Senin, 10 Desember 2018

Pesan Kematian: Jiwa-Jiwa yang Ingin Didengar

Posted by Menukil Aksara | 7:34:00 AM Categories:

Judul buku      : Pesan Kematian
Penulis            : Cerberus Plouton & Kevin and the Red Rose
Penyunting      : Irwan Rouf
Penerbit          : Media Kita
Tahun terbit    : 2018, cetakan pertama
Tebal buku     : vi + 262 hlm., 14,5 x 21 cm
ISBN              :978-979-794-572-5
Genre             : misteri

BLURB:
Sejak Kevin and the Red Rose membentuk Red Rose Salon di Pantai Nembrala, tempat itu jadi tak pernah sepi pengunjung. Kevin, Eda, Ilyas, dan Luthfi sering mengadakan pertunjukan spontan. Mereka saling melengkapi dalam bermain gitar dan pianika, serta diiringi nyanyian bersuara merdu.

“Tolong... “

Suara rintihan wanita yang terdengar samar-samar itu hanyalah awal dari berbagai teror di sana. Seorang wanita ditemukan mati bunuh diri dengan meloncat dari tebing. Kevin dan ketiga temannya mengira bahwa kengerian akan berakhir setelah jasad wanita itu dikebumikan. Namun, mereka salah besar. Serangkaian teror mencekam masih menghantui walaupun wanita itu telah dikebumikan dengan layak, juga telah diketahui identitasnya. Kehidupan mereka berempat di Pantai Nembrala tak lagi sama.

SINOPSIS:
Kevin, Eda, Luthfi, dan Ilyas adalah empat pria muda dengan latar belakang berbeda. Keempatnya disatukan oleh kecintaan terhadap musik dan bisnis keluarga. Mereka diserahi mengelola operasional resor di Pantai Nembrala, Pulau Rote. Menamakan diri Kevin and the Red Rose, empat teman baik ini memiliki basecamp yang disebut Red Rose Salon. Aktivitas berkumpul sambil bersosialisasi dengan para tamu Pantai Nembrala berpusat di basecamp ini. Sebuah kehidupan yang menyenangkan. Hingga suatu hari, sebuah perkenalan dengan gadis cantik bernama Kejora dan suara rintihan minta tolong yang menyusulnya mengubah kehidupan keempat pria muda itu.

Karena terus dihantui suara dan penampakan misterius, Kevin dan ketiga temannya mau tak mau berusaha mengungkap misteri. Hingga penemuan jasad seorang gadis—yang tak disangka dikenal Kevin di masa lalu, menjadi titik awal misteri yang terungkap. Sebelum tanpa mereka perkirakan, itu membawa pada rentetan teror lain. Kevin, Eda, Luthfi, Ilyas, dibantu Kejora dan seorang teman Luthfi dihantui penampakan yang memaksa menggiring mereka pada sejumlah petunjuk. Pantai Nembrala pun berubah mencekam. Agaknya kematian demi kematian telah terjadi. Kevin dan kawan-kawan tak rela jika pantai yang dulunya damai diusik oleh oknum tak bertanggung jawab. Selagi mereka memulihkan kesan indah Pantai Nembrala, ada sebuah rahasia besar yang pada akhirnya mereka ungkap. 

REVIEW:
“Yah, tidak semua pertanyaan di dunia ini selalu ada jawabannya. Dunia adalah kumpulan dari misteri-misteri tanpa jawaban yang terangkum menjadi satu.” (hlm. 253)

Mengangkat tema misteri dan kemampuan melihat makhluk tak kasatmata, novel kolaborasi ini menyodorkan beberapa hal baru. Pertama, POV orang pertama yang digunakan dari masing-masing personel Kevin and the Red Rose, dibagi menjadi empat bab cerita. Masing-masing bab menonjolkan karakter tokoh utama prianya. Kevin yang jago bermusik, menggandrungi games dan anime, juga berkepribadian koleris. Eda si phlegmatis yang seorang penyiar radio dan jago berselancar. Luthfi yang andal membuat film pendek dan melankolis. Dan Ilyas si sangunis yang periang dan jago berpuisi. 

Kedua, seting tempat di pantai dan pulau yang jauh dari ibukota. Alih-alih mengambil latar bangunan tua keramat dan mistis seperti yang umumnya bisa saya bayangkan digunakan dalam novel misteri, kali ini dipilih lokasi wisata alam yang lebih terkesan damai. Selama membaca, saya beralih dari suasana pantai dan resor yang menyenangkan untuk berlibur menjadi daerah yang mencekam dan menyimpan misteri kematian penghuninya. Meskipun begitu, menurut saya deskripsi seting dengan unsur lokalitas masih bisa lebih digali sehingga tidak terkesan terlalu umum. Masih banyak sisi lokalitas yang bisa memperkuat kesan mistis yang masih terkait plot.

Ketiga, kemampuan menularkan ‘penglihatan’ makhluk tak kasatmata yang dimiliki seorang tokohnya. Bagi saya ini terbilang baru dan terkesan menakutkan. Tidak ada yang mau ‘ketularan’ kemampuan semacam itu dan terbayangkan pula bagaimana dampaknya bagi si tokoh tersebut. Kemampuan ini juga menjadi kunci utama cerita. Hanya saja, saya mengharapkan karakter si tokoh kunci ini lebih digali dan ditonjolkan lagi. Mungkin keterbatasan ini terkait dengan POV dan fokus cerita.

Keempat, ada detail-detail kisah lain terkait kehidupan pribadi para tokoh pria, yang cukup menarik diikuti. Baik itu Kevin dengan kisah cinta pertamanya, Eda dengan trauma masa lalu terkait selancar, maupun Luthfi yang menyukai sahabatnya. Nuansa musik juga terasa kental karena kedekatan keempat tokoh pria dengan musik. 

Kelima, buku dilengkapi ilustrasi yang menggambarkan sejumlah adegan cerita. Ini sangat menarik, karena membantu saya membayangkan dan memperkuat efek mencekam.

Benang merah antara kisah masing-masing personel Kevin and the Red Rose dengan misteri yang menyelubungi Pantai Nembrala pun terjalin dengan cukup rapi. Akhir kisah memuaskan, meskipun ada ‘feel’ menggantung juga seperti yang biasanya saya jumpai dalam novel misteri. Nuansa mencekamnya makin klimaks menuju akhir. Penulis berhasil menaikkan tempo cerita secara bertahap. 

Bagi kamu yang ingin mencoba membaca novel misteri, karya ini layak kamu pilih. Kapan lagi mengikuti kisah empat pemusik yang mencoba ‘menerjemahkan’ pesan-pesan dari makhluk tak kasatmata yang ingin didengar?


Minggu, 09 Desember 2018

Origamiara: Biarkan Origami Menuntun Isi Hati

Posted by Menukil Aksara | 12:57:00 PM Categories:
Judul buku      : Origamiara
Penulis            : Rezza Dwi
Editor             : Pradita Seti Rahayu
Penerbit          : PT Elex Media Komputindo
Tebal buku      : 308 hlm.
Tahun terbit    : 2016
ISBN              : 978-602-02-9466-7
Genre             : fiksi/romance

BLURB:
“Menata kertas tak seperti menata hati. Andai mengucap rasa itu semudah melipat kertas ini. Aku akan membentuk berjuta lipatan hanya untuk menyampaikan perasaan.”
---Ara—

Dalam tiap puisi yang ia tulis di origami, ada harapan. Aiara Nadya Noer berharap Fardio Tama tahu kalau di bumi ini ada ia dan perasaannya yang kian lama kian bertambah.

Dalam tiap origami yang Dio temukan di tasnya, ada kebingungan. Dio bukanlah orang yang pandai mengungkapkan perasaan.

Sampai titik mana Ara menyukai Dio diam-diam dan hanya menyampaikannya lewat origami?
Sampai kapan Dio bertahan bungkam seolah tak peduli?

Ada doa yang diucap penuh harap. Ada senyum bibir menepis getir.

Biarkan origami menuntun isi hati...

SINOPSIS:
Aiara Nadya Noer atau yang akrab disapa Ara suka sekali melipat kertas warna-warni alias origami dalam berbagai bentuk yang lucu. Setiap kali sedang fokus melipat, tak ada yang bisa mengganggunya. Origami membuatnya bahagia. Origami pulalah yang dijadikan sarana untuk menyampaikan perasaan hati pada Fardio Tama alias Dio, kakak tingkat kuliah sekaligus tetangganya. Dalam tiap origami yang diberikan diam-diam pada Dio, juga dituliskan puisi yang mengungkap isi hati Ara. Selain itu, Ara giat sekali mencari cara agar Dio menaruh perhatian padanya. Meskipun dari yang dia amati dan ketahui, Dio tidak menyukai tipe cewek sepertinya. Dio yang cerdas dan pendiam secara terang-terangan menunjukkan sikap risi setiap kali Ara di dekatnya. Tapi satu hal yang tidak Ara sadari, bahwa Dio yang memang tak pandai mengungkapkan perasaan kerap kali menunjukkan sikap yang berlawanan dengan maksud hatinya.

Di lain pihak, Fardian Tama alias Ian, adik Dio sekaligus teman seangkatan Ara berkarakter kebalikan dari kakaknya. Ian yang berteman baik dengan Ara lebih kekanak-kanakan, blakblakan, dan kadang cerewet ketika menunjukkan kepedulian. Ketika Ian menyadari perasaan Ara kepada kakaknya, ada rasa tak rela. Apa lagi, selama ini Ian dan Dio kerap berselisih paham karena meskipun berbeda karakter tapi selera keduanya nyaris selalu sama. Ian juga sering dibanding-bandingkan dengan Dio sekaligus merasa diperlakukan tidak adil. Tanpa Ian sadari, banyak hal yang tak dia ketahui atau pahami tentang Dio dan sikap orangtua mereka, yang bisa mengubah pandangannya.

Hingga suatu hari, sebuah fakta baru menyadarkan Ara, Dio, dan Ian. Mereka lantas harus berupaya menyelesaikan permasalahan sekaligus membuat pilihan terbaik yang jujur sesuai keinginan hati.

REVIEW:
“Hati berhak mendapatkan ketenangan, bukan hanya gusar menunggu dengan harapan. Akan ada saatnya kita menemukan atau ditemukan. Sebelum waktu itu tiba, kita bisa fokus pada tujuan, pada masa depan.” (hlm. 267)

Ide tentang origami dan puisi terbilang segar bagi saya, terutama dalam novel romansa Indonesia. Otomatis membuat saya sangat ingin tahu apakah si pengirim akan berhasil menyatakan perasaan secara terang-terangan kepada sang pujaan hati dan mendapatkan respon sesuai harapan. Tapi ternyata Rezza Dwi berhasil menciptakan kejutan demi kejutan dan berbagai elemen cerita yang membuat saya mulai berpikir, cerita ternyata tak sesederhana kelihatannya.

Dua tokoh utama pria yang ternyata bersaudara kandung, misalnya, tidak saya bayangkan sebelumnya. Apa lagi pada akhirnya adik-kakak ini saling tak rela Ara dimiliki salah satu dari mereka. Biasanya sih saya menghindari cerita romansa yang melibatkan persaingan cinta antarsaudara, tapi di luar dugaan kisah ini patut dikecualikan. Ada unsur-unsur keluarga yang kental, di luar persaingan cinta Dio dan Ian, yang bagi saya cukup vital memengaruhi konflik dan logis bisa saya terima. Tentang posisi anak sulung dan bungsu dan berbagai prasangka pilih kasih dan dibanding-bandingkan. Tentang kakak yang selalu harus mengalah dari adik dan diharuskan bersikap lebih dewasa. Juga tentang komunikasi yang baik dalam keluarga agar tidak timbul kesalahpahaman dan dipendam menjadi kebencian. Saya selalu respek jika penulis berhasil menyisipkan pesan semacam ini dalam cerita, genre apa pun itu. Dialog-dialog dalam Origamiara juga realistis, mengena, sekaligus mampu membangkitkan emosi. Saya merasa ‘terhubung’ dengan tokoh Dio dan bisa merasakan beban yang dipikulnya.

Tentang tokoh Ara, saya cukup syok dengan kegundahan hatinya di akhir kisah, meskipun pada akhirnya saya bisa memahami latar belakang sikapnya ini. Perkembangan karakter Ara pun cukup lambat, tapi saya suka akhir kisah yang disuguhkan terkait kebimbangan Ara atas pilihan studinya. Demikian juga dengan Ian yang meskipun terkesan menyenangkan, tapi ada sisi-sisi menyebalkan yang bikin saya kurang respek. Kisah ini juga mengangkat tema ‘friendzone’. Bahwa bukan hal baru jika dalam persahabatan cowok-cewek akan ada risiko perubahan perasaan dan status. Dan pilihan siap tidaknya perubahan ada pada tokoh tersebut.

Chemistry antartokoh cukup bagus, terutama kedekatan Ara dan Ian sebagai teman baik yang suka saling mengolok dan mengusili, atau antara Ara dengan  Alika sang sahabat karib yang saling mendukung, atau momen-momen ‘pedekate’ Ara ke Dio. Konyol dan mengharukan terasa silih berganti. Seting dan deskripsinya di kota Bandung, khususnya di sebuah kampus ternama, menyenangkan sekali bagi saya. Mengobati kerinduan akan aktivitas kampus dan kemahasiswaan, sekaligus menjadi semacam angin segar bagi saya yang tidak tinggal di Bandung. Terdapat banyak istilah terkait jurusan matematika yang diambil para tokoh, tapi telah disertai catatan kaki dan penjelasan lewat dialog antartokoh. Alur cerita yang dominan maju dan POV orang ketiga, mengasyikkan juga untuk diikuti.

Sebuah kisah romansa yang ringan, menghibur, tapi tetap berhasil mengaduk-aduk emosi saya. Terselip juga pesan kemandirian dan kegigihan meraih cita-cita selain cinta. Jika harus memilih, saya lebih suka Ara bersama Dio, karena karakter mereka saling melengkapi. Apakah Ara akan tetap memilih Dio atau berpaling kepada Ian? Kamu harus baca sendiri untuk tahu jawabannya. Awas baper, ya. Hehe. Novel yang recommended bagi para pencinta kisah romansa Indonesia, nih. Ditunggu karya-karya selanjutnya dari Rezza Dwi.


  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube