Sabtu, 21 Oktober 2017

[RESENSI] Jejak Cinta: Menelusuri Harapan Akan Cinta dan Kebahagiaan

Posted by Menukil Aksara | 11:54:00 AM Categories:
Judul Buku                : Jejak Cinta: 20 tahun berlalu
Penulis                       : Maya Lestari GF
Penyunting                : Nur Aini
Proofreader               : Hetty Dimayanti
Penyunting Ilustrasi : Kulniya Sally
Penerbit                      : Pastel Books
Cetakan                      : I, Agustus 2017
Tebal Buku                 : 292 hlm; ilust.; 20,5 cm

BLURB:
Semua keruwetan hidupku dimulai ketika pamanku, Bernard Hadison, terbangun dengan ingatan akan Rinjani.

Dua puluh tahun lalu ia mencintai perempuan berlesung pipit dengan senyum secerah bulan purnama. Apa daya, perempuan tersebut memutuskan menikah dengan laki-laki lain. Dengan hati hancur, pamanku pergi ke Leiden untuk melupakannya. Saat mendapat kabar bahwa cinta pertamanya kembali sendiri, pamanku yang tidak pernah menikah itu pun pulang ke Indonesia demi mempersunting cinta pertamanya. Parahnya, aku dan Keegan yang diminta Paman Ben untuk menemaninya. Awalnya aku tidak mengerti, bagaimana cinta mampu menggerakkannya untuk melakukan perjalanan melelahkan yang tidak jelas ujungnya begini. Namun, pada akhirnya aku mengerti bagaimana cinta bekerja, karena kini aku telah jatuh cinta.

“Kalian akan terkesan pada sepasang mata yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Tidak bisa dinilai dengan harga berapa pun. Sepasang mata yang di dalamnya ada ribuan bintang, sehingga ketika kalian melihatnya, kalian seakan berada di tengah alam semesta.”

SINOPSIS:
    “... jangan terlalu mengandalkan teknologi untuk hidupmu. Sekali teknologi berhenti, hidupmu pun bisa berhenti. Sebuah peta... adalah nyawa perjalanan.” (hal. 112-113)
    “Jatuh cinta itu seperti melukis, Abby. Sekali kamu menggoreskan cat ke kanvas, goresan itu takkan hilang selamanya. Kamu bisa menyamarkan goresan itu dengan goresan lain, menimpanya dengan warna lain sampai tak terlihat lagi, tapi kamu tahu goresan itu ada.” (hal. 166-167)
    “Masing-masing orang itu unik. Kamu bisa mengganti gantungan kuncimu yang hilang dengan yang baru, tapi apakah kamu bisa mengganti orang yang hilang dengan yang baru? Tidak.” (hal. 167)

    Adegan dimulai dengan kehebohan di keluarga besar Hadison di Bandung atas kabar kepulangan salah satu anggota keluarga yang telah lama tinggal di Leiden. Tak hanya itu, Bernard Hadison atau yang kerap disapa Paman Ben oleh para keponakan rumornya pulang ke Indonesia untuk mempersunting cinta pertamanya. Yang membuat para keponakan kebingungan adalah fakta bahwa Rinjani—wanita tersebut—tidak jelas di mana rimbanya. Dan naasnya. Abby ditunjuk oleh Paman Ben untuk menemani pencarian seorang Rinjani, bersama Keegan sepupu jauhnya. Berangkat dari Bandung, mereka bertiga lantas menjejakkan kaki di bandar udara Sumatra Barat untuk kemudian melanjutkan misi pencarian dengan mengendarai mobil. Keegan yang sudah hapal dan sering bolak-balik Jawa-Sumatra yang menjadi sopir merangkap ‘guide’.

    Abby yang sedari awal sama sekali tidak antusias, bahkan cenderung merasa terpaksa bepergian, seringkali mengeluh dan bertingkah. Hal ini kemudian menjadi pemicu cekcok mulut dan perang dingin antara Abby dengan Keegan, bahkan Paman Ben. Berbekal petunjuk yang samar, perjalanan mereka jauh dari mulus. Sempat terlunta-lunta, menginap di tenda dan mobil, serta berkeliling dari satu kota ke kota lain, Abby lambat-laun berusaha bersabar dan mengambil sisi positif dari perjalanan ini. Sesungguhnya, meskipun tak selalu menyenangkan, perjalanan tiga hari ini membawa Abby lebih mengenal adat budaya tanah kelahiran leluhurnya. Keindahan alam dan kelezatan kuliner berbalut filosofi tak pelak mengundang kekaguman. Perjalanan ini juga ternyata mengungkap banyak rahasia hati, tentang makna kebahagiaan yang hakiki, pentingnya keluarga, juga rahasia tentang jati diri Rinjani dan apa yang terjadi di masa lalu antara Rinjani dan Paman Ben. Momen-momen emosional pun terjadi hingga mereka pada akhirnya menyadari bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar penelusuran jejak cinta pertama seseorang. Perjalanan ini menjadi pendewasaan diri.

REVIEW:
    “Orang Minang itu sabar-sabar kalau masak, sebab rasa dan aroma itu penting.” (hal. 177)
    “Keberhasilan tidak ada hubungannya dengan seberapa banyak isi rekeningmu. Keberhasilan ditentukan dari seberapa banyak kamu bahagia.” (hal. 220)
    “Seharusnya manusia yang diistimewakan, benda yang dimanfaatkan. Manusia jadi gila oleh sesuatu yang seharusnya melayani hidup mereka.” (hal. 221)
    “Tak ada bedanya kamu pakai baju seharga sepuluh juta dengan seratus ribu. Toh kamu tetap manusia. Sifatmu juga akan tetap sama.” (hal. 222)
    “Kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita mau. Itu betul, dan inilah yang membuat orang berpikir Tuhan tidak adil.” (hal. 223)
    “Kamu kaya lalu memberi, itu tidak istimewa. Tapi kamu miskin, lalu kamu memberi, itu baru luar biasa.” (hal. 224)   
    “Bekerja keras adalah tradisi keluarga kita.” (hal. 261)

Dikisahkan menggunakan sudut pandang orang pertama, Abby, dan alur maju, Kak Maya Lestari GF menurut saya mengambil pilihan yang tepat. Awalnya saya berpikir kisah ini akan dikemas dengan gaya yang agak berat, karena dari blurb saya menangkap topik filosofi hidup dan nilai kearifan lokal. Ternyata perkiraan saya meleset. Karena menggunakan sudut pandang Abby yang notabene gadis sembilan belas tahun yang ceria, ceplas-ceplos, dan cerdas, kisah ini penuh humor segar dan aura kehangatan sebuah keluarga besar, keluarga besar Hadison. Karakter para sepupu, paman, dan bibi Abby pun tak kalah lucu dan mengundang tawa. Dari sini saja pesan tentang adat ketimuran yang masih kental akan nilai kekeluargaan terasa sekali. Keluarga besar Hadison juga digambarkan sebagai orang-orang pribumi yang sukses di bidang masing-masing, terutama dalam berwira usaha. Perasaan Abby tentang pesona alam dan budaya tanah Minangkabau selama perjalanan pun membuat pembaca ‘awam’ seperti saya merasa terwakili.

Sedangkan karakter Keegan, sebagai pemuda dua puluh tiga tahun yang secara fisik dan gaya penampilan bisa dibilang menawan (digambarkan sedikit menyerupai aktor Hollywood Tom Hiddleston—yang mana membuat saya senyum-senyum senang), berpikiran dewasa dan sukses berbisnis di usianya yang masih muda. Keegan merintis usaha tour and travel dari nol, sebagai buah kecintaannya terhadap traveling dan kegiatan di alam bebas. Visi dan misi usahanya pun jelas. Sosok Keegan bisa menjadi inspirasi bagi banyak pembaca muda.

Paman Ben yang merupakan pelukis sukses di Eropa, nyentrik, cuek, namun diam-diam doyan menyantap kuliner Minang. Dari obrolan seputar masakan Minang ini pula terselip filosofi kesabaran. Meskipun terkesan ceria dan cuek, sesungguhnya Paman Ben menyimpan kesedihan dan kesepian. Momen di mana dia mengungkapkan segala uneg-uneg hatinya kepada Abby merupakan salah satu adegan emosional favorit saya. Saya pun merasa tertohok dan saya yakin banyak pembaca yang juga akan merasa tersindir dengan deretan pernyataan Paman Ben.

Secara keseluruhan, saya sangat menyukai karya Kak Maya Lestari yang satu ini. Alurnya relatif cepat, dialog-dialognya bernas, plot dan ending logis dan memuaskan.Terdapat ilustrasi menarik juga di dalam buku, menggambarkan beberapa adegan dalam cerita. Kisah cintanya pun manis dan tidak berlebihan, serta menarget pembaca muda hingga dewasa. Karena ini merupakan perkenalan saya dengan karya Kak Maya, maka bisa dibilang ini merupakan perkenalan yang mengesankan dan memantik rasa ingin tahu akan karyanya yang lain. Bagi kalian yang menyukai kisah romansa yang kental nilai budaya lokal dan religi, saya sangat merekomendasikan novel ‘Jejak Cinta” ini. Kisah yang bikin baper dan laper :)

“Perjalanan adalah seni menemukan hal-hal yang tak terduga.” (hal. 290)

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube