Selasa, 06 November 2018

Judul buku       : Tujuh Puisi Cinta Sebelum Perpisahan
Penulis             : Maya Lestari GF
Penyunting       : Nurul Amanah & Moemoe
Proofreader      : Hetty Dimayanti
Desain sampul  : Kulniya Sally
Penerbit           : Pastel Books
Cetakan           : I, 2018
Tebal buku       : 324 hlm.; 20,5cm
ISBN                : 978-602-6716-31-6
Genre              : novel/fiksi Indonesia/drama/family/romance

BLURB:
Kinandari menerima Evan karena dia memercayai keajaiban cinta. Ayah dan ibunya melalui petualangan menakjubkan berdua. Begitu pun akhir kisah-kisah putri Disney selalu bahagia selama-lamanya. Jadi, Kinandari mantap menerima cinta itu. Selain karena dia menghormati kesucian cinta, dia juga mencintai Evan dari dasar hatinya.

Pertemuan itu diawali dari pameran lukisan Evan di Taman Budaya Sumatra Barat. Kinandari menyampaikan apa yang dilihat matanya tentang lukisan yang berpendar dalam cahaya dan dibintangi anak perempuan murung yang rapuh. Tampaknya, Evan dan Kinandari saling jatuh cinta sejak itu. 

Sayangnya, harus berakhir tak lama sejak pertemuan manis itu. Semua tak berjalan seperti dugaan Kinandari. Cinta tidak semenakjubkan harapannya. Pun tidak semembahagiakan putri-putri Disney. Lukisan kerapuhan yang mempertemukan mereka berdua justru menjadi kenyataan pada akhir hubungan singkat itu. Ketika Evan meminta mengakhiri, dan Kinandari mengiakan, perempuan itu hanya bisa mengajukan permohonan terakhir: Tolong bacakan tujuh puisi yang pernah kau buat untukku, setelahnya peluklah aku. Maka aku akan pergi selamanya dari hidupmu.

SINOPSIS:
“Apa yang lebih menyakitkan dari mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang kau cintai?” (hlm. 11)

Kinandari berteman baik sekaligus tinggal di rumah kos yang sama dengan Esa. Bersama beberapa teman lain, kedua gadis ini juga kerap menghabiskan waktu bersama di luar kegiatan kampus dan pekerjaan. Suatu hari, Esa mengajak Kinan menghadiri pameran seni lukis kakak laki-lakinya di Galeri Seni Taman Budaya Sumatra Barat. Meskipun sesungguhnya tak terlalu paham tentang seni lukis, Kinan tetap menyanggupi. Asumsinya bahwa seniman selalu berpenampilan nyentrik dan selengekan terbantahkan ketika dia akhirnya bertemu Evan Muhammad, kakak Esa. Evan yang hangat dan berpenampilan rapi mencuri perhatian Kinan. Kinan yang cerdas dan berpendidikan tinggi pun memesona Evan dari pendapatnya yang lugas dan tepat sasaran mengenai makna lukisan karya Evan. Pertemuan tersebut memberi kesan mendalam pada keduanya. Disusul perjumpaan-perjumpaan berikutnya, Evan dan Kinan pun saling jatuh cinta dan tak butuh waktu lama untuk memutuskan menikah.

Tak lama selepas pernikahan, Evan memboyong Kinan dari Padang ke sebuah rumah megah yang terletak di Padangpanjang, di kaki Gunung Singgalang yang memukau. Kinan berhenti dari profesinya sebagai guru dan menjadi ibu rumahtangga. Rumah mereka menyatu dengan studio lukis dan galeri milik Evan. Di rumah galeri tersebut juga tinggal keluarga kecil yang terdiri atas Elok Fatma, Udo, dan anak perempuan mereka Aida. Mereka adalah kerabat dekat Evan. Elok Fatma membantu mengurusi pekerjaan rumahtangga, sedangkan Udo membantu di galeri seni. Esa pun kerap bertandang. Evan dan Esa tak lagi memiliki orangtua. Awalnya pernikahan Evan dan Kinan demikian indah dan harmonis, namun keharmonisan tersebut sayangnya tak berjalan lama. Setahun sesudah menikah, Kinan mulai merasakan perubahan sikap Evan. Pria yang dulunya hangat, berubah menjadi dingin dan kelam. Dan sebuah percekcokan yang menyakitkan memperuncing masalah hingga mereka tak lagi bicara, bahkan seolah hidup terpisah. Evan lebih memilih mendekam di studio lukisnya ketimbang memperbaiki hubungan dengan istrinya. Sedangkan Kinan yang letih dan kecewa memilih menyerah. Maka ketika Evan menyodorkan permintaan cerai, Kinan mengiakan. Kinan hanya punya permintaan terakhir agar Evan membacakan tujuh puisi cinta yang pernah dibuatnya untuk Kinan lantas memberi pelukan, sebelum perceraian mereka resmi diajukan.

Selama pembacaan tujuh puisi inilah, tanpa mereka duga banyak hal yang terjadi. Mulai dari pihak keluarga Kinan yang bersikeras membujuk dan menemui Kinan dan Evan demi membatalkan rencana perceraian, hingga kunjungan kolega sekaligus wanita yang pernah dekat dengan Evan ke rumah galeri. Elok Fatma pun akhirnya mengetahui rencana perceraian itu dan membeberkan kisah masa lalu keluarga Evan agar Kinan mempertimbangkan kembali keputusannya. Nasihat demi nasihat juga bergulir dari ayah dan ibunda Kinan, Bram sang kakak dan Sheila sang kakak ipar. Sayangnya situasi bukannya membaik, justru memburuk seiring waktu kebersamaan Kinan-Evan yang kian menipis. Di sinilah kedewasaan dan ketulusan cinta dari pasangan muda ini diuji; apakah mereka memilih akhir bahagia atau menyerah.

REVIEW:
“Matematika itu imajinatif... hanya saja, sifat imajinasinya berbeda. Tidak seperti yang dipahami para seniman... Tuhan mencintai matematika, karena itulah alam ini tercipta.” (hlm. 86)

“Kesedihan membuat orang belajar tentang makna, tentang hakikat. Membuat dia meninjau kembali semua hal yang selama ini luput darinya.” (hlm. 153)

“Saat kita menikahi seseorang, sebenarnya kita juga menikahi seluruh pengalaman hidupnya... “ (hlm. 236)

“Segitiga sama sisi! Suami-istri-Tuhan. Ketika suami dan istri menjadikan Tuhan sebagai pegangan, maka segalanya akan terasa mudah. Suatu saat Tuhan akan membukakan jalan.” (hlm. 308)

Beberapa kutipan di atas sangat bernas dan menyentuh hati, bukan? Maka di dalam novel ini kamu akan jumpai banyak kutipan semacam itu. Bukan sembarang nasihat kehidupan dan pernikahan, melainkan uniknya ada yang disarikan dari sudut pandang ilmiah, lewat pemahaman akan semesta dan prinsip matematika dasar. 

Benar sekali. Kelebihan sekaligus daya tarik lain dari novel ini adalah adanya sejumlah pemaparan menarik terkait prinsip Matematika dasar yang merupakan draft buku panduan matematika yang sedang disusun tokoh utama, Kinan. Diberi judul Rahasia Matematika yang Kamu Tidak Tahu, bagian ini selalu saya nantikan dalam novel—selain bagian dongeng. Selanjutnya kemahiran Kinan menciptakan sekaligus mendongengkan kisah-kisah fantasi penuh hikmah menjadi kekuatan dalam penokohan. Seorang guru matematika yang nyastra, kurang lebih demikian. Kehadiran tujuh puisi cinta sebagai perpisahan juga sangat mendukung plot cerita. Tak sekadar mempermanis kisah, tapi juga mengajak pembaca menyusuri perjalanan cinta Kinan-Evan. Puisi-puisinya tak pelik, cukup mudah dipahami karena disesuaikan dengan karakter Evan yang pelukis bukannya penyair. Alih-alih, puisi-puisi tersebut lebih mengutamakan dampak emosional terhadap pembaca.

Berseting Padangpanjang, penulis yang notabene memang asli Minang berhasil menuturkan keindahan sekaligus sejarah beberapa seting tanpa melenceng dari plot cerita. Muatan kearifan lokalnya sangat terasa. Ditambah lagi kehadiran sejumlah tokoh yang mencerminkan budaya kekeluargaan dan ketimuran. Deskripsi mengenai lukisan dan maknanya lewat sosok Evan juga memuaskan. Meskipun saya awam terhadap seni lukis aliran surealis, tapi penjelasan lewat dialog antartokoh di sini sangat membantu. Selain itu, novel ini juga membuat saya tertarik mencari tahu sedikit mengenai aliran seni lukis.

Karakter Evan yang pendiam, dingin dan kelam—seperti lukisan-lukisannya, ditambah latar belakang keluarga dan masa kecilnya menjadi poin penting dari konflik. Karakter ini bertolak belakang sekali dengan Kinan yang pada dasarnya periang dan blakblakan. Komunikasi mereka yang tidak sehat sangat emosional. Dan fokus atas akar masalah inilah yang saya sukai dari kisah ini. Bukan tipikal cerita konflik pernikahan yang terlalu ‘drama’, yang biasanya melibatkan perselingkuhan, cekcok dengan keluarga besar, dan semacamnya. Kehadiran keluarga Kinan pun sesuai porsi, hanya sebagai pihak luar yang netral dan memberi nasihat. Demikian juga Elok Fatma dan keluarganya.

Alur campuran yang digunakan jelas, tak membuat saya bingung atau bosan selama membaca. Catatan pernikahan ayah Kinan yang diberikan sebagai nasihat, awalnya terkesan datar dan sederhana, tapi ternyata menyimpan hikmah besar yang diungkapkan di akhir cerita. Maka bisa dikatakan tak ada satu pun elemen yang sia-sia atau sekadar tempelan di sini.

Benar-benar sebuah kisah cinta yang sarat hikmah dan mengaduk-aduk emosi, juga menguji kesabaran saya yang sangat penasaran dengan akhir yang dipilih penulis. Novel yang tanpa ragu akan saya rekomendasikan bagi siapa pun yang mencintai budaya Indonesia dan terutama yang sedang gamang dengan pasangan—seperti yang dikatakan sang editor. Pernikahan enggak cukup dengan cinta. Komunikasi yang baik, komitmen, dan kedekatan dengan Tuhan pun wajib dimiliki pasangan mana pun. Dan ngomong-ngomong, jangan terkecoh dengan kavernya yang merah muda kalem, karena ceritanya kelam mematahkan hati. Tapi tetap saja, layak sekali kamu menikmati ‘kelamnya’ karena ada keindahan dalam perjalanannya.


0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube