Jumat, 27 Oktober 2017

[RESENSI] Project D: (Bukan) Detektif Cinta

Posted by Menukil Aksara | 7:17:00 AM Categories:
Judul buku                         : Project D
Penulis                                : Elsuya
Editor                                 : Risma Megawati
Desainer sampul & grafis: Jeanne
Penerbit                             : Penerbit Clover (M&C)
Cetakan                             : pertama, 2017
Tebal buku                        : 224 hlm

BLURB:
    Project D adalah sebuah grup detective SMA, yang misinya membantu cewek-cewek agar tak tertipu oleh cowok iseng!

    Kia berinisiatif membuat Project D setelah kisah LDR-nya kandas akibat sebuah pengkhianatan. Namun jika untuk menyelesaikan misi, Kia harus berhadapan dengan Devan—cowok antisosial yang hobinya menghabiskan waktu di depan komputer—masih bisakah Kia menyelesaikan misi Project D?

SINOPSIS:
    “Di dunia ini memang tidak ada yang selalu baik-baik saja selamanya. Barangkali, termasuk hubungan Kia dan Alan.” (hal. 14)
    “Melihat Inez dan teman-temannya, mendatangkan ide di kepala Devan. Ide brilian untuk membalas Arga.” (hal. 17)
    “Ia sangat membutuhkan bantuan Devan, karena Devan adalah harapan terakhir bagi Kia untuk menyelamatkan cinta pertama dan hatinya.” (hal. 37)
    “Lo punya teman, punya keluarga, kenapa lo sampai segininya cuma buat cowok lo? Kalaupun cowok lo pergi, dunia lo juga nggak bakal kiamat, kok!” (hal. 68)

    Azkiya Naura Rahman atau yang kerap disapa Kia sedang kelimpungan. Alan, pacarnya, mendadak memberitahukan mengenai kepindahannya ke Malang. Kia was-was, akankah cinta pertamanya itu bertahan dalam hubungan jarak jauh Jakarta-Malang? Dan, seolah menjawab kekhawatirannya, Alan mulai sulit dihubungi belakangan ini. Kia harus mencari cara untuk memastikan semua baik-baik saja dengan Alan dan hubungan mereka, tapi jarak memisahkan.

    Berawal dari keisengan Arga, satu-satunya sahabat SMA-nya, Devan memutuskan membalas dengan hal konyol lain. Menitipkan sepucuk surat pada Kia, ternyata keputusan yang salah, kia bahkan tak membaca surat tersebut. justru, sekarang Devan yang kesusahan ketika tiba-tiba Kia meminta bantuannya untuk memata-matai sang pacar di Malang.

    Kia sadar dia melakukan hal konyol dan berisiko. Meminta bantuan Devan, si Mister Freak yang antisosial, berpenampilan jadul, dan selalu sibuk dengan laptop dan headphone. Jika bukan karena saran Inez yang menyatakan bahwa kemampuan IT Devan di atas rata-rata, Kia tak sudi memohon-mohon pada Devan.

    Setelah tersentil oleh ucapan Arga, Devan memutuskan membantu Kia. Tapi tak disangka, hal itu akan berbuntut panjang. Merasa tak puas dengan hasil pengintaian Devan, Kia meminta bantuan lain yang lebih sulit dan berisiko. Ketika Devan menolak, Kia malah nekat pergi ke Malang sendirian. Hanya karena iba, Devan ‘tepaksa’ menemani Kia tanpa diminta. Perjalanan tersebut membuahkan hasil, meski pahit. Kia harus menerima kenyataan bahwa cinta pertamanya harus kandas oleh sebuah pengkhianatan. Patah hati, Kia justru tak langsung ingin pulang. Devan pun terpaksa menemani gadis itu di Jatim Park lantas bermalam di sekitar Bromo.

    Selama perjalanan di Malang dan Bromo itulah, Kia menemukan fakta lain tentang Devan dan Arga, yang selama ini tak diketahui teman-teman sekolah maupun guru-guru mereka. Tentang rumor kasus pemukulan, hobi mengoleksi video porno, bahkan aktivitas apa yang sebenarnya sedang Devan lakukan akhir-akhir ini sehingga tampak sibuk dengan laptop. Devan ternyata tak seburuk yang dia duga. Hal ini ditambah pengalaman patah hatinya, menerbitkan ide untuk membentuk grup detective di kepala Kia. Nahasnya, Devan adalah orang pertama yang ingin Kia rekrut. Setelah usaha yang tak mudah, Kia berhasil membujuk Devan.

    Sayangnya, misi mulia Project D atau grup detective bentukan Kia tak berjalan mulus. Ketika nyaris tak menemukan kasus untuk diselidiki, Kia mendapat saran untuk menyelidiki April—mantan Devan—dari Arga. Namun, rencana itu sempat teralihkan oleh jadwal tur liburan sekolah ke Bali. Di Bali, Kia bersama Karen dan Inez sahabatnya akan menjalankan misi mak comblang. Tak disangka, alih-alih berhasil mencomblangi Inez dengan Rio sang ketua OSIS, Kia justru mengalami insiden yang berujung saling curiga dengan Karen.

    Perang dingin Kia dan Karen berlanjut hingga usai liburan. Belum juga ketahuan dalang pemicu konflik ini, Kia menyaksikan fakta tak menyenangkan atas April dan sang pacar, Reymond. Bahkan, tak lama kemudian, Reymond dikabarkan terjatuh dari tangga dan terluka. Kali ini, Kia, Devan, dan kawan-kawan mau tak mau bersatu mengungkap satu per satu misteri dan menemukan siapa yang harus bertanggung jawab atas terjatuhnya Reymond, sekaligus menyelesaikan masalah antara Kia dan Karen, juga dilema hati yang dialami Kia dan Devan terkait perasaan masing-masing.

REVIEW:
    “Sekarang, Kia punya dua kasus yang menunggu untuk diselesaikan. Kia tersenyum puas karena sepertinya menjadi detective mulai membuatnya sibuk! Kesibukan yang menyenangkan.” (hal. 117)
    “Semua orang berubah, kan? Sama seperti perasaan kamu.” (hal. 205)
    “Itulah yang membuat gue iri sama persahabatan cowok... Bahkan setelah sederet kejadian mengerikan, mereka bisa tiba-tiba bersahabat tanpa ada kata-kata manis penuh penyesalan, maaf, dan lain sebagainya layaknya cewek.” (hal. 206)
    “Kali ini, tanpa perlu bantuan Devan, tanpa perlu membuat grup detective, tanpa perlu membawa embel-embel Project D, Kia sudah mampu membuat keputusan.” (hal. 208)

    Menggunakan sudut pandang orang ketiga, dengan alur maju, novel remaja yang didominasi setting Jakarta ini menawarkan format cerita yang cukup berbeda dari novel-novel remaja lain. Masih dengan ciri khas novel remaja yang ceria, gaya bercerita yang santai dan mengalir, kali ini saya diajak mengikuti kisah Kia dan Devan dengan pernak-pernik dunia remaja mereka, termasuk kenakalan remaja, dengan sentuhan gaya detektif. Kasus yang diangkat memang bukan kasus berat semacam pembunuhan, karena ini bukan novel misteri-thriller, tapi lebih kepada kasus yang melbatkan hubungan antar remaja di sebuah SMA, termasuk kisah cinta mereka. Alurnya cepat, plotnya cukup rapi, termasuk teka-teki dan petunjuk yang disebar sepanjang cerita. Saya merasa tergelitik untuk ikut berspekulasi atau sekadar menebak-nebak ‘siapa dan kenapa’.

    Karakter para tokoh utama, terutama Kia dan Devan menarik, karena mereka bertolak belakang dan kerap menampilkan perselisihan dalam menetapkan sesuatu. Gaya interaksi ‘musuh tapi teman’ yang perlahan berubah menjadi ‘benci tapi cinta’ memang seringkali muncul dalam novel-novel temaja, diwarnai kekonyolan yang mengundang tawa atau senyum. Saya suka karakter Devan yang diagambarkan culun, antisosial, nggak goyah dengan konsep imej dan popularitas ala anak zaman sekarang, dan berkemampuan di atas rata-rata di bidang IT tapi tidak ngin menonjolkan diri di hadapan orang banyak tentang hal ini. Perkembangan karakter para tokoh utama juga terasa, sekaligus membawa pesan positif tentang pendewasaan diri.

    Salut juga dengan pesan moral lewat beberapa konflik antar tokoh, tentang kenakalan remaja,  menjadi sindiran halus tentang pergaulan remaja yang kerap melampaui batas. Menurut saya semuanya kekinian, mewakili kondisi sekarang. Penulis juga menyisipkan beberapa wawasan umum lewat adegan di Malang dan Bali, sekaligus menjadi deskripsi setting yang cukup cerdas.

    Jika ada hal yang agak mengganggu, bagi saya itu semata masalah deskripsi karakter yang agak terlalu diulang-ulang. Meskipun mungkin dimaksudkan sebagai penekanan, tapi menurut saya itu kurang perlu. Misalkan kalimat Devan yang freak dan geek, yang muncul cukup sering hingga saya merasa sedikit bosan. Selain itu, saya merasa puas dengan keseluruhan cerita, termasuk ending. Ketika saya mengira penulis telah menyudahi kisah Kia dan Devan, saya disuguhi kejutan lain. Kover buku juga cerah dan desainnya simpel, menurut saya sesuai dengan tema dan genre. Recommended untuk dibaca para remaja dan penyuka teenlit Indonesia.

“Kasus ini terjadi, (bukan) karena cinta.”

Sabtu, 21 Oktober 2017

[RESENSI] Jejak Cinta: Menelusuri Harapan Akan Cinta dan Kebahagiaan

Posted by Menukil Aksara | 11:54:00 AM Categories:
Judul Buku                : Jejak Cinta: 20 tahun berlalu
Penulis                       : Maya Lestari GF
Penyunting                : Nur Aini
Proofreader               : Hetty Dimayanti
Penyunting Ilustrasi : Kulniya Sally
Penerbit                      : Pastel Books
Cetakan                      : I, Agustus 2017
Tebal Buku                 : 292 hlm; ilust.; 20,5 cm

BLURB:
Semua keruwetan hidupku dimulai ketika pamanku, Bernard Hadison, terbangun dengan ingatan akan Rinjani.

Dua puluh tahun lalu ia mencintai perempuan berlesung pipit dengan senyum secerah bulan purnama. Apa daya, perempuan tersebut memutuskan menikah dengan laki-laki lain. Dengan hati hancur, pamanku pergi ke Leiden untuk melupakannya. Saat mendapat kabar bahwa cinta pertamanya kembali sendiri, pamanku yang tidak pernah menikah itu pun pulang ke Indonesia demi mempersunting cinta pertamanya. Parahnya, aku dan Keegan yang diminta Paman Ben untuk menemaninya. Awalnya aku tidak mengerti, bagaimana cinta mampu menggerakkannya untuk melakukan perjalanan melelahkan yang tidak jelas ujungnya begini. Namun, pada akhirnya aku mengerti bagaimana cinta bekerja, karena kini aku telah jatuh cinta.

“Kalian akan terkesan pada sepasang mata yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Tidak bisa dinilai dengan harga berapa pun. Sepasang mata yang di dalamnya ada ribuan bintang, sehingga ketika kalian melihatnya, kalian seakan berada di tengah alam semesta.”

SINOPSIS:
    “... jangan terlalu mengandalkan teknologi untuk hidupmu. Sekali teknologi berhenti, hidupmu pun bisa berhenti. Sebuah peta... adalah nyawa perjalanan.” (hal. 112-113)
    “Jatuh cinta itu seperti melukis, Abby. Sekali kamu menggoreskan cat ke kanvas, goresan itu takkan hilang selamanya. Kamu bisa menyamarkan goresan itu dengan goresan lain, menimpanya dengan warna lain sampai tak terlihat lagi, tapi kamu tahu goresan itu ada.” (hal. 166-167)
    “Masing-masing orang itu unik. Kamu bisa mengganti gantungan kuncimu yang hilang dengan yang baru, tapi apakah kamu bisa mengganti orang yang hilang dengan yang baru? Tidak.” (hal. 167)

    Adegan dimulai dengan kehebohan di keluarga besar Hadison di Bandung atas kabar kepulangan salah satu anggota keluarga yang telah lama tinggal di Leiden. Tak hanya itu, Bernard Hadison atau yang kerap disapa Paman Ben oleh para keponakan rumornya pulang ke Indonesia untuk mempersunting cinta pertamanya. Yang membuat para keponakan kebingungan adalah fakta bahwa Rinjani—wanita tersebut—tidak jelas di mana rimbanya. Dan naasnya. Abby ditunjuk oleh Paman Ben untuk menemani pencarian seorang Rinjani, bersama Keegan sepupu jauhnya. Berangkat dari Bandung, mereka bertiga lantas menjejakkan kaki di bandar udara Sumatra Barat untuk kemudian melanjutkan misi pencarian dengan mengendarai mobil. Keegan yang sudah hapal dan sering bolak-balik Jawa-Sumatra yang menjadi sopir merangkap ‘guide’.

    Abby yang sedari awal sama sekali tidak antusias, bahkan cenderung merasa terpaksa bepergian, seringkali mengeluh dan bertingkah. Hal ini kemudian menjadi pemicu cekcok mulut dan perang dingin antara Abby dengan Keegan, bahkan Paman Ben. Berbekal petunjuk yang samar, perjalanan mereka jauh dari mulus. Sempat terlunta-lunta, menginap di tenda dan mobil, serta berkeliling dari satu kota ke kota lain, Abby lambat-laun berusaha bersabar dan mengambil sisi positif dari perjalanan ini. Sesungguhnya, meskipun tak selalu menyenangkan, perjalanan tiga hari ini membawa Abby lebih mengenal adat budaya tanah kelahiran leluhurnya. Keindahan alam dan kelezatan kuliner berbalut filosofi tak pelak mengundang kekaguman. Perjalanan ini juga ternyata mengungkap banyak rahasia hati, tentang makna kebahagiaan yang hakiki, pentingnya keluarga, juga rahasia tentang jati diri Rinjani dan apa yang terjadi di masa lalu antara Rinjani dan Paman Ben. Momen-momen emosional pun terjadi hingga mereka pada akhirnya menyadari bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar penelusuran jejak cinta pertama seseorang. Perjalanan ini menjadi pendewasaan diri.

REVIEW:
    “Orang Minang itu sabar-sabar kalau masak, sebab rasa dan aroma itu penting.” (hal. 177)
    “Keberhasilan tidak ada hubungannya dengan seberapa banyak isi rekeningmu. Keberhasilan ditentukan dari seberapa banyak kamu bahagia.” (hal. 220)
    “Seharusnya manusia yang diistimewakan, benda yang dimanfaatkan. Manusia jadi gila oleh sesuatu yang seharusnya melayani hidup mereka.” (hal. 221)
    “Tak ada bedanya kamu pakai baju seharga sepuluh juta dengan seratus ribu. Toh kamu tetap manusia. Sifatmu juga akan tetap sama.” (hal. 222)
    “Kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita mau. Itu betul, dan inilah yang membuat orang berpikir Tuhan tidak adil.” (hal. 223)
    “Kamu kaya lalu memberi, itu tidak istimewa. Tapi kamu miskin, lalu kamu memberi, itu baru luar biasa.” (hal. 224)   
    “Bekerja keras adalah tradisi keluarga kita.” (hal. 261)

Dikisahkan menggunakan sudut pandang orang pertama, Abby, dan alur maju, Kak Maya Lestari GF menurut saya mengambil pilihan yang tepat. Awalnya saya berpikir kisah ini akan dikemas dengan gaya yang agak berat, karena dari blurb saya menangkap topik filosofi hidup dan nilai kearifan lokal. Ternyata perkiraan saya meleset. Karena menggunakan sudut pandang Abby yang notabene gadis sembilan belas tahun yang ceria, ceplas-ceplos, dan cerdas, kisah ini penuh humor segar dan aura kehangatan sebuah keluarga besar, keluarga besar Hadison. Karakter para sepupu, paman, dan bibi Abby pun tak kalah lucu dan mengundang tawa. Dari sini saja pesan tentang adat ketimuran yang masih kental akan nilai kekeluargaan terasa sekali. Keluarga besar Hadison juga digambarkan sebagai orang-orang pribumi yang sukses di bidang masing-masing, terutama dalam berwira usaha. Perasaan Abby tentang pesona alam dan budaya tanah Minangkabau selama perjalanan pun membuat pembaca ‘awam’ seperti saya merasa terwakili.

Sedangkan karakter Keegan, sebagai pemuda dua puluh tiga tahun yang secara fisik dan gaya penampilan bisa dibilang menawan (digambarkan sedikit menyerupai aktor Hollywood Tom Hiddleston—yang mana membuat saya senyum-senyum senang), berpikiran dewasa dan sukses berbisnis di usianya yang masih muda. Keegan merintis usaha tour and travel dari nol, sebagai buah kecintaannya terhadap traveling dan kegiatan di alam bebas. Visi dan misi usahanya pun jelas. Sosok Keegan bisa menjadi inspirasi bagi banyak pembaca muda.

Paman Ben yang merupakan pelukis sukses di Eropa, nyentrik, cuek, namun diam-diam doyan menyantap kuliner Minang. Dari obrolan seputar masakan Minang ini pula terselip filosofi kesabaran. Meskipun terkesan ceria dan cuek, sesungguhnya Paman Ben menyimpan kesedihan dan kesepian. Momen di mana dia mengungkapkan segala uneg-uneg hatinya kepada Abby merupakan salah satu adegan emosional favorit saya. Saya pun merasa tertohok dan saya yakin banyak pembaca yang juga akan merasa tersindir dengan deretan pernyataan Paman Ben.

Secara keseluruhan, saya sangat menyukai karya Kak Maya Lestari yang satu ini. Alurnya relatif cepat, dialog-dialognya bernas, plot dan ending logis dan memuaskan.Terdapat ilustrasi menarik juga di dalam buku, menggambarkan beberapa adegan dalam cerita. Kisah cintanya pun manis dan tidak berlebihan, serta menarget pembaca muda hingga dewasa. Karena ini merupakan perkenalan saya dengan karya Kak Maya, maka bisa dibilang ini merupakan perkenalan yang mengesankan dan memantik rasa ingin tahu akan karyanya yang lain. Bagi kalian yang menyukai kisah romansa yang kental nilai budaya lokal dan religi, saya sangat merekomendasikan novel ‘Jejak Cinta” ini. Kisah yang bikin baper dan laper :)

“Perjalanan adalah seni menemukan hal-hal yang tak terduga.” (hal. 290)

Rabu, 18 Oktober 2017

[RESENSI] Peony’s World: Tempat Teraman, Sekaligus Paling Tak Aman

Posted by Menukil Aksara | 7:13:00 AM Categories:
Judul Buku         : Peony’s World
Penulis               : Kezia Evi Wiadji
Ilustrasi              : Sierra Aine
Penyunting        : Jia Effendi
Penerbit             : Bhuana Ilmu Populer
Cetakan             : pertama, 2017
Tebal                  : 236 hlm

BLURB:

    Sejak kecil, Peony memiliki ‘bakat istimewa’ yang membuatnya mampu menginjak di dua dunia, dunia nyata dan dunia ciptaannya. Bakat istimewa yang awalnya menimbulkan kesulitan ini, lambat laun membuat hidup Peony lebih berwarna.

    Jovan, laki-laki yang membuat hidup Peony bukan hanya berwarna, tetapi terasa sempurna. Hingga sebuah kecelakaan maut merenggut Jovan dari sisinya.

    Secara mengejutkan, Jovan muncul di dunia ciptaan Peony. Sejak saat itu, hidup Peony tak lagi sama. Keberadaan Jovan di dunia ciptaannya menuntun Peony ke sebuah buku tua, kisah keramat, dan sosok mengerikan yang mengincar nyawanya. Mengetahui hal itu, Jovan mati-matian melindungi, bahkan rela terpenjara di dunia ciptaan Peony hanya untuk menyelamatkan gadis itu.

SINOPSIS:
    “Aku pikir bakat istimewamu itu seperti Zafrina, si vampir Amazon di novel Breaking Dawn.” (hal. 16)
    “Roh itu mendekatimu melalui mimpi dan sewaktu kamu menciptakan dunia ciptaanmu ini, roh itu tahu dan ikut masuk.” (hal. 104)

    Peony atau yang akrab disapa Ony, memiliki bakat istimewa semenjak kecil. Dia mampu menciptakan dunia ciptaan lantas berpindah tempat ke dunia tersebut hanya dengan berkonsentrasi, bahkan mampu mengajak serta orang yang dikehendakinya. Kemampuan tersebut berkembang seiring bertambahnya usia. Papa, mama, tante, dan sahabatnya Lola mengetahui hal tersebut. meskipun awalnya menyulitkan, Ony yang kini sudah duduk di bangku SMA menikmati hari-harinya. Terlebih lagi ketika Jovan hadir. Cowok baik yang kemudian diberitahu mengenai rahasianya itu. Hingga suatu hari, dalam sebuah perjalanan bersama Jovan, Lola, dan Justin pacar Lola, sebuah kecelakaan maut terjadi dan merenggut Jovan dari sisi Ony.

Merasa bersalah dan kehilangan, Ony sempat terpuruk dan mengurung diri. Hingga kerinduan pada Jovan membangkitkan keinginan untuk menciptakan dunia khusus untuk mengenang Jovan. Tak disangka, ketika Ony memasuki dunia ciptaan itu, ia bertemu sosok Jovan. Anehnya, Jovan terlihat baik-baik saja. Merahasiakan hal tersebut dari sang mama dan Lola, Ony kerap menemui Jovan di dunia ciptaannya diam-diam. Namun, suatu hari, karena penasaran dan tak sanggup menahan rindu, Ony nekat menjumpai Jovan di jam-jam yang sudah dilarang Jovan. Betapa terkejutnya Ony ketika di dalam dunia ciptaannya kali itu tak hanya Jovan yang dijumpai, tapi juga sesosok bertudung hitam yang mengerikan. Beruntung, Jovan berhasil mendorongnya keluar dari dunia ciptaan. Semenjak itu, Ony tak bisa lagi menyimpan rahasia pertemuan dengan Jovan dari mamanya. Demikian pula mamanya, Sandra, yang juga mengungkapkan rahasia keluarga mereka. Dari Jovan, Ony dan Sandra menyadari bahwa sosok misterius bertudung itu mengincar nyawa Ony. Sandra lantas memutuskan melindungi putrinya dengan berbagai cara, terutama dengan menelusuri ingatan akan peristiwa di masa lalunya. Suatu hari, Ony menemukan sebuah benda yang biasa disebut dreamcatcher, yang lantas disadari mirip dengan tanda lahir miliknya. Dari sinilah, Sandra menelusuri petunjuk yang dianggap bisa membantu yang kemudian membawanya pada sebuah buku tua dan kisah keramat di dalamnya.

Bersama-sama, Ony, Sandra, Lola, dibantu Jovan dan Justin, memecahkan teka-teki tentang buku tua dan kisahnya. Mereka kemudian berhasil menemukan fakta tentang dua gadis kembar, Lisafera dan Lucifera dari masa lalu dan apa yang sebenarnya terjadi. Rencana demi rencana dan upaya dilakukan demi mengusir sosok roh mengerikan bertudung hitam dari dunia ciptaan Ony, atau Jovan akan terpenjara selamanya di sana, tak bisa berada di tempat yang semestinya.

REVIEW:
    “Aku nggak percaya ada orang yang dilahirkan menjadi si baik dan si jahat. Menjadi baik atau jahat adalah pilihan orang itu sendiri.” (hal. 189)
    “Mimpi buruk akan tertahan dan hilang seiring munculnya sinar fajar pertama. Sedangkan mimpi baik akan lolos melalui lubang di tengah-tengah lingkaran.” (hal. 226)

    Mengangkat genre fantasi dan misteri dengan nuansa magis, novel remaja ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Apa lagi, baru kali ini memang saya membaca novel karya penulis Indonesia yang berani mengusung tema kemampuan ‘berpindah tempat’ dan kaitannya dengan dreamcatcher. Di halaman awal, terdapat ilustrasi cantik yang mengajak saya berkenalan dengan keempat tokoh utama: Peony, Jovan, Lola, dan Justin. Menggunakan POV orang ketiga dan alur maju yang sesekali dipadukan alur mundur lewat kilas balik kenangan yang ditandai dengan huruf yang dicetak miring, saya diajak bertualang ke dunia Peony yang magis namun tetap dekat dengan dunia remaja pada umumnya. Alurnya relatif cepat, gaya bahasanya ringan dengan pemilihan bahasa yang tergolong baku alih-alih bahasa gaul dengan gue-elu. Plotnya logis, dengan penyajian teka-teki, rahasia, dan petunjuk yang diungkap satu demi satu sehingga saya betah membaca hingga akhir.

    Berbicara tentang penokohan, karakter Peony sebagai pusat kisah cukup kuat. Dia digambarkan tak berbeda dari gadis remaja pada umumnya dalam keseharian, dengan sahabat dan kekasih yang menyayanginya dengan tulus. Secara fisik, saya suka penggambaran ciri khas Peony dengan sejumput rambut peach-nya. Demikian juga dengan sosok Jovan, remaja laki-laki cerdas, baik, dan bersikap melindungi. Mereka berdua ini pasangan yang serasi dan kompak. Lola di lain pihak, ceria, selalu ingin tahu. Setia kawan dan suportif, meskipun di cukup banyak kesempatan dia bisa menjengkelkan juga dengan sikap sok pemberani dan keras kepalanya yang merepotkan dan ‘merusak’ suasana. Justin kekasih Lola menjadi penyeimbang, apa lagi dia adalah yang tertua dari empat sekawan ini. Sikap Justin walaupun kadang jail, lebih dewasa dan menjadi pendukung yang selalu ada saat dibutuhkan. Saya suka dengan kisah persahabatan dan kekompakan mereka, juga fakta bahwa meskipun tak dikaruniai bakat istimewa, Lola, Justin, dan Jovan diberikan peran penting dalam alur cerita. Sosok Sandra sebagai mama yang penyayang sekaligus misterius dengan rahasia keluarganya juga berhasil menyedot perhatian saya.

    Hal lain yang saya sukai dari novel ini adalah momen-momen kemunculan sang sosok bertudung hitam dalam dunia ciptaan Peony, yang meskipun tak banyak ‘drama’ tapi entah mengapa selalu sukses membuat saya merinding. Kak Kezia berhasil menciptakan aura mencekam dalam setiap kemunculan sosok ini. Dan bagian jelang akhir yang menegangkan, bersamaan dengan dibukanya petunjuk demi petunjuk menjadi bagian paling favorit saya. Saya juga puas dengan akhir yang disuguhkan, meskipun tidak menampik bahwa saya ingin ada kelanjutan kisah, dengan petualangan baru dari Peony dan kawan-kawannya. Saya rasa, kisah ini masih dapat dikembangkan lagi menjadi jauh lebih menarik dan menantang, terutama dengan kehadiran satu tokoh baru. Apakah kira-kira Kak Kezia bersedia mempertimbangkan hal ini? 

Bagi pembaca remaja, novel ini menawarkan pengalaman membaca yang baru dan seru dengan pesan moral yang disisipkan dengan apik. Very recommended.

“Perbuatan adalah cerminan isi hati. Perasaan iri dan mementingkan diri sendiri, menyebabkan kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.”






Jumat, 13 Oktober 2017

[RESENSI] Jodoh Untuk Mira: Manusia Tak Bisa Sempurna Namun Cinta Bisa

Posted by Menukil Aksara | 9:57:00 AM Categories:
Judul Buku  : Jodoh Untuk Mira
Penulis         : Alnira
Penyunting  : Suci Amanda
Penerbit       : Penerbit Ikon
Cetakan       : pertama, September 2017
Tebal           : 269 hlm

BLURB:
  
 Almira—gadis yang bercita-cita menjadi dokter, lalu banting setir menjadi guru bimbingan konseling—pernah merasakan cinta monyet pada usia empat belas tahun. Namun kala itu, Mira harus patah hati karena pujaannya hanya menganggapnya adik. Kesedihan Mira bertambah saat Akradani Lawardi, cinta pertamanya, menghilang tanpa jejak sehari setelah ulang tahunnya yang ketujuh belas.

    Tujuh tahun sesudah itu, Mira berusaha untuk melupakan perasaannya pada Akradani. Namun, di saat tekadnya sudah bulat, Akradani kembali hadir. Dan, kali ini, pria itu tidak datang seorang diri, tetapi membawa anak kecil, yang memanggil Akradani dengan sapaan ‘Ayah’.

SINOPSIS:

    “Seseorang pernah berkata, lebih baik dicintai lebih dulu daripada mencintai.” (hal. 24)
    “A real man trusts you and advises you. He doesn’t try to invade your personal space or inquire you about everything you do.” (hal. 70)
    “Pria gentle itu tidak banyak bicara, apalagi membicarakan hal yang tidak penting. Honesty is his middle name and he will make it obvious through his actions.” (hal. 71)

    Bagaimana rasanya jika cinta pertamamu adalah pria yang sekaligus teman akrab dan rekan kerja kakak laki-lakimu? Lebih parah lagi jika cinta itu tak berbalas dan dia menghilang tanpa mengucap perpisahan. Itulah yang dialami Almira Wiratama. Mencintai Akradani Lawardi sejak usianya masih belia, merasakan penolakan, lalu kehilangan jejak selama bertahun-tahun. Tujuh tahun kemudian, ketika Almira atau Mira telah dewasa, Akradani mendadak muncul. Namun, pria yang berprofesi sebagai polisi itu kini menggandeng seorang gadis cilik cantik yang dinamai Almira Kania Azzahra dan menyapanya ‘Ayah’. Mira tentu syok dan berspekulasi bahwa sang cinta pertama yang diam-diam masih diharapkannya itu telah menikah dan bahagia. Namun, setelah tak kunjung bertemu istri Akradani, bahkan tak menjumpai sepucuk pun potret pernikahan, Mira mulai bertanya-tanya. Rasa penasaran itu pun terjawab ketika dalam sebuah kunjungan, ibu dari Akradani sendiri yang menjelaskan bahwa Akradani belum menikah dan Kania bukan anak kandungnya. Mira jelas lega, meskipun lantas bermunculan pertanyaan-pertanyaan lain terkait Kania dan keluarga Akradani.

    Setelah pertemuan demi pertemuan kembali mendekatkan Mira dengan Dani, Mira tak lagi mampu memendam perasaan. Dia memilih berterus terang tentang cinta yang masih disimpannya untuk Dani. Sesuai karakternya yang tak banyak bicara, Dani lebih memilih menunjukkan perasaan lewat tindakan. Kedekatan mereka ini lantas diketahui oleh kakak laki-laki Mira, Bang Andra. Dari gelagat yang ditunjukkan, Mira merasa ada rahasia besar yang masih ditutup-tutupi oleh Dani dan Bang Andra. Mira tak ingin mendesak, tapi dia menunggu saat Dani sendiri yang mengungkapkannya. Ketika saat itu tiba, Mira diberi pilihan, apakah akan tetap bertahan pada cintanya atau mundur setelah mengetahui sisi gelap seorang Akradani dan konflik keluarganya di masa lalu. Tak hanya itu, agaknya Dani masih tak mampu memaafkan atas apa yang terjadi di masa lalu. Di lain sisi, Mira sudah bisa membangun kedekatan dengan Kania.  Akankah Dani mampu berdamai dengan masa lalu dan membangun masa depan bahagia bersama Mira dan Kania?

REVIEW:

    “Aku nggak nyari pasangan yang sempurna. Menikah bukan Cuma buat seneng-seneng aja, kan?” (hal. 170)
    “Kita nggak akan pernah bisa memilih lahir dari orang tua seperti apa, tapi kita bisa memilih untuk menjadi orang tua seperti apa.” (hal. 251)
    “Menikah bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang saling memahami dan berbagi.” (hal. 268)

    Kisah tentang cinta pertama dan jodoh memang sangat populer dan disukai ketika diangkat dalam sebuah novel romance. Demikian pula dengan kisah cinta Almira dan Akradani ini. Yang menjadi daya tarik lain dari novel ini adalah profesi para tokoh utama yang terbilang jarang diangkat dalam novel romance. Mira yang seorang guru bimbingan konseling dan Akradani yang seorang polisi sekaligus penyidik di BNN. Dilan Andra Wiratama, kakak laki-laki Almira, beserta teman-temannya: Wira, Tora, dan Roy juga anggota kepolisian. Kisah masing-masing tokoh tersebut bersama pasangan masing-masing yang nggak jarang dibumbui kelucuandan keseruan juga menambah daya pikat novel ini. Saya juga salut dengan kepiawaian Kak Alnira dalam menulis alur dan plot sehingga dua profesi yang sekilas jauh bertentangan ini menjumpai keterkaitan dalam keseharian para tokoh tanpa ada kesan dipaksakan.

    Karakter Almira yang sedikit tomboi dengan kemampuan bela dirinya namun perlahan berproses menjadi lebih feminin, plus sifat perhatian dan cerewetnya juga kuat dan konsisten dari awal hingga akhir cerita. Sedangkan Akradani yang secara tabiat sedikit bicara, agak terkesan misterius, namun penyayang dan perhatian pada orang-orang terdekat, digambarkan tetap menyisakan ketidaksempurnaan lewat insiden masa lalu. Saya suka penggambaran karakter-karakter yang manusiawi dan dekat dengan kehidupan nyata seperti ini. Kita jadi bisa bercermin dari mereka. Almira dan Akradani pun menjadi saling melengkapi dan chemistry yang terbangun antara keduanya sangat terasa.

Cerita yang dikisahkan menggunakan sudut pandang orang pertama—Almira—ini memiliki alur yang relatif cepat. Penulis juga menyisipkan nuansa lokalitas berupa kuliner dan adat budaya Jambi dan Palembang. Hal ini sesuai penggambaran kedua tokoh utama yang meskipun tinggal di Jakarta tapi berasal dari daerah. Banyak dialog dan adegan romantis sekaligus lucu sehingga saya tak kuasa menahan diri untuk tertawa mengikuti kisah Mira dan Dani. Selain mengundang tawa dan baper dengan keromantisan Mira-Dani, saya juga merasakan kesedihan dan kekecewaan ketika sampai pada konflik keluarga Akradani. Mengingatkan kita akan makna sebuah keluarga dan berdamai dengan takdir dan masa lalu. Pada akhirnya, tak ada manusia yang sempurna, pun dalam mencari pasangan hidup tak mungkin mencari kesempurnaan. Semua berproses, termasuk dalam sebuah pernikahan. Adanya saling memahami dan melengkapilah yang kemudian menjadikan pernikahan bahagia dan cinta yang dibangunlah yang sempurna. Sebuah novel yang sarat pesan kehidupan dan cinta, disampaikan dengan cara yang manis, ringan, dan menghibur. Surely recommended.
 
“Hidup tanpamu itu bagaikan burung yang kehilangan satu sayapnya, bisa hidup tapi tak bisa terbang.”

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube