Rabu, 18 April 2018

Strings Attached: Ketika Benci Jadi Cinta dan Cinta Menuai Petaka

Posted by Menukil Aksara | 7:42:00 AM Categories:
Judul buku              : Strings Attached
Penulis                    : Yoana Dianika
Editor                      : Yuliono
Proofreader             : Christian Simamora
Penerbit                  : Roro Raya Sejahtera (imprint Twigora)
Cetakan                  : cetakan pertama, 2017
Tebal buku              : iv + 308 hlm; 14 x 20 cm
ISBN                       : 978-602-61138-5-6

BLURB:
‘Let me tell you, I’ll make you mine, I’ll hug you tight. Stay beside me, stay beside me... ‘ [“I Want You So Bad” by I ROCK YOU]

    Arletta sangat bangga dengan talenta musiknya. Cewek itu mengawali dari nol: meng-cover lagu-lagu populer di Youtube hingga akhirnya bisa mengawali debutnya di dunia hiburan. Sayang, reaksi pasar nggak seperti harapannya. Album perdananya jeblok di pasaran. Kalau Arletta ingin kariernya mendapat kesempatan kedua, dia harus mendapat gebrakan besar. Arletta tentu saja setuju dengan usulan kakaknya itu... sampai dia mengetahui kalau gebrakan yang dimaksud adalah berduet dengan band rock yang musiknya cadas banget.

    Kazuki, lead vocalist I Rock You, terlihat intimidatif di kali pertama bertemu dengan Arletta. Penampilan seenaknya, lengan bertato, bersikap dingin—bahkan kasar, adalah peringatan yang lebih dari cukup bagi Arletta supaya menjaga jarak. Tapi kakaknya bilang, proyek duet untuk soundtrack film itu adalah kesempatan yang belum tentu akan datang dua kali. Arletta pun belajar menoleransi Kazuki. Berusaha meminimalisir konflik dengan cowok itu.

    Masalahnya, begitu dia menerima Kazuki masuk ke hidupnya, cowok itu seperti ada di mana-mana. Arletta stuck dengan Kazuki dan tak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubahnya. Dan perlahan-lahan, meskipun ini tak sudi diakuinya ke siapa pun, Arletta sedikit berharap situasi ini terjadi sedikit lebih lama daripada seharusnya.

    Karena Arletta sudah terbiasa dengan kehadiran Kazuki. Yah, mungkin lebih dari sekadar ‘terbiasa’...



SINOPSIS:
‘Kau isi hatiku penuh cinta yang penuh kebohongan maya. Kau coba melambungkanku tinggi dan kau remukkan hati ini’ [“First Time I Saw You”—I Rock You]

“Nengok masa lalu orang tuh sama kayak gagak, makan sesuatu yang sudah kedaluwarsa dan jadi bangkai. Kasihan kalau orangnya sudah niat berubah, sementara bangkai yang dia coba buang malah dikais-kais sama orang lain.” (hlm. 64)

Arletta tidak pernah suka dengan genre musik rock, apalagi hard rock atau alternative rock. Perasaannya yang halus dan karakternya yang ceria, didukung pilihan penampilannya yang mirip china doll bahkan boneka barbie, lebih cocok dengan genre musik pop. Imej Letta di mata fans juga angelic, bak malaikat tanpa cela. Suaranya pun merdu. Sayangnya, hal ini tak serta-merta sejalan dengan kesuksesan penjualan mini albumnya via ITunes. Selain eksis sebagai penyanyi Youtube, Letta juga berprofesi sebagai guru seni di sebuah sekolah dan mengajar vokal di sekolah musik yang dikelola kakaknya. Kakak laki-lakinya, Jonathan atau Jo, berkebalikan dengan Letta. Jo sangat menggemari musik rock semenjak remaja. Bahkan dia pernah aktif tergabung dalam sebuah band rock meskipun hanya sejauh tampil sebagai band pembuka di konser-konser penyanyi ternama. Jo kini lebih sibuk mengelola sekaligus mengajar musik di sekolah musik yang didirikannya: Rising Star Musica.

Suatu hari, Jo memberikan tawaran yang sulit ditolak Letta: terlibat dalam sebuah proyek dengan label rekaman dan Production House (PH) ternama. Mereka ingin menggaet Letta dalam penggarapan album soundtrack sebuah film bertema kehidupan Presiden pertama RI bersama istri berdarah Jepangnya. Tawaran yang menggiurkan ini diterima Letta, walaupun ternyata merupakan proyek kolaborasi dengan sebuah band rock fenomenal. Bukan hanya genre musik rekan duetnya yang awalnya memberatkan Letta, tapi juga imej sang lead vocalist yang negatif, kerapkali tersandung skandal. Pertemuan pertama Letta dan Jo dengan Kazuki dan band rock-nya, I Rock You, di pelataran parkir Rumah Gitar Hear Me Label pun tak menyenangkan. Disusul aksi saling sindir di ruang pertemuan, di hadapan para petinggi label rekaman dan PH yang tak kalah sengit. Walaupun begitu, Letta berusaha optimis dan bertekad akan bersikap profesional menghadapi Kazuki yang intimidatif dan terkenal bermulut silet. Apalagi, Sasha sahabat baiknya sekaligus sesama penyanyi Youtube juga mendukung. Kekasih dari Dean, salah satu artis asuhan Hear Me Label ini menyatakan bahwa Letta harus bangga karena sudah terpilih dalam sebuah proyek berdana besar yang sudah pasti juga diincar artis lain.

Seiring berjalannya kerjasama, tak disangka Letta ada momen-momen tertentu manakala Kazuki menampilkan sisi baik meskipun tetap dibentengi sikap angkuh. Sayangnya, dalam proses rekaman, sebuah teknik bernyanyi yang sempat diusulkan Jo demi membantu fokus Letta justru menjadi sumber kemarahan Kazuki. Merasa diremehkan dan terganggu, Kazuki sempat mengonfrontasi Letta perihal teknik menyanyinya. Insiden ini diam-diam diabadikan kamera oleh oknum dan disebarluaskan di media sosial sekaligus memicu twitwar spekulasi terkait proyek kolaborasi yang sebenarnya masih dirahasiakan. Disusul lagi insiden Kazuki yang memanfaatkan Letta ketika terjebak serbuan fans di tempat umum. Demi menghindar sementara, Kazuki menginap di rumah Letta. Saat itulah mereka saling bertukar cerita tanpa direncana dan perlahan mengubah pandangan Letta mengenai Kazuki, demikian juga sebaliknya. Tapi tanpa sepengetahuan siapa pun, Kazuki mendapat ancaman dan pemerasan dari oknum semenjak saat itu.

Kedekatan Letta dengan I Rock You makin terjalin, seiring proses kolaborasi berjalan. Mereka sempat mengambil jeda dengan berpiknik sekaligus survei lokasi syuting video klip di Pulau Tidung. Di sini seorang jurnalis portal berita daring sekaligus seseorang dari masa lalu Kazuki mendadak muncul. Helena, demikian disapa, seolah berusaha mengintimidasi dan mengorek skandal antara Letta dan Kazuki. Sayangnya niat itu tak terkabul berkat kekompakan anggota band lainnya—Nath, Ardian, Rafa, dan manajer mereka Erlangga. Namun, sewaktu berlangsung pemotretan cover album sebuah insiden mengerikan terjadi. Ini mengakibatkan Kazuki terluka parah hingga harus menjalani operasi dan perawatan intensif. Tak hanya itu, alih-alih mengabarkan kebenaran, akun haters I Rock You justru memutarbalikkan fakta hingga menuduh Kazuki sebagai pihak bersalah, demikian juga sebuah tabloid dunia hiburan ternama. Mau tak mau Erlangga harus bertindak. Belum lagi usai masalah, beberapa selang waktu kemudian Letta dirundung bencana. Dia mengalami kecelakaan serius setelah sebelumnya menghadiri sebuah pesta. Tak hanya itu, Letta dituduh mengonsumsi narkoba berkat bukti yang menyudutkan. Ada pihak yang jelas-jelas menjebaknya.

Sesudah serangkaian penyelidikan independen, pihak manajemen, label, dan PH melangsungkan konferensi pers untuk mengumumkan ketidakbersalahan Letta dan Kazuki atas skandal yang menimpa mereka. Dalam momen tersebut juga diungkap siapa sesungguhnya dalang di balik tragedi yang terjadi. Di saat inilah, Letta yang tak tahu menahu sangat syok mengetahui fakta yang terungkap.

REVIEW:
    “... hanya orang dangkal yang terlalu peduli omongan orang di ‘dunia maya’. Kalau lo nggak ngefilter omongan orang yang masuk ke telinga, lo bisa sakit mental. Semua orang pengin kita perfect dan tanpa cela.” (hlm. 180)

    “Media saat ini menilai orang semau mereka. Kalau pengin orang jahat, mereka bisa dengan mudah bikin orang jadi jahat. Cara media ngehakimin orang lain bahkan lebih mahir dan lebih sadis daripada para hakim itu.” (hlm. 282)

    Sebuah novel bernuansa musik dan mengangkat tema hiruk-pikuk dunia hiburan di tanah air yang langsung menarik perhatian saya. Desain kover, konsep pembatas buku, pilihan judul, hingga layout dengan berbagai detail di dalam buku kesemuanya menarik dan sangat mewakili alur cerita. Pembaca bahkan dimanjakan dengan berbagai kutipan lirik lagu, baik dari band rock dunia kenamaan maupun dari lagu yang khusus diciptakan demi mendukung cerita. Keren! Nuansa musik langsung terasa. Selain itu, deskripsi seting, karakter para tokoh, proses rekaman dengan berbagai istilah musik dan vokal, dan pernak-pernik dunia band rock dengan fans fanatiknya juga memuaskan. Saya dibuat ternganga membaca penggambaran kenekatan aksi fans fanatik maupun reaksi tak bersahabat Kazuki pada mereka.

    Seting pendukung lain, seperti detail bangunan Rumah Gitar Hear Me Label beserta ruang latihan dan ruang rekaman, lokasi pemotretan dan syuting video klip juga apik. Detail momen blue hour di pantai Pulau Tidung dan momen kebersamaan di greenhouse pribadi Kazuki pun menjadi nilai tambah. Riset penulis terbukti tak main-main dan kejeliannya membuahkan hasil. Pembaca akan menemukan beberapa catatan kaki, menjelaskan beberapa istilah penting, antara lain istilah di bidang musik, kedokteran dan kepolisian yang terkait dengan alur cerita.

    Sudut pandang yang dipilih adalah orang ketiga, sehingga penulis leluasa menyoroti tokoh. Bagian menebak kira-kira siapa dalang di balik kasus Kazuki dan Arletta pun jadi seru. Saya turut menerka-nerka berdasarkan penggambaran para tokoh dan salah satunya tepat, meskipun ternyata tak sesederhana yang saya pikir. Ada plot twist yang sukses mengejutkan saya, tentunya.

    Alurnya maju. Diawali adegan ketika Arletta dan Jo masih remaja dan berburu CD musik di sebuah toko dan berlanjut beberapa tahun kemudian di sebuah konser musik. Ternyata dua momen ini menjadi elemen penting dan akan terkuak di akhir cerita. Jalinan cerita, konflik, penokohan, menjadi plot yang rapi. Karena mengusung topik ‘drama’ yang terjadi di dunia hiburan tanah air, maka nggak mengherankan jika pada akhirnya konflik rumit cerita terkesan ‘drama’ banget. Tapi, saya tetap suka dan menilainya logis. Tentu saja, ini tak terlepas dari kepiawaian penulis dan proses editing yang rapi.

    Mengenai penokohan, saya langsung jatuh suka dengan karakter Kazuki. Tipikal bad boy yang karismatik dan di akhir kisah mendapat tambahan kata ‘manis’ dari saya, hehe... latar belakang kehidupan pribadinya yang disembunyikan rapat-rapat dari orang lain pun mendukung karakternya. Perkembangan karakter Kazuki pun terasa sepanjang cerita. Bersama kehadiran sosok Arletta, karakter Kazuki memang mendapat ‘lawan main’ yang klop. Pasangan yang manis dan chemistry yang tercipta di antara mereka sangat terasa. Adegan favorit saya salah satunya adalah ketika Kazuki salah tingkah dan tersinggung dengan teknik menyanyi Letta selama proses rekaman. Itu lucu banget. Tokoh favorit saya yang lain adalah ketiga teman Kazuki sekaligus member band I Rock You. Saya suka Nath yang easy going, Rafa yang gondrong dan terkesan sangar tapi ternyata ramah, dan Ardian yang kaku dan kutu buku tapi baik. Menghibur sekali keberadaan mereka dalam cerita. Sosok Erlangga yang mengayomi dan tegas, juga Jo sebagai kakak yang penyayang dan sangat mendukung dengan rahasia kecil pribadinya juga menarik perhatian saya. Tokoh-tokoh antagonis pun ditampilkan dalam porsi yang pas, dengan penjelasan yang cukup dan logis sehingga tidak terkesan dipaksakan. Akhir kisah sangat memuaskan bagi saya.

 Pesan moral sendiri tersampaikan dengan baik. Tentang peran media, terutama media sosial dan portal berita digital dalam memengaruhi masa depan karier artis di masa sekarang. Juga pesan tentang cinta dan kebencian yang kerap menghancurkan seseorang jika tak bijak menyikapi. Ada tema keluarga dan persahabatan juga dalam kisah ini.

Kalau kamu mencari bacaan fiksi yang beda, menghibur sekaligus menginspirasikan kebaikan, saya merekomendasikan novel karya Yoana Dianika ini. Kisah romansanya manis, menyentuh sekaligus mengundang tawa.

    “Ada sesuatu pada diri lo yang bikin gue ngerasa klik. Lo pasti paham, bagaimana perasaan lo ketika nemu chord buat lirik nggak bernada yang lo tulis... Rasa nyaman yang nggak bisa lo jelasin dengan kata-kata karena nemu sesuatu yang sudah lama lo cari-cari.” (hlm. 216)
   


Truly Yours: Bukan Sekadar Kisah Cinta yang Terlalu Lama Disimpan Sendiri

Posted by Menukil Aksara | 7:29:00 AM Categories:
Judul buku            : Truly Yours
Penulis                  : Fathnisah Hasna
Editor                   : Prisca Primasari
Proofreader          : Christian Simamora
Tebal buku           : iv + 256 hlm; 14 x 20 cm
Penerbit               : Roro Raya Sejahtera (imprint Twigora)
Cetakan               : pertama, 2017
ISBN                    : 978-602-61138-4-9

BLURB:
    Namanya Aleva. Nggak suka dandan dan nggak bisa masak juga. Jutek dan hobi menonton film thriller—tapi anehnya, selalu parno kalau ditinggal sendirian terlalu lama di apartemennya. Daripada perasaannya terus-terusan nggak tenang, jemarinya langsung mencari nomor satu orang spesifik di handphone. Yang selalu siap sedia untuk dijadikan tempat bersandar. Yang keberadaannya senyaman selimut hangat. Orang itu... Reggy Rahadian.

    Namanya Reggy. Selama enam tahun, Reggy selalu jadi pendengar yang baik untuk semua curhatan dan keluh kesah Alev. Selama enam tahun itu juga Reggy menyimpan rahasia klise: dia jatuh cinta diam-diam pada adik sahabatnya.

    Kau tak bisa menyangkal ada kenikmatan tersendiri mencintai seseorang yang belum tentu akan balas mencintaimu. Mungkin kau pernah melakukan sesuatu supaya dia menyadari perasaanmu—mungkin juga tidak. Tak ada bedanya juga. Toh dalam mimpi-mimpimu dia sudah jadi milikmu.

    Itu sebabnya kau selalu betah berada di sisinya. Menjaganya, jadi sandaran baginya... hingga suatu saat kau tak bisa menyangkal jeritan hatimu sendiri.

    Ternyata, bermimpi saja tak akan pernah cukup...

SINOPSIS:
    Aleva Astari alias Alev atau Levy duduk di bangku kelas terakhir SMA. Dia tinggal di sebuah apartemen di kota Bandung, berdua dengan kakak laki-laki satu-satunya, Diaz Erlangga atau yang akrab disapa Diaz. Pilihan tinggal hanya berdua ini diambil pascaperceraian ayah dan ibu mereka. Ibu mereka yang selingkuh memilih hidup bersama pasangan baru tanpa mempedulikan nasib kedua anaknya. Hal ini jugalah yang menanamkan bibit kebencian di hati Alev dan Diaz. Sedangkan ayah mereka memilih mengalihkan kesedihan pada pekerjaan dan jarang berada di rumah. Alev akhirnya tumbuh menjadi sosok gadis yang cenderung insecure, overprotective dan possesive terhadap orang-orang terdekatnya, jutek, tak memiliki sahabat perempuan, dan hidup dalam dunianya sendiri yang sempit. Meskipun demikian, Levy ini terbilang cerdas. Sedangkan Diaz disibukkan dengan kegiatan perkuliahan dan keorganisasian di kampus, serta cenderung lebih easy going ketimbang Alev.

    Di dalam dunia Alev, ada juga sosok Reggy Rahadian alias Reggy sebagai orang terdekat kedua setelah Diaz. Reggy dan Alev bersahabat semenjak SMP, meski beda umur setahun. Reggy juga berteman baik dengan Diaz dan jadi sosok ‘pengganti’ Diaz kapan pun dibutuhkan. Berbeda dengan kedua sahabatnya, Reggy tumbuh besar dalam keluarga harmonis dengan satu orang adik perempuan. Tidak mengherankan jika tempat tinggalnya menjadi rumah kedua bagi Alev dan keluarganya pun sudah menganggap Alev sebagai bagian dari mereka. Tiga tahun terakhir ini Reggy menyadari perasaan khusus terhadap Alev. Antara ingin menyatakan dengan takut kehilangan persahabatan menjadi dilema hati Reggy, yang lantas juga diketahui Diaz.

    Hingga suatu hari, tanpa sengaja Reggy melontarkan pernyataan bahwa Alev seharusnya lebih toleran dan memahami dunia Reggy dan Diaz sehingga tak terlalu mengekang dan posesif. Bahkan Reggy menyarankan Alev membangun dunianya sendiri bersama teman-teman perempuan seumuran. Sakit hati dengan pernyataan ini, Aleva sempat marah, walaupun pada akhirnya memutuskan menerima saran. Maka Alev pun mulai mengakrabkan diri dengan Chiya, Azka, dan Demmy yang sekelas lewat berbagai kegiatan belajar bersama. Kedekatan ini ternyata menyenangkan dan mengubah dunia Alev. 

    Di lain sisi, dengan dukungan Diaz, Reggy memutuskan menyatakan perasaan pada Alev. Apalagi sebelumnya dia telah cukup yakin dengan perasaan Aleva padanya. Ketika Alev dan Reggy sedang berbunga-bunga, konflik baru muncul. Diaz sedang bermasalah dengan kekasihnya, Farah. Bahkan belakangan diketahui bahwa Farah menduakan Diaz. Hal ini sontak memicu kemarahan Alev. Baginya, tak ada ampun bagi pengkhianatan. Trauma atas perbuatan ibunya membuat Aleva lantas berubah membenci Farah. Namun tak hanya itu, sikap sang kakak yang lebih memilih memaafkan dan memberikan kesempatan kedua pada Farah makin menyulut emosinya. Peristiwa ini diperkeruh peristiwa lain yang jauh lebih mencengangkan. Ayah dan ibu Levy didapati sedang bersama di rumah sang ayah dalam situasi yang terlihat intim. Rupanya rumah tangga baru sang ibu tak berjalan mulus. Ketika tak lama kemudian sang ayah kolaps dan harus dirawat intensif di rumah sakit, sang ibu muncul dan memperjelas keinginan untuk rujuk dengan mantan suaminya. Jelas saja, hal ini membuat amarah Levy berada di puncaknya.

    Sayangnya, sikap keberatan Levy ini tak sejalan dengan Diaz dan Reggy. Meski awalnya menentang, Diaz pada akhirnya luluh dengan sikap ibunya, kemudian belajar menerima kembali dan memaafkan. Reggy pun bersikap netral dan tak menentang demi kebaikan keluarga Diaz. Jadilah Levy satu-satunya pihak yang kukuh tak menyetujui. Hingga suatu hari muncul ide untuk berpartisipasi dalam program pertukaran pelajar ke Singapura, sekaligus merencanakan membawa serta sang ayah untuk perawatan. Niat untuk menjauhkan sang ayah dari mantan istrinya ini pada akhirnya ditolak tapi Levy tetap bersikeras ke Singapura. Di saat inilah hubungan Levy dan Reggy mengalami masa sulit. Menjalani hubungan jarak jauh dalam rentang waktu cukup lama memang tak diinginkan Reggy. Sedangkan Levy yang belum bisa menerima rujuknya kedua orangtua memilih menjauh.

REVIEW:
    “Gue percaya Tuhan emang udah ngerangkai segala sesuatunya dengan sempurna. Mungkin nggak sempurna di mata kita, tapi sempurna di mata-Nya. Terutama tentang jodoh.” (hlm. 184)

    Kesan pertama saya terhadap novel ini adalah menarik. Pemilihan kover yang cantik, pembatas buku yang terkesan eksklusif karena dicetak bolak-balik, dan blurb yang menjanjikan meski temanya terdengar umum—tentang cinta yang tak diungkapkan. Ketika membuka halaman demi halaman, saya juga disuguhi ilustrasi cantik per bab. Prolog-nya sukses mengundang tanya; siapakah dua tokoh yang berjumpa kembali tersebut dan ada kisah apa di antara keduanya.

Novel ini diceritakan menggunakan sudut pandang dua orang berbeda, tapi sama-sama sebagai POV orang pertama. Untuk menandai peralihan tokoh, selalu dicantumkan nama si pencerita di pembuka paragraf—apakah itu Aleva atau Reggy. Selain itu, pembeda gaya bahasa juga diciptakan. Jika dikisahkan lewat sudut pandang Aleva, maka digunakan sapaan ‘aku’ dan gaya bahasa narasinya cenderung formal. Sedangkan jika menggunakan sudut pandang Reggy, menyebut diri sebagai ‘gue’ dan gaya bahasa narasinya tidak formal—persis seperti gaya bahasa percakapan sehari-hari remaja perkotaan. Sebuah pilihan yang berani, menurut saya. Terutama pilihan untuk POV Reggy dengan bahasa gaulnya, karena tidak umum dan bisa jadi tidak semua pembaca bisa menerima. Di lain sisi, penulis juga ditantang untuk memberikan penekanan yang berbeda, antara gaya bercerita tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki. Dari sisi ini, saya berpendapat penulis muda ini cukup berhasil mengeksekusi. Perbedaan tampak menonjol ketika konflik menuju klimaks, di mana emosi dan cara berpikir antara Aleva dan Reggy tampak bertentangan. Di sini pula pembaca diajak mengenal karakter para tokoh utama, yang mewakili karakter orang kebanyakan yang bisa kita temui di sekitar. Sosok-sosok dengan kelebihan dan kekurangan, berlatar belakang keluarga berantakan maupun harmonis. Tokoh-tokoh pendukung tak terlampau berkesan bagi saya, meskipun sosok tiga sahabat Aleva cukup mewakili tema persahabatan, pun sosok ibu dari Reggy yang penyayang. Ada juga satu-dua tokoh yang tak terlalu berpengaruh signifikan bagi jalinan cerita.

Alur maju menjadi pilihan, dan sebagai pembaca saya menyukainya, karena alur maju itu lebih tidak melelahkan ketimbang alur campuran. Alurnya cukup rapi, dipadukan plot dengan konflik yang berlapis dan makin mengerucut. Dari tagline judul dan blurb, saya mengira kisah ini akan berkutat seputar bagaimana perjuangan seorang Reggy dalam mengungkapkan dan membuktikan cintanya pada Aleva. Namun usai membaca, saya menyadari ternyata itu tak sepenuhnya tepat. 

Kisah Aleva, Reggy, dan Diaz ini secara garis besar mencakup dua konflik utama. Pertama, tentu saja sudah bisa tertebak dari blurb; tentang Reggy yang memendam rasa pada Aleva dan bagaimana dia bimbang memilih mengutarakan di saat yang tepat atau menyimpan selamanya. Konflik ini ternyata jauh lebih ringan dan tak berbelit-belit seperti sangkaan saya. Bahkan bisa dibilang terlalu mudah penyelesaiannya. Konflik kedua—yang ternyata lebih kompleks—datang dari keluarga Aleva, khususnya ayah dan ibunya yang sudah bercerai tapi lantas rujuk kembali. Di sini jelas sekali emosi dan pertentangan yang terjadi antara Aleva, Diaz, ayah dan ibu mereka, yang mau tak mau melibatkan Reggy sebagai penengah. Saya sendiri geregetan dan tersulut emosi justru di bagian konflik ini. Penyelesaiannya cukup memuaskan dan logis. Meski demikian, yang menjadi nilai plus dari plot novel ini adalah cukup suksesnya penulis (dan proses penyuntingan) dalam menyatukan kesemua elemen tersebut menjadi cerita utuh dengan muatan pesan moral yang bagus.
Pada akhirnya pesan tentang makna mencintai yang sesungguhnya menjadi fokus utama cerita. Mencintai seseorang tak hanya bagian indahnya saja, tapi ada sisi pahit tatkala kita dihadapkan pada pilihan memaafkan kesalahan pasangan dan bersedia memberikan kesempatan kedua. Mencintai adalah tentang membuat pasangan bahagia, seberat apa pun itu kelihatannya.

Gambaran permasalahan keluarga dalam kisah ini juga umum kita jumpai di masyarakat. Seting kota Bandung mendukung tema cerita dan meskipun tak banyak dieksplorasi mendetail dari sisi spot menarik Bandung, namun aura kota besarnya cukup terasa. Deskripsi spot istimewa yang menjadi tempat rahasia Aleva dan Reggy menghabiskan waktu juga jadi poin plus, meskipun sederhana. Selain itu, sisipan lirik-lirik lagu favorit Reggy dan Aleva juga cukup menyatu dengan penokohan maupun alur kisah. Saya selalu suka penulis yang memerhatikan detail-detail semacam ini.

Jika kamu suka novel young-adult Indonesia dengan nuansa kisah romansa sekaligus keluarga, bacaan satu ini bisa jadi pilihan tepat. Kisah yang menghibur sekaligus mengingatkan akan banyak kebaikan dalam hidup.

Jumat, 13 April 2018

The Other Einstein: Sosok Wanita di Balik Ketenaran Albert Einstein

Posted by Menukil Aksara | 9:11:00 AM Categories:
Judul buku             : The Other Einstein
Penulis                   : Marie Benedict
Pengalih bahasa    : Lulu Fitri Rahman
Penyunting             : Deesis Edith Mesiani
Penerbit                : Bhuana Sastra (imprint Penerbit Bhuana Ilmu Populer)
ISBN                     : 978-602-455-253-4
Tebal buku            : ix + 373 hlm.
Tahun terbit           : cetakan pertama, 2018

BLURB:
    Mitza Maric berbeda dengan perempuan kebanyakan. Sebagian besar gadis berusia dua puluh tahun menjalani takdir atau perannya sebagai istri atau ibu rumah tangga. Sebaliknya Mitza, dengan dukungan penuh ayahnya, belajar fisika di universitas elite Zurich bersama para mahasiswa laki-laki. Tapi Mitza cukup pintar untuk mengetahui bahwa, baginya, matematika atau sains adalah jalur yang lebih mudah daripada menikah.

    Seiring berjalannya waktu, Albert Einstein, teman kuliahnya, menaruh perhatian padanya, dan pilihan Mitza berubah. Mereka pun menikah, menjalin kemitraan pikiran dan hati. Tetapi sepertinya tidak ada ruang untuk lebih dari satu genius dalam sebuah pernikahan...

SINOPSIS:
    “Mitza, kau mirip benda-benda dalam salah satu penelitian Newton. Tanpa kenal lelah kau mempertahankan kecepatan, kecuali ada gaya luar yang memengaruhimu. Kuharap tak ada gaya luar yang bisa mengubah kecepatanmu.” (hlm. 50)

    Mileva ‘Mitza’ Maric adalah gadis sangat cerdas yang berasal dari keluarga Kristen-Ortodoks taat di Zagreb, Kroasia. Sebenarnya dia adalah anak ketiga orangtuanya, tapi kedua kakaknya telah tiada. Jadilah kemudian Mileva anak tertua yang sangat diharapkan papa mamanya. Namun karena kondisi fisiknya yang tak sempurna (pincang), Mileva menghapus keinginan untuk menikah layaknya perempuan muda pada umumnya. Sudah telanjur muncul persepsi bahwa perempuan dengan fisik sepertinya tak mungkin menikah. Oleh sebab itu, Mileva yang semenjak kanak-kanak sudah menunjukkan kecerdasan di atas rata-rata—terutama di bidang matematika dan fisika—menaruh harapan pada pendidikan. Dia didukung papanya menetapkan pilihan untuk mengejar ilmu dan pendidikan setinggi mungkin sebagai bekal berkarir di masa depan. Sang papa sendiri telah menjadi partner bertukar pikiran mengenai keilmuan semenjak Mileva kecil dan sangat menyayangi putrinya. Berbeda dengan sang mama yang cenderung keras dan kolot. Hingga tiba saatnya Mileva berkuliah di Jurusan Matematika dan Fisika, Politeknik Federal Swiss di Zurich. Diantar papanya, Mileva menapakkan kaki di negara yang terkenal modern dan berpandangan terbuka mengenai pendidikan untuk semua orang dengan membawa semangat sekaligus kegugupan. Di masa itu (sekitar tahun 1890-an), memang masih kental sentimen ras, etnis, agama, dan gender dalam banyak hal. Di asrama tempat tinggalnya (mirip rumah kontrakan dengan induk semang), Mileva diperkenalkan dengan tiga gadis seusianya yang juga perantauan dari negara-negara di luar Swiss untuk berkuliah. Meski awalnya ragu dan menjaga jarak karena berbagai kekhawatiran, Mileva pada akhirnya merasa diterima oleh ketiga kawan barunya. Bahkan, Helene menjadi yang paling akrab dan merasa sevisi mengenai rencana masa depan.

    Di kampus, tantangan yang sesungguhnya datang. Salah satu profesor sekaligus dosen utama terang-terangan memandang rendah pada Mileva karena gender dan asal negaranya. Selain itu, di kelas yang hanya berisi enam orang mahasiswa—yang kemudian biasa disebut Kelompok Enam, Mileva adalah satu-satunya mahasiswa perempuan. Meski demikian, Mileva bertekad akan gigih menunjukkan bahwa dirinya mampu dan layak berada di kelas yang sama dengan kelima mahasiswa pria tersebut.

    Seiring berjalannya waktu, Albert Einstein salah satu teman sekelas Mileva yang sedari awal menunjukkan sikap ramah ternyata menaruh perhatian lebih. Einstein terang-terangan memuji kecerdasan Mileva. Mereka lantas terlibat diskusi keilmuan yang makin memancing ketertarikan Einstein. Aksi pendekatan lain dilakukan Einstein dengan berkunjung tanpa diundang ke asrama Mileva. Hal ini tentu saja sempat mengundang keterkejutan, termasuk dari induk semang dan kawan-kawan seasrama Mileva. Tapi Einstein tak ambil peduli dan tetap rajin berkunjung dengan berbagai alasan. Selain itu, Einstein juga berusaha mengundang Mileva dalam diskusi santai rutin di Cafe Metropole bersama kawan-kawan mahasiswa pria. Sebuah undangan menggiurkan bagi Mileva, karena di masa itu menjadi pemandangan langka sekaligus sebuah kehormatan bagi mahasiswa perempuan sepertinya untuk terlibat dalam diskusi semacam itu. Hingga di suatu kesempatan piknik bersama ketiga kawan Mileva dan seorang kawan Einstein, Albert menyatakan perasaan sukanya pada Mileva. Tentu saja Mileva menolak, meski jauh di lubuk hatinya dia juga menyukai Albert. Untuk menenangkan pikiran, Mileva menghabiskan masa liburan musim panas di Kac, Serbia, menjauhi Albert. Bahkan Mileva memutuskan cuti kuliah dan justru berkuliah sementara di Universitas Heidelberg, Jerman dengan risiko ketinggalan banyak mata kuliah. Ketika akhirnya merasa siap kembali ke Zurich, ternyata keadaan telah banyak berubah.

    Helene yang disangkanya sevisi mengenai masa depan berkarir, ternyata memiliki kekasih yang agaknya serius. Sedangkan Milana dan Ruzica seolah menjauh dan kerap menghabiskan waktu di luar asrama, melewatkan berbagai kebersamaan mereka seperti dulu. Hal ini menjadi jalan bagi Einstein untuk kembali dekat dengan Mileva. Hingga Mileva pada akhirnya luluh dan mengubah sedikit rencana masa depannya. Dia dan Albert kerap menyatakan akan bahagia bersama dan menjadi pasangan bohemian yang bermitra dalam pemikiran dan hati. Di suatu kesempatan, Mileva diperkenalkan pada keluarga Einstein yang sedang berkunjung. Sayangnya, mama Albert terang-terangan tak merestui hubungan Mileva dengan putranya. Albert yang merupakan putra kesayangan berasal dari keluarga Yahudi Jerman, diharapkan memiliki pasangan dengan latar belakang sama dan bukan tipikal perempuan berpendidikan tinggi seperti Mileva. Namun Albert berhasil membesarkan hati Mileva. Hubungan dua sejoli yang sedang dimabuk cinta ini makin dekat hingga di kemudian hari Mileva diketahui hamil. Kabar ini menghancurkan hati sang papa, apalagi kala itu seharusnya Mileva fokus pada sidang skripsinya. Sedangkan Albert yang sudah lulus, masih sibuk mendapatkan pekerjaan tetap sehingga kabar ini tak mendapat respon sesuai harapan Mileva. Keduanya pun bahkan sempat terpisah karena keadaan. Mileva kembali ke kotanya dan melahirkan tanpa kehadiran Albert.

    Albert akhirnya mendapatkan kepastian mengenai pekerjaan tetap di Bern. Terpaksa menitipkan bayinya kepada sang mama, Mileva menyusul Albert ke Swiss untuk menikah sesuai kesepakatan bersama, itu pun setelah ketidakpastian yang panjang. Meskipun kecewa atas fakta tak bisa segera membawa serta bayinya, Mileva berusaha berpikir positif. Malangnya, sang putri kecil tak berumur panjang karena sakit. Kesedihan mendalam berbaur kekecewaan atas sikap tak peduli Albert sempat dirasakan Mileva, tapi kehadiran calon bayi kedua membuat Mileva bertahan dan memutuskan melanjutkan hidup. Pernikahan Mileva dan Albert pun dikaruniai dua anak. Kemitraan pikiran tetap terjalin, bahkan Mileva memberikan sumbangan pemikiran dan ide yang besar bagi karir keilmuan Albert, di tengah tugasnya mengurus rumah tangga dan keluarga. Mileva menjadi sosok di balik layar atas segala pencapaian Albert di bidang sains, termasuk ketika meraih Hadiah Nobel. Namun, prestasi tersebut berbanding terbalik dengan keharmonisan rumah tangga mereka. Sikap Albert yang tak menghargai istri dan tak segan melakukan kekerasan domestik pun memicu kehancuran. Bahkan Helene yang masih berhubungan baik dengan Mileva setelah sama-sama menikah, sempat terang-terangan membukakan mata Mileva atas sikap suaminya yang tak patut. Di titik inilah Mileva harus mengambil sikap; apakah akan bertahan dan berusaha memperbaiki keadaan atau menyerah atas pernikahannya setelah bertahun-tahun berjuang.

REVIEW:
    “Teori baruku tentang relativitas mengungkap bahwa waktu mungkin tidak memiliki kualitas tetap yang dipercayai Newton serta hampir setiap ahli fisika dan matematika generasi berikutnya. Tetapi filsuf yang bahkan lebih kuno, Seneca, jelas memahami satu aspek waktu dengan sempurna: “Waktu menyembuhkan apa yang tak bisa disembuhkan akal sehat.”” (hlm. 254)

    Sebelumnya, saya ingin membahas sedikit catatan penulis yang terdapat di bagian akhir buku. Rupanya tak hanya saya yang tak mengenal sosok Mileva Maric sebelum ini. Penulis sendiri baru mengenal sosok perempuan luar biasa ini ketika membantu tugas laporan anaknya. Dan secara mengejutkan, penulis menemukan fakta bahwa sebenarnya sosok Mileva telah lama menjadi fokus perdebatan di kalangan komunitas fisika terkait perannya dalam peletakan dasar teori Einstein yang fenomenal. Ditemukan juga surat-surat antara Einstein dan Miss Maric semenjak mereka masih mahasiswa. Novel/memoir ini pun akhirnya ditulis lewat riset panjang berdasarkan sumber-sumber yang digali penulis terkait kehidupan keduanya. Sedapat mungkin penulis mengisahkan sesuai keadaan sebenarnya. Rekaan hanya diciptakan seperlunya, termasuk jika tidak terdapat sumber terpercaya mengenai peristiwa atau detail fakta tertentu.
    Penulis yang berprofesi sebagai pengacara memang cukup jauh berbeda latar belakang keilmuan dengan Mileva Maric, namun keduanya sama-sama sosok wanita cerdas, memiliki dedikasi terhadap bidang keilmuan masing-masing, dan pernah mengalami dilema antara menjadi istri dan ibu dengan mengejar impian pribadi. Menurut saya, hal tersebut cukup memengaruhi keberhasilan Marie Benedict dalam menulis kisah Mileva ini menggunakan POV orang pertama. Terkait bahasan berbagai teori fisika dan matematika sepanjang buku ini, karena menggunakan format novel, akhirnya tidak terkesan ‘berat’ dan membosankan. Porsinya pas untuk menggambarkan karakter Mileva sekaligus menyatu dengan alur dan plot cerita.

    Riset yang baik pun tercermin dari kepiawaian penulis menggali latar belakang keluarga Mileva, bagaimana sosok papa dan mamanya, juga lingkungan tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Seting Swiss di tahun 1890-an hingga 1900-an yang mendominasi cerita pun terdeskripsikan dengan baik. Tentang bagaimana dunia pendidikan di sana, gaya hidup para mahasiswa, pandangan umum masyarakatnya tentang berbagai isu sosial kala itu, hingga deskripsi keindahan alam dan arsitekturnya. Saya diajak menyelami kehidupan di era yang berbeda dengan era modern sekarang tanpa merasa kesulitan.

    Karakter Albert Einstein sendiri tergambar jelas disertai detail-detail penting terkait keluarganya, kewarganegaraannya, idealismenya mengenai sains, sosok-sosok idolanya, ambisinya, hingga karakter personal yang nyatanya cukup banyak yang mengejutkan. Selama ini saya hanya mengenal Einstein sebagai sosok yang disegani di dunia sains hingga banyak yang mengidolakan. Usai membaca buku ini, saya memandangnya secara lebih manusiawi, dalam artian sebagai manusia biasa Einstein pun tak lepas dari kekurangan dalam karakter personal. Dia juga pria biasa yang bisa jatuh cinta berawal dari kekaguman akan kecerdasan lawan jenis, juga bisa labil dan egois karena pengaruh bagaimana orangtua membesarkan dan posisinya dalam keluarga. Terlepas dari kelebihannya dalam mencintai sains, Einstein juga bisa menunjukkan kurangnya rasa penghargaan dan cinta terhadap wanita yang menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya. Hal ini diperparah oleh sikap Mileva yang seolah sukarela mengorbankan diri demi memenuhi ambisi sang suami. Tanpa mengecilkan kiprah Albert Einstein di dunia sains, Marie Benedict berhasil membukakan mata saya akan sisi lain dari tokoh fenomenal ini, sekaligus mengenalkan pada saya sosok wanita hebat yang selama ini tertutupi bayang-bayang besar Einstein.

    Buku dibagi menjadi tiga bab besar yang mewakili tiga fase utama kehidupan Mileva. di tiap pembuka bab dituliskan teori-teori sains dari Isaac Newton, tokoh yang diidolakan Mileva Maric dan Albert Einstein. Alur maju yang mendominasi—dengan sesekali kilas balik yang dituturkan Mileva—mampu merunutkan kisah dengan apik. Plotnya rapi dan logis, mengungkap lapis demi lapis konflik, satu per satu peristiwa yang memengaruhi jalan hidup seorang Mileva Maric. Konflik yang kompleks berkaitan dengan latar sosial dan politik kala itu, perbedaan pandangan antarpersonal dan antarkeluarga, pergulatan batin tokoh utama, hingga pertentangan kepentingan antartokoh. Berkat penuturan yang luwes sekaligus mampu menyentuh emosi pembaca, saya bisa turut merasakan bahagia, antusias, hingga sakit hati, sedih, dan kecewa, seperti yang dirasakan Mileva sebagai pencerita. Penuturan Mileva di bagian epilog pun menjadi penutup yang sangat berkesan bagi saya. Narasinya bernada ilmiah sekaligus indah dan benar-benar mewakili segala emosi yang dirasakan Mileva sepanjang kehidupannya bersama Albert Einstein. Sebuah penutup yang sempurna.

    Jika kamu mendambakan pengalaman baca yang beda sekaligus menginspirasi, saya sangat merekomendasikan buku ini. Buku yang ditulis tak hanya dengan pemikiran mendalam tapi juga dengan hati. Lewat buku ini saya juga diajak memahami bahwa cinta dan kesamaan minat saja tak cukup untuk membangun sebuah rumah tangga. Butuh komitmen untuk saling menghargai dan tetap memberikan ruang bagi pasangan untuk menjadi diri sendiri dan mencintai dirinya sendiri. 

"Setiap benda akan tetap diam, atau bergerak dalam garis lurus dengan kecepatan tetap, kecuali dipaksa berubah dengan gaya luar yang diberikan kepada benda tersebut."
--Sir Isaac Newton

   
   

Jumat, 06 April 2018

Judul buku                 : Lunar Eclipse
Penulis                       : Nindya Chitra
Penyunting                 : Dion Rahman
Penerbit                    : PT Elex Media Komputindo
Tahun terbit               : 2018
Tebal buku                : 404 hlm.

BLURB:
    Serena Aldyathena tak pernah menyangka mimpi buruk yang kerap hadir dalam tidurnya merupakan pertanda terbukanya gerbang kegelapan. Sebuah kecelakaan menghentikan mimpi-mimpinya, lantas menukarnya dengan kemampuan berinteraksi dengan mereka yang berdiri di ambang hidup dan mati.

    Kenzie Reynand Praditama menyandang gelar indigo di belakang predikat most wanted di SMA Prisma Jaya. Dia memanfaatkan kemampuan tak wajarnya untuk mendapat perhatian semua orang dan menjaili hantu-hantu penghuni sekolah.

    Sebuah tragedi melibatkan Serena dan Ken dalam pencarian kebenaran atas kematian sesosok hantu misterius. Satu per satu tabir tersingkap. Pencarian mereka bermuara pada satu titik di mana jawaban atas mimpi buruk yang pernah menghantui Serena menunjukkan bahwa mimpi tersebut bukan bunga tidur belaka. Dia memperkenalkan diri sebagai sesuatu yang lebih pekat dari kegelapan, lebih mengerikan dari kematian, dan lebih menyeramkan dari hantu mana pun tapi tak dapat disingkirkan tanpa meninggalkan bekas. Sebab, manusia dan emosinya bisa menjadi kombinasi paling merusak yang pernah ada.

SINOPSIS:
    “Betapa menyebalkan ketika kita tahu harus melakukan sesuatu tapi tak tahu jalan mana yang harus diambil.” (hlm. 305)

    Serena Aldyathena terbangun dari koma pascainsiden kecelakaan dalam sebuah ekspedisi bersama sahabatnya, Tesa. Tesa sendiri tak selamat. Semenjak itu, Serena memiliki kemampuan berinteraksi dengan makhluk-makhluk tak kasatmata, tapi dia merahasiakan mengenai kemampuannya ini. Setelah kematian ibunya, Tesa memilih bersekolah di Bandung dengan beasiswa yang diperolehnya. Di kota kembang ini Serena tinggal bersama om dan tantenya. SMA Prisma Jaya, sekolah barunya, merupakan salah satu sekolah swasta favorit dengan bangunan yang besar dan kuno. Berkat kemampuannya, Serena berteman dengan makhluk-makhluk penghuni sekolah. Dia juga bersahabat baik dengan Aldebaran Karendra atau yang biasa dia sapa Karen. Sebagai ketua OSIS, Karen dikenal cerdas dan berprestasi, meskipun bukan sosok ambisius. Di lain pihak, ada Kenzie Reynand Pradithama atau Ken yang merupakan siswa populer berkat pengaruh kekayaan orangtua, kecerdasan, ketampanan, sekaligus kelakuannya yang tengil dan suka menjadi pusat perhatian. Seperti Serena, Ken juga mampu berinteraksi dengan makhluk tak kasatmata. Tapi berbeda dengan Serena yang menutupi, Ken justru senang mengumbar kemampuannya.

    Di hari pelaksanaan PENSI, Karen mendapat telepon yang diakui dari saudara kembarnya, Adriana Kinanti alias Kinan. Serena cukup terkejut karena selama ini Karen tak pernah menceritakan perihal kembarannya. Apalagi kemudian kabar menghilangnya Kinan menyeruak. Agaknya Kinan yang sudah tiba di Bandung direncanakan akan mengunjungi Karen di rumah, tapi tak kunjung datang. Sepasang saudara kembar ini memang terpisah karena perceraian orangtua mereka. Hingga tak lama kemudian, Serena tak sengaja mendengar bahwa Ken pernah bertemu Kinan di sekolah sebelum dia dinyatakan hilang, bahkan terkesan mengenalnya dan menyimpan notes milik Kinan. Tak hanya itu, Serena lebih syok lagi ketika sempat melihat sesosok tak kasatmata yang diyakini sebagai Kinan. Pertanyaan pun menyeruak. Apakah Kinan sudah meninggal?

    Hingga suatu hari, teman sekelas Karen yang bernama Melanie mengaku mengenal Kinan yang aktif dalam Astral Project Club lewat seorang kenalannya. Melan juga menyebutkan bahwa klub tersebut akan mengadakan pertemuan di sebuah kafe di Bandung. Maka Karen, Melanie, Serena, dan Ken pun lantas menuju kafe tersebut dengan harapan bertemu Kinan. Di sana, Karen melihat seorang gadis yang diyakini sebagai Kinan tapi sosok itu seolah sengaja lari menghindar. Melan sendiri bersikap mencurigakan bahkan sempat histeris dan berkata melihat penampakan mengerikan di kafe. Penyelidikan pun tidak membuahkan hasil signifikan, kecuali Karen yang meyakini bahwa Kinan masih hidup.

    Serena sendiri tak menceritakan perihal pertemuannya dengan sosok tak kasatmata Kinan dan kecurigaannya mengenai kematian saudara sahabatnya itu kepada Karen sebelum mendapatkan bukti yang meyakinkan. Seren justru bekerja sama dengan Ken untuk menyelidiki kasus Kinan. Hal inilah yang lantas memicu kecurigaan Karen sekaligus kecemburuan karena sebenarnya diam-diam Karen menyukai Serena lebih dari sahabat. Belakangan juga diketahui bahwa Ken mulai menaruh hati pada Serena. Selain itu, Serena kemudian bekerja sebagai freelancer peliput berita di tabloid Teleport Mystery yang belakangan diketahui merupakan milik mama Ken. Adegan mencekam terjadi saat Serena ditugasi meliput ke Taman Hutan Raya Djuanda. Tempat yang pernah menyisakan trauma atas kematian tragis Tesa tersebut harus kembali disambangi Serena yang kini ditemani Ken dan Karen. Di Goa Belanda, sesosok makhluk hitam bermata merah yang dulu kerap menghantui mimpi-mimpi Serena mendadak muncul di saat genting. Pertanyaan tentang apa sebenarnya makhluk itu masih belum bisa Seren jawab.

    Kembali ke kasus Kinan, Melanie tak pernah lagi muncul di sekolah. Serena yang putus asa karena penyelidikannya tak kunjung menampakkan petunjuk berarti memutuskan mengunjungi kediaman Melanie untuk mengorek keterangan. Di rumah tujuan, Melan tak berhasil ditemui, namun ketika Serena nekat menyatroni kamar Melan, dia dikejutkan telepon dari sang pemilik kamar yang lantas memintanya datang ke sekolah di malam bulan purnama. Berbekal keyakinan akan petunjuk mengenai dalang di balik kasus Kinan yang akan diperoleh dengan bertemu Melan, Kinan pun nekat datang. Tapi alih-alih petunjuk, Serena dikejutkan oleh tragedi demi tragedi lain yang kemudian menyeretnya makin dalam. Keterlibatan salah satu guru dan sebuah organisasi misterius, juga misteri malam bulan purnama dengan keberadaan pabrik daging dekat sekolah menjadi teka-teki rumit yang harus Serena pecahkan. Pihak polisi bahkan tak banyak membantu karena ada campur tangan pihak tertentu yang misterius. Di sinilah Serena harus memilih; apakah ia mundur sesudah menyaksikan sendiri kengerian demi kengerian yang terjadi atau tetap maju untuk mengungkap tindak kejahatan yang mungkin dilakukan seseorang sebelum jatuh korban lagi, dengan nyawanya sebagai taruhan.

REVIEW:   
“Jangan datang ke sekolah pada malam bulan purnama. Atau, kamu tak akan pernah bisa pulang.”

    Novel bertokoh utama remaja ini mengangkat perpaduan genre misteri horor dengan thriller fantasi. Selain menyoroti kemampuan anak-anak indigo, kehadiran berbagai makhluk tak kasatmata, dan mitos, cerita juga mengangkat tema astral projection—yang setelah saya telusuri sendiri ternyata sudah cukup banyak dikenal dan dikatakan didukung oleh penjelasan ilmiah. Terdapat pula adegan dalam plot twist yang menurut saya bisa dikategorikan bergenre fantasi. Cerita ini juga kental dengan pengungkapan sebuah kasus kriminal ala detektif. Menarik tentu saja dan membawa angin segar bagi novel untuk para pembaca remaja.

    Prolognya to the point, langsung menyuguhkan aura kelam mencekam lewat mimpi-mimpi buruk Serena sebelum tragedi kecelakaan Tesa. Lantas kisah bergerak maju dan memperkenalkan pembaca pada para tokoh dan seting sekolah di Bandung. Menggunakan POV orang pertama: Serena, ternyata kisah ini juga menyajikan kejutan dengan satu POV orang pertama lain di bagian epilog. Seting cerita di Bandung, didominasi area sekolah dan beberapa tempat lain dideskripsikan dengan cukup baik, terutama dengan menonjolkan aura mistis dan mencekam terkait dengan alur dan plot cerita.

 Didominasi sudut pandang Serena sepanjang cerita, saya berhasil ikut merasakan berbagai dilema, ketakutan, dan keingintahuan Serena akan kasus Kinan dan sejumlah pertanyaan lain yang harus dijawab. Walaupun kerap dibikin gemas dan kesal karena kebimbangan dan keputusan Serena—terutama keputusan merahasiakan dari Karen dan tak melibatkan polisi sedari awal, saya juga dibikin salut dengan ketegarannya. Menurut saya memang sulit menampilkan tokoh remaja dengan kelabilan sekaligus kerumitan karakter dan konflik seperti Serena. Dan penulis cukup berhasil menyuguhkan latar dan dasar yang logis akan perkembangan karakter Serena sepanjang cerita.

Tokoh-tokoh lain pun nggak kalah menyita perhatian. Mereka pada dasarnya berasal dari keluarga yang tak sempurna, sehingga berkarakter rumit sekaligus menarik. Sejauh yang saya tangkap dari cerita ini, penulis ingin menghadirkan simpati pada Karen dan Kinan—selain sepak terjang heroik Serena. Terutama Kinan yang di akhir cerita dikatakan melakukan aksi pengorbanan yang besar (no spoiler). Sayangnya, saya tak cukup bersimpati pada keduanya. Entah kenapa, karakter sepasang kembar ini tak cukup membuat saya memfavoritkan mereka. Saya justru jauh lebih menyukai dan menaruh simpati kepada Ken, termasuk lebih suka jika Serena lebih memilih Ken ketimbang Karen, hehe... Ini perkara selera juga, sih, dan bukan berarti memengaruhi pandangan saya akan kualitas cerita. Tokoh-tokoh pendukung seperti Melanie dan Monic cukup signifikan memengaruhi jalan cerita, bahkan menjadi plot twist yang bagus. Selain itu, teman-teman sekolah Serena lainnya juga membawa suasana ceria pergaulan remaja pada umumnya, meskipun mereka tak menjadi fokus utama. Tokoh antagonis yang paling menarik perhatian saya adalah Pak Burhan. Ada beberapa adegan yang bikin saya gemas setengah mati dengan kelakuannya.

Mengenai plot, memang terbilang kompleks. Kasus yang awalnya terlihat sederhana, ternyata menghadiahkan kejutan demi kejutan dan jalinan rumit antartokoh dan konflik mereka, melibatkan berbagai rahasia dan cerita masa lalu. Plot twist dan ending-nya lumayan bikin saya melongo. Cara penulis mengungkapkan misteri terbesar cukup unik. Hingga pertengahan, alur memang terkesan lambat, hanya dihadirkan petunjuk-petunjuk samar dan Serena yang seolah kehabisan cara mengungkap petunjuk. Namun, adegan di Goa Belanda Taman Hutan Raya Djuanda mampu menghadirkan ketegangan yang saya tunggu-tunggu, meskipun masih menyisakan pertanyaan di kepala. Dan seperti halnya misteri mitos Goa Belanda, ada sederet pertanyaan lain yang menurut saya belum tuntas terjawab dalam cerita ini. Mengenai Kinan dan Ken di masa lalu, kemampuan astral projection Kinan dan hubungannya dengan Ken (saya hanya bisa mengait-ngaitkan dengan mencari sendiri info lebih jauh terkait astral projection), ritual pesugihan, organisasi black hole, hingga akankah beberapa tokoh di buku ini hadir lagi di buku selanjutnya (setahu saya ini merupakan novel berseri, kan). Saya berharap semua pertanyaan tersebut akan tuntas terjawab di buku selanjutnya, juga plot yang makin rapi, selain karakter Serena yang semoga saja lebih matang.

Bagi saya, novel (berseri) ini cukup menjanjikan. Pesan moralnya juga bagus, dengan mengangkat topik keluarga, pilihan jalan kebaikan atau keburukan, dan sisi lain dari kehidupan anak-anak indigo. Membaca novel ini membukakan mata pembaca bahwa manusia dengan segala emosinya bisa jauh lebih menakutkan ketimbang kehadiran berbagai makhluk tak kasatmata yang biasa ada di dalam kisah horor. Thrilling yet inspiring. Recommended.


  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube