Rabu, 30 April 2014

[Flash True Story] Desa Yang Terkontaminasi

Posted by Menukil Aksara | 9:38:00 PM Categories:


             Timeline dibanjiri oleh kicauan Gerakan Anti Miras dan retweetnya. Kampanye anti minuman keras kian gencar dengan hadirnya buku berjudul Say: No Thanks. Launching buku ini membawa ingatan saya ke masa kuliah bertahun-tahun silam.
            Masa akhir kuliah adalah masa yang dinanti sekaligus masa yang berat dilalui. Sebelum berakhir dengan pergulatan menggarap skripsi, mahasiswa wajib mengambil Kuliah Kerja Profesi; demikian jurusan kami menamai. Kami diterjunkan ke masyarakat di Kabupaten Indramayu.
            Kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil beranggotakan empat hingga lima orang. Kelompok saya beranggotakan tiga orang mahasiswi dan seorang mahasiswa. Desa yang akan kami tinggali berada cukup jauh dari jalan raya kabupaten. Untuk mencapai desa, kami harus menumpang angkutan umum bernama odong-odong selama beberapa jam, dilanjutkan dengan ojek. Untuk menumpang odong-odong lokal, kami harus rela menunggu hingga tempat duduk terisi penuh. Di tengah perjalanan, tempat duduk penuh itu masih dijejali lagi dengan penumpang, berapapun jumlahnya. Akibatnya, tak jelas lagi posisi kami antara duduk dengan setengah berdiri.
Jika menilik kondisi ini, desa ini terbilang jauh dari keramaian kota. Tak disangka, fakta yang kami temui sangat mengejutkan.
            Kami ditampung di sebuah rumah milik warga. Kami dipertemukan dengan aparat desa setempat dan ketua kelompok tani. Di bawah arahan dan bantuan mereka kami menyusun program. Dalam tulisan ini saya tak hendak membahas program-program tersebut lebih lanjut.
            Kedatangan kami hari itu disambut dengan sebuah kemeriahan. Jangan dulu salah paham, karena kemeriahan itu bukan dalam rangka menyambut tamu. Pada masa itu, para petani desa tengah disibukkan dengan berbagai pesta. Pesta mereka muncul dalam berbagai wajah; antara lain pesta pertunangan, pesta pernikahan, pesta khitanan, dan pesta khatam Al-Qur’an. Menurut penduduk setempat, sudah menjadi adat desa merayakan masa panen dengan berpesta pora. Ambil saja contoh saat kami baru saja tiba. Arak-arakan panjang melewati jalan desa diiringi alunan musik dangdut. Raja dari pawai ini adalah seorang anak laki-laki yang digotong berkeliling desa dan diiringi para penari berkostum. Yang lebih mencengangkan adalah penampakan segelintir pemuda yang berjalan sempoyongan di bagian belakang. Belakangan kami tahu bahwa sudah menjadi kelaziman untuk menjamu tamu dengan minuman beralkohol.
            Hari itu sebenarnya kami diundang menghadiri salah satu pesta, namun dengan beralasan penat, tiga orang mahasiswi berhasil mangkir. Cukup teman mahasiswa yang setor muka. Keesokan harinya, pesta kembali berlangsung di rumah berbeda. Selain disuguhi makanan, kami dipersilahkan menikmati hiburan musik organ tunggal. Kami pun berancang-ancang mengundurkan diri.
            Di lain hari, kami juga bersosialisasi dengan tokoh pemuda dan sesepuh desa. Pertemuan dilangsungkan di masjid desa. Sebuah masjid besar yang cukup megah dan indah. Sayangnya, masjid ini hampir selalu sepi jamaah. Yang memilukan bagi saya adalah keberadaan rokok dan asbak. Setiap orang yang hadir, kecuali teman saya, menghisap rokok dengan santainya di dalam masjid seraya mempergilirkan asbak. Geram saya dibuatnya, tapi posisi sebagai tamu menahan amarah saya keluar.
            Klimaksnya adalah ketika kami bertiga sedang berdiam di kamar malam itu. Sekonyong-konyong terdengar suara riuh beberapa pemuda teler. Posisi kamar yang berada di depan, dengan jendela besar menghadap ke teras luar, membuat kami merinding. Tepat di depan rumah, terdapat sebuah toko kecil, yang agaknya juga turut menjual minuman keras oplosan. Setelah saya tahu sekarang, area pemukiman sebenarnya salah satu area yang tidak boleh disentuh oleh miras.
            “Bagaimana ini? Aku takut. Suara mereka makin keras dan meracau,” ujar teman perempuan saya panik. Kami duduk mematung di dalam ruangan, tak berani bergeser seinci pun.
            “Kirim sms ke Ibnu saja,” usul yang seorang lagi lirih. Yang dia maksud adalah teman mahasiswa kami yang sedang berada di rumah tetangga.
            Assalamu’alaikum, ini Ibnu,” cukup lama berselang terdengar salam dan ketukan di pintu kamar.
            Kami tak segera membuka pintu karena takut para pemabuk itu masih ada di depan rumah. Setelah Ibnu meyakinkan kepergian mereka, barulah kami keluar.
            Kesialan tak berhenti hingga di sana. Jelang kepulangan, saya mengalami musibah kecelakaan kecil. Saat hendak menghindari jalan berlubang, sepeda kayuh yang saya naiki disenggol oleh sebuah sepeda motor. Pengemudi sepeda motor tetap melaju setelah sebelumnya memaki saya. Pergelangan tangan saya bengkak dan belum sembuh hingga KKP usai.
            Pengalaman KKP tersebut terjadi sekali seumur hidup. Pelajaran berharga kami dapat tentang fakta mesin-mesin perusak pemuda Indonesia. Alat transportasi pribadi semacam sepeda motor dan media televisi merupakan jalan masuk utama. Itu bertahun-tahun silam, entah lagi dengan sekarang.



Note : ini tulisan lama dari pengalaman nyata :)

[cermin] Coretan Kreatif

Posted by Menukil Aksara | 2:02:00 PM Categories:


Coretan Kreatif

            Hari ini pemilihan umun calon legislatif akan diselenggarakan serentak. Pak Budi dan istrinya, Anita, berniat berangkat agak siang.
            “Pa, ayo berangkat! Ini sudah cukup siang,” ajak Bu Anita pada suaminya yang masih asyik di depan komputer.
            “Iya, Ma. Oya, jangan lupa bawa spidol, ya!”
            “Untuk apa, Pa?” tanya sang istri kebingungan. Namun ia tetap menuruti perintah suaminya.
            “Sudahlah, nanti juga tahu. Di TPS, Mama pilih bilik tepat di sebelah Papa saja. Nanti Papa tunjukkan sesuatu,” sahut Pak Budi sambil tersenyum penuh makna.
            “Papa akan memilih siapa?” tanya iseng Bu Anita di tengah perjalanan.
            Pak Budi tidak menjawab. Di TPS, antrian ternyata tak panjang. Tak butuh waktu lama hingga suami-istri itu mendapat panggilan.
            “Pa, katanya mau menunjukkan sesuatu,” bisik Bu Anita pada Pak Budi di bilik sebelah.
            “Lihat nih, Ma!” Pak Budi memperlihatkan tulisan berukuran besar berbunyi “Pengkhianat Semua” di lembar suara miliknya seraya tersenyum menyeringai.
            Sang istri terperangah. Lantas terlintas ide di kepala Bu Anita untuk menorehkan kenang-kenangan di lembar suaranya. Bu Anita menambahkan lukisan jenggot, kumis, kaca mata dan rokok pada beberapa gambar caleg. Setiba di rumah, tawa mereka berderai tiada henti sambil membayangkan reaksi para saksi di saat penghitungan suara nanti.

[Puisi] Salam Takzim Tuk Bu Guru

Posted by Menukil Aksara | 2:00:00 PM Categories:


Salam Takzim Tuk Bu guru

Ringkih raga tak pupuskan indah jiwa
Merah merona kisut pipi pancarkan gelora
Sigap tindak santun budi bahasa
Cerdik pikir mempesona cendekia muda

Tiga puluh menghitung jejak tahun pengabdian
Tak lekang hasrat pun usia disapa senja
Satu azzam terbetik di relung ikhlasnya
Menatap bangga kanak-kanak bercita-cita
Mengiring langkah menggandeng tumbuh mereka

Bila takdir perkenankan satu ruang sua
Satu masa kala roda zaman menggilas takwa
Salam takzim kan buncahkan rasa
Tersebab sang kanak tak tertawan angkara
Mata bahagia berkaca-kaca


[Puisi] Sebait Pesan Guru

Posted by Menukil Aksara | 1:58:00 PM Categories:


Sebait Pesan Guru
Mentari menyembul di ufuk timur
Pipit menari menciap riang
Kumbang merendah menyesap madu
Capung mendarat rebahkan sayap
Hijau daun bermandikan embun
Perempuan muda kayuh sepeda
Berbekal tawakal menyemai karya
Barisan bocah berarak riang
Celoteh lugu bersenandung kalbu
Menjemput ilmu melerai tak tahu
Satu dua tiga seru ibunda guru
Aa Be Ce De ananda eja tiada jemu
Melukis aksara atas lembar asa
Jalin ikatan urai simpul angka-angka
Adakalanya keluh merayu-rayu
Bisikkan malu lilitkan belenggu ragu
Suntikkan semangat lesatkan pesawat cita
Terbanglah dikau Nak ke angkasa raya
Sirami jiwa dahaga pupuki bumi harapan
Takdir kan berpihak mengamini doa
Milik ia yang setia peluk mimpinya

[Info Lomba] Lomba Puisi Penerbit Meta Kata

Posted by Menukil Aksara | 1:48:00 PM Categories:

LOMBA PUISI : TENTANG INDONESIAKU TERCINTA OLEH PENERBIT META KATA (KIRIM KE mk.event2014@gmail.com)

Tiga hal apa yang terbesit di pikiran Anda kala ada yang menyebutkan kata ‘Indonesia’? Negeri yang makmur, subur dan rakyat yang ramah. Benarkah? Rasanya tak pantas di negeri makmur dan subur bila masih banyak rakyat miskin dan kelaparan di setiap sudutnya. Rakyat yang ramah pun rasanya bukan kata yang tepat karena kejahatan merajalela dan tak segan saling menjatuhkan satu sama lain. Oleh karena, pergeseran arti Indonesia tersebut, kami mengharapkan teman-teman sekalian untuk berpartisipasi menyampaikan uneg-uneg, harapan atau pun doanya tentang Indonesiaku tercinta. Krisan dalam bentuk puisi tersebut dengan tema sebagai berikut (pilih salah satu):
1. Pengangguran
2. Pendidikan
3. Kemiskinan
4. Kerusakan Lingkungan
Adapun persyaratan lomba sebagai berikut:
  1. Lomba terbuka untuk umum.
  2. Lomba dibuka dari tanggal 17 april sampai dengan 15 mei 2014 (pukul 23:59 WIB). Hasil lomba akan diumumkan pada tanggal 23 Mei 2014.
  3. Membagikan info lomba ke minimal 25 teman facebook, twitter, atau posting di blog pribadi (pilih salah satu).
  4. Like FansPage “Penerbit Meta Kata” dan bergabung dalam grup Pena Meta Kata
  5. Naskah dalam bentuk puisi terdiri dari 16 baris  (boleh dalam bait tapi maksimal 4 bait). Dibawah naskah dilengkapi biodata narasi sebanyak 50 kata (termasuk di dalamnya akun facebook dan alamat email). Naskah dan biodata narasi tidak boleh dipisahkan.
  6. File naskah menggunakan format Ms. Word 2003/2007, A4, Time New Roman 12pt, spasi 1.5cm.
  7. Naskah yang sudah memenuhi persyaratan di atas, dikirim ke email: mk.event2014@gmail.com (berupa attachmant, bukan di badan email).
  8. Tulis subyek sama dengan nama file yaitu : nama pena/penulis
  9. Setiap peserta hanya boleh mengirimkan satu naskah terbaiknya dan update peserta akan diadakan setiap senin dan kamis.
10.  Akan diambil 2 pemenang terbaik. Pemenang 1 : buku ‘Kepada Calon Presiden Kami’, e-sertifikat dan voucher penerbitan sebesar Rp 100.000. Pemenang 2 : e-sertifikat dan voucher penerbitan sebesar Rp 100.000.
11.  Seluruh kontributor tidak mendapatkan royalty tapi hanya mendapatkan diskon 10%  dalam pembelian buku terbit, diskon ini berlaku selamanya. Bagi kontributor yang membeli  minimal 1 eksp akan kami hargai dalam bentuk sertiikat printout.

#Catatan: Hadiah dalam bentuk VOUCHER PENERBITAN, hanya berlaku selama 6 bulan setelah pengumuman pemenang dan tidak dapat diuangkan juga tidak dapat digabungkan dengan voucher lainnya.  E-sertifikat untuk pemenang akan dikirim setelah masa preorder.

Yuk ikutan berpartisipasi!

Salam,
a.n.
Penanggungjawab
Penerbit Meta Kata



Catatan: Untuk update dan info lebih lanjut, silakan lihat di sini>> https://www.facebook.com/notes/meta-kata/lomba-puisi-tentang-indonesiaku-tercinta-oleh-penerbit-meta-kata-kirim-ke-mkeven/268014193370171

Senin, 28 April 2014

[Resensi] Mantan Pelacur pun Berhak Atas Surga-Nya*

Posted by Menukil Aksara | 8:52:00 PM Categories:


Judul Buku   : Kau Bidadari Surgaku
Penulis          : Ade Kurniawan (Al Isyhad)
Penerbit        : Rumah Oranye, 2014

    “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia atau bidadari bermata jeli?” Beliau menjawab, “Wanita dunia lebih utama dari bidadari-bidadari seperti kelebihan yang Nampak dari apa yang tidak nampak.” Aku bertanya lagi, “Mengapa wanita dunia lebih utama dari bidadari?” Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah… “ 

Anda tentu tak asing lagi dengan penggalan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah r.a di atas. Seorang wanita mukminah shalihah akan terangkat derajatnya di sisi Allah berkat pengabdiannya di dunia. Muslimah mana yang tak menghendaki surga dan predikat bidadari? Lantas bagaimana jika seorang wanita bermasa lalu suram mendamba surga? Apakah masih tersisa asa untuk cita-citanya ini? Kisah dalam novel “Kau Bidadari Surgaku” yang ditulis oleh Ade Kurniawan—seorang novelis muda asal Cimahi—ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

    Marwah, seorang wanita muda asal Kroya, adalah sesosok wanita cantik berhati mulia. Perantauannya ke Jakarta dilatarbelakangi oleh kematian sang ayah yang menyisakan himpitan ekonomi. Sebagai anak tertua, Marwah merasa berkewajiban menafkahi keluarganya, termasuk membiayai sekolah kedua adik laki-lakinya. Ganasnya kehidupan ibukota menyeret Marwah ke lembah nista dan melindas keimanannya. Demi bertahan hidup dan mendapatkan aliran rupiah, Marwah memilih profesi haram sebagai wanita panggilan. Di hadapan orang-orang sekitarnya, ia memoles pribadinya nyaris tiada cela. Hingga suatu hari, seorang pria berwajah teduh, bertutur santun—Hamzah—mengusik ketenangan batinnya. Marwah diam-diam menyimpan kekaguman pada Hamzah sekaligus memendam keinginan kuat untuk bertaubat. Di lain pihak, ada Shafa, seorang gadis anak konglomerat yang terobsesi untuk memiliki Hamzah. Penampilan Shafa yang agamis dengan gamis dan kerudung lebarnya, mengesankan sosok bidadari baik hati. Tak dinyana, Shafa ternyata tak lebih dari gadis culas nan keji yang menggunakan uang dan kekuasaan untuk memfitnah dan menimpakan derita pada Marwah.

    Diksi dalam novel ini tak selalu puitis “berkelas” tinggi. Begitu banyak kesahajaan yang disajikan dalam tiap kalimatnya. Namun tak berarti yang sederhana itu tak mampu menampilkan kekayaan rasa dan makna. Tengoklah kutipan paragraf berikut, “Hatiku menjerit, isak tak tertahan. Air mata kian deras membasahi pipi dan karpet merah bergambar Ka’bah. Sujud ini begitu menyakitkan, namun terasa sangat menentramkan jiwa. Rasa sesal akan dosa-dosaku berbaur dengan air mata tenteram membuatku enggan bangkit dari sujud. Bumi seolah menahan kepalaku, agar terus merendah di bawah kuasa Allah Yang Maha Agung (hal. 127).” Adegan kala Marwah shalat di masjid untuk kali pertama, setelah sekian lama meninggalkannya, mampu menghanyutkan pembaca, seolah turut menangisi dosa-dosa yang diperbuat.

    Meski demikian, terdapat bagian-bagian yang bagi saya terlampau eksplisit dalam menampilkan pesan religi. Misalnya pengutipan kisah Nabi Musa a.s dalam Al-Qur’an yang panjang (hal. 121-123). Namun ada pula pesan religi yang lebih mengalir tersampaikan lewat dialog Hamzah dengan gurunya (hal. 164-165). Adegan malam pertama Hamzah dan Marwah yang disuguhkan secara puitis romantis, menurut hemat saya juga hendaknya disamarkan detilnya dan dipersingkat durasinya. Selain itu, novel ini menyajikan fakta miris tentang pacaran terselubung atau setidaknya pendekatan ala anak muda yang sekuleris melalui adegan kala Shafa kerap menghubungi Hamzah secara pribadi via telepon dan rajin menanyakan kabar hingga detil aktivitasnya.

Kesalahan-kesalahan cetak, ejaan, dan tanda baca juga cukup banyak ditemui. Kekurang logisan di beberapa kalimatnya juga saya jumpai namun cukup tersamar dengan hikmah yang ingin disampaikan penulisnya.

Bagaimanapun, saya salut atas keberanian penulis mengetengahkan ide cerita ini. Hikmah dari keutamaan taubatan nasuha, hidayah, dan rahasia hati manusia adalah topik yang sangat layak untuk dimunculkan. Novel ini diharapkan mampu memahamkan pembacanya bahwa sekelam apapun masa lalu seseorang, Allah Yang Maha Pengampun akan menerima kesungguhan taubatnya; asalkan kiamat belum menjemput dan nafas belum sampai di tenggorokan. Dan husnul khatimah yang mengantarkan pada surga Allah dapat diraih lewat perjuangan.





  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube