Senin, 21 Mei 2018

Arterio: Sebab Cinta Sejati Mengalir Sampai ke Jantung

Posted by Menukil Aksara | 11:15:00 AM Categories:
Judul buku             : Arterio
Penulis                   : Sangaji  Munkian
Editor                    : Auliya Milatina Fajwah
Penerbit                 : BITREAD Publishing
Tahun terbit           : 2018
Tebal buku             : XII + 410 hlm.
ISBN                      : 978–602–5634–1-6

BLURB:
    Seseorang yang menekuni bidang medis umumnya berperangai ramah, penyabar, dan punya kepedulian yang tinggi untuk menolong mereka yang terluka, tetapi itu tidak berlaku bagi Zag Waringga, dia tipikal pemarah, emosian, juga pendendam. Alih-alih menciptakan ramuan yang dapat menyembuhkan, Zag justru menciptakan racun paling mematikan. Lain halnya dengan Nawacita, dia adalah sosok yang begitu perhatian, penuh belas kasihan, tetapi terlampau naif, padahal dia memiliki potensi istimewa yang selangka bintang jatuh, yakni merasakan detak jantung beserta aliran darah secara terperinci.

    Arteri(o) akan mendenyutkan sebuah kisah yang berangkat dari pertanyaan: apakah tempat yang kini kau tempati sudah tepat? Bagaimana jika itu tidak sesuai dengan karakter dan tujuan hidupmu? Apakah petuah di mana pun kau ditempatkan Tuhan selalu punya alasan, perlu direvisi?

    Arteri(o) sebagai pembuluh yang mengalirkan darah dari jantung ke seluruh bagian tubuh, akan mengajakmu ke dunia yang lain dari pada yang lain, kisah yang meletupkan fantasi, aksi, konspirasi, dan tentu saja romansa yang tepat menghujam jantungmu.

    Aku ingin menjadi arteri sang pembuluh, yang bersama degup terjujurmu mengarungi setiap ruas jaringan tanpa sekalipun berpikir melewatkannya.
SINOPSIS:
    “Kita tidak dianjurkan berambisi melewati batas kuota.” (hlm. 35)

    “... tiap manusia diberi kemampuan tersendiri oleh Tuhan, kemampuan yang istimewa dan jarang ada pada yang lainnya.” (hlm. 35)

    Di sebuah negara bernama Kartanaraya di mana sistem pendidikannya unik, terdapat Akademi yang membagi siswa-siswanya ke dalam lima jurusan. Tiap siswa yang telah melewati masa inisiasi akan menjalani pendidikan di salah satu jurusan tersebut, yang juga akan menjadi status sosial permanen yang melekat pada dirinya. Hanya kejadian luar biasa yang memungkinkan siswa berpindah jurusan. Kelima jurusan tersebut adalah Lazuar, Vitaera, Pragma, Arterio, dan Zewira. Lazuar adalah mereka yang mencintai ilmu hayati. Vitaera adalah mereka yang mendalami ilmu tentang manusia, seluk beluk terkait sejarah, bahasa, perilaku, dan seluruh budaya. Arterio adalah mereka yang menggandrungi ilmu tentang kesehatan dan penyembuhan. Pragma adalah mereka yang menekuni ilmu praktis yang dapat dilihat, dihitung, dan dilakukan secara teknis. Sedangkan Zewira adalah mereka yang memaknai tentang kedalaman pikiran, kekuatan, struktur pemerintahan, perjuangan, dan ketertiban. Zewira acapkali dipandang spesial. Letak gedung jurusan dan asrama pun terpisah dari yang lain.

    Zag Waringga adalah Arterio strata muda berusia 18 tahun. Tak seperti murid lainnya, Zag tidak bisa menerima jurusannya. Dia sesungguhnya berharap masuk Zewira. Bukanlah tanpa alasan, hal ini ada kaitannya dengan dendam atas kematian ayahnya oleh pimpinan pasukan musuh Jaharu bertahun-tahun silam. Menjadi Arterio dianggap Zag tak mendukung rencana balas dendamnya. Oleh sebab itu, alih-alih bersemangat mempelajari ramuan penyembuhan, Zag justru diam-diam belajar meracik racun mematikan, bahkan yang sangat sulit. Dia kerap menyambangi Laboratorium Tumbuhan Kuno dan Racun tanpa izin demi mendapatkan catatan rahasia terkait racun yang diincarnya. Bahkan di malam Soir atau semacam pesta dansa, Zag lebih memilih menghabiskan waktu di Laboratorium tersebut. Di masa kunjungan tak berizinnya inilah Zag berjumpa salah seorang anggota keluarga Nayef. Anak bungsu keluarga bangsawan tersebut yang bernama Kiastra justru membantunya secara tak langsung dalam meracik racun. Tapi kemudian Kiastra menggunakan ‘bakatnya’ demi membuat Zag lupa akan identitas dirinya dan pertemuan mereka.

    Di lain pihak, ada Nawacita Lumie, gadis penyayang yang mencintai Zag. Cita satu angkatan dan satu jurusan dengan Zag. Bertiga bersama Datroit, mereka adalah kawan karib. Cita dan Datroit mengetahui ambisi Zag dan tak bosan mengingatkan bahwa Zag seharusnya menerima penempatannya di Arterio. Hingga suatu hari, diumumkan sebuah kabar menggemparkan tentang penyerangan Jaharu ke kota Purwa. Di ibukota Karta, Anggota Dewan dan keluarga Nayef membuat kebijakan dengan membentuk Laskar Patriot, di mana para pemuda bisa mengajukan diri untuk menjadi bagiannya. Zag tak melewatkan peluang ini. Ketika diumumkan siapa saja yang lolos seleksi, Zag sangat kecewa mengetahui bahwa dia lolos tapi ditempatkan di pasukan cadangan paling belakang, itu pun bersama para Arterio muda, termasuk Cita dan Datroit.

    Namun tak diduga semua orang, pasukan cadangan paling bontot ini justru menjadi sasaran empuk pasukan Jaharu. Mereka disekap di kota bawah tanah, ironisnya bersama sepasukan Zewira yang sudah babak belur. Hingga di sebuah momen krusial, Zag berhasil menantang Jou Ozlem sang pemimpin untuk berduel satu lawan satu. Berkat latihan fisik bersama sahabat Zewiranya bernama Lankurt, Zag mampu mengimbangi adu fisik. Selain itu, siasat liciknya menggunakan ramuan racun mematikan yang sudah dipersiapkan berhasil menewaskan Jou Ozlem. Cita lantas membantu di saat kritis menggunakan ‘bakatnya’. Dia melumpuhkan pasukan Jaharu tanpa kendala hanya dengan menguasai detak jantung dan aliran darah mereka. Arterio dan Zewira yang disekap pun berhasil lolos. Atas jasa mereka, Zag, Datroit, dan Cita mendapat penghargaan. Khusus untuk Cita, tak hanya penghargaan dan hadiah, keluarga Nayef melalui Madame menawarinya pindah jurusan ke Zewira. Permintaan yang sesungguhnya disertai ancaman dan perintah ini pun lantas membuat Cita terpojok. Demi memudahkan perpisahan, dia berbohong pada Zag di pertemuan terakhir. Zag yang belum lama menyatakan perasaan pada Cita pun sontak terkejut dan sangat kecewa. Zag juga telah mampu menerima keberadaannya di Arterio, tapi kabar dari Cita menyulut amarahnya.

    Cita kemudian memulai hari-harinya di asrama Zewira. Ternyata tak sendirian, ada tiga murid lain yang pindah ke Zewira bersamanya, masing-masing memiliki ‘bakat’ yang unik. Di asrama, Cita juga berkawan baik dengan Lanina. Masa adaptasi yang berat, disertai pola pendidikan yang jauh lebih keras daripada di Arterio, memaksa Cita fokus dan melupakan perpisahandengan keluarga dan Zag. Selain itu, seorang senior bernama Rafidan kerap menyusahkannya. Rafidan seolah membenci dan sengaja memplonconya. Namun, suatu hari sikap Rafidan melunak dan puncaknya beberapa waktu kemudian bahkan mengajak Cita berkencan. Rafidan bahkan berani menyatakan cinta. Cita tentu saja terkejut dan gamang, apakah dia juga mulai memiliki perasaan pada Rafidan.

    Beberapa waktu kemudian, di acara simbolisasi pembangunan kembali Kota Purwa, sebuah tragedi penyerangan Jaharu kembali terjadi. Cita yang hadir bersama para Zewira turut melakukan perlawanan dan penyelamatan. Di momen inilah kedok Rafidan terkuak. Fakta ini jelas mengejutkan Cita. Di saat kritis, datanglah teman-teman Zewiranya, juga Zag dan Datroit. Bersama-sama mereka lantas berupaya menggagalkan rencana besar busuk Jaharu dan menyelamatkan bangsa.

REVIEW:
    “Aku sadar bahwa balas dendam dan keadilan adalah hal yang berbeda.” (hlm. 384)

    “... balada yang paling menyedihkan adalah dia yang mengetahui sesungguhnya dia memperoleh cinta dengan teramat, tetapi ia terlambat menyadarinya.” (hlm. 391)

    Novel bergenre fantasi karya penulis Indonesia ini mengusung tema menarik tentang impian, cinta, dan pencarian jati diri. Premisnya juga menjanjikan. Tak ada mythical creatures dan penyihir ala fantasi umumnya. Seting negara Kartanaraya tidak dijelaskan detail, di bagian dunia mana tepatnya. Meskipun demikian, sempat terselip keterangan musim semi dan dari gaya hidup maupun penampilan rakyatnya, seolah menyiratkan era di masa lampau. Saya cukup puas dengan detail seting dan pembelajaran di jurusan Arterio maupun Zewira yang lebih disorot di buku ini ketimbang jurusan lain. Juga dengan ide dan penjabaran aneka ‘bakat’ beberapa tokohnya. Ide yang segar dan cerdas. Alurnya campuran, tapi tetap didominasi alur maju.

Gaya bahasa menggunakan diksi yang dijalin indah dan berima. Taste-nya jadi berbeda dengan novel kontemporer atau novel fantasi terjemahan dan novel fantasi Indonesia lain yang pernah saya baca. Salut dengan kepiawaian penulis bermain diksi. Sayangnya ini kurang klop dengan selera saya sehingga cukup mempengaruhi feel baca. Tambahan lagi, beberapa kali saya menemukan paragraf narasi yang agak bertele-tele, yang menurut saya kalaupun dibuang tak akan mempengaruhi jalan cerita. Sejumlah typo juga masih dijumpai. Diantaranya ada yang terulang: bias (:bisa), dating (:datang), lancer (:lancar). Juga kata-kata yang hilang sehingga saya harus mengira-ngira apa yang coba disampaikan penulis. Penggunaan tanda baca koma juga kerap tak tepat. Kalimat jadi terlalu panjang, yang seharusnya bisa dipenggal dengan titik.

Pemilihan POV orang pertama bergantian Zag dan Cita pun menarik. Saya suka karakter Zag yang sinis, blakblakan, tangguh, dan cerdas, meskipun dia sempat terbelenggu ambisi balas dendam. Kisah dalam sudut pandang Zag jadi lebih menarik bagi saya. Berbeda dengan ketika kisah berganti sudut pandang Cita. Saya merasa cukup bosan apalagi saya kurang suka dengan karakter Cita. Dia terlampau naif dan kerap kali terkesan lemah dan plinplan, walaupun penuh belas kasih. Chemistry dan romansa antara Zag dan Cita pun kurang bisa saya rasakan. Paling mengherankan ketika Zag tak menunjukkan rasa cinta sama sekali kepada Cita tapi lantas mengakui perasaan, tak lama usai tragedi penyekapan di Kota Purwa. Saya merasa ini terlalu dipaksakan dan tiba-tiba. Demikian juga dengan Cita yang terkesan terlalu mudah melupakan Zag dan menerima Rafidan—meskipun ada pengungkapan fakta alasan di balik ini. Padahal dikisahkan sebelumnya bahwa Cita sangat mencintai Zag, bahkan ketika cintanya masih bertepuk sebelah tangan. Keganjilan lain adalah perihal fakta ramuan cinta Kaias yang digunakan Rafidan. Padahal Rafidan bukan murid Arterio sedangkan bahkan murid Arterio pun sering kali gagal meracik karena syarat yang pelik. Penjelasan tentang perjanjian gelap pertukaran jiwa pun kurang. Interaksi antara Rafidan, Cita, dan Zag juga belum mampu menggugah saya. Sepanjang cerita bisa dibilang saya hanya mengikuti saja sampai tamat tanpa benar-benar merasakan teraduk-aduk emosi. Sesungguhnya plot, twist, dan ending cukup bagus. Hanya saja eksekusi di beberapa bagian masih kurang mulus.

Selain Zag, cukup suka kehadiran tokoh-tokoh pendukung:Datroit, Lankurt, Lanina, Parame, Oktavio, dan Bara. Mereka memberi kontribusi peran yang cukup penting. Sedangkan tokoh yang paling memantik rasa ingin tahu adalah Kiastra. Di buku ini kesan misteriusnya sangat kental. Selain itu dia punya andil dalam peran Zag di masa kecamuk. Jika benar penulis berencana menyoroti keluarga Nayef lebih jauh di buku kedua, saya berharap teka-teki Kiastra digali mendalam. Overall, novel yang rencananya akan menjadi saga ini menjanjikan dan bisa jadi pilihan bacaan para penikmat novel fantasi bercita rasa Indonesia. Ditunggu kelanjutannya.



Senin, 14 Mei 2018

False Beat: Hubungan Persaudaraan yang Terputus oleh Ego

Posted by Menukil Aksara | 10:17:00 AM Categories:
Judul buku             : False Beat
Penulis                   : Vieasano
Editor                    : Kavi Aldrich
Desain sampul       : Orkha Creative
Penerbit                 : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit           : 2018, cetakan pertama
Tebal buku             : 296 hlm; 20 cm
ISBN                      : 978-602-03-8226-5

BLURB:
“Nggak usah lihat-lihat. Gawat kalau lo nanti suka sama gue.”

Gara-gara terlilit utang dengan om-nya, Aya harus rela menjadi manajer Keanu & the Squad. Sebenarnya pekerjaan itu tak seburuk yang dia bayangkan, kalau saja bukan Keanu yang harus dihadapinya. Vokalis sekaligus pentolan band itu mungkin punya banyak fans. Dan harus dicatat, Keanu tuh punya wajah ganteng, bibir seksi, penampilannya keren, dan suara yang bagus banget. Tapi, Keanu punya segudang kelakuan ajaib yang membuat Aya tak bisa berkutik, juga membuat jadwal roadshow band itu berantakan!

Aya pun mencari cara untuk mengendalikan Keanu agar roadshow berjalan lancar. Baru saja merasa menemukan jawaban, Aya malah terjerumus dalam masalah baru: mengetahui rahasia besar Keanu yang membuatnya terperangkap dalam drama tak berujung.

SINOPSIS:
    “Eh, lo tahu kan istilah ‘benci jadi cinta’? Atau teori ‘batas benci dan cinta hanya setipis kertas’? Nah, maksud gue, lo harus bersyukur paling nggak Keanu keren... Jadi kalau lo sama dia akhirnya saling tertarik, paling nggak lo nggak zonk-zonk banget deh!” (hlm. 67)

    Kanaya Talitha atau yang biasa disapa Aya belum lama menyudahi masa kerja magangnya di Jepang. Belum lagi dia mampu menemukan pekerjaan tetap di Bandung, om-nya ‘menjebak’ dengan mengatasnamakan pelunasan utang dan menjadikan Aya manajer band yang berada di bawah naungan manajemen artisnya. Keanu & the Squad, demikian nama band tersebut, yang sedang berada di puncak popularitas dan digadang-gadang akan makin sukses di masa mendatang oleh Om Putra. Aya yang tak memiliki pengalaman maupun latar belakang profesi sebagai manajer mengajukan keberatan. Selain itu, dia merasa tak akan cocok dengan Keanu sang vokalis sekaligus pentolan band tersebut, setelah menyaksikan kelakuan lelaki itu di layar kaca. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Aya tak hanya gagal membujuk Om Putra, bahkan ‘terjebak’ kontrak perjanjian untuk kali kedua.

    Nahas bagi Aya, ketika bertemu secara langsung dengan Keanu untuk pertama kalinya, dia justru langsung dicap mesum akibat kecerobohannya sendiri. Insiden memalukan itu juga sempat disaksikan oleh Randy, Jonas, Adrian, dan Regan, yang merupakan personel band. Meskipun sudah diklarifikasi dibantu oleh om-nya, Keanu tetap menunjukkan sikap tak bersahabat dan ketidaksetujuan atas posisi Aya sebagai road manager sekaligus personal manager-nya.

Maka neraka yang sesungguhnya pun dimulai. Band yang memiliki fanbase kuat tersebut dijadwalkan menjalani roadshow keliling Indonesia dalam rangka hari jadi band yang ketiga. Selama roadshow, seperti yang dibayangkan Aya sebelumnya, Keanu kerap berkelakuan ajaib alias tak disiplin dengan jadwal tur dan promo. Vokalis ini kerap menghilang tanpa pemberitahuan, pulang ke Bandung di tengah-tengah jadwal syuting promo, dan amat jarang berperjalanan bersama personel band-nya dalam sleeper bus. Jelas saja Aya dibuat pusing dan terkena dampaknya. Banyak pihak yang dikecewakan dan berimbas permohonan maaf yang harus dilontarkan Aya sebagai manajer. Menuruti saran Audy sahabatnya, Aya berinisiatif mengajak Keanu bicara empat mata baik-baik. Tapi lagi-lagi, pemilihan waktu yang tidak tepat dan nada bicara yang gampang tersulut emosi membuat rencana ini gagal dan menambah aura permusuhan antara keduanya.

Tak sanggup lagi, Aya pun mengeluhkan penderitaannya kepada Audy, Fauzan, dan Bobby, sahabat-sahabatnya semenjak SMA. Ketika sesi curhat masih berlangsung, mereka menyaksikan konferensi pers di televisi mengenai sebuah kasus hukum yang melibatkan seorang figur publik. Betapa terkejutnya Aya dan para sahabatnya ketika melihat sosok pengacara yang menangani kasus tersebut yang sangat mirip dengan Keanu. Usut punya usut, ternyata pengacara muda tersebut merupakan saudara kembar Keanu. Kevin Ekaputra Pradipta, demikian nama kakak kembar Keanu tersebut, sontak menarik perhatian dan menerbitkan ide sebagai jalan keluar persoalan Aya. Bermaksud meminta dukungan dan bantuan Kevin untuk ‘mendisiplinkan’ adiknya, Aya berangkat ke kantor Pradipta & Assosiates untuk menemui langsung Kevin. Di sana Aya juga bertemu dengan seorang wanita muda yang disapa Key. Wanita yang langsung mengundang kekaguman Aya berkat kecantikan dan keanggunannya. Dan betapa kecewa Aya ketika pada akhirnya menyadari kedatangannya ke sana sia-sia. Kevin tak hanya menolak mentah-mentah permohonan bantuan dari Aya tapi juga bersikap menyebalkan sehingga memicu amarah Aya.

Di lain pihak, dalam sebuah promo dan wawancara live radio, Keanu bersikap tak sopan ketika sang penyiar meminta komentarnya terkait Kevin. Agaknya rumor mengenai hubungan mereka yang tak harmonis benar adanya, demikian asumsi Aya. Karena itulah dia lantas tak mempersoalkan lebih jauh. Apalagi selama beberapa waktu ke depan, Keanu bersikap lebih disiplin daripada biasanya. Hingga suatu hari, ketika sedang menengok keadaan mamanya yang masuk rumah sakit, Aya tak sengaja melihat sesosok pria mirip Keanu. Merasa penasaran, dia pun menguntit hingga terkuaklah sebuah rahasia besar yang mengubah segalanya. Mau tak mau, Aya kemudian terlibat dalam drama pelik keluarga Keanu. Tak hanya itu, kasus yang sempat menjadi skandal Keanu di masa lalu yang melibatkan mantan manajernya belum benar-benar usai. Aya pun terjebak di tengah labirin kehidupan Keanu dan mulai melibatkan perasaannya. Ketika mantan bosnya menawarkan kesempatan langka di Jepang, Aya merasakan dilema. Haruskah dia memperpanjang kontrak perjanjian sebagai manajer band dengan Om Putra atau menerima tawaran menjanjikan di Jepang.

REVIEW:
    “Sebuah hubungan darah tidak seharusnya terputus oleh ego. Hubungan antara orangtua dan anak, hubungan antarsaudara, tidak seharusnya terputus oleh apa pun.” (hlm. 271)

    Tidak umum dijumpai novel metropop yang mengambil latar musik, apalagi kehidupan anak band. Dan saya cukup berekspektasi dengan latar musik ini. Ternyata nuansa musiknya dipersempit menjadi seting tur konser ke berbagai daerah di Indonesia, sehingga memang tak akan ditemui adegan proses rekaman lagu atau syuting video musik, seperti yang sempat saya sangkakan. Meski demikian, tetap ada selipan proses kreatif sang vokalis dalam menciptakan lagu dan proses aransemen awal bersama personel band di sela-sela perjalanan tur. Selain itu, deskripsi kemegahan konser, atraksi panggung, lengkap dengan ritual unik jelang tampil cukup memuaskan. Penulis sendiri sempat menyebutkan dua band rock Jepang: One Ok Rock dan My First Story sebagai sumber inspirasi, sehingga mudah bagi saya membayangkan gambaran adegan selama Keanu & the Squad beraksi di atas panggung. Di jelang akhir, saya bahkan sempat ‘merinding’ dan emosional membaca sebuah adegan yang menggambarkan salah satu ritual sebelum manggung Keanu, yang ternyata berhubungan erat dengan konflik utama cerita. Seting di beberapa kota juga cukup berkesan, walaupun kebanyakan hanya sekilas, mengikuti alur dan plot cerita.

    Penulis menggunakan POV orang ketiga tapi tetap mampu membuat saya merasa dekat dengan para tokoh—terutama tokoh utama. Penokohannya menarik, mengambil sosok dua saudara kembar beda profesi dan beda karakter, serta tokoh perempuan yang unik. Keanu yang menganggap musik sebagai hidupnya, luwes bergaul, easy going, dan cenderung mudah disukai sangat berkebalikan dengan Kevin. Selain itu, bagaimana Kevin diposisikan sebagai anak tertua—meskipun mereka kembar, kisah masa kecil dan remaja, dan gambaran konflik batin mereka, pada akhirnya memperkuat simpati saya pada keduanya ketika inti konflik terkuak. Bagi saya, penulis piawai membuat pembaca terlibat secara emosional dengan kedua tokoh ini. Di klimaksnya, saya turut merasakan penderitaan tokoh yang dilatarbelakangi kondisi psikologis yang pelik. Di lain sisi, kehadiran Aya sebagai sosok lucu (tapi tak pernah merasa melucu) dengan sikapnya yang ekspresif, gampang terpancing, agak lemot tapi punya sisi baik, membuat saya gemas sekaligus kangen dengan tingkah konyolnya. Humornya pas untuk saya, mengingatkan akan tokoh wanita dalam drama komedi romantis Korea. Sosok satu ini juga cocok menjadi ‘penengah’ konflik dan membantu tokoh pria menemukan solusi. Chemistry antara Aya dan sang tokoh pria terasa; walaupun tak dibumbui adegan dewasa yang biasa dihadirkan dalam novel metropop, kisah romansa mereka tetap manis dan mengharukan. Sedangkan Key atau Keyzia mendapat porsi yang lumayan besar, terkait kedekatannya dengan Keanu dan Kevin yang cukup pelik. Alih-alih menonjolkan peran orangtua, penulis lebih mengeksplorasi peran Key, yang mana menurut saya sudah cukup tepat. Meskipun saya sebenarnya tetap mengharapkan orangtua si kembar sedikit lebih ditampilkan agar emosi makin gereget. Selain itu, Om Putra juga ternyata menjadi tokoh kunci dalam teka-teki alasan di balik peran Aya sebagai manajer, menyuguhkan twist ending yang lengkap. Yang cukup saya sayangkan terkait penokohan adalah kehadiran personel band yang tak berkesan. Kecuali Randy dan Jonas (saya suka dengan Jonas), saya nyaris melupakan sosok Adrian dan Regan. Bisa jadi dikarenakan format band yang ‘tak biasa’ (bisa diketahui mendetail jika kamu membaca sendiri), sehingga poros tetap pada Keanu. Tapi tetap saja, walaupun mereka hanya tokoh pendukung, seharusnya penulis bisa menciptakan keunikan, gimmick, atau adegan khusus sehingga pembaca tetap ‘ingat’ akan sosok keduanya usai membaca.

Alur dominan maju, dengan sedikit sisipan kilas balik. Plotnya rapi dan sempat membuat saya ikut menebak ke mana arah cerita dan apa konflik utama kedua tokohnya: Keanu dan Kevin. Meskipun ada yang sesuai, namun tetap ada bagian mendasar yang meleset dari perkiraan saya sehingga sukses membuat saya tercengang. Salut dengan ide penulis yang berani! Pada akhirnya, bisa dibilang cukup sulit mengulas novel ini tanpa membocorkan twist yang hendak digulirkan, tapi secara keseluruhan saya puas dengan eksekusi twist dan ending.

Sebuah novel yang ternyata tak sekadar mengangkat nuansa musik dibumbui kisah benci jadi cinta. Pesan moralnya mendalam. Memaknai arti penting keluarga, juga mengajak pembaca untuk lebih mencintai diri sendiri. Yakinlah bahwa tiap orang itu unik dan menarik dengan cara masing-masing sehingga seharusnya kita lebih bersyukur atas hidup dan cinta dari orang-orang terdekat. Terlepas dari sejumlah typo yang masih terselip, saya tetap merekomendasikan novel ini. Baca, deh dan rasakan sensasi terhanyut dengan kisah Keanu dan Kevin. Kamu akan dibuat tertawa lantas menitikkan air mata tak lama kemudian, atau bahkan di waktu bersamaaan.

Jumat, 04 Mei 2018

The Women in the Castle: Kisah Perlawanan Jerman dari Pandang Tiga Wanita

Posted by Menukil Aksara | 8:18:00 AM Categories:
Judul buku          : The Women in the Castle
Penulis                : Jessica Shattuck
Alih bahasa         : Endang Sulistyowati
Editor                  : Nina Siti Aminingsih
Penerbit              : PT Elex Media Komputindo
Tahun terbit        : 2018, cetakan pertama
ISBN                   : 978-602-04-5866-3
Tebal buku         : 441 hlm.

BLURB:
    Di tengah jatuhnya kekuasaan Jerman Nazi, Marianne von Lingenfels kembali ke puri keluarga suaminya yang dahulu kala berdiri tegak sebagai benteng kukuh tapi kini telah rusak seiring dengan berlangsungnya Perang Dunia Kedua.

    Sebagai janda dari anggota perlawanan yang dieksekusi setelah gagal melancarkan rencana pembunuhan Adolf Hitler pada tanggal 20 Juli 1940, Marianne bertekad untuk menepati janjinya kepada para anggota lainnya yang telah berjuang dengan gagah berani: mencari dan melindungi istri-istri mereka, sesama janda perjuangan perlawanan.

    Marianne yakin bahwa penderitaan dan nasib yang sama akan mempersatukan mereka sebagai satu keluarga. Namun dia segera menyadari bahwa kehidupan seusai perang nyatanya lebih rumit dan penuh dengan rahasia-rahasia gelap yang dapat mencerai-beraikan mereka...

SINOPSIS:
    “Pembunuhan adalah perbuatan iblis. Itu tak terbantahkan. Tapi jika itu bisa mengakhiri perang dan mencegah pembunuhan ribuan orang? Bahkan jutaan orang?” (hlm. 89)

    Pada tahun 1938, di tengah kemeriahan pesta di Burg Lingenfels, sekelompok pria dari berbagai latar belakang—yang kemudian menyebut diri gerakan perlawanan—diam-diam sedang membahas segala tindak tanduk Hitler kala itu. Mereka semua nyaris serempak setuju bahwa Hitler di balik karismanya adalah sesosok monster dengan ambisi kekuasaan yang mengorbankan sangat banyak nyawa tak bersalah. Namun apakah lantas membunuh diktator tersebut—dengan segala konsekuensinya—adalah satu-satunya jalan keluar demi mencegah perang dan tertumpahnya lebih banyak darah masih diperdebatkan. Hingga sebuah fakta mengerikan yang terbukti kebenarannya membulatkan kesepakatan kelompok ini untuk melancarkan aksi pembunuhan demi menggulingkan Hitler dari tampuk kekuasaan. Marianne von Lingenfels yang berada di satu tempat yang sama dengan diskusi dan tak sengaja terlibat perdebatan pun lantas mengikrarkan janji untuk menjadi ‘komandan istri dan anak’ dari para anggota gerakan perlawanan. Sebuah ikrar tanda dukungan penuh dan kesetiaan.

    Ketika rencana pembunuhan atas Hitler tersebut ternyata menemui kegagalan, para anggota gerakan perlawanan dieksekusi. Para janda mereka telantar dan mengalami masa kehidupan yang teramat sulit. Demikian halnya dengan Marianne von Lingenfels dan ketiga anaknya. Namun nasib Marianne terbilang masih jauh lebih beruntung ketimbang janda lain berkat nama baik sang suami—Albrecht yang memiliki jabatan dan latar belakang kebangsawanan yang terpandang. Ketika perang usai, di tahun 1945 sesudah usaha pencarian panjang, Marianne berhasil menemukan (sayangnya) hanya dua janda. Mereka adalah Benita Fledermann dan Ania Grabarek beserta anak-anak lelaki mereka yang ditemukan di beberapa tempat berbeda yang sama-sama mengenaskan. Benita jauh lebih muda dari Marianne dan pernah dikenalkan oleh mendiang suaminya, Connie, yang juga merupakan sahabat baik Marianne semenjak kecil. Janda Fledermann ini sosok perempuan yang cantik dari kota kecil Fruhlinghausen tapi rapuh dan sakit-sakitan ketika dibawa ke puri oleh Marianne. Sedangkan Ania terasa asing dan pembawaannya yang pendiam dan tertutup menambah jarak bagi Marianne. Namun, Marianne yang optimistis dan pembawaannya percaya diri layaknya seorang pemimpin telah bertekad bahwa mereka akan hidup sebagai satu keluarga di Burg Lingenfels—yang meski tak megah lagi tapi masih kukuh berdiri pascaperang.

    Masa-masa sulit lantas dijalani keluarga baru ini. Keterbatasan pasokan pangan dan kelayakan sarana tak menjadi halangan. Hingga seorang tawanan perang yang merupakan mantan Nazi bernama Franz Muller diperbantukan di puri seminggu sekali atas rekomendasi seorang kenalan perwira Amerika. Kehadiran Herr Muller disambut baik-baik saja oleh anak-anak lelaki, begitu juga Benita yang diam-diam menyukai keberadaannya. Tapi tidak demikian halnya dengan Marianne yang sangat enggan dengan riwayat keterlibatan Muller dengan Nazi. Bukan itu saja; suatu hari sekonyong-konyong sepeleton tentara Rusia yang kelaparan dan kelelahan singgah di puri demi meminta makanan. Berkat ketegaran Marianne yang didampingi Ania, momen menakutkan dan menegangkan ini mampu dilalui. Tapi satu tindakan ceroboh Benita menimbulkan tragedi yang melibatkan Franz Muller dan lantas ditutup-tutupi. 

    Kebersamaan tiga wanita beda generasi dan karakter ini berlanjut, hingga di tahun 1950 dikisahkan bahwa mereka tak lagi menetap di puri. Marianne dan Benita pindah ke sebuah flat di Tollingen bersama anak-anak mereka. Sedangkan Ania menikah dengan Carsten Kellerman setelah beberapa waktu menjadi penyewa di tanah milik duda tua tersebut. Marianne turut berbahagia karena menurutnya Carsten adalah pria baik dan telah dikenal sebagai tetangga puri selama bertahun-tahun. Kebahagiaan Ania usai menikah sayangnya tak berlangsung lama, karena seorang pria dari masa lalunya mendadak muncul dan menuntut sesuatu. Rahasia kelam kehidupan Ania ini tak pernah diungkapkannya kepada Marianne maupun Benita. Dan kini pun dia memilih menyembunyikannya, termasuk dari suami barunya. Tapi sebuah kejadian membuat Marianne mengetahui hal tersebut dan merasa sangat kecewa. Dari sinilah hubungan Marianne-Ania merenggang dan berubah. Di lain pihak, Benita juga mengejutkan Marianne dengan mengutarakan maksud untuk menikah dengan Franz Muller. Ternyata selama ini mereka menjalin kontak secara rutin di belakang semua orang. Marianne jelas-jelas menentang dan bahkan menemui Muller secara langsung. Satu tindakan yang lantas memicu konflik dengan Benita.

    Di sisi lain, situasi Jerman yang mulai membaik pascaperang, turut mendukung pendidikan anak-anak. Martin, anak tunggal Benita kemudian bersekolah di sekolah asrama terbaik pilihan Marianne, menyusul Fritz, Elizabeth, dan Katarina—anak-anak Marianne. Pascakepergian Martin, Benita merasa kehilangan tujuan hidup dan memutuskan pulang ke kota asalnya yang sebenarnya dibencinya. Sedangkan Ania melanjutkan hidup dengan menanggung beban rahasia dan dosa dari masa lalu. Waktu pun bergulir dan kisah berlanjut ke masa modern, jauh sesudah Perang Dunia Kedua. Di sini diungkapkan penutup kisah Marianne, Ania, Benita, dan anak-anak mereka.

REVIEW:
    “Terkadang lebih mudah untuk melihat lebih jelas dari kejauhan. Dan yang terlihat di depan mata... lebih sulit dipahami. Ada banyak sekali area abu-abu di antara hitam dan putih... dan di sanalah sebagian besar kita hidup, mencoba, tapi sering kali gagal, untuk berbelok ke arah cahaya.” (hlm. 425)

    Novel dengan seting utama Jerman—di sejumlah kotanya ini dikisahkan dengan alur campuran. Diberi keterangan kota dan penanda waktu yang jelas, ada kalanya kisah berjalan maju, lantas kilas balik menceritakan peristiwa-peristiwa yang dialami para tokohnya—juga Jerman pada umumnya. Secara umum, novel dibagi menjadi tiga bab, yang di dalamnya terdiri dari sejumlah ‘chapter’ kisah. Sudut pandang yang dipilih penulis adalah POV orang ketiga—dengan ‘taste’ seperti POV orang pertama. Saya rasa ini pilihan tepat, mengingat cukup banyaknya tokoh. Eksekusinya juga memuaskan. Saya merasa ‘terhubung’ dengan masing-masing karakter.

    Awalnya saya sempat salah mengira bahwa kisah ini hanya seputar masa Perang Dunia Kedua. Nyatanya, rentang waktu kisahnya panjang, antara tahun 1938 hingga tahun 1991. Dan fokus cerita bukanlah semata kekejaman perang yang juga memicu gerakan perlawanan, tapi justru masa transisi dan jauh sesudahnya. Shattuck ingin menekankan bagaimana dampak perang yang traumatis bisa mengubah segala aspek kehidupan, baik secara global maupun personal. Secara personal, dititikberatkan pada gambaran kisah hidup Marianne, Benita, Ania, anak-anak mereka, dan beberapa orang yang terkait dengan mereka.

    Narasi dan deskripsi Shattuck sendiri menurut saya cerdas, penuh sindiran, dan ada kalanya menyihir dengan perumpamaan yang indah tapi suram. Riset dan proses penulisan novel selama bertahun-tahun pun terbukti mendukung hasil terbaik. Konflik demi konflik terjalin rapi menyusun plot yang membuat saya betah ingin membaca hingga halaman terakhir.

    Konflik dalam novel ini kompleks; tak hanya tercipta dari situasi perang yang pelik dan mengerikan, tapi juga berasal dari pertentangan kepentingan dan perbedaan karakter sejumlah tokohnya. Terkait dengan ini, menurut saya penulis sukses menyajikan penokohan yang kuat. Saya diajak menelusuri dan memahami jalan pikiran masing-masing tokoh, pergolakan batin, hingga rahasia demi rahasia kehidupan mereka. Tiga tokoh utama wanitanya memikat hati saya. Marianne yang cerdas, berasal dari keluarga berpendidikan, bersuamikan pria bangsawan terhormat, berpembawaan optimis dan percaya diri, dan pola pikirnya terbentuk dari moralitas serta batas jelas antara benar dengan salah. Karakter Marianne ini lantas bertentangan dengan sosok Benita yang cenderung pemimpi, mengikuti kata hati ketimbang moral dan apa pandangan orang. Demikian pula dengan Ania yang pendiam dan tertutup, dan menyimpan misteri kelam yang setelah terbongkar bertentangan dengan ‘kompas moral’ Marianne. Ania—berbeda dengan Benita, bukanlah sosok wanita yang mengagung-agungkan cinta. Tapi Ania sama cerdasnya dengan Marianne, juga paling cekatan dalam urusan rumah tangga. Masih ada pula anak-anak mereka yang tak kalah menarik setiap karakternya meskipun tak menjadi fokus utama cerita. Menarik sekali mengikuti interaksi antartokoh yang jauh berbeda dengan pola interaksi antarwanita di masa modern. Membuka wawasan saya mengenai perbedaan budaya juga. 

    Sungguh sebuah pengalaman membaca yang luar biasa. Saya begidik ngeri, ikut melaknat, menitikkan air mata dan tersayat hati, sekaligus haru dan simpatik selama membaca novel ini. Kisah yang benar-benar ‘mempermainkan’ emosi. Saya salut dengan moralitas dan keteguhan Marianne, juga jatuh iba dan simpati pada Benita yang—meminjam istilah Marianne—tertawan oleh kecantikannya sendiri. Namun saya paling kagum pada sosok Ania. Kisah hidupnya begitu rumit, membawa saya pada pemahaman tentang wilayah abu-abu, berbagai pilihan dalam hidup, di mana tak selamanya orang bisa berjalan mudah menuju ‘cahaya’. Lewat Ania saya belajar tentang ketegaran menjadi wanita sekaligus ibu. Dan tokoh satu ini juga yang paling menguji kesabaran membaca, karena rahasianya diungkap hingga tuntas paling akhir dan menciptakan plot twist yang mencengangkan—saya gagal menangkap ‘clue’ yang sebenarnya sudah ada sejak awal. Ending yang disuguhkan Shattuck memuaskan, tuntas tak menyisakan tanya. Bagi para pencinta bacaan tentang sejarah dunia, historical novel terjemahan Elex Media terbaru ini wajib sekali dibaca!
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube