Sabtu, 28 Juni 2014

[cerpen Ramadhan] Puasa Saat Safar

Posted by Menukil Aksara | 9:36:00 AM Categories:
foto google.com

Hatiku langsung nelangsa begitu memasuki pool bus malam. Antrian panjang nan berjejal telah menghadangku. Maklum saja, hari ini adalah hari keenam jelang libur hari raya. Kiriman uang dari orang tua di kampung masuk di masa-masa akhir perburuan tiket.
    “Bagaimana, Wid? Masuk saja, yuk!” suara teman baikku, Yara, menyadarkanku.
    “Ayo aja-lah,” jawabku gontai.
    Kami merangsek mendekati loket pembelian tiket. Tak jelas lagi di mana tepatnya posisi loket tiket bus malam jurusan Blitar, di antara tiga loket yang ada. Manusia berdesakan membentuk pagar betis di sekeliling loket. Aku dan Yara berjinjit-jinjit dan berkali-kali melongok ke arah loket.
    “Semoga saja masih kebagian tiket sebelum hari raya. Agaknya kita akan lama di sini, Ra,” ujarku. Kami memutuskan menepi setelah upaya kami menembus barikade pengantri gagal. Yara mulai kehilangan semangat, berbeda jauh dengan awal keberangkatan tadi pagi.
    “Ini satu-satunya harapan kita, Wid. Kalau nggak kebagian tiket di sini juga, habislah kita.” Ucap Yara lesu.
    Aku tak menyahut. Aku hanya memandangi loket yang tak jua menunjukkan tanda-tanda sepi. Sebelum ke sini, kami sudah mendatangi pool bus malam dari P.O lain. Sayangnya, semua tiket menuju kota tujuan kami telah ludes terjual hingga hari raya tiba.
    Nyaris dua jam kami menunggu, bergantian merangsek menuju loket. Sengatan mentari begitu membakar kulit dan memerihkan kerongkongan. Akhirnya, beberapa detik jelang adzan Zuhur, Yara berhasil mengambil nomor antrian terdepan.
    “Akhirnyaaa... Kita dapat tiket, nih, Wid, tapi dua hari jelang Idul Fitri. Nggak apa-apa, ya?” ucap Yara padaku. Aku mengembuskan nafas lega. Biar sajalah mudiknya mepet, yang penting di hari raya kami tak merana kesepian di kota rantau ini.
***
    Jarum jam bergeser lambat namun pasti. Masih satu jam jelang keberangkatan bus. Aku dan Yara bergantian menunaikan kewajiban solat di musola tersembunyi di pojok belakang pool bus. Tak hentinya aku berzikir. Meski telah berkali-kali menempuh perjalanan mudik yang sangat jauh, aku masih saja merasakan sensasi debar gugup jelang keberangkatan. Satu-satunya cara untuk menepis kecemasan adalah dengan berzikir.
    “Widya, kamu bawa bekal makanan apa untuk buka dan sahur di jalan nanti?” tanya Yara sekonyong-konyong.
    “Oh, aku bawa roti dan beberapa minuman botol saja.”
    “Nggak bawa nasi? Oh iya, kamu nggak bisa masak di dapur ibu kost, ya. Jangan khawatir, aku bawa bekal nasi yang banyak. Lauknya cuma mi instan dan telur dadar, sih, tapi lumayanlah buat pengganjal perut kita,” ucap Yara riang.
    “Eh, bus kita datang! Sebaiknya kita lekas berkemas dan naik,” ujarku memotong pembicaraan tentang menu berbuka dan sahur.
    Bus yang kami tumpangi bukanlah bus kelas eksekutif. Bus ini adalah bus kelas patas ber-AC yang tak menyediakan toilet di dalam dan kupon makan.
    “Kamu sudah tahu ‘kan, Wid, harus naik bus antar kota dari mana dan ke mana?” tanya Yara sesudah kami duduk di kursi penumpang dan bus melaju pelan.
    “Insya Allah,” jawabku singkat. Yang Yara maksudkan tentulah sesampainya kami di Blitar. Tujuanku bukanlah Blitar. Aku harus meneruskan perjalanan panjang menuju kota asalku sendirian setelah Blitar nanti.
    “Pasti mahal, ya, tiket bus yang langsung ke kotamu,” kata Yara sejenak kemudian.
    “Iya, apalagi sudah terkena tuslah jelang hari raya. Setahuku, harganya bisa dua kali lipat atau lebih.”
    Yara berdecak. Baginya uang ratusan ribu untuk sekali jalan tentulah fantastis. Bagiku sebenarnya tak jauh beda. Orang tuaku hanyalah pegawai negeri sipil, gaji mereka pun tak seberapa.
    Untuk jangka waktu cukup lama, kami saling terdiam. Kami hanyut dalam alam pikiran masing-masing dan menatap pemandangan di luar kaca bus. Beberapa menit kemudian aku tertidur. Tatkala terbangun, matahari telah agak condong ke barat.
    “Hueks... hueks... “ Mendadak terdengar suara meresahkan. Sontak aku menoleh. Terlihat olehku seorang wanita muda tengah menadahi muntahannya di ujung seberang posisi dudukku. Aku langsung memalingkan pandang.
    “Ada apa, Wid?” tanya Yara, seakan menyadari perubahan raut mukaku.
    “Oh, ada yang mabuk, ya,” tukas Yara sesaat kemudian setelah tak mendapatkan jawaban dariku.
    “Ra, boleh tukar tempat duduk, nggak? Aku mendadak pusing,” pintaku pada Yara memelas. Bisa kurasakan keringat dingin mengalir ke sekujur tubuhku. Kepalaku berdenyut-denyut dan perutku serasa dipilin.
    “Kamu nggak enak badan? Ya sudah, tukar saja,” ucap Yara lantas bangkit. Kini aku duduk di sebelah kaca bus. Kusandarkan kepala dan kupejamkan mataku. Kutarik nafas panjang dan kucoba untuk tidur kembali.
    Adzan manghrib berkumandang ketika kami memasuki daerah Subang. Bus belum hendak berhenti untuk istirahat. Kurasakan sebuah tangan menepukku perlahan.
    “Sudah boleh buka, Wid. Minum lalu makan dulu, gih!” ujar Yara. Kuperhatikan dia sendiri sudah menghabiskan seperempat bagian minumannya.
    Kami pun menyantap bekal makanan yang dibawa Yara tanpa suara. Baru beberapa menit seusai makan, kami berbincang santai mengenai berbagai hal.
***
    “Silakan istirahat sejenak dan ke toilet. Bagi yang hendak sahur, masih ada waktu,” ucap sang awak bus kepada kami. Ini adalah perhentian kedua sesudah perhentian jelang Isya’ tadi.
    “Turun, yuk! Aku ingin ke toilet,” ajakku pada Yara.
    “Itu toiletnya! Sekalian ambil wudhu aja, Wid. Agaknya kita tidak akan bisa turun lagi saat Subuh nanti,” ucap Yara mengingatkan. Aku mengiyakan.
    “Bu, cepat sedikit! Banyak yang mengantri!” teriak seorang ibu berwajah ketus di sebelahku. Pengguna toilet di depannya terdengar masih asyik mandi. Suara deburan air, debum gayung di bak, dan aroma sabun mandi menyeruak. Ibu di sebelahku tampak semakin kesal. Dia kini menggedor-gedor pintu.
    Tak ada respon dari dalam kamar mandi tersebut. Tiba-tiba pintu di depanku terbuka. Belum sempat aku melangkah, ibu yang sedari tadi berdiri di sebelahku masuk tanpa babibu, menyerobot antrianku. Aku ternganga lantas mendengus kesal.
    “Baru saja tadi ngomel karena ada yang memakai kamar mandinya nggak toleran. Eh, sekarang dengan seenaknya saja memotong antrian!” tukasku ketus dengan volume suara yang kutinggikan. Seorang gadis lain tersenyum mendengar ocehanku.
    “Kenapa, Wid, kok cemberut?” tanya Yara ketika kami telah kembali ke dalam bus.
    “Tadi ada yang menyerobot antrianku,” jawabku pendek. Yara tersenyum. Dia tak bertanya lebih jauh, menyadari mood-ku yang sedang buruk.
***
    Menjelang pukul delapan pagi, kabupaten Blitar telah di ujung jalan. Kedua mata Yara berbinar mengetahui tujuannya telah dekat.
    “Nanti cuci muka dulu saja di pool. Cegat bus menuju Malang di jalan depan pool bisa, kok. Hati-hati, ya!” tutur Yara mewanti-wanti. Dalam hitungan menit kami akan berpisah.
    Tibalah kami di perhentian terakhir di Blitar. Kakak laki-laki Yara telah menanti di atas sepeda motornya. Rupanya Yara tak mampir dulu ke pool. Sang kakak menyuruhnya bergegas naik ke sepeda motor. Tinggallah aku sendiri, bersiap melanjutkan perjalanan yang masih berjam-jam lagi.
    Seusai membasuh muka dan merapikan diri di toilet pool, aku menunggu bus jurusan Malang di seberang jalan. Bus datang dalam hitungan menit.
***
    “Malang, Malang, perhentian terakhir!” teriak awak bus saat memasuki sebuah terminal. Aku pun buru-buru bangkit sembari menenteng tas.
    Kuedarkan pandangan. Terminal ini tak terlalu ramai. Hanya bus-bus kecil yang nampak. Tak kudapati bus bertuliskan Probolinggo, apalagi Situbondo di sekitarku.
    “Mas, kalau ke Situbondo atau Probolinggo, bisa naik ini?” tanyaku polos pada seorang awak bus.
    “Oh, bisa, Mbak. Naik, Mbak, belum penuh!” sahut sang awak bus dengan antusias.
    Bagai anak TK diperintah bu guru, aku menuruti ajakannya. Begitu mendapatkan posisi duduk yang nyaman, aku menyandarkan tubuh penatku.
    Perjalanan bus melewati jalan berkelok-kelok. Semakin lama semakin tajam pula tikungannya. Kuamati rumah-rumah kecil di sepanjang jalan. Rupanya ini daerah pegunungan. Satu jam telah berlalu. Satu jam berikutnya bergulir pula. Aku mulai curiga.
    “Masih jauhkah perjalanan? Kok lama dan berputar-putar, ya? Rutenya juga tak seperti yang dulu kulalui,” pikirku. Barulah aku tersadar, aku menumpangi bus yang salah. Bus ini tak menuju Probolinggo, tapi Lumajang. Itu pun jalurnya panjang.
    “Bodohnya aku ini!” rutukku pada diri sendiri. Hatiku meringis.
    Setibanya bus di terminal Lumajang, aku lekas mengonfirmasi perihal kedatangan bus Probolinggo pada petugas. Setelah yakin tak lagi salah, aku bergegas naik bus yang pertama kali masuk terminal. Perjalananku belum usai. Ada satu bus lagi sesudah ini.
    “Ya Allah, seharusnya aku sudah sampai di rumah saat ini,” keluhku seorang diri. Kupandang nanar jalanan di luar jendela bus. Penumpang bus menuju Situbondo yang kini kutumpangi, cukup padat. Beruntung aku masih mendapatkan jatah duduk.
    Semburat jingga di langit Maghrib menyambut kedatangan bus di pasir putih. Setengah jam lagi gerbang kotaku nampak. Kureguk air mineral yang tersisa di botol.
    “Alhamdulillah, masih bisa merasakan nikmat berbuka kedua di jalan,” gumamku menghibur diri, mencoba menyibak hikmah dari perjalanan di luar tenggat waktu ini.
    Ibu mencecarku dengan beberapa pertanyaan setibanya langkahku di rumah. Aku hanya tersenyum. Kujelaskan sekilas kecerobohanku di terminal Malang. Beliau prihatin.
    “Ah, yang penting aku tiba dengan selamat. Tiada yang senyaman kasur empukku di kamar sempit ini,” tukasku seraya merebahkan tubuh lelahku ke atas pembaringan.

Sabtu, 21 Juni 2014

[cermin] Karena Peduli Itu Berbagi

Posted by Menukil Aksara | 1:21:00 PM Categories:

    Rumah kontrakan bercat biru, berpagar besi itu acapkali terlihat lengang dari luar. Berbeda halnya dengan suasana di dalam rumah yang tak pernah surut dari suara celotehan para penghuninya.
    “Bagaimana persiapan acara seminar nasional kepemimpinannya, Fatma? Sudah 90% kah?” tanya Rima.
    “Insya Allah sudah. Doakan lancar, ya, Mbak, sampai acara selesai digelar,” ujar Fatma.
    “Tentu. Semangat, ya, adik-adikku. Semangat karena Allah!” ucap Rima—sang senior—sembari menyunggingkan senyum.
    Fatma adalah kepala departemen keputrian sebuah lembaga dakwah kampus. Diantara mereka bersepuluh, Fatma adalah yang tersibuk; seorang mahasiswi aktivis yang punya segudang prestasi.
    “Fitri, maafkan ayah ibu. Beberapa bulan terakhir ini, usaha ayah kurang berjalan lancar. Oleh sebab itu, mohon pengertianmu jika uang sakumu terpotong dan terlambat datang.” Fitri tercenung memandang sebuah pesan singkat yang dikirimkan pagi ini.
    “Dik Fit, ayo berangkat!” seru Fatma dari ruang tengah.
    “Iya, Kak!” sahut nyaring Fitri diikuti gerak sigap menuju asal suara.
    Satu jam kemudian, sekumpulan mahasiswa-mahasiswi duduk di sebuah ruang kesekretariatan yang dibatasi hijab putih. Sambil memperlihatkan raut wajah serius, mereka mendiskusikan persiapan jelang acara akbar yang tinggal menghitung hari.

    “Fit, makan bareng aku, yuk!” ucap Ratri, teman seangkatan sekaligus sekamar Fitri.
    “Nggak, makasih. Kamu makan aja, gih. Aku masih kenyang, kok,” tolak halus Fitri.    “Ayolah, Fit! Ini porsinya banyak, lho. Aku lebih bersemangat makan kalau ditemani,” bujuk Ratri sekali lagi. Kali ini dengan sedikit memaksa sambil menarik tangan Fitri. Akhirnya Fitri menuruti permintaan Ratri. Mereka pun makan sepiring berdua.
    “Masya Allah! Cantik sekali, Kak Fat!” puji Ratri.
    “Ini gamis dan kerudung merk terkenal, punyanya istri ustadz itu. Aku penasaran ingin membeli. Alhamdulillah ada rizki lebih dari mama,” ungkap Fatma dengan mata berbinar-binar.
       
    Ratri berdiri cemas di depan pintu kamar mandi. Di dalam, Fitri sedang muntah untuk kesekian kali. Seharian ini ia hanya mengurung diri di kamarnya.
    “Fit, kamu sakit apa? Mukamu pucat sekali!” tanya Ratri sambil meraba kening Fitri dengan punggung tangan.
    “Badanmu panas sekali! Kita ke rumah sakit sekarang, ya,” seru Ratri lantas bergegas keluar kamar. Beberapa menit kemudian dia kembali bersama Rima.
   
“Fitri didiagnosis positif mengidap typhus.”
    Fatma terhenyak. Sudah beberapa hari ini dia larut dalam kesibukan tiada jeda dan kondisi teman-teman satu rumah luput dari perhatiannya.
    “Sebenarnya Fitri sedang mengalami kesulitan, Kak. Kondisi keuangan orang tuanya sedang kritis,” papar Ratri.
    “Kami bermaksud mengumpulkan dana untuk melunasi biaya perawatannya di rumah sakit,” tutur Rima menambahkan.
   
   
Sepekan berlalu sudah. Fitri telah diperbolehkan pulang.
    “Aduh, aku lupa beli pembalut kewanitaan. Bagaimana ini?” Fatma bergumam panik di pagi buta itu.
    “Fit, punya persediaan pembalut, nggak?” tanya Fatma sungkan. Semua orang yang ditanyainya tidak memiliki apa yang dia butuhkan.
    “Oh, ada, Kak.” Fitri meraih barang yang dimaksud lalu menyodorkannya pada Fatma.
    “Alhamdulillah. Makasih, ya,” ucap Fatma lega. Di dalam hatinya tersemat janji untuk membalas kebaikan ini nanti.
   

[puisi Ramadhan] Pengemis Ampunan

Posted by Menukil Aksara | 1:09:00 PM Categories:
foto dari SINI

Sesosok pengemis tubuh kering kulit terpanggang legam
Mengais-ngais di sudut sunyi hiruk pikuk bumi
Kaki ayam kurusnya dan jemari lemah melambai-lambai
Pada manusia-manusia garang yang melangkah pongah berdentam-dentam

Terseok-seok langkah menyeret kaki yang nyaris patah
Tercekak suara di kerongkongan, menganga mulut menengadah pada air kehidupan
Satu depa satu hasta di hadapan tujuan
Tabah diasah asa diruncingkan, menyembul dari ceruk iman yang nyaris dikuburkan

Tegarlah wahai raga, istiqomahlah wahai jiwa
Ujung lorong nuju cahya adalah kampung kita
Di mana syaithan dibelenggu dan malaikat mendoakan di tiap amalmu
Di mana semilir angin hidayah mengelus-elus fitrahmu
Di mana lilin cahya kedamaian meliuk-liuk anggun menyinggahi temaram lailmu
Dan kalam suci dibacakan ‘tuk hidupkan jiwa-jiwa yang mati
: Mengemislah dan menangislah demi ampunan di Ramadhan ini

Situbondo, 13/06/2014

[puisi] Sepanjang Situbondo-Kyoto Rinduku

Posted by Menukil Aksara | 10:47:00 AM Categories:
Sahabat, enam belas tahun sudah berlalu semenjak pertama kita bertemu
Di kota rantau kala kita muda menjemput ilmu
Di rumah sewa kita bersepuluh meleburkan semangat nan menggebu-gebu

Kala raga rapuhmu terbaring lesu di tilam sempitmu dan air mata rahasia mengaliri kedua pipi bersihmu
Aku tahu diam-diam kau diamuk rindu pada ibumu
Yang hanya mampu kau sua lewat suara dan kau tunggu jumpa di hari raya
Namun tak secuil pun kata terlontar dari rintih kesakitanmu

Ada masa-masa kita saling berdiam enggan bertegur sapa
Kucoretkan aksara di helai kertas dengan gemuruh di dada
Kulerai tikai kuhanyutkan prasangka yang meraba-raba
Berharap esok kita ‘kan baik-baik saja kembali mengurai tawa

Sahabat, tlah terbang tinggi mengangkasa kedua sayapmu
Mengarungi samudera melintasi negara berbeda bahasa
Dan di kota kecil ini kuuntai kata bersemat rasa
Terentang rindu terbayang kenangmu di pelupuk mataku

Situbondo, 08/06/2014

Jumat, 20 Juni 2014

[Resensi Novel] Kisah Dua Perempuan Beda Zaman Di Persaksian Sejarah

Posted by Menukil Aksara | 9:30:00 PM Categories:
J
Judul Buku       : Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman
Penulis             : Afifah Afra
Penyunting       : Ayu Wulan
Penata Letak    : Puji Lestari
Desain Sampul : Andhi Rasydan
Penerbit            : Penerbit Indiva, 2014

Jika ada sesuatu yang membinasakan sekaligus menghidupkan, dia adalah cinta. Petikan kalimat dari novel best seller ini menjadi pembuka sekaligus daya tarik pertama bagi pembaca. Kupasan tentang cinta selalu menjadi topik pilihan utama bagi para penulis novel. Bertebaran novel-novel romantis berceloteh tentang cinta dalam aneka rupa. Apa kelebihan dari novel ini dibandingkan novel-novel cinta lainnya? Pesan apa yang hendak disuguhkan oleh penulis—Afifah Afra—yang telah menorehkan prestasinya lewat novel-novel best seller-nya sebelumnya?

Sinopsis
Huru hara 1998 tak sekadar telah menimbulkan perubahan besar di negeri ini. Sebongkah luka yang dalam pun menyeruak di hati para pelakunya. Mei Hwa, gadis keturunan Tiong Hoa adalah salah satunya. Dalam ketertatihan, Mei Hwa berusaha menemukan kembali kehidupannya. Beruntung, pada keterpurukannya, dia bertemu dengan Sekar Ayu, perempuan pelintas zaman yang juga telah terbanting-banting sekian lamanya akibat silih bergantinya penguasa, mulai dari Hindia Belanda, Jepang, hingga peristiwa G30S PKI. Sekar Ayu yang telah makan asam garam kehidupan, mencoba menyemaikan semangat pada hati Mei Hwa nan rapuh. 
Novel ini indah dalam gambaran rencah badai kehidupan yang sekaligus melantunkan berbagai kisah: persahabatan, ketulusan, pengorbanan, dan juga cinta. Tak lupa dipersembahkan kisah penggapaian hidayah beberapa tokohnya dalam kitaran takdir kehidupan mereka.

Keunggulan Novel

Sebagai sebuah karya sastra, novel ini benar-benar melukiskan keindahannya, melalui kekayaan diksinya, keindahan sekaligus keakuratan deskripsinya, narasi yang apik dan unik, penokohan yang kuat dan latar belakang sejarah yang dirunutkan sedemikian rupa sehingga tak membosankan. Sebagai pembaca yang tak terlampau menggemari sejarah yang biasanya dijejali dengan banyak sekali tokoh, tahun, peristiwa dan intrik, saya menikmati novel ini laiknya novel non-sejarah. Deskripsi yang akurat menandakan penulis melakukan riset dalam jangka waktu yang lama. Sebagai contohnya adalah penggambaran Solo di tahun 1936 di bab kedua, yang demikian apik dan nyata, seolah kita dibawa menuju era tersebut (hal. 35-59). Demikian halnya penggambaran Solo di tahun 1999 di bab pertama tersaji menarik diselingi guyon dan sindiran khas kalangan menengah ke bawah (hal. 15-34). Gaya penceritaan menggunakan sudut pandang orang pertama dan ketiga dalam balutan alur maju mundur, memikat rasa ingin tahu pembaca sekaligus mendekatkan pembaca dengan sang tokoh utama. Minimnya kesalahan cetak dan ejaan, ketepatan ukuran dan jenis font, serta lay out isi yang rapi, turut menyokong kualitas novel ini.

Kekurangan Novel

Kekayaan dan kecanggihan diksi dalam penuturan novel ini terkadang kurang pas jika dikaitkan dengan latar belakang tahun di mana adegan berlangsung, atau kurang pas dengan latar belakang si tokoh sendiri. 

Sebagai contoh, narasi dalam prolog, “...kayu yang kehilangan berat basahnya karena terlalu lama terpanggang di oven kehidupan. Kayu yang jangankan para penjarah mata duitan, bahkan rayap pun enggan berlangkan, karena ketiadaan saripati yang tersisa untuk digerogoti.... mungkin tak benar-benar sebatang kayu, karena yang masih tegak sejatinya hanya onggokan belulang yang terbebat selapis tipis penuh keriut, bak lembaran daun jeruk purut yang cairannya tersedot si kutu kebul.” (hal.11-12).

 Menurut saya, istilah-istilah yang dipakai kurang pas dengan sang tokoh yang dikisahkan wanita dari zaman tahun 30-an dan mengalami peristiwa-peristiwa tragis. Akan lebih menohok jika diksinya dipilih yang mengarahkan pembaca pada penggambaran kedahsyatan badai hidup yang dialami, diksi yang lebih “sadis”, tidak mendayu-dayu, indah, dan cenderung ilmiah. 

Demikian halnya dalam melukiskan kegilaan sementara yang dialami Mei Hwa, lewat khayalan metamorfosis menjadi rase, elang, kutilang, bahkan Sun Go Kong, menurut saya kurang pas dan greget jika dikaitkan dengan trauma seorang korban perkosaan sekaligus saksi meninggalnya sang orangtua. Apakah tidak mungkin jika khayalan kegilaannya itu dibuat lebih dalam, lebih melantur, sekaligus ilmiah, mengingat Mei Hwa adalah seorang mahasiswi kedokteran yang cerdas sekaligus labil emosinya?

 Terkait kelogisan cerita, memang beberapa kebetulan bersifat fiktif mewarnai kisah selaiknya sebuah novel fiktif. Ada beberapa catatan yang saya buat, seperti peristiwa bertemunya Sekar Ayu dengan Tuan Harada dan istri, terkesan terlampau kebetulan dan dipaksakan menyelipkan peristiwa sejarah pemindahan ibukota Jepang. 

Perjumpaan kembali Sekar Ayu dengan sang kakek dan nenek dari pihak ayah, juga memunculkan tanya pada benak saya. Ke manakah ibunya? Meski sang ibu depresi berat, tapi tak secuilpun kisah mengetengahkan keberadaannya, demikian pula dengan kabar mengenai keluarga ibunya. Selain itu, motivasi kembalinya Ayu ke Indonesia melalui mimpi pertemuan dengan sang ibu dan tuntutan membalas dendam, mendadak tidak ada tindak lanjutnya, lenyap seiring ajaran dari sang guru dadakan, Ishihara. 

Selama di bawah pengasuhan sang kakek yang kyai pula, muncul ketidaklogisan bagi saya, menyaksikan begitu lambannya sang kakek menyikapi kedekatan cucunya dengan para pemuda menyesatkan dan beda agama (Purnomo). 

Di dalam bab-bab terakhir, hal yang mengusik saya datang dari kesadaran Mei Hwa dan sang kakak, Zak untuk menjadi mualaf. Terlampau ringan dan mulus kisah pencapaian hidayah ini, meski tentu tidak ada yang tidak mungkin. 

Sayang pula menurut saya, tokoh Sekar Ayu sebagai tokoh dengan porsi kisah lebih banyak justru kurang mendapat porsi dibandingkan dengan Mei Hwa. Pun, ketika mereka telah bertemu. Apakah tidak bisa dikisahkan dia berbagi perjalanannya di lintasan zaman dengan Mei Hwa, sehingga secara langsung Mei Hwa dapat menyerap hikmah mendalam.

Terakhir, mengenai insiden terbenturnya kepala Mei Hwa di lintasan rel yang menyebabkan pulihnya ingatan secara berangsur adalah ide yang terlampau umum, seperti dalam kisah-kisah film dan sinetron. 

Terkait sampul, meskipun saya yakin ada filosofi di balik desainnya, saya merasa warna dan desainnya terlampau kalem dibandingkan isi novel yang cenderung dramatis dan tragis. Barangkali warna merah menyala atau selipan nuansa gelap akan lebih menggambarkan isi cerita.

Tak ada karya manusia yang sempurna, sebagaimana ketidaksempurnaan manusia itu sendiri. Bagi para penyuka novel percintaan—yang religius sekalipun—mungkin novel ini terasa kurang feel-nya, karena bagaimanapun banyak unsur sejarah dan hikmah kehidupan lain yang ingin ditawarkan oleh penulisnya. Di antara pesan penting tersebut adalah peran besar pemuda-pemudi negeri ini sebagai agen perubahan--barangkali sekarang justru ditantang menjadi subjek perubahan itu sendiri. Bagi saya pribadi, novel ini adalah wajah baru novel sejarah masa kini yang sekaligus menghadirkan sosok penulis perempuan yang idealis.


Galau : Semangatku Mengendur Kala Event Bejibun

Posted by Menukil Aksara | 9:24:00 PM Categories:

Berawal dari gagalnya satu-dua tulisan saya di event menulis bersama, disusul gagalnya tulisan yang diikutsertakan dalam event give away sesama blogger, kendurnya semangat  itu mulai terasa. Dari beberapa blogpost yang saya baca, saya akui memang layak menjadi pemenang. Meski tetap saja di ceruk hati terdalam terbetik protes, “Itu ‘kan idenya mirip punyaku.” Di lain kesempatan, merasa protes tanpa alasan relevan kepada penulis-penulis yang merangkap blogger senior, yang masih saja getol berpartisipasi dalam aneka lomba yang pada saat bersamaan juga diikuti oleh para penulis dan blogger pemula. Bahkan pernah suatu hari kala mengetahui pengumuman pemenang satu lomba blog, suami berkomentar, “Wah, sudah senior, masih menggarap ladang yang seharusnya sudah bukan tempatnya.” Hahaha... saya hanya tersenyum saat mendengarnya. Mungkin maksud suami saya, jika sudah menghasilkan karya buku seabreg bahkan namanya sudah dikenal, mbok ya berikan kesempatan pada yang pemula seperti saya. Meski nggak enak sama beliau yang dimaksud, tapi di sisi lain saya senang juga dibela suami hihi..

Di umur blog saya yang masih beberapa bulan ini, saya kiaskan ia masih batita yang sedang belajar berjalan, butuh proses mencoba dan jatuh-bangun. Proses menulis secara profesional untuk diikutsertakan dalam aneka lomba dan selanjutnya diterbitkan, juga baru berjalan dalam hitungan bulan, setelah sebelumnya sempat vakum cukup lama. Menilik hal ini, wajar saya kira jika saya banyak gagal, banyak membutuhkan sentuhan perbaikan di sana-sini. Terlepas dari perbaikan segi teknis, cita rasa, dan ruh yang jelas diperlukan, saya sedikit meneliti apa rahasia sukses di balik tulisan-tulisan para pemenang itu. 

Dari lomba blog, bisa dibilang saya kurang peka dan teliti mengenai arah isi tulisan dan gaya penceritaan yang diharapkan si empunya lomba. Sebagai contoh, dari give away a place to remember, meski judulnya tentang kenangan, tak dapat dipungkiri pastilah keindahan tempat beserta dokumentasi yang menawan menjadi nilai tambah penilaian. Kemudian dalam give away bertema ikhlas, kedalaman kisah yang diangkat bisa jadi nilai penentu kemenangan. So, kalau kisahnya biasa, sudah banyak yang mengalami, kemungkinan akan mudah tereliminasi. Di give away bertemakan galau, di mana merangkap launching sebuah buku baru, saya terlambat menyadari bahwa tulisan lebih disukai dari penulis yang merangkumkan perjuangannya menelurkan karya, terutama buku yang jelas diterbitkan. Lah, kalau kisah tulisannya sekadar tentang perjuangan seseorang untuk sekolah dan berprestasi di bidang akademis, meski kita menilainya “salut”, otomatis akan kalah pamor. Pernah juga dibuat lomba bertema diary, tapi ketika saya menulis benar-benar dengan gaya curhat diary (nyaris tak ada dialog), eh ternyata kemenangan bisa diraih dengan sebuah diary yang lebih mendekati cerita mini, lengkap dengan dramatisasi, dialog, dan penokohan.

Sejenak galau, sejenak menghela nafas, dan menginstropeksi diri, barangkali itu tepat menggambarkan situasi saya saat ini. Kecewa boleh, tapi nggak boleh tenggelam hahaha... hidup masih ada untuk dijalani. Rezeki masing-masing orang telah ditetapkan, begitu pula raihan prestasi. Yang terpenting adalah tak menyerah berupaya dan belajar dari keberhasilan yang tertunda. Di kala kecewa, harus selalu ingat akan janji pada diri sendiri untuk mengejar impian yang telah dicanangkan. Silakan orang menilai bagaimana kualitas kita atau karya kita, jadikan saja pelecut dan ambil hikmahnya. So, keep writing and blogging 
    

google.com


   

[Review Buku] Pesan Agama Dalam Sebuah Buku Cerita Kanak-kanak

Posted by Menukil Aksara | 3:14:00 PM Categories:

Judul Buku      : Bersih, Yes! Kotor, No! (Antologi Cerpen Anak Islami)
Penulis            : Riska Ayu Purnama Sari, Maftuhatus Sa’diyah, dkk
Penyunting      : Asrifa
Penerbit           : Asrifa, 2014

Sudah bukan rahasia lagi, televisi tengah merampok kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Mulai dari kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga manula, begitu akrab dengan benda berlayar ini. Budaya tonton dan dengar yang sedemikian mudahnya dilakukan, demikian digandrungi lewat kemudahan koneksi televisi. Di sisi lain, upaya meningkatkan gairah membaca, menanamkan budaya baca dan tulis semenjak dini laksana melawan arus di era globalisasi ini. Jikapun orang tua berkehendak menanamkan kebiasaan mencintai buku dan tulisan kepada anak-anaknya, upaya mereka akan menemui ragam kesulitan, salah satunya ketersediaan buku-buku anak yang mendidik yang masih cukup sedikit jika dibandingkan dengan buku-buku cerita picisan tak bermutu.
Di tengah gersangnya dunia bacaan anak-anak, buku antologi cerpen anak Islami ini menjadi siraman segar yang menjadi penggugah semangat anak untuk mencintai buku dan mengamalkan isinya. Penerbit dan tim penulis buku ini menghadiahkan buku ini dengan setulus cinta seraya berharap anak-anak dan siapapun yang membaca buku ini bisa menemukan arti keindahan buku ini, hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya, dan menghiasi akhlaq dengan kisah-kisahnya.
Diawali dengan sebuah kisah berjudul “Aku Janji, Bu”, yang berkisah tentang seorang anak yatim bernama Adi yang bekerja sebagai loper koran demi menyelamatkan nyawa sang ibu yang tengah didera penyakit. Takdir Allah menghendaki sang ibu wafat dan menjadikan Adi yatim piatu tanpa sanak saudara. Di suatu hari, sekolahnya mengadakan acara dengan mengundang seorang penceramah agama. Adi yang khusyu’ menyimak tiba-tiba teringat pada mendiang sang ibu. Di sesi membaca Al-Qur’an bersama, Adi terketuk hatinya untuk memohon diajarkan bacaan yang benar agar bisa mengirimkannya untuk kedua orang tua sebagai tanda bakti. 
Tiga puluh kisah tertuang dalam antologi ini, yang keseluruhannya ditulis oleh penulis wanita dari hasil audisi event menulis bersama. Tema yang diketengahkan oleh masing-masing penulis beraneka ragam. Tema kejujuran, kerja keras, empati pada sesama, kebersihan, kelurusan niat dalam beribadah, sunnah dan adab dalam keseharian, keutamaan ibadah, pengenalan pada Allah, kecintaan pada buku dan ilmu, kesemuanya hadir dalam kisah-kisah menarik ala anak-anak. Pilihan diksi yang sederhana namun tetap dengan gaya penceritaan yang menarik dan mengalir akan mengundang anak-anak untuk terus membaca hingga akhir halaman. Buku ini juga mengambil sisi religi sebagai penekanan dalam tiap tema cerita yang diusung sehingga menjadi nilai tambah penting.
Kekurangan yang saya jumpai dalam buku ini masih berkutat seputar penyuntingan EYD yang kurang sempurna, juga keseragaman lay out dalam tiap judulnya. Yang saya maksudkan keseragaman di sini adalah masih adanya penulis yang menambahkan kata-kata “Selesai” atau “The End” di akhir tulisan, namun tidak diseragamkan dengan penulis lain. Ada baiknya kata-kata tersebut dihapus saja. Selain itu, ukuran font kurang besar untuk ukuran buku anak-anak. Saya pernah membaca buku antologi cerpen untuk anak yang ukuran font-nya jauh lebih besar sehingga menarik untuk dibaca kalangan usia belia. Dalam hal sampul, saya menyukai desainnya yang menarik sekaligus sesuai dengan judul yang dipilih.
Saya pribadi berharap buku ini bisa dibaca banyak anak, juga orang tua mereka yang bisa menjadikannya dongeng yang dibacakan menjelang tidur atau di sela kesibukan. Jika ke depannya buku ini dicetak ulang, saya harap ada revisi terkait saran saya di atas.



[Resensi Novel] Kisah Inspiratif yang Dikemas Humoris dan Imajinatif

Posted by Menukil Aksara | 3:09:00 PM Categories:

Judul Buku      : Tangguh Perkasa
Penulis            : Superival
Penyunting      : Rival
Penerbit           : Rasibook (CV. Rasi Terbit), 2014
Saya mendapatkan buku ini dari fanspage Rasibook, sebagai hadiah pemenang kuis buku gratis. Membaca sekilas judul buku dan ulasan singkat di bawah judul—sebuah kisah inspiratif perjuangan seorang anak untuk menjadi tangguh dan menyelamatkan desanya—awalnya saya mengira alur cerita akan berjalan dramatis melankolis. Di luar perkiraan, setelah membaca lembar-lembar awal buku dan menyudahi petualangan membaca saya di halaman terakhir, ternyata buku ini jauh dari kesan melankolis dan kisah sedih menyayat hati. Penulis—Superival—memilih gaya penceritaan yang kocak mengundang tawa atau senyum serta imajinasi yang tak berbatas, tak melulu mengedepankan teknik menulis sebuah novel dan aturan-aturan terkait kelogisan cerita.
Buku ini terdiri dari 50 bab kisah yang berputar sekeliling kisah hidup seorang anak—diberi nama Tangguh Perkasa, sejak menjelang kelahirannya hingga dewasa. Tangguh bukanlah anak istimewa yang diberkahi banyak kelebihan semenjak lahirnya. Berorangtuakan seorang ayah buruh pabrik dan ibu yang bekerja serabutan, ketika lahir Tangguh bertubuh mungil. Kedua orang tuanya menamai Tangguh Perkasa sebagai sebuah doa agar dia tumbuh menjadi lelaki yang tangguh, yang mampu membangun benteng dari batu yang dilemparkan padanya serta menjadi kebanggaan keluarga. Semasa kecilnya, Tangguh mengalami tindak bullying yang bertubi-tubi dilakukan oleh teman masa sekolahnya, Badrun, Jamal, dan Tohir. Meski kerapkali kalah oleh ulah keroyokan licik tiga sekawan itu, Tangguh masih berupaya tegar dan memfokuskan diri belajar giat di bidang sains yang digemarinya, terutama Matematika. Di sekolah, dia berteman baik dengan Lica, Cahyo, dan Solihin. 

Suatu hari, ulah nakal ketiga musuhnya menyebabkan Tangguh dikeluarkan dari sekolah. Dikarenakan sedih, malu pada kedua orang tuanya, tanpa disadari Tangguh berdiri lama di tepian pantai tempat dia tinggal dan terjatuh mengapung terbawa arus laut ke sebuah pulau terpencil. Ayahnya beserta penduduk desa dan tim pencari berjuang menemukan keberadaannya sehingga mengakibatkan ayahnya dan seorang pemuda—Joko—terpisah dan terdampar setelah badai menghantam perahu mereka. Di lain sisi, Tangguh bertemu seorang perempuan—yang belakangan diketahui gila sekaligus mantan dukun beranak yang menolong proses kelahiran Tangguh dulu—yang akhirnya dipanggil guru dan mengikuti ke manapun Tangguh pergi. 

Singkat cerita, sepuluh tahun kemudian Tangguh dan sang guru kembali ke pemukiman penduduk dan menemukan bahwa desa tempat tinggal Tangguh terancam musnah akibat keserakahan perusahaan minyak milik ketiga musuh bebuyutannya semasa sekolah. Lika-liku perjuangan Tangguh bertemu kembali dengan ayah ibunya serta membebaskan desanya dari cengkeraman ketiga pemuda kaya yang culas tersebut dikisahkan dalam lembar-lembar novel ini.
Sebagai penikmat novel, tak dapat saya pungkiri banyak kekurangan yang saya dapati di sana-sini, terutama terkait EYD, kelogisan cerita, dan lay out

Sebagai contoh, kata tau—seharusnya tahu—yang sering muncul di dalam penuturan. Juga kata motifasi—seharusnya motivasi, ilmuan—seharusnya ilmuwan, rajia—seharusnya razia, yang menurut saya cukup penting untuk diperbaiki, selain juga kata-kata dan kalimat lain yang masih perlu revisi dari segi tanda baca, pemenggalan, dan sebagainya. Dari segi kelogisan cerita, beberapa kali saya temukan hal yang kurang logis—meskipun penulis ingin membawa imajinasinya ke dalam penceritaan, seperti ketika terdampar di pulau, Tangguh dan sang dukun beranak Parti bisa memiliki alat-alat pertukangan semacam kapak, gergaji, yang selaiknya dibawa oleh orang yang memang berencana tinggal di suatu tempat. 

Selanjutnya ketika Pak Karyo, seorang warga desa yang awalnya disebutkan seorang petani, mendadak berlagak pahlawan dan mampu menyetir mobil. Hal ini juga serupa dengan adegan kebut-kebutan dengan Tangguh sebagai pembalap dadakan, sedangkan sebelumnya dia tak pernah dikisahkan memiliki riwayat menyetir mobil, bahkan baru pulang setelah terjebak di sebuah pulau terpencil. Kalimat Tangguh yang menyitir lagu dangdut fenomenal “Kucing Garong” saat adegan dengan Pak Karyo pun kurang masuk akal, sedangkan dia baru kembali dari pulau tanpa komunikasi dengan dunia luar. Apakah iya dia mungkin hafal dengan lagu terkini? Akhir bahagia di mana Badrun menceraikan istrinya Lica begitu saja, membatalkan proyek di desanya, bahkan insyaf hanya dengan digantung di tiang, menurut saya kurang dramatis sekaligus logis, sedangkan sebelumnya dia begitu gampangnya mengeluarkan uang dan akal culas memenjarakan Tangguh dan kawan-kawannya. 
Dari sisi lay out, ada dua judul dalam bab buku yang menurut saya perlu diubah, karena mengulang kata-kata, yaitu di untaian 27 “Bukan Fatamorgana, Bukan Mimpi” dengan untaian 49, kembali mengulang “Bukan Fatamorgana”. Andaipun ini berkaitan, lebih baik jika diganti sehingga tidak terkesan monoton. Selain itu, format margin pengetikan mungkin tidak sesuai dengan pencetakan sehingga posisi atas buku tidak seimbang dan tidak rapi (terkesan terlalu mepet dengan pemotongan kertas saat penjilidan). 
Di luar kekurangannya, buku ini memang menyimpan pesan inspiratif tentang semangat hidup. Bisa disimak penggalan kutipan-kutipan dalam buku yang diberi penanda khusus. Salah satu contoh kutipan yang berkesan bagi saya adalah “Ia berusaha meyakinkan diri bahwa satu-satunya cara mengalahkan ketakutan adalah dengan menghadapinya.” (hal. 30)
Buku ini juga memuat sindiran-sindiran atas berbagai fenomena sosial di masyarakat kita dan diolah menjadi bumbu-bumbu komedi dalam cerita ini.
Bagi Anda yang menginginkan bacaan alternatif yang ringan namun tetap menyimpan pesan inspiratif, buku ini bisa menjadi pilihan. Selamat membaca dan semoga penulis bisa terus menghasilkan karya-karya inspiratif yang berkualitas ke depannya.



Rabu, 18 Juni 2014

[Review Buku] Para Ibunda Pencetak Generasi Shalih Dalam Sejarah

Posted by Menukil Aksara | 12:01:00 AM Categories:
Judul Buku    : Ibunda Para Ulama (Edisi Revisi)
Penulis            : Sufyan bin Fuad Baswedan
Penyunting     : Tim Pustaka Al-Inabah
Penerbit          : Pustaka Al-Inabah, 2013


Ibu; sosok yang takkan pernah lekang oleh waktu pembahasannya. Ibu; sosok yang lewat rahimnya tiap insan dilahirkan ke dunia. Tak hanya itu, ibu juga yang menjadi pendidik dan pembimbing pertama tiap insan yang baru saja terlahir. Di lain sisi, Islam, tak diragukan lagi memberikan penghormatan dan peran mulia seorang ibu. Oleh sebab itu pulalah Islam memberikan perhatian besar terhadap penjagaan wanita agar dia layak menyandang tugas berat sebagai ibu. Seorang ibu yang shalihah, yang sedari awal disiapkan dengan baik menjadi madrasah bagi anaknya akan melahirkan generasi yang terdidik. Buku ini mengupas tentang penggambaran konkrit dari sosok wanita dari berbagai zaman yang telah menyuguhkan keberhasilan gemilang atas perannya sebagai sebaik-baik pendidik dan madrasah bagi anak-anaknya. Ya, merekalah ibunda para salafush shalih, para ulama, dan mujahid.

Peran Ibu Dalam Mendidik Anak

Ibu berperan besar dalam membentuk watak, karakter, dan kepribadian anak-anaknya. Kecerdasan, keuletan, dan perangai seorang ibu menjadi faktor utama dalam mengukir masa depan anak. Termasuk ibu di sini adalah ibu susu. Oleh karena itu Rasulullah melarang para orang tua menyusukan bayi mereka pada wanita yang dungu, karena air susu dapat mewariskan sifat sang ibu. Dalam kitab ar-Raudhul Unuf disebutkan bahwa persusuan seperti hubungan darah (nasab), yang dapat mempengaruhi watak. (hal. 6-7)

Selain itu, menjadi kewajiban bagi tiap bapak terhadap anaknya untuk memilihkan ibu yang cerdas dan shalihah, diikuti dengan kewajiban memberikan nama yang baik dan mengajarkan tentang Al-Qur’an. (hal. 9)
Kriteria Ibu Yang Baik Dalam Islam
Dalam hal ini Al-Qur’an telah menentukan karakter seorang ibu yang baik melalui surah An Nisaa’: 34:
“... Maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka... “ (hal.14)
Utsman bin Affan ra. pernah pula berpesan terkait hal ini:
“Wahai anak-anakku, sesungguhnya orang yang hendak menikah itu ibarat orang yang hendak menyemai benih; maka hendaklah ia memperhatikan di mana ia akan menyemainya. Dan ingatlah bahwa (wanita yang berasal dari) keturunan yang buruk jarang sekali melahirkan keturunan yang baik; maka pilihlah terlebih dahulu meskipun sejenak.” (hal. 16)

Kisah-kisah para ibunda shalihah dalam buku ini terbagi menjadi tiga bab, yaitu Ibunda Para Ulama Salaf, Ibunda Para Ulama Masa Kini, dan Ibunda Para Mujahid (sebagai bonus akhir buku).

Ibunda Para Ulama Salaf

Bab ini membahas mengenai kisah keteladanan dari para ibunda ulama dari generasi terdahulu. Di antara mereka adalah ibunda dari Anas bin Malik ra., ibunda dari ‘Urwah bin Zubair, ibunda dari Hasan al-Bashry, ibunda dari hasan bin Shalih bin Huyai, ibunda dari Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, ibunda dari Imam asy-Syafi’i, nenek dari Umar bin Abdul Aziz, pesan ibunda Muhammad bin Abdurrahman al-Makhzumy, ibunda Sufyan ats-Tsauri, ibunda Imam Ali Ibnul Madiny, dan ibunda Muhammad bin Abdillah ad-Diebaj.

Saya akan kutip satu kisah dari ibunda Anas bin Malik ra. dalam bab ini. Dalam sebuah riwayat dikisahkan; ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah, Anas bin Malik ra. berumur delapan tahun. Ibundanya menuntunnya menghadap Rasulullah Saw seraya berkata : “Wahai Rasulullah, tak tersisa seorang Anshar pun kecuali datang kepadamu dengan hadiah istimewa. Namun aku tak mampu memberimu hadiah kecuali putraku ini. Maka ambillah dia dan suruhlah dia membantumu kapan saja engkau inginkan.”(hal.29)

Ummu Sulaym, sang ibunda Anas bin Malik dalam kisah di atas adalah salah satu wanita yang dikabarkan menjadi penghuni surga (dalam hadits riwayat Al-Bukhary dan Muslim). Beliau seorang wanita yang cerdas, penyabar, sekaligus pemberani. Keberaniannya dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam perang Uhud dan Hunain. Ummu Sulaym juga meriwayatkan 14 hadits dari Rasulullah Saw. Beliau wafat di masa kekhalifahan Utsman bin Affan ra. Tak mengherankan jika wanita seutama ini melahirkan seorang Anas bin Malik ra. yang merupakan salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, berilmu luas, berumur panjang, dan memiliki keturunan banyak dan harta melimpah yang diberkahi.

Ibunda Ulama Masa Kini


Kisah menarik dalam bab ini terlukis melalui kisah ibunda para ulama Mauritania. Mauritania, negara yang berada di benua Afrika ini ternyata telah melahirkan banyak ulama termahsyur berkat keilmuannya. Wilayah khusus yang dimaksudkan dalam buku ini bernama Syinqieth. Dikatakan bahwa menghafal kitab menjadi kebiasaan bagi penduduk di sana. Hal ini dilatarbelakangi oleh keterbatasan literatur ilmiah (kitab), sehingga mau tidak mau penduduk menghafalkannya di luar kepala jika ingin mempelajarinya. Kebiasaan ini juga berlaku bagi kaum wanita sehingga bukan rahasia lagi wanita di sana memiliki kecerdasan dan kemampuan menghafal kitab yang luar biasa.

Salah satu ulama legendaris asal Mauritania adalah Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqiethy. Beliau seorang ulama besar di bidang ilmu Tafsir, Bahasa arab, Ushul Fiqih, dan syair. Beliau adalah seorang yatim yang dibesarkan oleh seorang ibu yang begitu menjunjung tinggi pentingnya pendidikan. Dikisahkan oleh beliau sendiri, “Ketika aku selesai menghafal al-Qur’an, aku mulai mempelajari rasmul Utsmani dan menjadi ahli di bidang ini mengungguli teman-teman sebayaku. Aku mendapat perhatian besar dari ibuku dan paman-paman dari pihak ibu. Mereka bertekad mengarahkanku untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu lain. Ibuku menyiapkan dua ekor unta; salah satunya mengangkutku dan kitab-kitabku, sedangkan satunya berisi uang saku dan bekalku. Aku ditemani seorang pembantu yang membawa beberapa ekor sapi.”(hal.225) Perlakuan ini rupanya menjadi motivasi kuat bagi Syaikh Muhammad asy-Syinqiethy untuk menuntut ilmu.

Ibunda Para Mujahid


Bab terakhir yang sarat hikmah dari buku ini salah satunya bertutur tentang seorang Nusaibah binti Ka’ab bin Amru bin Najjar al-Anshariyyah. Beliau adalah ibunda dari dua sahabat Nabi: Habib bin Zaid bin Ashim dan Abdullah bin Zaid bin Ashim. Nusaibah termasuk salah satu dari dua wanita yang turut serta dalam ba’iat Aqabah.

Keberaniannya tergambar dalam kisah kepahlawanannya di perang Uhud dan Yamamah. Dalam perang Uhud, beliau menderita 12 luka karena sayatan pedang maupun tusukan tombak. Tangannya pun terputus dalam keiikutsertaannya berperang di Yamamah. Nusaibah atau Ummu Umarah wafat di awal masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra.

Kekurangan dan Kelebihan Buku

Buku ini merupakan edisi revisi di mana dikatakan bahwa penulis menambahkan beberapa maklumat tambahan yang didapat setelah buku sebelumnya telah terbit. Minimnya rujukan yang memuat kisah-kisah detil dan shahih terkait peran wanita dalam sejarah Islam menjadi kendala tersendiri bagi penulis . Namun agaknya kendala ini teratasi dengan cukup baik dengan banyaknya penulis membuka-buka Tarikh.

Kekurangan yang saya cermati cukup mengganggu adalah terkait diksi yang digunakan. Penulis hendak menyuguhkan kisah berkualitas sarat hikmah dengan bahasa yang mengalir dan tidak terlalu kaku. Di sisi lain, pemilihan diksi saya nilai terlalu ceroboh sehingga mengesankan bahasa yang tidak sesuai kaidah EYD dan kamus besar bahasa Indonesia. Contoh dari yang saya maksud ini antara lain : faktor penting yang membelakangi—seharusnya melatarbelakangi (hal.16), rasa sakitnya boleh jadi membikinmu—seharusnya membuatmu (hal.46), karena ia keburu meninggal—seharusnya ia terlebih dahulu dipanggil Allah (hal.181), dan beberapa kesalahan lainnya.
Karya manusia memang tiada sempurna, oleh karena itu buku ini bagaimanapun menjadi sumber rujukan keteladanan bagi kaum Muslimah yang rindu akan buku kisah hidup (biografi) para wanita shalihah. Buku ini tidak sekadar menyodorkan teori pendidikan namun mendorong lewat penggalan kehidupan nyata yang sangat inspiratif dan wajib ditiru. Di tengah derasnya serbuan pengidolaan tokoh wanita sekuler dan non Muslim, buku ini menjadi oase bagi jiwa yang haus akan keteladanan yang shahih.



Selasa, 17 Juni 2014

THE LIEBSTER AWARD (Kedua)

Posted by Menukil Aksara | 2:03:00 PM Categories:
Wah, surprise banget pagi ini. Begitu buka facebook, dapat pesan cinta dari Mbak Ayu Juwita. Rupanya saya beruntung mendapat The Liebster Award yang kedua, setelah bulan lalu dapat dari Mbak Winda Maki di sini. Oke lah, no problemo kok, Mbak, seneng malah. Artinya ada yang kenal atau pingin kenal sama saya, kan? hahaha...

Buat yang belum tahu apa itu The Liebster Award, sebenarnya ini tuh ajang seseruan para blogger untuk saling mengenal dengan colek-colekan gitu. Bonusnya dapat sederet pertanyaan yang membuat kita lebih membuka diri pada sesama blogger, khususnya.

Trus, setelah dapat Liebster Award, kita mesti apa nih?
  1. Membuat postingan tentang award ini di blog
  2. Ucapkan terimakasih pada yang memberikanmu award dan sertakan back link ke blognya.
  3. Share 11 hal tentang kamu
  4. Jawab 11 pertanyaan yang diberikan kepadamu.
  5. Pilih 11 blogger yang menerima award darimu dan beri mereka 11 pertanyaan tentang hal yang ingin kamu ketahui dari mereka.

 So, sekarang waktunya mengulik sedikit hal tentang saya:
  1. Nama panggilan teman-teman yang kenal saya di dunia nyata sebenarnya adalah Melani, diambil dari nama depan saya.
  2. Saya suka membaca majalah Kuncup di masa kecil, berhubung itu adalah majalah langganan wajib sang ibu yang seorang guru sekolah dasar.
  3. Saya sedang tekun-tekunnya menulis dan mengejar impian menerbitkan karya solo.
  4. Saya doyan banget masakan berbumbu pedas.
  5. Saya pernah lama di Bogor, tapi lahir di Bojonegoro.
  6. Saya suka pantai dan sunset-nya, tapi juga suka hijau sejuknya pegunungan.
  7. Saya seorang melankolis sejati yang menurut tes kepribadian lain juga bertipe idealis penyelaras. Barangkali ada benarnya, sih :))
  8. Saya pernah tinggal lama dengan penutur bahasa sunda dan madura, tapi saya tidak pernah bisa fasih menuturkannya.
  9. Saya perempuan berkacamata minus dan berkerudung.
  10. Semasa sekolah selalu memakai sepatu kets dan bertas ransel. Sekarang suka sepatu flat atau sandal dengan tas selempang.
  11. Meski seorang perempuan rumahan, saya tetap suka berjalan-jalan ke alam bebas, tapi lebih suka kalau sambil ditraktir makanan :))

Tiba saatnya menjawab 11 pertanyaan dari mbak Ayu Juwita, nih :
1. Keahlian apa yang pingin kamu punya, dan kenapa pingin keahlian itu?
2. Apa yang kamu lakukan ke orang (terutama sahabat) yang kamu percaya dan kamu baik sama dia, tapi dia malah jahat dan nikam kamu dari belakang?
3. Perasaan apa yang kamu rasakan kalau ketemu mantan yang udah nyakitin hati kamu banget?
4. Apa yang kamu lakukan kalau diajak ngobrol sama tetangga yang sombong dan suka pamer harta?
5. Apa cita-citamu yang belum kesampaian sampai saat ini?
6. Kalau suruh milih, mending jadi penyanyi, artis film, atau model? Kenapa milih itu?
7. Menurutmu, seorang wanita itu wajib bisa masak nggak sih? Alasannya apa?
8. Enakan jadi orang pinter atau orang beruntung? (pilih salah satu ya)
9.  hal apa yang bikin kamu gampang deg-degan?
10.  Tontonan favoritmu apa? Di stasiun tv mana?
11.  Menurutmu, apakah setiap permintaan maaf dari orang lain harus dimaafkan? Kenapa?

Jawabannya:
  1. Keahlian berbahasa asing selain bahasa Inggris dan memasak secara profesional, karena menurut saya itu dua keahlian yang keren sekaligus bermanfaat, baik buat membahagiakan keluarga maupun untuk saya sendiri.
  2. Biasanya saya diamkan beberapa waktu, kalau bisa dikonfirmasikan langsung. kalau dia mengakui salah dan minta maaf, persahabatan bisa tetap terjalin, tapi kalau tidak dan kepribadiannya tidak bisa diperbaiki, maka lebih baik saya menjaga jarak.
  3. Cuekin aja. tunjukkan kalau saya sekarang lebih baik justru tanpa dia.
  4. Menghindar, alihkan pembicaraan, diam saja, atau kalau perlu diingatkan secara langsung bahwa harta itu nggak dibawa mati jadi nggak ada guna dibangga-banggakan setiap saat.
  5.  Menjadi seorang ibu dan penulis profesional.
  6. Jadi artis film aja deh, haha... karena asyik bisa jadi macam-macam karakter.
  7. Wajibnya tuh mau masak, bukan bisa apalagi bisa diartikan sebagai handal.
  8. Orang pinter. Istilah beruntung itu kan relatif; karena tiap manusia udah ada takdirnya masing-masing, baik-buruk semuanya Allah yang kasih.
  9. Ketemu orang asing di lingkungan baru, karena saya seorang introvert :))
  10. Lagi seneng nonton Running Man di LBS TV :))
  11. Iya, karena Allah saja Maha Pengampun. yang susah bagi kita seringnya adalah melupakan kesalahannya.

Nah, sekarang waktunya mempergilirkan lagi The Liebster Award-nya. Hmm... saya ingin memberikannya pada :
Astin Astanti  ( http://www.astinastanti.com/)
Ellys Purwandari (http://ellys-utami.blogspot.jp/)
Nurul Fauziah (http://zee-flp.blogspot.com)
Riski Fitriasari (http://www.riskiringan.com/)
Nunu el-Fasa (http://www.nunuelfasa.com/)
Hastira Soekardi (http://mamahtira.blogspot.com/)
Ananda Putri Bumi (http://poetrybumi.blogspot.com)
Indah Furi Rahayu (http://indahfuri.blogspot.com)
Jade Ayu (http://ceningayu.blogspot.com)
Deasy Maslianita Burhan (http://deasymaslianita.blogspot.com)

Dan, pertanyaannya untuk kesebelas wanita cantik di atas:
  1. Cita-cita pertama banget waktu kecil, ingin jadi apa dan kenapa?
  2. Jajanan Indonesia favorit tapi yang udah jarang banget ditemui, adakah? Kenapa suka?
  3. Buku bacaan zaman kanak-kanak/remaja yang menginspirasi/berkesan banget sampai sekarang, adakah dan kenapa?
  4. Apa objek wisata dalam negeri terunik yang ingin banget dikunjungi tapi belum kesampaian?
  5. Menurut Anda, blogwalking itu penting nggak dan adakah blog yang senang dikunjungi? sebutkan kalau ada!
  6. Blogpost terfavorit di blog Anda sendiri yang mana, kenapa, dan sertakan link-nya.
  7. Acara favorit televisi, selain sinetron/drama korea, apa? di stasiun tv mana?
  8. Pernahkah ikut acara kopdar para blogger atau ketemu blogger yang sebelumnya cuma dikenal lewat blog? Kalau pernah, bisa tolong diceritakan?
  9. Suka ikut Giveaway di blog, atau sudah pernah menang? Share dong kesannya.
  10. Gambarkan sedikit tentang kota asal Anda, tunjukkan keistimewaannya!
  11. Sebagai blogger, cita-cita apa yang belum tercapai?
Hurray, done!

Silakan dilanjutkan tongkat estafet award ini, ya...
Salam kenal semua :))
 Catatan: saya mendadak mendapat lemparan balik award dari Indah Furi nih, dan saya berpikir daripada membuat blogpost baru yang lagi-lagi tentang Liebster Award (khawatir pengunjung blog saya bosen, ngelesdotcom), saya memutuskan merevisi postingan ini hahaha...
Pertanyaan dari Indah Furi:
1. Kenapa kamu bisa nyasar di blog gua ?
2. Kamu termasuk golongan Sanguinis, Kholeris, Melankolis, Plaghmatis, ato nyerah gak atu apa-apa?:D
3. Perlu gak sih pacaran ?
4. Lebih suka matahari terbit atau terbenam ?
5. Kalo hari ini gua lagi baik hati, kamu mau hadiah apa?
6. Postingan pertama blogmu apa?? kasih URLnya yak!
7. Kapan terakhir kali kamu jadi manusia bermanfaat?
8. Apa yang kamu lakuin sama buku-buku bekas di sekolah??
9. Punya prinsip hidup gak? kalo punya apa?
10. Pernah ikut organisasi apa aja seumur hidup?
11. Menurut kamu, blog gua ini gimana? Kasih kritik&saran juga boleh.. Jelasin pakek bahasa kamu aja yak...!
Jawaban saya:
 1. ceritanya saya sempat baca share postingan di grup KEB dari blog Indah, jadi pergilah saya ke tekape :))
2. Melankolis, seperti yang saya sebutkan sebelumnya.
3. Nggak, nikah aja lah :))
4. hmm.. matahari terbenam.
5. hadiah buku aja haha.. maklum bookworm.
6. postingan pertama berupa puisi di sini.
7. hari ini juga merasa bermanfaat, dengan menyelesaikan tugas rumah sekaligus nulis review buku cukup banyak :))
8. udah diwariskan, ada juga yang berakhir di pemulung hehe..
9. prinsipnya tetap berupaya lurus di jalan Allah dan nggak berhenti membumikan mimpi-mimpi.
10. organisasi dakwah di kampus dan himpunan mahasiswa jurusan.
11. blog-nya gaul abis bahasanya, apa adanya, curhat ala anak muda tapi seru :)) 
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube