Previous Next
  • Kacamata Sukses Ibu: Bahagia dengan Konsep Ikhlas

    “... jalan bahagia dapat kita wujudkan tanpa harus menjadi supermom yang tanpa cela, ... cukup menjadi original mom lengkap dengan segala kekurangan namun kita percaya dengan kekuatan super milik Allah ....”

  • Finally ( I Choose) You

    Ternyata bukan tentang waktu. Bukan juga tentang masa lalu. Ini tentang menemukan orang yang paling tepat untuk hidupmu. ...

  • Ibu Sang Matahari Kami

    Ibu. Satu kata panggilan yang pasti sangat akrab di telinga anak manusia mana pun di dunia. Siapa yang terlahir ke muka bumi tentulah beribu, memiliki sesosok wanita yang mengantarkan kehadiran ke dunia fana. Rahim seorang ibulah yang dititipi Sang Khaliq sebagai tempat berdiam, berlindung, sebelum siap menyongsong kehidupan yang rentan akan ujian ...

  • Baik Atau Sholihah

    Menikah adalah pilihan sadar setiap laki-laki dan perempuan dalam islam. Sebelum terjadinya akad nikah, pilihan masih terbuka lebar, akan tetapi setelah adanya akad nikah, adalah sebuah pengkhianatan terhadap makna akad itu sendiri apabila satu pihak senantiasa mencari-cari keburukan dan kesalahan pasangan dengan merasa benar sendiri ...

Minggu, 01 Mei 2022

 


Judul buku: Kincir Waktu 1- Dwilogi Kincir Waktu

Penulis: Akmal Nasery Basral

Penyunting: Andriyati

Layout: Nur Alfian

Desain sampul: Resoluzy Media

Penerbit: Mahaka Publishing (imprint Republika Penerbit), cetakan I, November 2021

Tebal buku: xvi + 574 hlm.; 13,5 x 20,5 cm

ISBN: 978-602-9474-39-8

"Hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan" —Wikan Larasati

🌹Pengalaman pertamaku membaca buku karya penulis yang sekaligus jurnalis senior ini. Awalnya mengira ini kisah fiksi sejarah seperti umumnya, namun ternyata lebih mendekati 'political thriller', beserta suspense dan aksi laga menegangkan yang menyertai.

🌹Setting di Amerika Serikat dan Indonesia, dengan lokasi kota-kota di Amerika Serikat yang terus berpindah mengikuti perkembangan kasus yang diselidiki Wikan dan sepak terjangnya mengejar narasumber. Tokoh cerita pun terbilang banyak, butuh fokus untuk menghafalkan dan mencermati karakter masing-masing. Selain itu, Wikan sendiri sebagai tokoh utama cenderung intuitif dan impulsif sehingga acap kali aku terheran-heran dengan cara berpikir dan pendekatannya atas suatu hal. Karena aku nggak terlalu dekat dengan profesi jurnalis, aku anggap memang beginilah gambaran jurnalis muda ambisius bertindak. Meskipun demikian, Wikan tokoh berkarakter kuat. POV orang ketiga dan alur campuran tapi dominan maju bagiku menguntungkan bagi pembaca.

🌹Gaya bahasa terbilang formal namun tidak kaku, sesekali disisipi diksi yang bagiku belum familier dan sejumlah istilah bahasa Inggris menyesuaikan setting cerita. Aku nggak menemui kesulitan memahami konteks bahasa, apa lagi terdapat catatan-catatan kaki jika diperlukan, yang sekaligus menjelaskan mendetail suatu informasi atau fakta yang disebutkan para tokoh. Hanya sedikit sorotanku untuk istilah "consider it done" yang menurutku terlampau sering diulang dan digunakan, bahkan oleh tokoh berbeda (terkesan menyeragamkan gaya berbicara para tokoh). Lebih baik jika divariasikan istilah lain bermakna sama.

🌹Plot memang kompleks. Jika pembaca berusaha menebak niscaya akan sering meleset, alih-alih disuguhi kejutan berlapis (twists). Dan berhubung ini dwilogi, masih terbuka peluang kejutan lain dan ending yang lebih mencengangkan. Sederet pernyataan masih membutuhkan kepastian jawaban. Terkait topik yang diusung, yang memadukan fakta sejarah, konspirasi internasional, struktur oligarki, organisasi bawah tanah, menurutku sangat menarik dan mengasyikkan. Secara keseluruhan novel ini berhasil menyajikan genre fiksi segar dalam khazanah dunia literasi Indonesia. Nggak sabar menantikan kelanjutan sepak terjang Wikan Larasati dalam Kincir Waktu 2.



Jumat, 15 April 2022

[Resensi Buku] Love from A to Z: Lebih Dari Sekadar Romansa Religi

Posted by Menukil Aksara | 4:58:00 PM Categories:

Judul buku: Love from A to Z
Penulis: S.K. Ali
Penerbit: Republika Penerbit
Penerjemah: Jimmy Simanungkalit
Editor: Trisna Rahmawati
Cover: Resoluzy Media
Layout: Alfian
Cetakan: I, Desember 2021
Tebal: viii + 382 hlm.; 13.5 x 20.5 cm
ISBN: 978-623-279-124-4


"Kau suka dia karena kau kasihan padanya? Maaf ya, bukan bermaksud mengkritikmu, tapi aku jadi bingung. Mencintai seseorang bukanlah perkara keadilan sosial."

 📝Pertama kalinya baca novel YA dari penulis luar yang kedua tokoh utamanya berlatar keluarga muslim, bahkan salah satunya berhijab. Novel ini juga masuk nominasi Goodreads Choice Award 2019.

Kesan pertamaku: cover edisi terjemahan ini menarik komposisi warnanya dan sesudah membaca hingga tamat ternyata juga mewakili isi cerita.

📝Meskipun di awal buku dikatakan bahwa ini merupakan kisah cinta, tapi menurutku isi buku ini lebih dari itu. Menggunakan POV orang pertama secara bergiliran antara Adam dengan Zayneb, plus beberapa kali POV orang ketiga seolah ada narator cerita, kisah bergulir seputar dunia Zayneb dan Adam sebagai remaja yang berangkat dewasa. Tentang pergaulan Zayneb di sekolah, konfliknya dengan seorang guru yang mengangkat isu islamophobia, persahabatannya dengan teman-teman sesama muslim di sekolah Amerika, hingga hubungannya dengan keluarga. Tragedi kematian neneknya di Pakistan yang ternyata menyoroti konflik dunia Islam yang lebih kompleks. Lantas bergulir ke pengalaman liburannya ke Doha, yang meskipun negeri muslim tapi tetap ada saja insiden diskriminasi atas muslimah berhijab.

📝Di sisi lain, Adam memiliki konfliknya sendiri terkait isu kesehatan, juga memori kehilangan ibunya yang memengaruhi hubungan dengan sang ayah, dengan seorang adik yang membutuhkan kasih sayangnya. Sejumlah tokoh seperti teman-teman Adam dan Zayneb menurutku memegang peran cukup penting dalam cerita. Selain itu, aku menyukai sosok Auntie Nandy, tante Zayneb, yang penuh kasih sekaligus menjadi penyemangat Zayneb dalam memperjuangkan keadilan dan idealisme sebagai muslim, walaupun Auntie Nandy sendiri bukan muslim.

📝Chemistry antartokoh utama Zayneb-Adam jadi daya tarik pembaca yang menyukai kisah romansa manis. Meskipun karakter Adam-Zayneb kontras: Adam kalem, Zayneb berapi-api, tapi interaksi keduanya tidak menimbulkan konflik berarti. Menurutku dinamika cerita justru datang dari konflik pribadi masing-masing seperti yang kusinggung tadi. Karakter Zayneb yang cenderung impulsif, keras kepala dan tidak bisa diam saja setiap kali menyaksikan atau mengalami ketidakadilan dan diskriminasi mendukung sekali plot yang diciptakan penulis. Meskipun, kadang ikut geregetan juga dengan Zayneb yang mudah tersulut emosi, apa lagi mengingat usianya yang masih muda. Di sinilah menurutku peran orangtuanya (terutama di sini ibunya) dan Auntie Nandy penting, untuk memberikan sudut pandang baru dan nasihat.

📝Menurutku S.K. Ali cukup berhasil menyampaikan pesan cerita dan misinya mewakili suara muslim minoritas di Amerika. Novel yang mengangkat isu sensitif dan kompleks tapi diracik menarik dengan kisah romansa anak muda dan kisah persahabatan tulus melampaui perbedaan-perbedaan.

Terdapat sejumlah detail cerita yang menurutku sekiranya diceritakan lebih tuntas akan lebih memuaskan. Mungkinkah akan disinggung lebih jauh di buku kelanjutannya? Karena kabarnya ada semacam kisah sekuel Adam-Zayneb ini. Semoga saja. 



 






Senin, 04 April 2022

 


📌Judul: Misi • Penulis: Asmayani Kusrini• Penyunting naskah: Ika Yuliana Kurniasih• Gambar & Tata Letak Sampul: Viona Daisy• Cetakan pertama, November 2021• Penerbit Mekar Cipta Lestari, vi + 326 hlm; 13 cm x 19 cm

🌬️Bisa dibilang, berbagai emosi menghampiriku saat membaca novel ini.

🌬️Aku awalnya diajak kilas balik dan dibikin tertawa dengan kesalahpahaman akibat komunikasi 'rumit' yang terjadi antartokoh. Lantas cerita bergulir kembali ke masa kini. Dengan alur maju-mundur dan dua POV (orang pertama dan ketiga), aku dibawa bertualang ke Tana Toraja, di sebuah desa Boko' Lino, khususnya Tondok Pitueran, untuk mengenal bagaimana tokoh utama Misi dibesarkan, diasuh neneknya bersama sepupu-sepupunya dan mengapa ia tidak pernah mengenal orangtuanya. Pemaparan budaya dan tradisi Tana Toraja mendetail. Hal ini pun berlaku dengan deskripsi kota-kota yang sempat ditinggali dan disinggahi Misi di Eropa (antara lain Usk, Newport, London, Brussel, hingga Monemvasia) yang juga mendetail dan hidup hingga memudahkanku memahami. Plus ada catatan-catatan kaki. Membaca profil penulis yang memang lahir dan besar di Sulawesi dan tinggal di Belgia, deskripsi tersebut merupakan bagian dari hidupnya, tidak sekadar mengandalkan riset, jadi tidak mengherankan.

🌬️Konflik yang melibatkan keluarga besar Ne' Tabi, Misi, Bu Julia, Mbak Jess, hingga teman-teman Misi di Brussel memang kompleks dan ada isu sensitif yang menimbulkan trauma. Tapi penulis mampu mengemasnya dalam plot yang rapi, melibatkan setiap tokoh dengan porsi tepat dan melibatkan emosiku sebagai pembaca. Aku marah dengan perlakuan para pemuda di bus, sedih dengan keputusan yang diambil Ne' Tabi, ikut emosional dengan jalan hidup Misi yang berliku di perantauan asing, ditambah sikap Mbak Jess yang plin-plan. Aku antara ingin mengerti tapi juga geregetan dengan Mbak Jess ini. Dia menggambarkan sosok perempuan modern yang punya ambisi tapi kerap kali terjebak dalam perasaan cinta yang membutakan, ditambah lagi latar belakang orangtua yang berkecukupan dan cenderung memanjakan terutama secara finansial. Beberapa kali kutemukan pernyataannya yang menggugah bertolak belakang dengan tindakan yang dia ambil kemudian. Misi sendiri sosok yg naif tapi kuat dan mampu belajar dari pengalaman hidupnya. Karakter teman-teman Misi di Brussel juga menarik, spt Rhandra, Zappa dan Thanasis dengan kisah hidup masing-masing yang juga tidak sederhana. 


🌬️Novel tentang trauma, memori, dengan tokoh perempuan sebagai porosnya yang berjuang demi hidupnya dalam sebuah cerita perjalanan yang kaya makna dan hikmah. Kisah yang menyentuh, menguatkan dan menginspirasi. Ditulis oleh penulis perempuan dari daerah dan menonjolkan kearifan lokal. Recommended 👍🏻



Minggu, 27 Maret 2022

[Resensi Buku] The Fountains of Silence: Sejarah Kelam Spanyol Masa Franco

Posted by Menukil Aksara | 6:25:00 AM Categories:

 


📝"Kami hanya mati jika kalian melupakan kami." —epitaf tanpa nama (Kuburan Massal Perang Saudara Spanyol)

📌The Fountains of Silence • Penulis Ruta Sepetys, editor Fidyastria Saspida, alih bahasa Airien Kusumawardhani • Penerbit Elex Media Komputindo, 2019, 508 hlm.



📑Lewat fiksi sejarah ini, aku menjadi tahu mengenai Perang Saudara Spanyol antara kaum Nasionalis dengan kaum Republikan. Kaum Nasionalis yang dipimpin Generalísimo Francisco Franco dibantu Hitler dan Mussolini. Kemenangan diraih kubu Franco dan Spanyol berada di bawah kepemimpinan diktatornya selama tiga puluh enam tahun. Periode kelam dalam sejarah kekuasaan Spanyol ini kurasa juga masih belum banyak diketahui oleh warga dunia. Di sinilah Ruta Sepetys menggulirkan kepiawaiannya dalam menjalin kisah fiksi tapi didasarkan pada riset yang mumpuni
📑Diceritakan lewat POV orang ketiga, per babnya pendek-pendek, sering kali berganti fokus tokoh begitu saja, sedangkan alur dominan maju. Tokoh utamanya menarik bagiku; seorang pemuda yang berambisi menjadi fotografer profesional, namun terhalang restu ayahnya yang seorang pebisnis di bidang perminyakan. Fotografi yang diminati adalah tipe fotografi perang atau yang merangkai cerita lewat kehidupan orang-orang yang dipotret. Kusuka bagaimana penulis detail mendeskripsikannya melibatkan emosi dan prinsip jurnalisme. Mengingatkanku akan tipe fotografi dalam National Geography. Dari segi karakter, meskipun muda, Daniel memiliki kedewasaan berpikir dan emosi yang stabil. Sedangkan tokoh utama wanita, Ana, memiliki semangat hidup tinggi, keingintahuan akan banyak hal, tapi dibelenggu rasa takut. Tokoh-tokoh lain dan konflik pribadi mereka pun nggak kalah menarik, mendukung atmosfer mencekam sekaligus menyempurnakan plot. Misalkan Julia kakak Ana dan Puri sepupu Ana dari pihak ibu; keduanya lebih memilih tutup mulut meskipun menemukan banyak titik kecurigaan beralasan tentang aksi-aksi keji para tiran dan mengetahui rahasia kelam keluarga karena kedua perempuan ini menganggap tutup mulut adalah demi keselamatan diri dan keluarga. Favoritku selain Daniel adalah Ben dan Miguel, dua tokoh pria yang mengajarkan banyak hal tentang fotografi kepada Daniel dan menjadi rekan diskusi menyenangkan walaupun usia mereka lebih dewasa dan Miguel memiliki latar budaya berbeda dengan Daniel. Ada pula kisah Fuga si miskin yang tidak jelas asal-usulnya yang bermimpi menjadi matador. Penggambaran tradisi matador ini pun dieksekusi dengan baik. Edisi terjemahan Bahasa Indonesia ini pun menyediakan sejumlah catatan kaki untuk membantu pembaca memahami istilah-istilah terkait budaya Spanyol dan deskripsi dalam cerita
📑Franco dengan tiraninya lewat militer, penggambaran Pasukan Gagak yang selalu mengintai, kisah pencurian bayi, Katolik sebagai agama satu-satunya yang diakui, memandang kaum lain rendah bahkan keturunannya berhak dirampas itu sungguh mencengangkan, lantas tentang Pakta untuk Melupakan dan fakta bahwa negara-negara lain tidak mampu berbuat apa-apa juga bikin geram. Bagaimana penulis mengakhiri kisah tiap tokoh bagiku logis dan meskipun tidak semua bahagia, justru memperkuat nilai cerita yang ingin disampaikan. Kurekomendasikan bagi pecinta fiksi sejarah. Selain kisah berlatar Perang Dunia, kisah ini tak kalah penting dibaca 👍



Kamis, 24 Maret 2022

[Resensi Buku] Sepotong Hati di Angkringan: Memaknai Ulang Sepi di Masa Pandemi

Posted by Menukil Aksara | 12:18:00 PM Categories:

📌Judul buku: Sepotong Hati di Angkringan • Penulis Joko Pinurbo • Kurator Tia Setiadi • Ilustrator Alfin Rizal • DIVA Press, 2020, 81 hlm. 📌

🏡 Buku kumpulan puisi ini terdiri atas dua bagian; bagian pertama Sepotong Hati di Angkringan, membidik tema kehidupan secara umum bersetting Yogyakarta dan hal-hal sederhana yang biasa ditemui namun bisa jadi luput dari pemaknaan mendalam, seperti puisi Bakso Sedap, Becak Santuy, dan Suara Drumben Dini Hari, lalu bagian kedua Ibadah Mandi menggugah permenungan atas pandemi yang terjadi, "memamerkan" kemahiran teknik Jokpin sebagai maestro sekaligus kearifan sebagai manusia dewasa, misal lewat puisi Jalan Korona, Elegi 2020, dan Sajak Semoga

🏡Ini buku ketiga beliau yang kubaca, tetap suka dan menikmati sekali tiap sajaknya. Menurutku lewat syair-syair yang bersahaja, pun selentingan sindiran yang tajam, ditemani humor segar yang bikin senyum-senyum, mampu menonjolkan ciri khas sang penyair. Dan tak lupa apresiasi tinggi juga kepada ilustrator yang menciptakan karya keren yang menyertai tiap puisi. Wow banget, sungguh. Wajib dimiliki buku fisiknya

📜Protokol Kewarasan

1. Menutup wajah dengan wajah 

yang lebih tulen.

2. Menjaga jarak dengan kenangan.

3. Mencuci hati dengan harum hati. 

(hal. 74) 📜




 

Senin, 21 Maret 2022

[Resensi Buku] Laut Bercerita: Jangan Biarkan Kekelaman Menguasai Indonesia

Posted by Menukil Aksara | 7:07:00 PM Categories:

 

Judul buku: Laut Bercerita • Penulis: Leila S Chudori • Penyunting: Endah Sulwesi, Christina M. Udiani • Cetakan keduapuluh lima, 2021, Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) • x + 379 hlm; 13,5 cm x 20 cm • ISBN: 978-602-424-694-5


📢Pernah mendengar istilah desaparasidos
Dalam bahasa Spanyol desaparecidos bermakna seseorang yang menghilang, diduga dibunuh pihak militer/kepolisian. Dalam novel ini diartikan 'penghilangan orang secara paksa'
📢Apa yang melatarbelakangi aksi desaparasidos? Sesuai latar kisah di era Orde Baru yang represif, hal tersebut dilakukan demi membungkam suara keadilan dan kebenaran. Dalam Laut Bercerita, yang vokal menyerukan perlawanan adalah para aktivis yg mayoritas berstatus mahasiswa. Dibuka dengan adegan yg langsung menyulut emosi dan mengobrak-abrik sisi kemanusiaan, tentang nasib tragis Biru Laut sang tokoh utama, kisah dimulai di masa kini lantas bergulir menyorot momen-momen penting di masa tertentu yang lampau. Selain POV orang pertama dari Biru Laut, bagian kedua buku bercerita dari sudut pandang sang adik, Asmara Jati. Di bagian ini digambarkan cukup intens bagaimana perjuangan keluarga dan rekan memperjuangkan keadilan, menemukan kebenaran dan titik terang mengenai keberadaan para korban desaparasidos, juga mengulik sisi psikologis para tokoh


📢Ada cukup banyak tokoh selain Laut yang menyita perhatian. Menarik mencermati dinamika hubungan para aktivis dengan berbagai karakter; ada persahabatan, romansa, bahkan pengkhianatan. Karakter Laut dan Asmara yang bertolakbelakang menurutku membuat novel makin hidup, selain keberadaan Kinan si gadis berkarisma dan berjiwa pemimpin
📢Ada fakta terkait budaya dan bahasa di setting Blangguan yg mengganjal bagiku (kebetulan aku tinggal di Situbondo yang merupakan kabupaten di mana Blangguan ini berada, jadi cukup mengenal budaya dan bahasa masyarakat), juga masih ada sedikit ketidakpuasan dalam plot dan penggambaran gulat pemikiran antaraktivis dan rakyat secara keseluruhan. Namun bagaimanapun juga novel ini ditulis dengan riset dan pemikiran matang yang hasilnya sangat kuapresiasi. Aku pun salut dengan penggalian sisi psikologis para tokoh (termasuk pascatrauma) meskipun belum sampai membuatku menitikkan air mata (sebagaimana sebagian besar teman pembaca yg kutahu). Ini novel sejarah Indonesia pertama yang menurutku berani mengambil sudut pandang para aktivis. Bagi pembaca yang tidak mengalami secara langsung era Orde Baru mungkin akan sedikit kesulitan memahami betapa berbeda situasi masa itu dibandingkan kini, tapi justru menantang generasi muda agar melek sejarah.




Kamis, 10 Maret 2022

[Resensi Buku] Membantah Tuanku Rao: Dongeng dengan Sentimen Pribadi (?)

Posted by Menukil Aksara | 2:09:00 PM Categories:

 📌Judul: Antara Fakta dan Khayal: Tuanku Rao; Penulis Prof. Dr. Hamka; Editor Muh. Iqbal Santosa, Jakarta; Republika Penerbit, 2017, viii + 479 hal.📌


📑"Bagi saya sejarah itu hanyalah fakta dan data, bukti dan catatan yang kita terima dari pada orang yang dahulu dari pada kita. Dan kita tidak melihat sendiri lagi kejadian itu karena ruang dan waktu yang sudah lampau. Oleh sebab itu untuk menilai, mempertautkan di sana sini, perlulah kita pakai pikiran kita: yaitu pikiran yang teratur. Pikiran teratur itulah yang mempunyai peralatan berpikir; premis I, premis II dan kesimpulan." (hal. 369)

📑Buku ini merupakan Bantahan Terhadap Tulisan-tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan dalam Bukunya "Tuanku Rao”. Merupakan pengalaman pertamaku membaca buku bantahan atas suatu buku lain. Sedangkan dari sisi tokoh yang dijadikan judul buku sekaligus fokus (Tuanku Rao, oleh Ir. Mangardja Onggang Parlindungan), bisa dikatakan semasa di bangku sekolah yang lekat di ingatan tentang sosok pemimpin Padri justru Tuanku Imam Bonjol. Namun dalam buku bantahan ini dijelaskan bahwa ada banyak ulama Padri, meskipun yang menonjol ada lima: Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Lintau, Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Tambusai (hal. 241). Lantas siapakah Tuanku Rao, dari mana asal usul dan apa kiprahnya dalam sejarah Islam di Indonesia? Mengapa pula Parlindungan begitu menonjolkan dan mengelu-elukannya?

📑Buku yang cukup tebal ini diawali dengan cerita perkenalan Buya Hamka dengan buku Tuanku Rao disusul dengan penulisnya, berlanjut dengan pertemuan keduanya dengan para sarjana Minang dalam sebuah seminar (termasuk dalam acaranya adalah pembahasan Tuanku Rao). Ditulis secara sistematis (ditunjukkan pada bagian mana pernyataan yang hendak dikupas, di halaman berapa), juga disertai wawancara dengan sejumlah narasumber dan menggali riset dengan referensi jelas (ada dalam Daftar Buku Bacaan). Buku Bantahan ini bahkan memaparkan sejarah Islam di dunia dan bangsa Arab, barulah mengupas sejarah Islam Indonesia, pendudukan Belanda dan Perang Padri. Mengapa hingga menyentuh sejarah Islam di dunia? Karena buku Tuanku Rao mengaitkan kiprah Tuanku Rao dalam lingkup tersebut, termasuk menyebutkan sejumlah tokoh Islam dunia. Selain itu sangat penting mengupas juga budaya Arab, letak strategis sejumlah wilayah di dunia, dan situasi politik suatu masa tertentu demi membantah sejumlah poin

📑Pengalaman membaca yang luar biasa. Selain menambah pengetahuan juga mengingatkan tentang urgensi berpikir kritis dan logis, tentang metode ilmiah dalam penulisan sejarah, dan tentang dampak publikasi tulisan seseorang apatah lagi jika isinya menyesatkan. Terakhir, buku Buya Hamka ini menjadi teguran; hendaknya umat muslim Indonesia memberikan penghormatan kepada setiap tokoh perjuangan dan pergerakan kemerdekaan dengan adil, tidak melebihkan satu atas yang lain hanya karena sentimen pribadi atau agenda terselubung lain

📑Berikut ini sejumlah kutipan dari buku Antara Fakta dan Khayal: Tuanku Rao yang menurutku penting digarisbawahi:

🖍️Parlindungan memberi judul bukunya dengan "Tuanku Rao" karena Tuanku Rao seorang yang penting sekali kedudukannya dalam kalangan Padri. Sebab dia berdua dengan Tuanku Tambusai adalah orang-orang yang berjasa di dalam menyebarkan Agama Islam ke daerah Tanah Batak, sampai ke Batak Utara, termasuk Tarutung, Balige, dan Porsea sekarang ini.
(hal. 279)

🖍️Saya memuji keahlian Parlindungan berkhayal. Sayang sekali ilmu pengetahuan tentang ilmu bahasa dan nasab Arab tidak ada sama sekali, sehingga apa yang dikarangnya ini menjadikan tertawa orang yang ada pengertian terhadap nama si Pokki Na Ngol-ngolan, alias Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, ditukar jadi 'Umar Khaththab! Dan menurut pengetahuan segala orang yang mengerti aturan nama orang Arab dan nama Sayidina 'Umar bin Al-Khaththab pada umumnya, sekali-kali tidaklah Khalifah Rasulullah Yang Kedua itu bernama 'Umar Khaththab, melainkan 'Umar bin Khaththab. (hal. 293)

🖍️Asrul Sani memberikan keterangan:
"Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi sendiri, Rao Padang Nunang. Kaum keluarga dan suku-saka yang terdekat masih dapat dicari sekarang di sana... "
(hal. 297)


🖍️Penulis Putra Batak sendiri, Alm. Sanusi Pane tidak ada membayangkan sama sekali bahwa Tuanku Rao itu orang Batak.
(hal. 299)

🖍️Sejarah adalah hasil penyelidikan pada bekas-bekas yang ditinggalkan oleh orang dahulu berupa kesan, tulisan, bangunan, dan lain-lain. Semuanya ini dikumpulkan dan disusun lalu dijadikan pegangan turun-temurun. Segala bahan, fakta dan datanya atau bahan dan masanya dipertahankan dengan memakai logika akal.
Bukanlah sejarah namanya apa yang disusun sendiri oleh orang seorang asal ganjil bunyinya didengar orang lain, atau berbeda dari yang ditulis oleh orang lain, lalu dipaksa orang menerima apa yang disusun itu. Atau dikarang cerita tapi tidak terang dari mana sumbernya.
(hal. 358-359)

🖍️Saya tidak sepaham dengan Parlindungan yang menyamakan sejarah dengan ilmu exact! Bagi Parlindungan yang penting ialah angka tahunan. Sedang bagi saya angka tahunan bukan exact, malahan barang mati kalau tidak diselesaikan dengan logika. Dalam Tuanku Rao terdapat berpuluh-puluh angka tahunan, tetapi menjadi hancur laksana bukit salju kena panas setelah diuji dengan logika atau peralatan premis.
(hal. 369)

🖍️Hal yang demikian dilakukan juga oleh Parlindungan kepada seluruh suku Minang yang selalu ditulisnya dalam bahasa Inggris "Brothers from Minang". Dengan tambahan S di ujung Brother jelaslah bahwa yang ditujunya sudah lebih dari satu orang! Apatah lagi banyak terdapat kata-kata ejekan yang tidak pantas, seperti 'membeo' saja atau 'dammit' dan lain-lain padahal tidak pula jelas orang Minangkabau mana yang dituju.
(hal.373)

🖍️Maka bertemulah beliau dengan "Brothers from Minang" di rantau yang berminat pada sejarah: seperti Dr. Deliar Noor, Dekan IKIP Jakarta, Dra. Asmaniar, Drs. Ibrahim Buchari, keduanya sarjana jurusan sejarah, Drs. D.M. Mansur, Drs. Amura, Drs. Sidi Gazalba, dan beberapa sarjana di Minang sendiri.
Ketika mulai terjadi pertukaran-pertukaran pikiran tidaklah ada orang yang membalas serang karena menyinggung-nyinggung nama Minang. Orang hanya meminta fakta dan data dari apa yang dia tulis.
Sayang! Tidak ada satu pun yang dapat dijawabnya dengan tegas to the point!
(hal. 375-376)

📙Sebagai penutup (usai menyampaikan sederet poin kesimpulan), Buya Hamka menyampaikan:


"Demikianlah beberapa kesimpulan yang sangat prinsipil di dalam buku kita ini, untuk membantah keterangan-keterangan yang sangat menyesatkan dalam buku "Tuanku Rao" karangan Parlindungan tersebut, di samping beratus, saya ulang; beratus keterangan lain yang juga menyesatkan, yang telah dapat memperdayakan pula beberapa sarjana, sehingga mengakibatkan timbul keraguan kita atas nilai kesarjanaan dalam bidang sejarah bagi sarjana-sarjana yang mempercayai buku tersebut."  (hal. 394)

Wallahu a'lam bishawab.

Senin, 23 September 2019

Senjakala: Kisah-Kisah Mistis Ketika Senja dan Curahan Hati Risa Saraswati

Posted by Menukil Aksara | 6:23:00 PM Categories:

Judul buku       : Senjakala
Penulis             : Risa Saraswati
Penyunting       : Maria M. Lubis
Penerbit           : PT Bukune Kreatif Cipta
Tebal buku       : x+218 hlm; 14x20 cm
Cetakan/Tahun : Cet.1/November, 2018
ISBN                : 978-602-220-294-3
Genre               : novel misteri/horor

Blurb

Senja kala.

Setiap orang punya perasaan yang berbeda tentang gurat merah yang menghiasi langit senja itu. Ada yang menganggapnya indah, tenang, bahkan romantis—seperti yang sekarang kian populer disajakkan para penyair.

Namun, bagiku, Peter, Hans, Hendrick, William, dan Janshen, saat itu artinya tidak boleh ke mana-mana. Kami akan berada di kamar dan aku bercerita tentang hal mengerikan apa saja yang bisa muncul di waktu senja.

Anak-anak itu ketakutan.

Semakin besar rasa takut mereka, makin semangat aku bercerita. Kukumpulkan kisah-kisah paling menyeramkan dari makhluk yang bermunculan pada jelang malam itu di buku ini.
Selamat mengikuti Senjakala, sisi lain dari indah gurat senja.

Sinopsis

“Hal yang paling kurindukan saat bersama teman-teman masa kecilku adalah saat malam menjelang dan kami semua tidur berdesakan di kamarku yang sempit. Meski berkumpul dengan hantu pasti sangat janggal di telinga orang lain, tapi bagiku itu adalah hal yang sangat menyenangkan.” (hlm. 140)

Pembaca novel-novel bergenre misteri-horor Indonesia pasti sudah nggak asing dengan nama Risa Saraswati. Buku-bukunya yang mengangkat kisah pengalamannya berinteraksi dengan hantu atau arwah atau bahkan sosok mistis menyeramkan telah diterbitkan oleh penerbit mayor, bahkan difilmkan. Buku Senjakala ini merupakan karya terbarunya. Berbeda dengan sejumlah buku terdahulu, kali ini Risa menuliskan kumpulan kisah pengalamannya maupun kisah orang yang dikenalnya berjumpa sosok mistis ketika senja datang, atau sekitar pukul enam hingga tujuh malam.

Di Indonesia, waktu senja identik dengan larangan orangtua kepada anak-anaknya untuk tidak keluar rumah atau bermain di luar karena di waktu tersebut konon banyak makhluk dunia lain yang bebas bergentayangan dan mengganggu manusia, bahkan dalam kasus tertentu menculik atau menyembunyikan anak.

Terdapat tujuh kisah seram, baik yang dialami Risa sendiri, keluarganya, maupun kenalannya yang berjumpa aneka makhluk tak kasatmata. Ada kisah anak diculik kalong wewe, ada juga perempuan cantik yang mengerikan bernama Sukma, anak laki-laki dan perawat yang berjumpa kuntilanak, sopir taksi muda yang bertemu berbagai makhluk halus akibat ditumbalkan oleh pesugihan, peti mati yang mengirim pertanda kematian, hingga kisah hantu anak perempuan dari masa penjajahan yang gentayangan di rumah angker.

Namun selain menceritakan sejumlah kisah seram tersebut, Risa juga mencurahkan kegundahan hati kepada kelima hantu cilik yang menjadi sahabatnya: Peter, Hans, Hendrick, William, dan Janshen. Ketakutan akan kematian, perasaan merasa sendirian, atau harapan akan masa depan dicurahkan di sini. Risa bahkan menulis surat yang seolah mengantisipasi perpisahan dengan kelima sahabatnya itu.



Review

“... jangan pula menerima uang tanpa bekerja atau berusaha keras untuk mendapatkannya.” (hlm. 138)

“... tak ada yang lebih menyedihkan dari hidup sendirian dan merasa ditinggalkan.” (hlm. 205)

Membaca buku karya Risa Saraswati merupakan pengalaman pertama bagi saya. Lewat buku ini, meski sekilas, saya jadi mengenal kelima hantu yang bersahabat dengan Risa beserta tingkah polos dan lucu mereka. Mungkin saya sebaiknya mulai membaca kisah mereka masing-masing yang telah dibukukan juga. Interaksi antarmereka selama Risa menceritakan kisah-kisah mistis ini pun kerap mengundang senyum, menjadi selingan di sela ketegangan dan kengerian yang terasa. Seolah didongengi tapi bukan dongeng anak yang menggemaskan.

Dari ketujuh kisah, bagi saya yang paling menakutkan itu kisah sopir taksi yang sempat dinyatakan meninggal tapi hidup kembali. Sepertinya ‘relate’ dengan kisah nyata yang pernah saya dengar. Selain itu, twist kisah rumah persemayaman dan peti mati yang bergerak-gerak sendiri mengagetkan saya. Nggak menyangka sama sekali.

Semua kisah tak lupa menyampaikan pesan moral yang sangat berharga. Tentang kasih sayang orangtua pada anak dan sebaliknya, teguran agar tidak membantah orangtua, teguran agar tidak menghalalkan segala cara untuk sukses atau kaya, tentang keberanian, dan rasa penyesalan yang selalu datang terlambat. Menjadi poin plus secara pembaca yang tak pernah mencoba membaca genre horor kadang menganggap cerita genre ini hanya menakut-nakuti atau menguji nyali semata. Padahal saya yakin, tiap kisah pasti menyelipkan hikmah berharga.

Bagian pembuka dan isi surat pribadi Risa pada kelima sahabat tak kasatmatanya juga menyentuh. Membuka pikiran dan hati saya tentang bagaimana rasanya hidup menjadi seorang Risa Saraswati dengan keistimewaan yang bagi orang seperti saya akan terkesan menakutkan. Bagaimana Risa mengatasi rasa letih, kesepian dan ketakutan-ketakutannya, bikin saya mencoba berempati pada orang lain yang berbeda dari saya.

Bagi kamu yang tergolong pemula dalam membaca novel horor, buku ini patut banget dicoba. Tidak terlalu tebal, bahasanya ringan, dan bisa dibaca dalam hitungan jam. Jika masih belum cukup nyali, bacalah di waktu siang, bukan di kala senja datang, karena akan bikin terbayang-bayang para sosok seram dalam cerita. he he... btw, kavernya cantik sekaligus menyeramkan, ya :)

Senin, 01 Juli 2019

Kisah Mahapatih Gajah Mada dan Petualangan Si Bajak Laut yang Konyol

Posted by Menukil Aksara | 3:45:00 PM Categories:

Judul buku         : Bajak Laut & Mahapatih
Genre                  : fiksi – komedi sejarah
Penulis                : Adhitya Mulya
Editor                 : Resita Febiratri
Desain sampul & ilustrator isi: WD Willy
Penerbit              : GagasMedia
Cetakan              : pertama, 2019
Tebal buku         : vii + 292 hlm; 13 x 19 cm
ISBN                   : 978-979-780-941-6

Blurb

Jaka Kelana: bajak laut yang konyol, tapi pintar (terkadang). Cita-citanya kali ini bukan terkenal dan disegani, simpel saja, gimana sih caranya biar nggak jomlo lagi? Dia pengin banget melamar Galuh, sang pujaan hati.
Namun, apa profesi bajak laut—yang jadi buronan banyak orang—bisa memiliki masa depan bagus?

Gajah Mada: panglima perang Kerajaan Majapahit. Cita-cita Mahapatih adalah menyatukan Nusantara, menaklukkan beberapa daerah. Sumpah Palapa pun ia ucapkan, yang merupakan janji setia kepada kerajaan.
Tentu saja, di setiap perang ada banyak cerita. Drama apakah yang terjadi pada sang Mahapatih dan kisah-kisah perangnya?

Lalu, bagaimana cerita Jaka Kelana bisa terkait dengan Mahapatih Gajah Mada yang hidup puluhan tahun lalu?
Apakah Jaka berhasil membuktikan bahwa ia ganteng dan tidak jomlo selamanya? Padahal, kegantengan dirinya itu mutlak menurut Jaka seorang.

Sinopsis

Di buku satu dikisahkan kepahlawanan Jaka Kelana dengan membunuh seekor naga. Beberapa waktu berselang, di tahun 1675, Jaka dan awak kapalnya yang menamakan diri mereka Kerapu Merah menambatkan kapal di Bandar Banten. Merasa bahwa pamornya telah naik, Jaka Kelana menjadi lebih percaya diri. Namun di luar dugaan, justru aksi heroik tersohornya memancing marabahaya. Banyak pendekar yang mengincarnya, baik hidup ataupun mati demi imbalan besar yang ditawarkan kompeni. Jaka dan awaknya yang berhasil meloloskan diri pun lari tunggang-langgang, angkat sauh, lalu berlayar ke Surabaya. Ternyata di Surabaya Jaka memiliki misi lain yang bersifat pribadi. Dia ingin melamar Galuh, gadis pujaannya, meskipun telah ditolak belasan kali sebelumnya. Sayangnya, sekali lagi Jaka harus menerima penolakan pahit. Tapi Jaka tak menyerah. Dia bahkan bertekad akan mencari cara agar Galuh menerima lamarannya di masa depan. Salah satu jalan adalah mengumpulkan harta sebanyak mungkin. Maka ketika seorang saudagar menawarkan bayaran mahal dengan mengantarkannya ke Palembang, Jaka menyanggupi meski berisiko tinggi. Di Palembang pulalah kemudian Jaka dan kawan-kawan berjumpa seorang gadis yang mengaku putri Sultan Johor bersama sepasang pengawal pribadinya. Gadis bernama Zubaedah tersebut meminta bantuan Jaka mendapatkan kembali harta kesultanannya yang telah lama berpindah tangan ke Kesultanan Mataram, tentunya dengan janji imbalan yang setimpal. Tergiur imbalan yang dijanjikan, Jaka menyanggupi meskipun belum sepenuhnya paham bagaimana dia mampu membantu mendapatkan kembali harta pusaka sang putri.

Sedangkan di Kesultanan Mataram sendiri Tumenggung Wirakrama baru saja dilantik menggantikan jabatan tumenggung sebelumnya. Sebagai tumenggung, ternyata Wirakrama mewarisi tugas untuk menjaga sebuah rahasia besar. Rahasia tersebut tersimpan rapi dalam sebuah buku catatan yang dinamai Lembar Amangkubhumi. Buku tersebut milik Mahapatih Gajah Mada dan berisi kumpulan tulisan penting mencakup kisah hidup semasa menjabat Mahapatih di Kerajaan Majapahit, juga rahasia di balik kegemilangan dan kekuatan sang Mahapatih.

Di lain pihak, di tengah perjalanan menuju Mataram, Jaka Kelana tak sengaja menguak kedok Zubaedah dan jati diri kedua pengawalnya. Ternyata gadis tersebut memiliki niat jahat dengan harta yang hendak direbutnya dan Jaka hanyalah tumbal. Terlambat mengetahui, Jaka harus membayar mahal dan nyaris kehilangan nyawa. Sesudah berhasil mendapatkan harta incaran dari Sultan Mataram lewat negosiasi licik dan pertumpahan darah, Zubaedah dan sepasang pengawalnya bergegas menuju Pulau Buton. Tumenggung Wirakrama yang menyadari kesalahan yang dibuat Sultan pun terpaksa berkomplot dengan Jaka Kelana. Misi sesungguhnya Zubaedah ternyata berkaitan dengan rahasia besar yang ditinggalkan oleh Mahapatih Gajah Mada. Rencana jahatnya harus digagalkan.

Review

“Jika sebuah perkara jatuh ke tangan penguasa yang bijak dan arif, maka perkara itu akan memberikan manfaat untuk orang banyak. Jika sebuah perkara jatuh ke tangan penguasa yang tamak dan haus kuasa, maka dunia dapat jungkir balik dibuatnya.” (hlm. 54)

Ini kali pertama saya membaca kisah petualangan Jaka Kelana dan Kerapu Merah. Sempat ragu, apakah akan bisa ‘nyambung’ dengan cerita buku dua ini, berhubung saya belum membaca buku satu (Bajak Laut & Purnama Terakhir). Tapi ternyata kekhawatiran saya tersebut sirna sesudah membaca buku ini. Meskipun belum membaca keseruan kisah Jaka Kelana membunuh naga di buku satu, itu tidak masalah. Toh kisah di buku ini bisa dibilang berdiri sendiri. Meskipun demikian, tentu lebih afdol jika kamu sudah menamatkan baca buku satu terlebih dulu sebab akan lebih paham mengapa Jaka diburu banyak pendekar di awal cerita buku ini.

Dengan mengusung label ‘komedi sejarah’, buku ini memang memadukan penggalan catatan sejarah Nusantara terutama di masa kejayaan Kerajaan dan Kesultanan di tanah Jawa dengan kisah fiksi petualangan, dikemas dalam nuansa humor dan selorohan yang mengundang tawa, yang menyiratkan keinginan penulis menyuguhkan cerita sejarah dengan gaya ringan menghibur. Bahasanya pun tidak seratus persen baku, dikombinasikan dengan gaya bahasa informal ala novel kontemporer tapi tetap sesuai konteks seting dan tokoh. Berbagai istilah dan fakta sejarah disuguhkan dengan tambahan catatan kaki. Fakta sejarah dipadukan dengan fiksi secara apik, tapi tetap disertai ulasan singkat di halaman terpisah di bagian akhir buku sehingga pembaca bisa membedakan dengan mudah mana fakta mana fiksi.

Selain tokoh Jaka Kelana yang menjadi fokus utama dengan segala kekonyolannya, keempat kawannya Lintong, Aceng, Surendro dan Abbas yang setia kawan, kehadiran tokoh Wirakrama yang berwibawa menjadi ‘penyeimbang’ karakter mereka, sehingga cerita tak melulu dibawa melucu. Sedangkan sisipan kisah romansa Jaka Kelana dengan Galuh, Mahapatih Gajah Mada dengan Sri Gitarja memang fiktif tapi tetap diramu menjadi plot yang menarik. Disertai duel dan aksi kejar-kejaran yang seru, Adhitya Mulya juga tak lupa memberikan kejutan-kejutan sepanjang cerita. Dan karena buku ini tak terlampau tebal, saya menamatkan baca tanpa terasa, terhanyut dengan aksi heroik Jaka Kelana, Wirakrama dan kawan-kawan.

Jika kisah Jaka Kelana dan kawan-kawan memiliki kelanjutan di buku tiga, saya yakin pembaca setianya akan menantikan. Terlebih lagi jika banyak menampilkan aksi laga di lautan, sesuai julukan Jaka: si Bajak Laut yang konyol tapi pintar. Dan sebaiknya juga masih dilengkapi dengan ilustrasi cantik di sejumlah halaman seperti di buku dua ini.



Senin, 10 Desember 2018

Pesan Kematian: Jiwa-Jiwa yang Ingin Didengar

Posted by Menukil Aksara | 7:34:00 AM Categories:

Judul buku      : Pesan Kematian
Penulis            : Cerberus Plouton & Kevin and the Red Rose
Penyunting      : Irwan Rouf
Penerbit          : Media Kita
Tahun terbit    : 2018, cetakan pertama
Tebal buku     : vi + 262 hlm., 14,5 x 21 cm
ISBN              :978-979-794-572-5
Genre             : misteri

BLURB:
Sejak Kevin and the Red Rose membentuk Red Rose Salon di Pantai Nembrala, tempat itu jadi tak pernah sepi pengunjung. Kevin, Eda, Ilyas, dan Luthfi sering mengadakan pertunjukan spontan. Mereka saling melengkapi dalam bermain gitar dan pianika, serta diiringi nyanyian bersuara merdu.

“Tolong... “

Suara rintihan wanita yang terdengar samar-samar itu hanyalah awal dari berbagai teror di sana. Seorang wanita ditemukan mati bunuh diri dengan meloncat dari tebing. Kevin dan ketiga temannya mengira bahwa kengerian akan berakhir setelah jasad wanita itu dikebumikan. Namun, mereka salah besar. Serangkaian teror mencekam masih menghantui walaupun wanita itu telah dikebumikan dengan layak, juga telah diketahui identitasnya. Kehidupan mereka berempat di Pantai Nembrala tak lagi sama.

SINOPSIS:
Kevin, Eda, Luthfi, dan Ilyas adalah empat pria muda dengan latar belakang berbeda. Keempatnya disatukan oleh kecintaan terhadap musik dan bisnis keluarga. Mereka diserahi mengelola operasional resor di Pantai Nembrala, Pulau Rote. Menamakan diri Kevin and the Red Rose, empat teman baik ini memiliki basecamp yang disebut Red Rose Salon. Aktivitas berkumpul sambil bersosialisasi dengan para tamu Pantai Nembrala berpusat di basecamp ini. Sebuah kehidupan yang menyenangkan. Hingga suatu hari, sebuah perkenalan dengan gadis cantik bernama Kejora dan suara rintihan minta tolong yang menyusulnya mengubah kehidupan keempat pria muda itu.

Karena terus dihantui suara dan penampakan misterius, Kevin dan ketiga temannya mau tak mau berusaha mengungkap misteri. Hingga penemuan jasad seorang gadis—yang tak disangka dikenal Kevin di masa lalu, menjadi titik awal misteri yang terungkap. Sebelum tanpa mereka perkirakan, itu membawa pada rentetan teror lain. Kevin, Eda, Luthfi, Ilyas, dibantu Kejora dan seorang teman Luthfi dihantui penampakan yang memaksa menggiring mereka pada sejumlah petunjuk. Pantai Nembrala pun berubah mencekam. Agaknya kematian demi kematian telah terjadi. Kevin dan kawan-kawan tak rela jika pantai yang dulunya damai diusik oleh oknum tak bertanggung jawab. Selagi mereka memulihkan kesan indah Pantai Nembrala, ada sebuah rahasia besar yang pada akhirnya mereka ungkap. 

REVIEW:
“Yah, tidak semua pertanyaan di dunia ini selalu ada jawabannya. Dunia adalah kumpulan dari misteri-misteri tanpa jawaban yang terangkum menjadi satu.” (hlm. 253)

Mengangkat tema misteri dan kemampuan melihat makhluk tak kasatmata, novel kolaborasi ini menyodorkan beberapa hal baru. Pertama, POV orang pertama yang digunakan dari masing-masing personel Kevin and the Red Rose, dibagi menjadi empat bab cerita. Masing-masing bab menonjolkan karakter tokoh utama prianya. Kevin yang jago bermusik, menggandrungi games dan anime, juga berkepribadian koleris. Eda si phlegmatis yang seorang penyiar radio dan jago berselancar. Luthfi yang andal membuat film pendek dan melankolis. Dan Ilyas si sangunis yang periang dan jago berpuisi. 

Kedua, seting tempat di pantai dan pulau yang jauh dari ibukota. Alih-alih mengambil latar bangunan tua keramat dan mistis seperti yang umumnya bisa saya bayangkan digunakan dalam novel misteri, kali ini dipilih lokasi wisata alam yang lebih terkesan damai. Selama membaca, saya beralih dari suasana pantai dan resor yang menyenangkan untuk berlibur menjadi daerah yang mencekam dan menyimpan misteri kematian penghuninya. Meskipun begitu, menurut saya deskripsi seting dengan unsur lokalitas masih bisa lebih digali sehingga tidak terkesan terlalu umum. Masih banyak sisi lokalitas yang bisa memperkuat kesan mistis yang masih terkait plot.

Ketiga, kemampuan menularkan ‘penglihatan’ makhluk tak kasatmata yang dimiliki seorang tokohnya. Bagi saya ini terbilang baru dan terkesan menakutkan. Tidak ada yang mau ‘ketularan’ kemampuan semacam itu dan terbayangkan pula bagaimana dampaknya bagi si tokoh tersebut. Kemampuan ini juga menjadi kunci utama cerita. Hanya saja, saya mengharapkan karakter si tokoh kunci ini lebih digali dan ditonjolkan lagi. Mungkin keterbatasan ini terkait dengan POV dan fokus cerita.

Keempat, ada detail-detail kisah lain terkait kehidupan pribadi para tokoh pria, yang cukup menarik diikuti. Baik itu Kevin dengan kisah cinta pertamanya, Eda dengan trauma masa lalu terkait selancar, maupun Luthfi yang menyukai sahabatnya. Nuansa musik juga terasa kental karena kedekatan keempat tokoh pria dengan musik. 

Kelima, buku dilengkapi ilustrasi yang menggambarkan sejumlah adegan cerita. Ini sangat menarik, karena membantu saya membayangkan dan memperkuat efek mencekam.

Benang merah antara kisah masing-masing personel Kevin and the Red Rose dengan misteri yang menyelubungi Pantai Nembrala pun terjalin dengan cukup rapi. Akhir kisah memuaskan, meskipun ada ‘feel’ menggantung juga seperti yang biasanya saya jumpai dalam novel misteri. Nuansa mencekamnya makin klimaks menuju akhir. Penulis berhasil menaikkan tempo cerita secara bertahap. 

Bagi kamu yang ingin mencoba membaca novel misteri, karya ini layak kamu pilih. Kapan lagi mengikuti kisah empat pemusik yang mencoba ‘menerjemahkan’ pesan-pesan dari makhluk tak kasatmata yang ingin didengar?


  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube