai. Saya suka dengan tokoh-tokoh semacam Sube, Andre, dan Bev sebagai sahabat karib yang saling mendukung dengan Rayyi. Chemistry mereka terasa, ditambah kekonyolan dan banyolan khas mahasiswa yang mampu mengundang tawa. Misalnya teka-teki tentang nama panggilan Bao-Bao, juga detail semacam menu favorit mereka: internet. Kemunculan sesosok Samuel Hardi yang berpenampilan layaknya pria metroseksual, tapi angkuh dan suka meremehkan orang, juga sangat mendukung plot cerita (dan saya baru tahu kalau tokoh satu ini dibuatkan novel khusus). Kak Windry pun tak segan menyebutkan beberapa sineas kenamaan, membuat kritik dunia perfilman lebih tersampaikan. Mengenai setting Jepang, meskipun tak dominan tapi tidak bisa dikatakan hanya tempelan, sebab Jepang dan Sakura berkorelasi erat dengan tokoh Haru dan pesan moral yang ingin disampaikan. Saya pun cukup puas dengan deskripsi yang disajikan terkait beberapa spot di Tokyo. POV ‘aku’ sebagai Rayyi juga dieksekusi dengan baik.

    Jika pada novel roman umumnya, jatuh cinta digambarkan lewat adegan-adegan ‘kebetulan’ yang romantis, maka di sini muncul apa yang saya sebut ‘jatuh cinta lewat lensa kamera’. Ya, itu juga yang menggambarkan chemistry dari dua tokoh utama: Rayyi dan Haru. Dua orang yang bertolak belakang karakter. Haru yang berfisik lemah namun selalu optimis dan penyayang, sekaligus ceroboh sehingga mirip alien tersesat di planet bumi. Rayyi yang setia kawan, idealis, sangat mencintai kamera dan dunia perfilman dokumenter, tapi terjebak dengan impian sang ayah yang dibebankan ke pundaknya. Haru dan Rayyi dipersatukan oleh kesamaan nasib, di mana kuliah yang mereka ambil pada dasarnya bukan minat murni mereka. Tapi sikap penerimaan Haru yang tulus mampu menggugah hati Rayyi. Karakter Rayyi yang kurang saya sukai di sini adalah fakta bahwa dia terkesan baru berani memperjuangkan impiannya sesudah kemunculan sosok Haru, tapi di sisi lain saya bisa memahami memang di sinilah peran Haru dalam cerita. Ide yang bisa dibilang telah banyak diangkat: seseorang yang hadir untuk menginspirasi, namun tak selalu untuk dimiliki.

    Sebagai novel Kak Windry yang pertama saya baca, bisa dikatakan ini menjadi perkenalan yang menyenangkan. Saya dibuat jatuh cinta dengan gaya tulisannya sekaligus ketagihan ingin baca lebih banyak lagi karya Kak Windry.


Jumat, 21 Juli 2017

[RESENSI] Test Pack: Sejauh Mana Komitmen Membawamu

Posted by Menukil Aksara | 9:30:00 AM Categories:





Judul       : Test Pack
Penulis   : Ninit Yunita
Editor     : FX Rudy Gunawan
Penerbit: GagasMedia
Cetakan : keenam belas, 2013
Tebal      : xiv + 202 hlm; 13x 19 cm

BLURB:

Sebagian dari kita mungkin mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar, even mungkin karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dahulu, atau mendadak miskin.

    Will you still love them, then?
    That’s why you need commitment.
    Don’t love someone because of what/how/who they are.
    From now on, start loving someone,
    because you want to.


SINOPSIS:

  “Pernah menonton sebuah quiz dengan hadiah spektakuler sebesar 1 MILYAR RUPIAH di layar TV? Nama quiz tersebut adalah WHO WANTS TO BE A MILLIONAIRE dengan Tantowi Yahya sebagai host.
    “Dan... selama tujuh tahun, gua sering merasa sebagai orang yang duduk di kursi panas itu. Here’s the million dollar question: will I ever have a baby?”
(hal. 1-2)

    “Onde kucing tetangga gua itu memang nggak punya perasaan sama sekali. Kayaknya hanya sekali bertemu kucing jantan dan tadaaa! She’s got pregnant instantly. Now I hate cats more than anything in the world!” (hal. 53)

    “Siapa sih yang tidak menginginkan anak? Oke, terkadang anak kecil memang annoying. That’s why I hate kids sometimes. But the truth is... I want to have a baby from my wife, too. Pernah sih beberapa kali gue berimajinasi. Gue, Tata, dan si kecil yang mana gue menggendong si kecil dan Tata melingkarkan lengannya pada gue. Seperti iklan layanan masyarakat tentang keluarga berencana. Seminggu kemudian, gue mengambil hasil tes. Gue dinyatakan infertil.” (hal. 107)

    Arista alias Tata dan Rahmat Natadiningrat adalah pasangan suami istri yang telah tujuh tahun menantikan kehadiran anak. Layaknya wanita menikah yang telah melampaui usia 30 tahun pada umumnya (Tata berusia 32 tahun), Tata terobsesi untuk segera melahirkan anak. Atas alasan ‘takut’, dia belum memeriksakan diri ke dokter kandungan tentang kondisinya. Namun, segala upaya ‘alami’ telah rajin dia lakukan bersama suami. Pekerjaannya sebagai pengacara, yang sebagian besar mewakili klien untuk kasus perceraian, membuat Tata bersyukur pernikahannya bahagia, memiliki pasangan humoris yang dia cintai, kecuali tentu saja dalam hal mendapatkan momongan. Karena itulah impiannya tentang anak belum pupus. Sedangkan Rahmat yang seorang psikolog sekaligus konsultan pernikahan, juga kerap menemui pasangan yang bermasalah hingga berkonsultasi demi terhindarnya perceraian, dan dia bersyukur pernikahannya baik-baik saja.

Hingga suatu hari, ketika sahabat sekaligus rekan kerjanya mengabarkan tentang kehamilannya yang kedua, bersamaan dengan kehamilan orang-orang terdekat lain, Tata menjadi jauh lebih sensitif. Atas saran Dian sahabatnya, Tata pun akhirnya berkonsultasi pada dokter yang direkomendasikan. Lega, Tata kini memastikan kondisinya baik-baik saja, tidak ada masalah dengan kesuburan dan potensi untuk hamil ada. Sayangnya, tak demikian halnya dengan sang suami. Tak disangka, vonis infertil justru jatuh pada Rahmat. Fakta inilah yang kemudian mengubah segalanya. Tata dan Rahmat melalui masa sulit berdamai dengan kenyataan. Tata pun sempat menyatakan tak sanggup dan memilih menenangkan diri di rumah orangtuanya. Bagaimanapun, impiannya hancur seketika. Dia butuh waktu merenungkan kembali makna bahagia. Rahmat merasa menjadi manusia tak berguna dan suami yang patah hati. Pasangan ini menghadapi ujian terbesar atas cinta dan komitmen mereka dalam pernikahan.

REVIEW:

“Yang berbeda dari medis dan psikologis adalah bahwa dalam medis, setelah badan mati, nyawa tidak merasa sakit lagi. Dalam psikologis, ketika nyawa terluka, dia masih harus hidup dan merasakannya.” (hal. 15)

“Gue lalu memikirkan satu hal. Di luar sana ada jutaan pasangan yang susah setengah mati seperti kami untuk mendapatkan anak. Tapi tidak jarang kita melihat anak yang membentak orangtuanya. Anak yang manja, anak yang menyakiti orangtuanya. Sekarang gue tahu benar mengapa meski orang tua mencintai semua anak secara total, mereka juga sering kali, sakit hati.” (hal. 17)

“Tidak ada manusia sempurna sehingga kita semua tidak luput dari kesalahan. Di saat pasangan memiliki kelemahan, kita sering menyerangnya dengan ‘senjata’ yang kita miliki. Padahal kita tidak hidup di masa lalu. Kita hidup sekarang di mana senjata itu sudah tidak ada gunanya lagi.” (hal 111-112)

“Saat pasangan bercerai, I couldn’t help but wonder... have they forgotten the day when they fell in love?” (hal. 112)

“Banyak hubungan yang patah hilang dan berganti karena tidak memiliki komitmen. Orang sering mendasari cinta atas hal-hal yang dianggap indah. It may sound romantic dan melakukan hal tersebut bukan sesuatu yang salah... Jarang ada yang mengatakan: ‘Saya sayang dia karena saya ingin sayang dia.’ Itulah komitmen. Komitmen adalah sumber kekuatan bukan sesuatu yang justru membuat orang takut untuk menghadapinya.” (hal. 193-194)

Usai membaca blurb novel ini, sempat terpikir bahwa kisahnya akan melow. Lantas, saya juga membaca semua endorser, yang tersebar di backcover maupun halaman awal buku. Hmm... they wrote amazing comments about this novel. I’m interested. Then, tadaaa... when I read the first and the second chapter, I laughed instantly! Ninit Yunita yang juga adalah istri Adhitya Mulya ini ternyata punya selera humor yang bagus, pas dengan selera saya. Gaya berceritanya ringan, santai, dipadukan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari para tokohnya yang notabene para pekerja kantoran di Bekasi. Dia juga mampu menyisipkan adegan-adegan konyol yang berisi adegan ‘dewasa’, sindiran, maupun pertikaian pasangan suami-istri klien yang membuat saya tertawa sekaligus merana (karena adakalanya sebenarnya itu adalah adegan sedih). Ada banyak karakter annoying sekaligus lucu dalam novel ini. Misalnya dr. S. Perma dan dr. Peni. S (ya ampuun, itu nama diambil dari alat vital, bukan? Hahaha... ). Juga Sri Narsisari seorang resepsionis yang narsis, sok gaul, dan hobi bergosip. Ada juga pasangan Bapak dan Ibu Sutoyo yang kalau sedang berkonsultasi tak segan-segan ‘berkelahi’ hingga merusak barang-barang di kantor psikolog mereka. Bahkan, panggilan sayang Tata dan Rahmat saja sudah mampu membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Kakang dan Neng, 'sangat sunda', kan?

Meski demikian, tema besar tentang komitmen dalam pernikahan dan makna kebahagiaan itu sendiri tetap tersampaikan dengan baik. Cerita tidak melebar ke mana-mana seperti kisah novel bertema pernikahan umumnya, yang melibatkan unsur campur tangan keluarga besar, gangguan orang ketiga, maupun istilah-istilah dunia kedokteran yang njelimet (terkait upaya hamil). Penulis fokus pada dilema hati pasangan Tata dan Rahmat. Penggunaan POV orang pertama dari kedua tokohnya, Tata (gua) dan Rahmat (gue) pun sangat tepat, menyesuaikan fokus cerita itu sendiri. Saya akhirnya diajak menyelami perasaan dan pemikiran kedua belah pihak, pria dan wanita, sang istri maupun sang suami.

Kisah Tata dan Rahmat ingin menyadarkan banyak pasangan menikah di luar sana untuk meluruskan kembali komitmen awal pernikahan, alasan mereka mencintai pasangan, dan tolak ukur kebahagiaan dalam sebuah pernikahan. Bahwa pernyataan, ‘mencintai apa adanya’ bisa jadi bumerang suatu hari, kecuali kita memiliki komitmen. Sebuah novel ringan yang kaya pesan positif. No wonder novel ini telah dicetak ulang belasan kali, bahkan difilmkan.



Kamis, 20 Juli 2017

[RESENSI] Table For Two: Karena Cinta Selalu Milik Berdua

Posted by Menukil Aksara | 9:18:00 AM Categories:




Judul             : Table For two
Penulis         : Dy Lunaly
Penyunting: Pratiwi Utami
Penerbit     : Bentang Belia (PT Bentang Pustaka)
Cetakan      : pertama, Desember 2016
Tebal          : iv + 260 hlm.; 20.8 cm

BLURB:
 
  “Dia memang teman masa kecilku. Tapi, dia sudah bukan lagi bocah kurus yang ada dalam ingatanku, melainkan seorang pria. Seorang pria yang, sungguh tidak ingin aku akui, sangat menarik.”

    Asha benci tinju sebesar dia membenci Arga, pria yang pernah disebutnya sebagai sahabat. Tragedi yang merenggut nyawa Papa membuat hubungan Asha dan Arga merenggang. Bertemu lagi dengan Arga nggak pernah terpikirkan olehnya. Tapi, itu yang terjadi. Permintaan Mama memaksanya untuk bertemu dengan Arga sekaligus menjadi pengawas diet petinju super-menyebalkan itu.

    Menjadi pengawas diet Arga berarti pertengkaran tanpa henti, rencana diet yang berantakan dan berkurangnya waktu untuk dinikmati bersama Kak Rama, dietisien di klinik kesehatan Mama. Namun, Asha nggak punya pilihan. Ia harus profesional dan berusaha berdamai dengan trauma masa lalunya.

SINOPSIS:
  
 “Thomson and Thompson. Rasanya julukan itu masih kurang tepat untuk menggambarkan kami dulu. Kami jauh lebih dekat daripada pasangan detektif kembar itu. Benar-benar tidak terpisahkan. Lebih tepatnya, aku yang tidak pernah ingin berpisah dari Arga.” (hal. 46-47)

    “Aku pernah janji untuk selalu ngelindungin kamu.”
    “Aku cuma bisa ngelindungin kamu kalau aku kuat.” (
hal. 112)

    “yang disebut kuat itu bukan yang bisa mengalahkan lawan, melainkan seseorang yang bisa dihormati dan dihargai karena berhasil mengalahkan keinginan untuk balas dendam.” (hal. 143)

    “Jangan jadi kupu-kupu lah, Sha, nanti aku yang repot harus ngejar-ngejar kamu.” (hal. 171)

    “Dia ingat semua janji yang pernah diucapkannya. Dan sekarang ketika kami bertemu kembali, dia berusaha untuk menepatinya. Satu per satu. Semuanya.” (hal. 171)

    Asha Chandraningtyas Gunawan, atau Asha sedang disibukkan oleh skripsi. Oleh sebab itulah dia tidak lagi bekerja paruh waktu di klinik konsultasi gizi ‘Tiny Tots’ milik mamanya, Dokter Wina. Namun, kedekatannya dengan salah satu dietisien muda di klinik tersebut, Mahendra Ramadhan atau Rama tetap terjalin. Suatu hari, sahabat lama ayahnya, Om Bima datang menemui sang mama. Ternyata, kunjungan Om Bima ada kaitannya dengan sang keponakan, Satya Arganta Yudha alias Arga, yang adalah seorang petinju profesional.  Dan, Arga yang sedang bersiap menghadapi sebuah pertandingan besar  mengalami masalah dengan bobot tubuhnya yang melebihi limit kelas bantam. Dokter Wina dimintai tolong oleh Om Bima untuk membuatkan jadwal diet sehat untuk Arga, namun tanggung jawab pengawasannya justru diserahkan Dokter Wina kepada Asha. Asha pun bimbang. Dia membenci dunia tinju, karena itu mengingatkannya akan kenangan pahit yang merenggut nyawa papanya, Gunawan yang dulu juga petinju. Namun, Asha juga tidak ingin Arga yang merupakan sahabat masa kecilnya mengalami tragedi yang sama dengan sang papa.

    Ketika pada akhirnya Asha bersedia menjadi pengawas diet Arga, pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Arga pada dasarnya meremehkan dan terang-terangan menolak pola makannya diatur oleh dietisien. Di lain sisi, kenangan demi kenangan masa kecil Asha bersama Arga berkelebatan. Janji-janji yang pernah terucap dan sebuah pertengkaran tujuh tahun lalu yang  merenggangkan hubungan Asha dan Arga terkuak. Asha sendiri tertegun kala mengetahui bahwa Arga tak melupakan barang sedikit pun semua janjinya. Ketika Asha nyaris menyerah karena Arga tetap membandel dengan dietnya yang tak sehat, Om Bima menceritakan kisah keluarga Arga yang rumit, tentang ayah ibunya yang berpisah, dan trauma kekerasan domestik yang sempat dialami Arga. Om Bima juga membuat pengakuan terkait kejadian yang sebenarnya jelang kematian papa Asha, Gunawan. Asha sekali lagi berusaha bersabar dan mau mencoba memahami. Hingga suatu hari, di puncak kekesalannya atas berat tubuh yang tak kunjung turun sesuai target, Arga sempat mengungkit masa lalu dan menyalahkan Dokter Wina atas tuduhan ketidakbecusan mengawasi diet suaminya sendiri. Asha sangat marah dan tak terima karena merasa Arga menjelek-jelekkan papa dan mamanya. Di saat hubungan Asha dan Arga memanas inilah terjadi hal yang selama ini ditakutkan Dokter Wina, Asha, dan Om Bima. Arga ambruk pingsan karena tubuhnya kelelahan ditambah diet yang tidak benar.

    Peristiwa pingsannya Arga justru memperbaiki hubungan Arga dan Asha. Arga pun telah mengetahui rincian kejadian sebelum kematian Om Gunawan dan tak lagi menyalahkan Dokter Wina. Arga memutuskan menuruti kemauan Om Bima dan mematuhi jadwal diet yang telah disusun oleh Dokter Wina. Bersamaan dengan itu, Arga juga mengakui perasaannya kepada Asha. Asha harus memilih, apakah akan menerima pernyataan cinta Arga ataukah tetap setia pada hubungannya dengan Rama yang sudah serius.

REVIEW:
   
“Ternyata kenangan bahagia, tidak peduli selama apa pun tersimpan, selalu menghadirkan getar kerinduan ketika mengingatnya.” (hal. 7)

    “Ternyata benar, kenangan tidak tersimpan dalam ingatan atau hati. Tetapi, pada benda atau tempat kenangan itu terjadi.” (hal. 64)

    “Sebesar apa pun kita menyesalinya, kita nggak akan pernah bisa mengubah masa lalu.” (hal. 145)

    “cinta itu bukan masalah siapa yang datang duluan. Aku cinta dia bukan karena dia yang duluan datang, aku cinta dia karena hati aku memilih dia.” (hal. 242)

    Meskipun diterbitkan Bentang Belia, menurut saya, menilik para tokohnya yang sudah dewasa (21 tahun ke atas), novel ini tergolong young adult romance, bukan teenlit. Namun, kontennya tetap aman bagi kalangan remaja. Novel ini juga merupakan salah satu judul dari seri novel bertema profesi, sport, and romance. Ide cerita yang menggabungkan antara dietisien (pengawas diet/ahli gizi) dengan petinju profesional memang sangat menarik. Dan karena target pembaca kalangan muda yang lebih menyukai tipe bacaan ringan, maka gaya bahasa yang ringan, tidak terlalu dibebani istilah-istilah rumit dunia ahli gizi, diet, dan tinju, sudah pas. Kovernya juga menarik, kompak mengadopsi konsep yang sama dengan judul lain dari seri ini.

    Hanya saja, saya kurang setuju dengan pilihan penulis menggunakan POV orang pertama, yaitu Asha, sedangkan di kover saya mengharapkan Arga lebih ditonjolkan. Sudut pandang Asha membuat saya tidak leluasa memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan seorang Arga—yang bagi saya karakternya lebih rumit dan lebih menarik. Selain itu, karakter Arga yang kuat justru tertutupi oleh fokus masalah yang membuatnya tampak ‘jahat’ atau dalam dunia fiksi disebut antagonis. Kecintaan Arga pada dunia tinju, bagaimana dia menganggap tinju sebagai sebuah proses penyembuhan trauma dan belajar sportivitas, kurang tereksplor. Dalam hal chemistry, saya juga kurang dapat merasakannya, baik Asha vs Arga, maupun Asha vs Rama. Kedekatan Asha dan Rama lebih cocok seperti kakak-adik. Apalagi dengan karakter Rama yang dari awal hingga akhir cerita digambarkan nyaris tanpa cela, sangat pengertian. Konflik jelang akhir dan bagian ‘peleraian’ antara Asha, Arga, dan Rama akhirnya kurang gereget dan terkesan buru-buru, ‘begitu saja’.

    Walau begitu, saya sangat mengapresiasi penulis menyoroti dunia tinju, masalah diet sehat, problematika masa kini terkait obesitas yang terjadi di usia dini, pola pengasuhan anak yang salah, dan konflik yang biasa terjadi dalam keluarga. Saya juga suka bagian kedekatan Asha dengan papanya, meskipun hanya tergambar melalui kilasan-kilasan masa lalu. Sebuah novel ringan dengan pesan yang positif.

   

Minggu, 16 Juli 2017


REVIEW:
   
“Bahkan hingga hari ini, di masa modern, kita masih tidak peduli dengan kekerasan yang dialami anak-anak di rumah. Menganggap itu urusan keluarga masing-masing, hal yang lumrah... Kekerasan yang mereka peroleh justru dari orang yang seharusnya menyayangi dan melindungi.” (hal. 110)

“Ada banyak hal-hal hebat yang tampil sederhana. Bahkan sejatinya, banyak momen berharga dalam hidup datang dari hal-hal kecil yang luput kita perhatikan, karena kita terlalu sibuk mengurus sebaliknya.” (hal. 257)

“Dulu, penyebab terbesar menumpuknya harta warisan tanpa pewaris adalah perang dunia. Hari ini, bukan lagi... Apa yang sebenarnya terjadi? Kehidupan modern, itulah penyebabnya.” (hal. 440)
“Kehidupan modern yang individualis membawa aspek negatif dalam hubungan keluarga. Menghancurkan ikatan keluarga lebih masif dibanding peperangan.”
(hal. 441)

sumber: kotaku.pu.go.id

    Ide tentang firma hukum dengan jajaran pengacara yang berkarakter ibarat ksatria, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran digabungkan dengan masalah hak waris, sangat menarik di sini. Tak hanya itu, agar jauh lebih menarik dan membuat pembaca betah mengikuti kisah, Tere Liye memasukkan unsur petualangan lewat penelusuran jejak kehidupan sang tokoh utama—yang uniknya lagi sudah meninggal sejak awal cerita. Maka, di novel ini saya diajak berpindah-pindah setting, dari pelosok Indonesia hingga daratan Eropa. Dan walaupun ketebalan novel ini bisa membuat pembaca khawatir dihinggapi kebosanan, saya bisa menjamin itu tidak terjadi. Selain kota London dan Paris yang indah, Pulau Bungin adalah salah satu lokasi dalam novel yang menarik perhatian saya. Tak hanya letaknya yang cukup terpencil, pemukiman nelayan yang padat dengan rumah-rumah panggung yang rapat, penduduk yang ramah, dan kambing-kambing yang makan kertas turut mengundang rasa ingin tahu. Pemilihan Pulau Bungin sebagai tanah kelahiran Sri Ningsih juga sangat tepat, logis dengan jalinan cerita.


letak pulau Bungin-sumber: Baranews,co

 

pulau Bungin-sumber: hipwee.com
Isu-isu sosial antara lain kekerasan domestik, perebutan harta gono-gini, tingkat perceraian yang makin tinggi, pendidikan anak kurang mampu, terasingnya para lansia dari sanak keluarga, sulitnya kesempatan mendapatkan suntikan dana bagi pengusaha kecil, hingga gelombang pengungsi di seluruh dunia disinggung di sini. Tere Liye juga menyisipkan di sana-sini rentetan peristiwa bersejarah yang terjadi dari kisaran tahun 1940-an hingga 2000-an. Sangat menarik untuk dicermati, tanpa sadar sembari saya asyik mengikuti petualangan Zaman Zulkarnaen. Riset yang matang, alur runut, dan plot yang logis jelas mendukung kesuksesan ini. Pun keberadaan tokoh-tokoh pendukung seperti La Golo si  guide, Pak Tua, Nur’aini, Sueb si pengemudi ojek daring, Rajendra Khan dan keluarganya, dan Aimee sangat menyokong penyajian berbagai topik di atas. Tak luput juga disajikan kisah cinta nan romantis namun bersahaja dari pasangan Sri Ningsih dan Hakan Karim. Pesan tentang ketulusan dan kesungguhan dalam mencintai, kekuatan dalam menghadapi ujian bersama, serta penerimaan akan takdir. Ah, sungguh indah dan menyentuh. Berbeda dengan kisah-kisah cinta novel romance pada umumnya yang mengandalkan adegan-adegan ala film romantis yang bisa jadi jauh dari kenyataan sehari-hari.

    Mengenai karakter, ada banyak karakter tokoh yang mampu mengaduk-aduk emosi saya. Dari yang naif sekaligus lucu, seperti La Golo dan Sueb. Juga Rajendra Khan yang khas dengan guyonannya yang tak kenal waktu, tempat, dan obyek. Ada sosok tetangga yang perhatian seperti keluarga kepala kampung di Pulau Bungin dan keluarga Rajendra Khan dengan adat India mereka yang selalu ‘heboh’. Ada sosok sahabat yang tulus dan dapat dipercaya diwakilkan oleh Nur’aini, Lucy, Franciszek, Chaterine, dan Aimee. Juga guru yang menanamkan kecintaan ilmu dari sosok Tuan Guru Bajang dan Kiai-Nyai Ma’shum. Sosok Eric dan Sir Thompson yang menggambarkan pengacara jujur (yang jelas telah langka di zaman modern ini).

    Dan tentu saja, keempat tokoh protagonis dan antagonis utamanya. Sosok Sulastri, bersama Musoh yang mengalami ‘perkembangan’ karakter—yang sayangnya—ke arah keburukan. Sulastri menjadi penggambaran sempurna sosok wanita yang kodratnya lemah, namun bisa menjadi bengis sebab memendam kebencian seumur hidupnya akibat termakan sebuah kebohongan. Sosok Hakan Karim—yang meskipun tak menjadi sorotan utama—jelas memiliki peran krusial dalam kehidupan Sri Ningsih. Sosok pria sederhana yang berhati besar, yang dalam kamus cintanya hanya ada memberi, memberi, dan memberi. Juga sang ‘ksatria’ kita, Zaman Zulkarnen, mewakili pemuda anak bangsa yang sukses di negeri orang lewat prestasi akademis dan prinsip kejujuran yang tak luput dari bekal pengasuhan yang baik dari sang ibu. Zaman ini sedikit mengingatkan saya akan tokoh Bujang dalam novel Tere Liye sebelumnya, “Pulang”. Tak hanya cerdas, loyal, juga jago beladiri. Terakhir, tentu saja sang tokoh utama kita, Sri Ningsih. Dia tak pernah percaya diri jika terkait penampilan fisik, karena merasa kulitnya gelap, posturnya pendek gempal, dan wajahnya tidak cantik. Namun, dia selalu percaya diri jika menyangkut meraih impian, mempelajari hal-hal baru, merumuskan visi misi bisnis, dan memulai sebuah usaha. Sri Ningsih juga mewakili sosok wanita kuat, tegar menghadapi ujian hidup yang sekaligus menggemblengnya menjadi sosok yang matang dalam kehidupan. Dia cerdas, tulus, tak suka menyimpan dendam. Sungguh sosok wanita idaman berhati emas. “Tentang Kamu” cocok dibaca pria-wanita dan sarat akan nilai moral kehidupan.
   
   






Judul        : Tentang Kamu
Penulis    : Tere Liye
Editor      : Triana Rahmawati
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan : keenam, Januari 2017
Tebal     : vi + 524 hal.; 13.5 x 20.5 cm

BLURB:
  
 Terima kasih untuk kesempatan mengenalmu, itu adalah salah satu anugerah terbesar hidupku. Cinta memang tidak perlu ditemukan, cintalah yang akan menemukan kita.
    Terima kasih. Nasihat lama itu benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi.
    Masa lalu. Rasa sakit. Masa depan. Mimpi-mimpi. Semua akan berlalu, seperti air sungai yang mengalir. Maka biarlah hidupku mengalir seperti sungai kehidupan.

SINOPSIS:
 
  “Apakah sabar memiliki batasan? Aku tahu jawabannya sekarang. Ketika kebencian, dendam kesumat, sebesar apa pun akan luruh oleh rasa sabar. Gunung-gunung akan rata, lautan akan kering, tidak ada yang mampu mengalahkan rasa sabar. Selemah apa pun fisik seseorang, semiskin apa pun dia, sekali di hatinya punya rasa sabar, dunia tidak bisa menyakitinya.” (hal. 48)

    “Terima kasih atas pelajaran tentang keteguhan. Aku tahu sekarang, pertanyaan terpentingnya bukan berapa kali kita gagal, melainkan berapa kali kita bangkit lagi, lagi, dan lagi setelah gagal tersebut. Jika kita gagal 1000x, maka pastikan kita bangkit 1001x.” (hal. 210)

    “Karena dicintai begitu dalam oleh orang lain akan memberikan kita kekuatan, sementara mencintai orang lain dengan sungguh-sungguh akan memberikan kita keberanian.” (hal. 286)

    “Bagaimana agar kita bisa berdamai dengan begitu banyak kejadian menyakitkan? Bagaimana jika semua hal menyesakkan itu ibarat hujan deras di tengah lapangan, kita harus melewati lapangan menuju tempat berteduh di seberang, dan setiap tetes air hujan laksana setiap hal menyakitkan dalam hidup? Bagaimana agar Sri bisa tiba di tempat tujuan tanpa terkena satu tetes airnya? Sri sekarang tahu jawabannya. Yaitu justru dengan lompatlah ke tengah hujan, biarkan seluruh tubuh kuyup. Menarilah bersama setiap tetesnya, tarian penerimaan, jangan pernah dilawan, karena sia-sia saja, kita pasti basah.” (hal. 457)

    Zaman Zulkarnaen, pria Indonesia 30 tahun, adalah seorang junior associate di firma hukum Thompson & Co. selama setahun terakhir. Setelah menerima tawaran magang selama dua tahun di firma hukum itu, kini Zaman bertugas membantu seorang senior lawyer bernama Eric Morning menangani berbagai kasus. Thompson & Co. hanya memiliki satu senior partner, yaitu Sir Thompson Jr. Ayahnya adalah pendiri firma hukum tersebut sekaligus seorang pahlawan perang Angkatan Laut Kerajaan Inggris di masa Perang Dunia I. Tujuan awal didirikannya Thompson & Co. adalah untuk menegakkan keadilan terutama dalam pembagian hak waris, yang mana pasca perang dunia menjadi kacau akibat banyaknya ahli waris yang tewas maupun harta yang tak jelas pewarisnya. Di masa sekarang, firma hukum ini masih memegang teguh prinsip awal, memerangi para heir hunters, dan menegakkan elder law dalam hukum waris. Tak banyak publikasi yang menyoroti Thompson & Co. karena mereka memang tak mengutamakan publikasi, namun reputasi mereka tak diragukan lagi oleh firma-firma hukum lain dan banyak pihak.

    Suatu hari, Sir Thompson secara pribadi menghadiri rapat dengan ‘situasi khusus’ di mana Zaman diundang. Di luar kebiasaan, Zaman diamanahi menyelesaikan sebuah kasus settlement  hak waris secara mandiri, bukan di bawah kepemimpinan Eric seperti biasanya. Dan sebagai kejutan lain, klien mereka kali ini adalah seorang perempuan Indonesia bernama Sri Ningsih, yang belum lama ini meninggal di sebuah panti jompo di Paris. Sri Ningsih meninggalkan warisan senilai 19 triliun rupiah. Yang menjadi obyek utama penyelidikan Zaman adalah keberadaan pewaris yang sah dan ada atau tidaknya surat wasiat.

    Berbekal informasi alamat panti jompo di mana Sri Ningsih tinggal dan mengembuskan napas terakhir, Zaman mulai menelusuri rekam jejak kehidupan Sri Ningsih. Setelah berkenalan dengan penghuni panti dan seorang pengurus bernama Aimee, Zaman mendapatkan sebuah buku catatan tipis yang berisi beberapa foto lama dan catatan singkat lima babak kehidupan Sri yang diberi judul juz pertama hingga kelima. Sampailah kemudian Zaman di Pulau Bungin di bagian timur Indonesia yang dijuluki salah satu pulau terpadat penduduknya di dunia, tempat di mana Sri Ningsih dilahirkan dan kemungkinan menghabiskan masa kecil, sesuai salah satu foto. Ketika Zaman nyaris menyerah, muncullah seorang saksi mata yang mengenal Sri Ningsih kecil dulu. Ode atau yang biasa disapa Pak Tua pun kemudian menceritakan silsilah keluarga Sri Ningsih, tak ketinggalan masa kecil yang membuatnya iba pada Sri. Tentang Sri yang piatu sepeninggal sang ibu, Rahayu, sesaat setelah melahirkannya. Juga kepedihan ditinggalkan selamanya oleh sang ayah Nugroho, lantas dijuluki ‘anak yang dikutuk’ oleh sang ibu tiri Nusi Maratta sekaligus mengalami kekerasan domestik. Usai penuturan, Zaman menemukan petunjuk baru di pedalaman Surakarta, di sebuah madrasah di mana Sri dan Tilamuta sang adik seayah terakhir diketahui keberadaannya oleh Pak Tua.

 Di madrasah Kiai Ma’shum, Zaman kembali mengurai kisah hidup masa remaja hingga dewasa Sri. Di episode hidup ini Sri sempat mencicipi kebahagiaan dan kehidupan madrasah yang damai. Juga kedekatannya dengan keluarga Kiai, termasuk putri bungsunya Nur’aini dan seorang guru muda bernama Sulastri. Sayangnya, sebuah tragedi pengkhianatan memporakporandakan kebahagiaan mereka. Sri pun lantas merantau ke Jakarta, bertekad memulai kehidupan baru. Di Jakarta, Zaman sempat kewalahan mencari jejak, hingga bertemu dengan Chaterine, yang pernah menjadi orang kepercayaan Sri. Diketahui pula dari mana asal muasal kepemilikan aset triliunan rupiah milik Sri. Sayangnya, jejak kembali hilang ketika Sri mendadak pergi ke London tanpa alasan jelas. Di London, sekali lagi, berbekal petunjuk sebuah foto lama, Zaman berhasil menjumpai seorang sahabat lama Sri, Lucy. Sri ternyata pernah sangat lama berprofesi sebagai sopir bus merah bertingkat. Alamat tinggal Sri di kawasan Little India lalu mempertemukan Zaman dengan keluarga Rajendra Khan—penjual roti isi langganan Zaman—yang tak dinyana pernah menjadi induk semang sekaligus keluarga angkat Sri.

Episode hidup Sri di London nyatanya menyimpan sebuah kisah cinta sederhana yang indah. Sri Ningsih sempat menikah selama 13 tahun dengan seorang pria Turki bernama Hakan Karim dan dikaruniai dua anak. Sayangnya, harapan Zaman bahwa pada akhirnya dia menemukan pewaris sah pupus. Semua keluarga Sri tersebut telah meninggal. Dan sekali lagi, Sri menghilang tanpa alasan jelas. Belum selesai kebingungan Zaman, kantornya mendapatkan permintaan rapat dari sebuah firma hukum bergengsi, A & Z Law, yang mengklaim mewakili seorang ahli waris sah dari Sri Ningsih. Disusul kemunculan dua wanita berwajah Indonesia: Ningrum dan Murni, yang mengaku sebagai mertua dan istri Tilamuta. Zaman yang curiga dengan klaim ini, tak lantas percaya begitu saja. Dia mengotot menyelesaikan penyelidikan hingga menemukan surat wasiat. Beruntunglah, teka-teki keberadaan surat wasiat tersebut akhirnya terungkap, disusul terungkapnya kedok Ningrum dan Murni. Zaman juga menyelesaikan masalah keluarga besarnya sendiri, prahara yang juga terkait warisan, dan menemukan jodohnya.


[Bersambung ke Bag. 2]


Sabtu, 15 Juli 2017


Judul: Better With You
Penulis: Clara Canceriana
Editor: AlaineAny
Penerbit: GagasMedia
Cetakan: pertama, 2017
Tebal: viii + 336 hlm; 13 x 19 cm

BLURB:
    Seseorang pernah berkata kepadaku, memberi tahu perasaan kita kepada orang lain itu sah-sah saja. Namun, mengapa aku selalu kesulitan untuk mengatakan perasaanku yang sesungguhnya? Kepada dia yang sehangat matahari. Yang mampu meluluhkan segala gundah di dalam hati.

    Ada juga yang bilang, bila sembunyi-sembunyi gini, ia tidak akan pernah tahu perasaan yang kurasakan. Entah, mengapa rasa takut itu selalu ada? Padahal, ia selalu mengajarkanku untuk melawan rasa takut dan jujur pada diri sendiri.

    Namun, saat kita sudah merasa begitu nyaman di dekat orang yang kita sukai, apakah kita masih perlu mengungkapkan perasaan hati?

SINOPSIS:
    “Setiap manusia punya keberanian dalam diri mereka. Cuma rasa ragu yang besar, bikin keberanian itu nggak kelihatan.” (hal. 70)

    “Ketika kamu berjanji, kamu sedang menitipkan sebuah masa depan bagi seseorang.” (hal. 148)

    “Kalau mengerahkan seluruh tenaga untuk berusaha, pasti bisa.” (hal. 152)    

Luna Laurensia, siswi kelas XII SMA Bina Bhakti, sebuah sekolah elit bagi anak-anak kalangan menengah ke atas. Luna adalah siswi paling pintar, langganan juara umum sekolah, ketua kelas, papanya adalah pengacara ternama yang sekaligus salah satu donatur dana terbesar sekolah. Satu hal yang tak diketahui teman-teman maupun guru-gurunya, bahwa Luna tertekan. Dia selalu merasa hidupnya serba diatur, diwajibkan menjadi nomor satu, bisa dibanggakan di hadapan keluarga besar mamanya. Luna tak benar-benar bahagia. Hadirnya Higashi Haruki, siswa pindahan penerima beasiswa mengubah segalanya. Haruki bersikap ceria, meskipun semua siswa dan guru memandangnya sebelah mata sebagai siswa penerima beasiswa. Haruki pun menawarkan ketulusan persahabatan alih-alih persaingan kepada Luna. Sayang, niat baiknya dinilai sebagai kelicikan oleh Chika dan Boy, sebagai upaya menurunkan Luna dari posisi juara satu. Apalagi ketika Haruki dan Luna dilaporkan membolos sekolah bersama, disusul kejadian-kejadian tak menyenangkan lain yang bersumber dari kesalahpahaman. Orangtua Luna jelas marah dan mengancam Haruki agar menjauhi putri mereka. Juga ada Eros, pacar Luna yang bertingkah menyebalkan, tak mau diputuskan begitu saja oleh Luna. Eros meneror Luna dengan permintaan maaf, kiriman bunga dan cokelat hingga Luna ketakutan. Perangai Luna yang tak tegas pun memperunyam keadaan. Eros bersama teman-temannya juga pernah mengeroyok Haruki yang dianggap menjadi biang keladi perubahan sikap Luna padanya.
Haruki sesungguhnya punya masalah sendiri yang tak dia bagi kepada semua orang. Papa mamanya telah berpisah semenjak dia masih berusia tujuh tahun. Mamanya memutuskan kembali ke Indonesia usai perpisahan dan berusaha keras menjadi orangtua tunggal yang layak. Papanya yang asli warga negara Jepang pernah menjanjikan datang di tiap kelulusan sekolah Haruki, namun tak pernah ditepati. Bahkan beberapa waktu ini mama Haruki meminta Haruki tak lagi berusaha menghubungi sang papa. Tak terima, Haruki berusaha membujuk sang mama dengan mengikuti lomba mading antar sekolah dengan mengajak Luna. Harapan Haruki, jika dia menang, mamanya akan bangga dan mau memberi Haruki kesempatan berbicara dengan papanya. Sayangnya, meski kemenangan diraih, percakapan Haruki dengan papanya lewat sambungan telepon justru meninggalkan kekecewaaan dan luka di hati. Sang papa telah memiliki keluarga baru dan tak bisa meninggalkan mereka, meski sebentar.

Tak cukup sampai di sana, Haruki kembali harus menghadapi kesedihan ketika saat ujian akhir pengawas menemukan kunci jawaban soal di tasnya. Ada seseorang yang memfitnahnya. Haruki terpaksa dikeluarkan dari ujian. Di lain sisi, Luna syok berat dan ketakutan ketika mengetahui peringkatnya turun drastis di saat pengumuman kelulusan. Orangtuanya saling menyalahkan dan bertengkar hebat. Luna yang sangat tertekan nekat melakukan hal mengerikan hingga masuk rumah sakit. Inilah momen di mana kedua orangtuanya menyadari kelalaian mereka dan memperbaiki hubungan dengan sang anak, termasuk memperbolehkan Luna dekat dengan Haruki. Tatkala Luna menyangka keadaan mulai membaik baginya maupun Haruki, musibah mengerikan lain terjadi pada Haruki.



REVIEW:
    “Dalam anggukan pelan Luna, Haruki merasakan punggung bekunya dijalari kehangatan, seolah ada yang tengah memberikan Haruki kekuatan dari usapan pelan tangannya. Begitu menenteramkan. Karena baginya, Luna bukan saja memberi uluran tangan untuknya, tapi seperti tidak menolak untuk hanyut dalam sebuah luka. Yang membuat ketakutan Haruki otomatis hilang, berganti sebuah harapan untuk mengubah makna ‘sebentar’ yang dia ucapkan dengan makna ‘selamanya’.” (hal. 201)

    “Bagian dari merindukan seseorang adalah bersahabat dengan ketidakpastian dan berteman dengan air mata.” (hal. 223)

“Kejujuran adalah tugas manusia yang paling sulit.”
(hal. 310)

Novel ini bertema kehidupan remaja di kota besar. Diwakilikan dua tokohnya, Haruki dan Luna, dengan menggunakan alur flashback. POV menggunakan sudut pandang orang ketiga, ‘mata yang tahu sgealanya’, namun pendekatannya terasa ‘aku’, karena penulis membagi buku dalam beberapa bab dengan judul ‘Memori Luna’ dan ‘Memori Haruki’. Kisah nyaris keseluruhan bersetting tahun-tahun akhir Haruki dan Luna bersekolah di SMA Bina Bhakti. Menurut saya, seperti layaknya novel lain, dua tokoh utama memiliki karakter yang bertolak belakang, dibumbui konflik perbedaan status sosial, permasalahan keluarga, juga kenakalan remaja.

Karakter Haruki sangat menonjol di sini. Sosok remaja blasteran Jepang – Indonesia, dengan kedua orangtua telah berpisah, mama yang berperan sebagai orangtua tunggal sambil bekerja di restoran, kehidupan ekonomi keluarga yang tak berlimpah harta, namun tetap selalu ceria dan bersemangat sekolah. Kisah keluarga Haruki mewakili kisah-kisah anak yang terpisah dengan salah satu orangtua, lantas merasa tak diinginkan. Hanya saja, di sini Haruki digambarkan sebagai sosok remaja yang berhati besar dan kuat sehingga tak melampiaskan kekecewaannya pada hal-hal negatif. Luna di lain sisi, adalah remaja perempuan yang tak pernah berani mengambil keputusan sendiri, kerap dimanfaatkan teman untuk kepintarannya, sosok siswi teladan yang dipuji guru atas kepatuhan dan prestasi akademis. Namun di balik itu semua, Luna sebenarnya tertutup, pendiam, cenderung polos dan pemalu, dan merasa tertekan atas tuntutan orangtua untuk selalu menjuarai peringkat kelas maupun sekolah. Saya sampai dibuat sangat gemas dengan tabiat Luna yang terkesan lemah, berkali-kali tak bisa mengatakan ‘tidak’ untuk pada akhirnya tak bahagia. Karakter ini kemudian menjadikan Haruki sosok pemberani yang lebih aktif mendekati Luna, berusaha menjadi temannya, dan berinisiatif melindungi. Tekanan keluarga Luna sekaligus menggambarkan permasalahan yang menimpa sebagian besar remaja masa kini. Di mana persaingan sangat ketat di masa sekarang dan secara umum prestasi akademislah yang dianggap akan menjamin masa depan, selain karena kurikulum pendidikan juga yang membuatnya demikian. Kondisi ini memicu kecurangan dan tindakan-tindakan tidak sportif lainnya. Komunikasi antara orangtua – anak juga disoroti, bahwa orangtua juga harus bersikap hangat, bijak, jangan melulu menuntut tapi alpa menyediakan telinga untuk mendengar dan hati untuk menyayangi. Anak tak cukup dilimpahi materi, tapi juga butuh perhatian. Pesan ini juga tercermin dari karakter Chika, Boy, dan Eros, teman-teman Luna.

Yang agak saya sayangkan dari novel ini hanyalah masalah teknis penulisan, terkait masih ada typo dan kekurangtelitian penulis menyusun kalimat efektif. Secara keseluruhan, ide, alur, plot, penokohan, dan feel, saya sangat suka. Novel ini menyuguhkan twist ending yang bisa dibilang ‘berani beda’ dan mengejutkan untuk ukuran novel remaja. Juga sanggup ‘memaksa’ saya menitikkan air mata. Wajib dibaca adik-adik remaja yang butuh cerminan kegalauan dengan pesan yang positif.




Jumat, 14 Juli 2017

[RESENSI] Carisa dan Kiana: Dua Kisah Pencarian Jati Diri

Posted by Menukil Aksara | 8:29:00 AM Categories:

Judul       : Carisa dan Kiana
Penulis   : Nisa Rahmah
Editor     : M. Adityo Haryadi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : pertama, 2017
Tebal      : 208 hlm.; 20 cm
   
BLURB:

Lima fakta tentang Carisa: pintar berorganisasi, judes apalagi jika berhubungan dengan Stella, diam-diam punya bakat dalam bermusik, menyukai Rama (sahabatnya sendiri), dan menyimpan kisah kelam tentang keluarganya.

Lima fakta tentang Kiana: jagoan sains SMA Pelita Bangsa, pemalu, bersahabat dengan Stella si cewek populer, menjalin komunikasi misterius dengan cowok terkenal di sekolahnya, dan menyayangi Papa melebihi apa pun di dunia.

Rama bersaing dengan Rico, pacar Stella, dalam pemilihan ketua OSIS SMA Pelita Bangsa. Strategi kampanye yang diusung Carisa sebagai ketua tim sukses Rama, terbukti jitu. Stella jadi berang dan mengembuskan gosip tidak sedap tentang Carisa dan Rama.

Carisa berniat melabrak Stella. Namun hanya ada Kiana, dialah yang diserang Carisa hingga terjadi kecelakaan kecil. Orangtua Carisa dan Kiana pun dipanggil. Di pertemuan orangtua itu, satu rahasia tentang keluarga mereka terungkap.

Bagaimana Carisa dan Kiana menghadapi kenyataan baru yang mengubah cara pandang mereka akan hangatnya keluarga? Apa yang harus Carisa dan Kiana lakukan saat menyadari mereka sama-sama menyukai Rama?

SINOPSIS:

“Kiana punya kesimpulan sendiri kenapa Stella begitu benci dengan Carisa. Mereka bagai dua bintang yang bersinar paling terang di antara murid-murid SMA Pelita Bangsa.” (hal. 27)

“Saat gue percaya gue lahir ke dunia karena ada suatu sebab, saat itu gue berhenti menyalahkan diri sendiri. Setiap orang punya masalah. Cara menyelesaikan masalah adalah dengan menghadapinya, bukan dengan menghindarinya lalu memutuskan untuk mengakhiri nyawa.” (hal. 135)

Carisa bersahabat baik dengan Rama awalnya disebabkan kesamaan organisasi sekolah. Lantas diperkuat ketika kakak perempuan Rama meminta bantuan Carisa untuk kepentingan tugas kuliah. Di sekolah, kini Carisa dan Rama sedang disibukkan dengan kampanye pencalonan diri Rama sebagai Ketua OSIS. Carisa yang berbakat berorganisasi ikut menyusun visi dan misi dan didaulat menjadi ketua tim sukses. Di kubu lain, ada Rico yang juga maju mencalonkan diri, dengan pacarnya Stella sebagai tim sukses. Sayangnya, Stella dan Carisa diketahui memang bersaing sejak lama. Stella yang cantik, kaya, dan populer, sedangkan Carisa disegani karena bakat berorganisasi dan bermusik (yang masih sembunyi-sembunyi). Apalagi ketika pendekatan kampanye direct selling usulan Carisa terbukti jitu. Stella yang dengki pun melakukan cara tidak sportif demi menjatuhkan tim Rama. Stella menyebarkan foto fitnah Carisa dan Rama lalu menghilang. Carisa yang marah mencari Stella, namun hanya menjumpai Kiana. Kiana dikenal dekat dengan Stella. Sebenarnya ini pun bukan pertemanan yang sehat, karena Stella hanya memanfaatkan Kiana yang pintar, juara olimpiade sains, dan ketua eskul KIR (Kelompok Ilmiah Remaja). Namun karena sedang dikuasai emosi, Carisa melabrak Kiana hingga terjadi insiden kecelakaan kecil. Akibatnya, ibu dari Carisa dan papa dari Kiana dipanggil menghadap ke sekolah, Carisa diancam diskors, dan Rama dipaksa mundur dari pencalonan. Tak disangka, pertemuan kedua orangtua mengungkap sebuah rahasia masa lalu ibu dari Carisa dan papa dari Kiana. Carisa dan Kiana ternyata adalah saudara satu ayah.

Dari insiden itu pulalah, Carisa lebih mampu mengenal sosok Rico yang sebenarnya. Tentang hubungan tak sehatnya dengan Stella yang bermasalah dan Rico ikut mendapat pamor kurang bagus. Semenjak Stella diskors karena akhirnya terbukti bersalah dalam insiden pemfitnahan lalu dikabarkan pindah sekolah, Rico yang otomatis terpilih menjadi Ketua OSIS menyusul mundurnya Rama mulai mendekati Carisa. Ini demi tujuan merealisasikan syarat dari Rama. Rico yang mengajak Rama bergabung sebagai wakil ketua harus mengajak Carisa juga sebagai pengurus. Penawaran Rico awalnya ditolak Carisa, namun karena suatu hal, Carisa akhirnya menerima. Tak hanya itu, Carisa juga menggantikan posisi Rico dalam band sekolah, Orion. Dari sinilah kedekatan Carisa – Rico bermula. Di lain pihak, Rama yang sempat ‘dijauhi’ Carisa, malah menjadi dekat dengan Kiana. Ternyata keduanya pernah berteman dan saling kirim surat diam-diam, namun terputus. Perkembangan hubungan keempat orang ini mengubah segalanya.

Terkait rahasia keluarga yang terungkap, Carisa dan Kiana belum bisa sepenuhnya menerima. Kiana terus menghindar dari papanya dan tidak mau memaafkan, pun tidak menerima Carisa. Hingga suatu hari, sebuah insiden lain yang melibatkan Carisa dan ayah tirinya memaksa Carisa lari dari rumah dan bersembunyi di kantor papa kandungnya. Ibunya sendiri tak tahu menahu dan sedang bekerja di luar negeri. Tapi berkat insiden ini, Kiana memahami sekaligus iba pada Carisa dan perlahan mulai menerima. Bahkan Kiana berencana menggantikan posisi Carisa dalam perlombaan musikalisasi puisi antar sekolah ketika Carisa sakit. Hubungan yang mencair ini bertahan hingga perlombaan band antar sekolah dengan Carisa terlibat di dalamnya bersama band Orion.






REVIEW:

“Ketika seorang anak belajar apa pun dalam kehidupannya, sebenarnya orangtua sedang belajar bagaimana cara menjadi orangtua yang baik.” (hal. 185)

“Bukan hanya kata yang menjadikan cinta tetap ada, tetapi dengan tindakan yang akan membuat cinta melekat selamanya.” (hal. 197)

Tema remaja dengan pernak-pernik kehidupan lengkap dengan masalahnya lagi-lagi menjadi andalan novel, termasuk yang satu ini. Kali ini ada dua tokoh utama remaja perempuan yang ditampilkan. Kiana, mewakili sosok remaja perempuan yang berprestasi secara akademis, pintar dalam bidang sains, meski tak terlalu populer dari segi pergaulan. Kiana memiliki keluarga yang bahagia, meskipun sang mama telah tiada. Dia juga diceritakan dekat dengan papa dan adik laki-lakinya. Carisa, dia wajah remaja berbakat di luar bidang sains dan pandai bergaul. Carisa yang organisatoris juga berbakat dalam bidang musik (dia mahir memetik gitar dan menggebuk drum). Sayangnya, hubungan dengan sang ibu tidak dekat, bahkan bisa dikatakan Carisa merasa tak disayangi oleh ibunya yang aktivis lingkungan hidup. Saya suka dua tokoh ini ditonjolkan dan ‘dipertentangkan’ dalam novel. Plus ada Rico dan Rama yang nggak kalah menarik. Terutama Rico, yang ‘bertransformasi’ dari sosok populer, tipikal anggota band yang dipuja-puji karena fisik dan punya pacar cantik, namun datang dari keluarga ‘broken home’ menjadi sosok dengan sisi baik dan dia jadi karakter favorit saya, selain Carisa. Rama di lain sisi, berkepribadian hangat, agak pemalu, dan memiliki dua kakak dengan keluarga harmonis.

Novel berkover imut ini tipis, alurnya cepat, dengan konflik yang padat. Sebenarnya saya suka dengan semua elemennya, kecuali bagian konflik. Menurut saya, ada bagian konflik yang sebaiknya dipangkas saja karena kurang krusial bagi keseluruhan cerita. Misalnya, tokoh ayah tiri Carisa yang sangat minim dieksplor—kecuali bagian rahasia kelam dengan Carisa. Mungkin bisa dihilangkan saja, digantikan dengan alasan logis lain jika terkait konflik Carisa dengan ibunya. Atau, halaman bisa ditambah, cerita lebih dikembangkan. Elemen-elemen kecil seperti puisi Sapardi Djoko Damono yang ditampilkan dalam musikalisasi puisi, pengetahuan ilmiah yang disisipkan dalam pekan sains, syair lagu “Counting Stars” dan pertunjukan band, bagi saya sangat mendukung. Menjadikan novel teenlit ini tak hanya berbobot, cerdas, juga menghibur. Recommended bagi para pembaca belia yang haus bacaan ringan dan sesuai dengan irama kehidupan mereka.

Sayangku yang jauh,
entah berapa kali
telah kukelilingi taman kota ini;
telah tergolek di atas rumput, sobekan-
sobekan kertas, embun, pecahan botol;
telah bermantel sinar bintang-bintang
dan angin yang panjang nafasnya; aku
tak pernah tidur, menunggumu.
(penggalan sajak “Lirik untuk Improvisasi Jaz”, karya Sapardi Djoko Damono)

Kamis, 13 Juli 2017


Judul      : Then & Now – Dulu & Sekarang
Penulis   : Arleen A
Editor     : Dini Novita Sari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : pertama, 2017
Tebal      : 344 hlm.; 20 cm


BLURB:

    Ini kisah cinta biasa; tentang dua pasang kekasih yang harus berjuang demi cinta. Namun, bukankah tidak pernah ada kisah cinta yang biasa?

Ruita
    Gadis dari suku telinga pendek. Ia tidak menyukai suku telinga panjang, apalagi kalau harus bekerja pada mereka. Tapi lalu ia melihat mata itu, mata seorang lelaki suku telinga panjang yang sorotnya seolah dapat melihat kedalaman hati Ruita.

Atamu
    Ia tidak pernah menyangka akan jatuh hati pada gadis dari suku lain yang lebih rendah derajatnya. Tapi apalah arti kekuatan lelaki berusia enam belas musim panas bila dihadapkan pada takdir yang lama tertulis sebelum dunia diciptakan?

Rosetta
    Ia punya segalanya, termasuk kekasih yang sempurna. Tapi ketika dilamar, ia menolak tanpa tahu alasannya. Ia hanya tahu hatinya menantikan orang lain, seseorang yang belum dikenalnya.

Andrew
    Ia hanya punya enam bulan untuk mencari calon istri, tapi ia tidak tahu dari mana harus memulai sampai ia melihat seorang gadis berambut merah. Dan begitu saja, ia tahu ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan gadis itu.


SINOPSIS:

    “Saat itulah aku melihat sepasang mata itu. Sepasang mata yang tak akan kulihat jika aku tidak sengaja menumpahkan kuah dan dihukum menyapu kandang ayam.” (Ruita, hal. 26)
    “Ketika pintu lift terbuka, mata itu yang pertama kulihat. Sepasang mata oriental. Aku bahkan tidak melihat wajah tempat mata itu terletak. Dan dalam sekejap, dunia seolah hilang tanpa jejak.” {Rosetta, hal. 192)

    Ini kisah cinta dua pasangan yang berbeda zaman. Novel lantas dibagi menjadi dua masa, dulu dan sekarang. Di masa dulu, ada dua suku yang mendiami sebuah pulau terpencil yang dikelilingi lautan, Pulau Rana Pui. Suku Momoki atau suku telinga pendek yang kastanya rendah dan merupakan suku pekerja, dan suku Eepe atau suku telinga panjang yang berkasta lebih tinggi dan menjadi tuan tanah sekaligus majikan suku Momoki. Kehidupan di masa ini masih primitif dengan segala adat, aturan, dan ritme hidup yang cenderung monoton. Ruita, anak gadis suku Momoki digambarkan memiliki karakter kritis dan sering berpikir tidak suka dengan suku Eepe, apalagi jika harus bekerja melayani mereka, seperti yang dilakukan hampir semua wanita sukunya. Namun, takdir berkata lain. Ketika wanita tetangga sekaligus kawan baik ibunya mengalami cedera saat bekerja, Ruita diperintahkan sang ibu menggantikannya. Dengan enggan dan kemudian sengaja melakukan kecerobohan, Ruita justru melihat sepasang mata milik anak majikan yang awalnya mencuri lihat padanya. Pertemuan tak disengaja di pasar di kemudian hari, saling sapa, akhirnya menimbulkan ketertarikan nyata sekaligus kedekatan Ruita dan sang anak majikan yang bernama Atamu. Mereka lantas selalu memiliki janji temu diam-diam di sebuah sudut pantai tersembunyi. Masalah timbul ketika Vai melamar Ruita. Vai yang juga merupakan teman kakak Ruita itu memang sudah lama mencintai Ruita. Adat dan persetujuan orangtua membuat Ruita tak mampu menolak. Rencana pemberontakan para pria suku Momoki atas suku Eepe juga memperkeruh suasana. Beralasan kebebasan dan tak sudi diperbudak, rencana ini bulat akan dijalankan. Tatkala Vai memergoki hubungan rahasia Atamu dan Ruita, ia pun marah dan bertekad mempergunakan kesempatan pemberontakan untuk membalaskan sakit hati. Di sinilah akhirnya kisah Ruita, Atamu, dan Vai menemukan jalan takdirnya.

    Sedangkan di masa sekarang, kisah menyoroti sosok putri konglomerat pemilik kerajaan bisnis Hotel Grimson, Rosetta. Hidupnya nyaris sempurna, dengan orangtua penyayang, kakak laki-laki yang dapat diandalkan, seorang sahabat baik, dan tunangan kaya raya yang memenuhi syarat sebagai calon suami sempurna. Namun Rosetta menolak lamaran tunangannya, Henry. Dia merasa ada lubang di hatinya yang entah harus diisi apa/siapa dan dia tak merasa cukup mencintai Henry hingga bersedia menjadi istri. Diane sahabatnya saja sampai menganggap Rosetta aneh. Di lain pihak ada Andrew, cucu sekaligus pewaris tunggal perusahaan ritel raksasa, Village Way. Andrew yang yatim piatu sangat diharapkan sang kakek mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kesuksesan perusahaan keluarga yang telah dirintis susah payah dari nol. Namun sayang, Andrew yang cerdas tapi introvert itu gagal menunjukkan kepiawaian melobi, memperluas relasi dan koneksi. Andrew cenderung lebih suka mengurung diri di luar bekerja, nyaris tak punya teman, dan lebih suka bermain piano warisan mendiang sang ibu. Oleh sebab itu, Jacob Lee sang kakek terpaksa ‘mengusir’ Andrew dari penthouse, menyita piano kesayangannya, dan mengultimatum Andrew untuk menunjukkan bahwa dia tetap bisa mandiri tanpa bantuan sang kakek, sekaligus dalam waktu enam bulan mengenalkan seorang calon istri. Richard, sahabat Andrew pun ikut pusing, meskipun dia tak keberatan menampung Andrew sementara waktu di apartemennya. Hingga suatu hari, saat mencari lowongan pekerjaan, Andrew melihat sosok Rosetta dengan rambut merahnya. Tanpa sadar dia mengikuti hingga masuk ke Hotel Grimson. Dari sinilah keberuntungan Andrew dimulai. Dia diterima bekerja sebagai concierge (atau bellboy) di hotel milik keluarga Rosetta dan berkesempatan bertemu bahkan nekat berkenalan dengan Rosetta. Hubungan Andrew-Rosetta sempat mengalami naik-turun dan putus-nyambung. Kehadiran Henry yang masih tak rela lamarannya ditolak, menjadi salah satu penyebab. Rahasia Andrew terkait latar belakang keluarga yang dia sembunyikan dari Rosetta pun menjadi penyebab lain keretakan. Andrew harus memperjuangkan cintanya jika ingin bahagia bersama Rosetta.




REVIEW:

    “Aku memang tidak takut jika harus mati berdua di tengah lautan dengan Atamu. Malah jika disuruh memilih di antara hidup tanpa dirinya atau mati di dalam pelukannya, aku akan memilih yang kedua.” (hal. 105)

    “Bagaimana jika aku sudah pulang? Bagaimana jika ini adalah rumahku sekarang?” tanyanya. Dan dua kalimat itu menghantamku seperti bola bowling menghantam berantakan sepuluh pin sekaligus. Apakah yang terjadi sebenarnya bukan aku yang memberinya pelajaran tapi dia yang telah memberiku pelajaran?” (hal. 321)

    “Mengapa matanya yang kulihat di antara jutaan mata yang lain? Apakah mungkin itu memang sudah diatur dari sananya?” (hal. 334)

     Kisah yang menggunakan POV orang pertama ‘aku’ secara bergantian ini mengasyikkan karena saya bisa merasakan langsung dan tahu persis apa yang dipikirkan oleh para tokohnya. Bisa diketahui ‘aku’ yang sedang berkisah lewat judul di tiap bab dengan nama tokoh. Karakter-karakternya pun menarik. Saya pribadi lebih menyukai karakter para tokoh utama di masa sekarang. Mereka lebih dinamis, begitu juga kehidupan yang dijalani. Ada lebih banyak kejutan, adegan romantis, dan konflik yang lebih kompleks.

    Saya suka perkembangan karakter Andrew yang awalnya tertutup perlahan lebih membuka diri, lebih mampu bersosialisasi, lebih berani mengambil peluang sekaligus memperjuangkan cinta. Juga kesetiawakawanan Richard dan Diane sebagai sahabat. Tema cinta yang ditentang karena perbedaan status sosial tidak akan dijumpai di masa Andrew dan Rosetta, meskipun Andrew sempat tak mengungkap identitas aslinya. Berbeda dengan masa Ruita dan Atamu yang diwarnai perbedaan mencolok status sosial dan plotnya pun terkesan agak flat dengan gereget perjuangan cinta yang nyaris tak terlihat. Mereka seakan ‘dipaksa’ menyerah pada takdir.

   Dari segi tema, kisah ini telah dikatakan dalam blurb merupakan kisah cinta biasa, sehingga pembaca tidak diharapkan mendapatkan tema unik atau antimainstream. Juga ide cinta pada pandangan pertama tentu terdengar ‘klise’ atau bahkan bagi sebagian orang ‘absurd’. Namun, sebagai penulis yang telah memiliki ‘jam terbang’ tinggi, Kak Arleen mampu menyulap kisah cinta biasa itu menjadi istimewa. Dengan konsep dua periode waktu berbeda, menggunakan ungkapan, “Cinta tidak mengenal apa pun. Tidak tempat, tidak juga waktu”, juga setting Rana Pui dan Amerika Serikat, deskripsi yang tepat sasaran tetap menarik bagi saya. Bumbu keluarga terutama dari kisah keluarga Jacob dan Andrew Lee juga saya sukai. Di sini saya dapatkan pesan bahwa orangtua selalu menginginkan kebaikan untuk anak-anaknya walaupun tak jarang cara mereka dianggap salah atau tak menyenangkan. Kak Arleen juga tak melupakan detail-detail kecil sebagai pemanis sekaligus poin plus yang meninggalkan kesan tak terlupakan, seperti kejutan-kejutan yang diberikan Andrew untuk Rosetta lewat memo, janji temu rahasia, dan adat pertunangan dengan kalung berliontin batu diukir khusus di masa suku Momoki. Plus bab epilog yang mengundang tanda tanya tentang turut campur takdir dalam kisah cinta. Inikah yang dinamakan 'jodoh'? Novel ringan yang manis berkover unik ini layak menjadi teman baca di waktu senggang kalian.

Selasa, 11 Juli 2017

[RESENSI] Golden: Pilihan Atas Sebuah Momen Perubahan

Posted by Menukil Aksara | 11:12:00 AM Categories:





Judul                  : Golden
Penulis              : Jessi Kirby
Penerjemah      : Wisnu Wardhana
Penyunting      : Adeliany Azfar
Penerbit           : Spring
Cetakan           : pertama, Januari 2017
Tebal                : 308 hlm; 19 cm

BLURB:
Parker Frost belum pernah mengambil risiko. Dia akan lulus SMA sebelum sempat mencium cowok yang dia sukai. Jadi, saat nasib menjatuhkan buku catatan Julianna Farnetti ke pangkuannya—buku catatan yang mungkin bisa membongkar misteri kota tempat tinggalnya—Parker memutuskan untuk mengambil kesempatan itu.
Julianna Farnetti dan Shane Cruz dikenang sebagai pasangan ideal di SMA Summit Lakes, sempurna dalam segala hal. Mereka meninggal dalam kecelakaan di malam bersalju, meninggalkan hanya sebuah kalung, tanpa jenazah. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu.
Hanya saja, tidak semua kebenaran ingin ditemukan...




SINOPSIS:
“Aku merasa perlu mengingatkan diri sendiri bahwa hanya karena seseorang menulis, tidak akan membuat seseorang itu menjadi nyata.” (hal. 14)


“Aku harus melakukan sesuatu yang tidak terduga, yang akan meninggalkan kenangan yang bisa kusimpan dan kuingat. Suatu pengalaman dan bukannya tujuan. Tapi sepertinya, pengalaman-pengalaman yang kau ingat, hal-hal yang akan selalu kau kenang, bukanlah yang bisa kau paksakan, atau kau cari. aku selalu berpikir hal-hal seperti itu, entah bagaimana, yang akan menemukanmu.” (hal. 38)

Parker dan Kat adalah dua murid SMA kelas senior yang bersahabat baik, meskipun karakter mereka bertolak belakang. Parker yang pintar, berprestasi, punya kesempatan mendapat beasiswa berkuliah di Stanford, sekaligus di bawah ‘kendali’ sang ibu dalam tiap jengkal pilihan hidupnya. Dia tipikal gadis remaja yang ‘lurus-lurus’ saja. Lain hal dengan Kat yang ekspresif, berani ambil risiko, kerap melakukan ‘pelanggaran’, namun juga setia kawan. Di tahun akhir sekolah, keduanya mengalami masa dilema persahabatan, karena jelas Parker akan melanjutkan kuliah ke kota lain, sedangkan Kat tidak. Kat sering menggoda Parker untuk tak melewatkan masa akhir sekolahnya begitu saja. Setidaknya dia harus melakukan hal yang diinginkan, yang tak terduga, yang di luar kebiasaannya. Kesempatan itu secara mengejutkan datang, ketika Parker yang menjadi asisten guru bahasa Inggris, Mr. Kinney diserahi tugas mengurusi jurnal para siswa senior sepuluh tahun lalu untuk dikirimkan. Yap, Mr. Kinney yang merupakan guru favorit Parker ini punya kebiasaan unik, yaitu tiap musim semi ia memberikan tiap murid senior sebuah jurnal mengarang. Sisa tahun ajaran kemudian diisi dengan tugas mengisi jurnal. Diisi dengan hal-hal yang menggambarkan mereka saat itu, yang mungkin akan mereka lupakan bertahun-tahun kemudian. Di bulan Juni sepuluh tahun kemudian, jurnal-jurnal tersebut akan dikirimkan ke alamat mereka. Nah, Parker ternyata mendapati jurnal milik legenda kota, Julianna Farnetti.
Didorong oleh rasa ingin tahu yang kuat dan terngiang kata-kata Kat tentang pengalaman tak terduga, Parker memutuskan membaca isi jurnal Julianna dan betapa kagetnya dia ketika menemukan sebuah fakta yang tak semua orang ketahui tentang kisah cinta Julianna – Shane. Ada orang ketiga di hati Julianna. Dibantu Kat dan Trevor Collins (cowok teman sekelas yang sudah lama ditaksir Parker), Parker memulai petualangan masa akhir sekolahnya. Berdasarkan petunjuk di dalam jurnal dan temuan lain, mereka bertiga menelusuri jejak ‘keberadaan’ Julianna. Walaupun pada akhirnya kecewa, pengalaman itu memberi pelajaran berharga dan memengaruhi keputusan penting yang diambil Parker di kemudian hari.



REVIEW:
“Bagian favoritku dari kisah cinta mana pun adalah permulaannya. Seperti Romeo yang merayu Juiet untuk menciumnya, orang yang sama sekali asing, di suatu pesta dansa. Atau Noah yang memanjat kincir ria untuk mengajak Allie berkencan dalam ‘The Notebook’. Permulaan adalah keajaiban.” (hal. 95-96)

“Pertanyaan itu berasal dari puisi karangan Mary Oliver, dan bunyinya seperti ini: ‘Apa rencana yang akan kau lakukan pada satu-satunya hidupmu yang liar dan berharga?’” (hal. 287)

“Tapi terkadang, hidup memberi kita momen-momen yang langka itu di mana kita benar-benar melihat kesempatan yang sedang terjadi. Dan dalam momen itu, kita punya pilihan. Dan terkadang kita harus mengambil risiko. Dan itu menakutkan. Itu membuat kita rapuh. Tapi saya tahu itu pantas dilakukan.” (hal. 289)

Jika ditanya, novel terbitan Spring dengan kover dan kisah favorit, sejauh ini Golden masih masuk dalam daftar teratas. Novel remaja yang nggak hanya asyik dibaca, tapi padat kutipan dan hikmah keren. Terjemahannya oke, sama sekali nggak mengecewakan. Tema problematika remaja yang diangkat pun tetap up-to-date, layak untuk pembaca remaja masa kini.
Saya suka karakter Parker yang mengalami dilema dengan diri sendiri, mencari-cari pembenaran atas jati dirinya, keinginan sesungguhnya yang ingin dia raih demi kebahagiaan. Di lain sisi, ibunya yang memiliki masa lalu mengecewakan, termasuk masalah dengan ayah dari Parker seakan membebankan impian tak kesampaiannya ke pundak sang putri semata wayang. Di sinilah letak konflik utama selain misteri kecelakaan Julianna-Shane. Ada juga karakter Kat yang membuat cerita ini lebih berwarna. Prinsip hidupnya yang sederhana, karakternya yang ceria membuat kisah persahabatan dalam novel ini menyenangkan, mengingatkan kita akan masa remaja yang penuh petualangan. Karakter Julianna sendiri yang digambarkan nyaris sempurna sekaligus misterius, membuat saya benar-benar tak sabar mengungkap rahasia besarnya. Chemistry dan ‘permainan’ tarik-ulur Trevor dan Parker pun membuat saya tersenyum-senyum, walaupun kisah romansa mereka tidak jadi fokus utama. Tokoh lain yang cukup berkesan meski tak terlalu menonjol tentu saja Mr. Kinney. Dia sudah pasti akan mengingatkan kita pada sosok guru favorit yang mengajar dengan cara menyenangkan dan kreatif.
Dari segi alur, memang ada dinamika, di mana di awal hingga pertengahan agak lambat, namun tetap ada adegan-adegan menegangkan. Di jelang akhir, akan menjadi bagian yang tak mungkin saya lewatkan dan saya terpuaskan dengan akhir yang disuguhkan penulis. Meskipun, layaknya fiksi, kisah ini memiliki aspek-aspek ‘kebetulan’ yang bisa jadi terlalu indah jika ada di dunia nyata, hehe...
Bagi penggemar puisi, terutama fans Robert Frost, kalian akan dimanjakan oleh tersebarnya kutipan-kutipan puisi terbaik Frost di sini, mengingat Parker dan ayahnya diceritakan mengagumi penyair satu ini. Tertarik membaca novel remaja terjemahan berkover kece ini? Saya jamin suka, deh, apalagi jika kalian penggemar teenlit Amerika.

[RESENSI] Momiji: Hargailah Dirimu Sebelum Meminta Orang Lain Menghargaimu

Posted by Menukil Aksara | 7:36:00 AM Categories:





Judul           : Momiji
Penulis        : Orizuka
Penyunting: Selsa Chintya
Penerbit     : Inari
Cetakan      : pertama, Mei 2017
Tebal          : 210 hlm; 19 cm

BLURB:


Patriot Bela Negara lelah punya nama seperti itu, terutama karena dia memiliki fisik dan mental yang sama sekali tidak seperti patriot, apalagi yang siap membela negara.
Seumur hidupnya, Patriot diolok-olok hingga akhirnya dia memutuskan memberontak. Dia jadi gandrung Jepang, belajar bahasa Jepang, dan punya cita-cita pergi ke Jepang untuk bertemu Yamato Nadeshiko—tipe wanita ideal versi Jepang.
Di usianya yang kedua puluh, Patriot akhirnya berada selangkah lebih dekat dengan cita-citanya itu. Dia menginjak Jepang untuk ikut program pendek musim gugur di Osaka dan beruntung baginya, orangtua inang tempatnya homestay punya anak gadis seusianya!
Shiraishi Momiji, gadis itu, mungkin adalah buah penantiannya selama ini.
... Atau mungkin bukan.

SINOPSIS:

“Mungkin, dulu Ibuk memberiku nama itu dengan maksud supaya aku tumbuh jadi anak yang kuat dan bisa membela negara. Sayangnya, doanya berbalik seperti bumerang.” (hal. 5)

““Jangan-jangan... “ Gadis itu kembali menggeram, dengan mata menyipit curiga. “PENCURI SUSU?”
Aku ingin menyangkal tuduhan bego itu, tetapi aku begitu panik melihat pedang yang sekarang teracung ke arahku. Refleks membuatku mengacungkan kedua tangan ke atas. Kotak susu terlepas dari peganganku, lalu jatuh ke lantai.”
(hal. 15)

Patriot Bela Negara—yang lantas mendapat panggilan Pabel dari teman-teman sekolahnya—selalu merutuki nama pemberian orangtuanya yang terdengar aneh dan bersikap mengasihani diri sendiri karenanya. Ejekan teman-teman sebaya turut memperkeruh suasana. Sebagai seorang introvert, dia pun tumbuh dengan anggapan dia boleh memendam dendam pemberontakan sehingga alih-alih bersikap layaknya seorang patriot, dia justru menjadi otaku (orang yang terlalu menggemari sesuatu hingga terobsesi) yang gandrung negara lain (di kasus Pabel adalah Jepang). Pabel kemudian bercita-cita berjumpa seorang tipe wanita ideal Jepang dan menabung demi impiannya. Tak sabar dengan hal itu, Pabel pun memutuskan mengikuti program pendek musim gugur sebuah lembaga kursus bahasa ketimbang menunggu kesempatan beasiswa.
Dia bahagia mengetahui orangtua inangnya (keluarga Shiraishi) di jepang memiliki seorang anak gadis sebaya, yang meskipun dikatakan tidak sedang di rumah tanpa alasan jelas, tak ayal sempat melambungkan angan Pabel. Sayangnya, perjumpaan pertama Pabel dengan si anak gadis yang sangat mengejutkan sekaligus ‘traumatis’, lekas mengusir pergi khayalan. Momiji, gadis berpenampilan yankii (anak badung), berambut panjang merah menyala, dan sama sekali jauh dari kesan feminin ala Chitanda Eru impian Pabel. Tak hanya itu, Momiji ternyata bertahun-tahun kabur dari rumah dan baru saja kembali. Dia pun kelebihan kepercayaan diri dan suka bertindak seenaknya, termasuk ‘menawarkan diri’ menjadi pengawal pribadi Pabel selama di Osaka dengan digaji (lol). Pabel yang penakut dan pengecut tak kuasa menolak, apalagi Nanami-san sang ibu dari Momiji membujuknya dengan alasan demi memata-matai gerak-gerik anaknya. Keseruan dan kelucuan interaksi antara Pabel dan Momiji-lah yang paling banyak mengundang tawa saya. Dua kepribadian yang sangat jauh berbeda. Pabel acapkali dibuat kesal dan ketakutan. Dan, ketika di tempat kursus ternyata ada seorang gadis jelmaan Yamato Nadeshiko bernama Sanjo Kanon, Pabel justru dipermalukan oleh Momiji walaupun dalihnya untuk menolong mendekatkan dengan si gadis pujaan. Momiji ternyata punya kisah masa lalu tak menyenangkan yang melatarbelakangi perubahan penampilan dan sikapnya, terkait bakatnya sebagai peseluncur indah. Hingga suatu hari, sebuah insiden mempertemukan kembali Momiji dengan geng motor yang pernah dikenalnya selama kabur dari rumah. Pabel sempat menjadi ‘penyelamat’ yang pemberani sebelum Nanami-san datang menolong. Dan, dalam peristiwa inilah rahasia besar Nanami-san yang hanya diketahui sang suami terungkap. Dari kebersamaan yang cukup singkat, Pabel banyak mengambil pelajaran dari Momiji sekeluarga, termasuk perubahan sikapnya yang lebih bangga pada tanah air dan tak lagi memandang rendah dirinya (juga nama pemberian ibunya).




REVIEW:

“Aku ingin melihat Momiji berubah merah secara sempurna, layaknya semua momiji di musim gugur.” (hal. 203)

Momiji yang diambil dari nama sejenis pohon maple (sering dikenal juga sebagai maple Jepang), dengan bentuk daun khas dan warna yang berubah indah ketika musim gugur merupakan sebuah ide brilian sebagai judul sekaligus nama tokoh utama novel ini. Filosofi yang disuguhkan Orizuka terkait momiji pun mengena, membuat kisah ini tak sekadar menghibur tapi juga kaya pesan. Orizuka juga melakukan riset dengan baik, sehingga deskripsi dan jiwa budaya Jepang cukup terasa di dalam novel. Juga plus nilai dengan memasukkan istilah-istilah Jepang yang dibantu dengan tersebarnya catatan kaki. Penggambaran keluarga Shiraishi pun sangat saya sukai. Mereka tipikal keluarga kebanyakan yang ‘nyentrik’ sekaligus hangat. Karakter ibu dan ayah yang bertolak belakang, anak laki-laki yang baik dan ramah, juga anak gadis yang unik membuat saya betah menikmati kisah keluarga di sini. Kovernya sangat menarik, menyenangkan dipandang, cantik difoto, dan sangat mencerminkan isi. Perkembangan karakter dua tokoh utamanya juga tereksekusi dengan baik. Pesan bahwa kita butuh tantangan dan keluar dari zona nyaman untuk menyadari kelebihan dan kekuatan dalam diri. Juga pesan tentang penerimaan diri.
Novel ini tergolong tipis, dengan alur cepat, beberapa konflik yang cukup bervariasi bertema keluarga, persahabatan, maupun dilema dengan diri sendiri, dibumbui humor khas Orizuka. Sebagai novel tipis, tentu saja Momiji page turner, tipe bacaan ringan yang bisa dibaca kapan pun, bahkan mungkin dalam sekali duduk. Satu-satunya yang mungkin terasa kurang adalah karena saya ingin membaca lagi tentang Momiji dan Pabel, berharap seandainya ada cerita ketika Momiji berkunjung ke Indonesia dan membuat ulah di negeri orang, hahaha... Buat kamu penggemar budaya Jepang, yang juga butuh bacaan pencerahan dalam masa transisi remaja ke dewasa, Momiji ini sangat saya rekomendasikan. Sekali lagi, Orizuka did her great job! Tak sabar menanti karya selanjutnya dari penulis muda berbakat ini.


  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube