Senin, 19 Maret 2018

Break A Leg: Umur Perkenalan vs Kebahagiaan Pernikahan

Posted by Menukil Aksara | 10:28:00 AM Categories:
Judul buku              : Break A Leg
Penulis                    : Umi Astuti
Editor                     : Anggia Eka & Cikal Ringgin Paneduh
Penerbit                  : Namina Books
Cetakan                  : pertama, 2018
Tebal buku              : 316 hlm
ISBN                      : 978-602-60229-9-8

BLURB:
    Angesti adalah seorang Program Director di sebuah televisi swasta. Ia dikelilingi lingkungan yang super konyol—kalau tak mau disebut gesrek—bahkan keluarganya sendiri seperti itu.

    Untuk itu, di usianya yang sudah 28 tahun, ia bertekad bisa mendapatkan lelaki serius agar hidupnya lebih tertata. Ia lalu dikenalkan oleh Bima—sahabatnya—kepada Adam.

    Berharap, mungkin saja Adam adalah tipe yang ia cari. Ternyata tidak. Adam sama konyolnya dengan yang lain.

    Sampai suatu ketika, ia menemukan seorang lelaki serius dari lembaga yang serius pula: Komisi Penyiaran Indonesia, hanya lewat cerita sekilas Ajimara—bosnya. Mulailah Angesti mencari tahu tentang lelaki itu di media sosial. Twitter adalah satu-satunya jalan penghubung keduanya.

    Berhasilkah Angesti mendapatkan lelaki idamannya? Atau ia memang harus menerima nasib berjodoh dengan makhluk konyol lain?

SINOPSIS:
    “Aku suka lelaki humoris. Tapi, you know, di umur aku yang sekarang, enggak mungkin cuma berpikir memperbanyak teman. Aku butuh pasangan! Untuk itu, lelaki humoris tidak masuk ke dalam list kriteria mencari pasangan ala Angesti, karena mereka cocok untuk dijadikan teman.” (hlm. 62-63)

    Angesti Anindya Niswara, seorang Program Director program berita di sebuah televisi swasta nasional selalu dikelilingi oleh orang-orang konyol atau kerap disebutnya gesrek. Bahkan keluarganya sendiri pun demikian. Papa, mama, om, tante, hingga keponakan lelakinya gemar sekali bercanda, bahkan belakangan senang menggoda mengenai status kejomloannya. Teman-teman kantornya di grup chat CMIIWW dan ToTaTi pun sama gilanya jika sudah bercanda. Candaan yang cenderung vulgar tanpa autofilter. Di grup ToTaTi—yang diambil dari nama kafe langganan dekat kantor—Ange sengaja mengumpulkan dua teman kantor akrabnya, Bima Fattan dan Alisa Adrenia Sukmadewi. Alisa bahkan mengontrak salah satu rumah di lingkungan tempat tinggal keluarga Ange. Ange, Bima, dan Alisa merasa memiliki minat dan karakter yang mirip sehingga cocok satu sama lain dan tak segan saling bercerita banyak hal yang bersifat pribadi.

    Walaupun gesrek, Ange sebenarnya gadis yang punya prinsip kuat. Karena usianya yang ke-28 ini dianggap sudah matang untuk menikah, sebagai anak tunggal ia mulai direcoki dengan pertanyaan-pertanyaan seputar calon suami oleh keluarganya. Dan karena terbiasa bergaul dengan orang-orang yang (kelewat) humoris, Ange berprinsip bahwa calon suami idamannya haruslah tipe lelaki serius. Cukuplah oarng-orang humoris dijadikan teman saja. Seolah menjawab keinginannya, atasannya Ajimara sempat menyebut-nyebut seorang pria serius—yang bahkan dijuluki ‘kanebo kering’—dari Komisi Penyiaran Indonesia. Pria yang lantas diketahui sebagai Kabag Humas itu bernama Farhan Afriandi. Memiliki wajah blasteran yang rupawan dan postur tubuh yang tinggi atletis, Farhan sukses menarik perhatian Ange. Suatu ketika, Ange tak sengaja menemukan akun Twitter dan cuitannya. Nekat, ia pun membalas cuitan yang sebenarnya bernada serius itu dengan cuitan jenaka, sebagai aksi pendekatan. Sayang, aksinya itu tak berbuah semanis harapan. Namun rupanya takdir mempertemukan Ange dengan Farhan di sebuah rumah sakit, ketika mengantarkan tetangga tampannya, Hamish. Pertemuan yang kikuk dan sama tak manisnya dengan balasan cuitan.

    Di lain pihak, Alisa sedang dirundung kesedihan mengenai hubungannya dengan sang kekasih yang bermasalah. Abam, dianggap sebagai tipikal lelaki serius, tapi tak tegas mengenai hubungannya. Hal ini sempat membuat Ange mempertanyakan lagi prinsipnya. Sedangkan Bima berusaha mendekatkan Ange dengan seorang Programming temannya dari stasiun televisi sebelah bernama Adam. Sayangnya, ternyata Adam tipikal lelaki humoris seperti Bima sehingga Ange lebih ingin berteman ketimbang mempertimbangkannya sebagai kekasih apalagi calon suami. Meski demikian, Adam dan Ange cukup sering keluar bareng. Suatu hari, Ange dikejutkan kemunculan Farhan di kantornya yang ternyata berniat menjemput, padahal dia sudah lebih dulu membuat janji dengan Adam. Tak hanya itu, Farhan juga mendadak berkunjung ke rumah Ange dan bertemu sang mama. Seiring berjalannya waktu, Ange meminta kejelasan status kedekatan mereka kepada Farhan, karena sejak awal dia sudah menegaskan bahwa dia tidak sedang ingin menjalin hubungan sebatas teman. 

Sempat kecewa dan menyalahkan diri atas reaksi Farhan yang tak sesuai harapan, Ange kembali dikejutkan kehadiran Farhan. Kali ini Farhan bahkan membuatnya syok dengan jawaban atas status yang pernah ditanyakan. Farhan mengatakan bahwa dalam waktu dekat keluarganya akan datang untuk melamar. Antara senang dengan kaget, Ange sempat dilanda keraguan akan pilihannya. Dia belum terlalu mengenal Farhan apalagi keluarganya, tapi sudah satu langkah mendekati pernikahan. Di hari lamaran, terungkap ayah Farhan yang ternyata seorang pejabat penting. Tak hanya itu, Farhan juga memiliki adik perempuan tiri yang tabiatnya ‘super ajaib’, sangat jauh berbeda dengan karakter Farhan. Di masa persiapan pesta pernikahan pun Farhan berubah sikap dan kerap melanggar janji temu. Di sinilah Ange diuji atas keyakinannya kepada Farhan dan pernikahannya yang tak lama lagi digelar. Benarkah Farhan calon suami yang selama ini diidamkannya, terlepas dari ketertarikan secara fisik dan pesona di masa awal perkenalan?


REVIEW:

    “Lelaki itu dilihat dari apa yang dia ucapkan kemudian dibuktikan melalui tindakannya.”
(hlm. 238)

    “... Jangan ngebayangin kalau lu nikah terus selamanya lu bahagia. Bukan itu. Kesulitan, kesedihan, bahkan perpisahan udah siap menyambut lu di depan sana. Dan, lu cuma perlu pegang satu senjata: keyakinan.” (hlm. 262)

    Sebuah cerita bergenre comedy-romance dengan premis menarik. Saya suka sekali dengan pilihan kover dan ilustrasi cantik untuk pembatas bukunya. Pilihan judul juga menarik; yang setelah saya cari tahu lebih jelas ternyata mengambil bahasa slang English yang bersinonim dengan ungkapan ‘good luck’. Diceritakan menggunakan POV orang pertama (Ange), kisah pencarian jodoh idaman ini bergaya bahasa mengalir dan nyaman untuk diikuti. Banyak diselipi celetukan dan obrolan mengenai topik yang sedang hangat dibicarakan (ketika naskah ditulis) dari dunia politik dan hiburan, maupun pendapat pribadi para tokoh mengenai prinsip hidup, dengan gaya santai dan mengundang tawa. Saya diajak menyelami karakter Ange yang meskipun konyol tapi cerdas dan berprinsip jelas mengenai mencari pasangan untuk pernikahan. Suka juga dengan karakter para tokoh lain, seperti Bima, Alisa, Adam, rekan-rekan kerja di IndoTV, dan keluarga Ange. Saya bisa merasakan chemistry yang terbentuk antartokoh, terutama interaksi antara Ange dengan keluarga dan kedua sahabatnya yang terasa akrab. Meskipun saya kerap dibikin gemas dengan karakter Farhan yang kaku dan misterius, tetap ada sisi-sisi karakternya yang menarik simpati. Apalagi novel yang pernah tayang di Wattpad ini menyediakan bonus cerita di bagian akhir, sehingga pembaca dimanjakan dengan akhir kisah yang detail dan memuaskan.

    Mengenai seting dunia penyiaran, menurut saya berhasil dibangun dengan apik oleh penulis semenjak halaman pertama. Menyajikan istilah-istilah dan deskripsi yang cukup detail seputar dunia broadcast, sebagai pembaca ekspektasi saya terbayarkan. Nuansa dunia kerja di kota megapolitan Jakarta pun terasa. Penulis juga menyuguhkan seting lain seperti kafe yang berdesain interior unik dengan deskripsi yang cukup mengesankan dan membuat saya penasaran.

    Alur yang dipilih adalah alur maju dengan plot yang rapi. Penulis berhasil mengungkap bertahap kejutan demi kejutan sehingga pembaca dibuat penasaran dan betah membaca hingga akhir. Konflik utama yang emosional dan keraguan yang sempat mendera Ange pun turut saya rasakan. Tapi penulis tak lupa juga memberikan alasan yang logis terkait keraguan ini sekaligus jawaban atas sosok Farhan dan keluarganya.
Lewat kisah ini, menurut saya penulis ingin menyampaikan pentingnya prinsip dalam mencari pasangan hidup. Bahwa cinta saja tidak cukup dalam membangun pernikahan. Hal terpenting lain adalah keyakinan, komitmen, dan komunikasi yang baik dengan pasangan. Dan, yakinlah bahwa Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan semata, termasuk perkara jodoh. Novel yang segar, menghibur sekaligus memuat pesan moral yang kuat. Recommended.

Kamis, 15 Maret 2018

Sweetly Broken: Pahitnya Patah Hati Hingga Manisnya Jatuh Cinta Kembali

Posted by Menukil Aksara | 8:36:00 AM Categories:
Judul buku               : Sweetly Broken   
Penulis                     : Dadan Erlangga
Editor                      : Irna Permanasari
Penerbit                   : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan                   : pertama, 2018
Tebal buku               : 256 hlm; 20 cm
ISBN                        : 978-602-03-8196-1

BLURB:
    Pengalaman patah hati hingga berdarah-darah, membuat Lara Doris Hartono menutup hati dan menetapkan aturan konyol saat bertemu pria tampan, bersikap dingin dan tak peduli serta jangan pernah menunjukkan kekaguman dan ketertarikan sedikit pun.

    Namun, saat pertama kali bertemu Dias Adji Nugroho, Lara nyaris melanggar aturan tersebut. Padahal, ia pernah bersumpah akan menghajar pria itu karena tayangan di akun Instagram Dias yang menjelek-jelekkan wedding organizer milik Lara. Sekuat apa pun mengelak, Lara mendapati dirinya luluh dalam dekapan kokoh pria itu.

    Ketika Lara sedang menikmati kebahagiaan bersama Dias, seseorang dari masa lalunya muncul. Aryoza Megantara, mantan terindah semasa SMA yang tak pernah benar-benar meninggalkan sudut hatinya.

    Untuk kali ini saja, Lara tergoda untuk meraih kembali apa yang pernah hilang dari masa lalunya bersama Yoza. Namun, apakah itu sepadan jika harga yang akan ia bayar adalah kehilangan Dias untuk selamanya...?

SINOPSIS:
    “Nggak ada cara yang lebih baik dari merelakan sesuatu yang bukan lagi milikmu. Dan nggak ada cara yang lebih buruk dari meratapi sesuatu yang nggak lagi kamu miliki.” (hlm. 157)

    Belum terlampau lama Lara ditinggal menikah pasangan kencannya. Dia tak ambil pusing meskipun jelas tak menyenangkan. Ini bukan kali pertama Lara berkencan. Biasanya dia yang mencampakkan pria, jika seorang pria tak memberi tanggapan sesuai harapannya. Semenjak pengalaman patah hati yang sangat dalam semasa remaja, Lara memang cenderung bersikap dingin dan menjunjung tinggi harga diri di hadapan pria.

    Hingga suatu hari, Lara mendapati seseorang mengunggah tayangan di akun Instagram yang menjelek-jelekkan wedding planner (yang kerap disalahpahami sebagai wedding organizer) miliknya, Cherish Wedding. Padahal orang tersebut bukanlah klien, melainkan hanya tamu undangan dari sang klien alias pasangan pengantin. Lara tetap berusaha bersikap tenang dan tak mau meladeni, meskipun sesungguhnya dia berang dan bersumpah menghajar orang yang belakangan diketahui seorang pria bernama Dias. Tak hanya ganteng dan sekilas mirip Liam Hemsworth, Dias juga seorang selebgram, vlogger, dan anak pemilik wedding organizer ternama di Bandung, tapi tak diketahui jelas apa profesi yang sesungguhnya. Suatu malam di pesta seorang relasi sekaligus kawan bernama Zaky, Lara yang saat itu datang bersama Nana sahabatnya berkesempatan berkenalan dengan Dias tanpa disangka-sangka. Bahkan pria gagah itu menolong ketika sebuah insiden menimpa Lara. Dari situlah mereka mulai dekat sampai Lara tahu alasan di balik pernyataan ekstrim Dias mengenai Cherish Wedding. Lara pun sulit mengelak dari pesona Dias yang ternyata sempat memiliki impian menjadi sutradara film besar sekelas Richard Linklater idolanya, dan kini merintis usaha jasa videografi komersial.

    Ketika Lara sedang berbahagia bersama Dias, lewat sebuah reuni SMA Lara bertemu Monik, yang mengaku teman sekolahnya dulu. Monik lantas mengenalkan sepupunya Clara yang sedang kebingungan mencari wedding planner untuk pernikahannya beberapa bulan lagi. Meskipun awalnya sulit meyakinkan Clara yang perfeksionis, tapi akhirnya kerjasama pun terjalin dengan Cherish Wedding. Yang sangat mengejutkan kemudian adalah sosok calon suami Clara yang tak lain adalah mantan pacar terindah Lara semasa SMA, Yoza. Kandasnya hubungan Yoza dan Lara menyisakan kenangan amat pahit dan sebuah rahasia besar yang masih ditutup-tutupi oleh Lara, mamanya, maupun keluarga Yoza sendiri.

    Lara yang belum bisa melupakan masa lalu tergoda untuk mengambil kesempatan bersama lagi dengan Yoza. Apalagi Yoza pun terang-terangan mendekati dan terlihat belum bisa melupakannya. Nana yang mencium gelagat tak baik ini sudah berusaha mengingatkan. Dias juga jelas-jelas memiliki perasaan khusus dan mengharapkan Lara. Sampai suatu hari, sebuah kejadian mengubah segalanya, memosisikan Lara, Yoza, dan Clara pada pilihan sulit. Sementara di lain pihak, Dias akan pergi untuk waktu yang lama demi mengejar impiannya.

REVIEW:
    “Aku mencintaimu bukan karena kamu baik atau buruk. Aku mencintaimu karena kebahagiaan yang kurasakan saat bersamamu berbeda dengan kebahagiaan yang kurasakan saat bersama orang lain. Aku mencintaimu karena aku hanya mencintai kamu.” (hlm. 247)

    “... Tuhan mematahkan hatiku untuk menjadikan sesuatu yang lebih baik. Untuk menjadikanku orang yang lebih layak dicintai.” (hlm. 253)

    Pertama, saya ingin membahas mengenai penokohan. Novel ini menggunakan POV orang pertama, yaitu Lara. Pilihan yang menarik dan menantang jika dilihat dari sisi penulis yang notabene pria. Sekaligus tepat, karena sesuai judul dan fokus cerita, akan lebih terasa feel-nya jika dikisahkan dari sudut pandang Lara. Menurut saya, Dadan Erlangga juga berhasil menggambarkan emosi, cara berpikir, dan gaya berpenampilan dari sudut pandang seorang wanita cantik, cerdas, energik, berharga diri tinggi, dan terkesan dingin seperti Lara. Perkembangan karakter Lara pun tergambar secara apik dan logis. Di bab awal, saya kurang bersimpati dengan gaya hidup dan kisah cinta Lara dewasa lewat kebiasaan clubbing dan berkencan singkat dengan pria-pria tampan, tapi terkesan dia tetap merasa kesepian. Namun seiring cerita bergulir dan terkuak masa lalunya yang kelam, saya bisa memahami perubahan karakternya ketika dewasa. Saya juga suka dengan dedikasi dan profesionalitas Lara dalam pekerjaan. Lara pun jadi salah satu karakter perempuan kuat yang saya sukai.

    Sedangkan dari sisi tokoh pria, ada Dias dan Yoza. Jika ditilik dari segi fisik, tipikal pria-pria tampan yang sulit ditepis pesona mereka. Yoza yang semasa SMA merupakan siswa berprestasi, ketua OSIS, jago basket, dan anak band. Kini pun pesona kematangannya makin menonjol lewat seragam pilot. Men in uniforms usually look hot, don’t they? Apalagi dia adalah cinta tak terlupakan Lara. Tapi, Dias nggak kalah memesona. Dengan wajah yang sekilas mirip Liam Hemsworth, sikap yang hangat, bisa masak, dan kadang tebar gombalan-gombalan receh, Dias jelas sosok menyenangkan meski kadang bisa keras kepala juga. Perkenalannya dengan Lara lewat insiden tak menyenangkan yang lantas berubah keakraban berjalan mengalir, membuat kisah terasa manis. Saya pribadi memang lebih memilih Dias ketimbang Yoza, apalagi momen-momen favorit dalam novel ini kebanyakan yang melibatkan Dias di dalamnya. Contohnya saja adegan nonton film berdua di kantor sekaligus tempat tinggal Lara yang mendadak menjadi sesi curhat dan diskusi film Before Midnight. Dunia perfilman menjadi salah satu topik yang akhirnya diangkat dalam novel, sekaligus sebagai bagian dari karakter Dias. Juga surat perpisahan Dias untuk Lara yang menyentuh sekaligus manis. Cara penggalian karakter yang cerdas dari penulis.

    Selain ketiga tokoh di atas, saya juga suka sekali dengan Nana, sahabat dekat Lara sejak SMP. Keduanya sudah melewati banyak hal, termasuk momen-momen terburuk dalam kehidupan masing-masing sehingga logis jika mereka sangat memahami dan mendukung satu sama lain. Nana pun sosok rekan kerja yang asyik, terkait profesinya sebagai pemilik butik The Ariana’s sekaligus perancang gaun pengantin langganan Cherish Wedding. Ada juga sosok Clara, ‘rival’ masa kini Lara terkait Yoza. Clara yang cantik dan perfeksionis berprofesi sebagai pramugari. Dia adalah salah satu klien Cherish Wedding paling ‘sulit’ yang sebentar lagi menjadi istri Yoza. Penggambaran karakter Clara konsisten sejak awal hingga akhir dan alasan pemilihan namanya yang terkesan mirip Lara pun ternyata menyimpan kejutan di pertengahan cerita. Tak kalah berkesan bagi saya adalah sosok mama dari Lara, Tante Rahma, yang awalnya terkesan keras, tapi membuat saya menitikkan air mata di sebuah momen masa lalu. Sosok wanita dan ibu yang selalu melakukan yang terbaik untuk anaknya, meski harus dicap kejam dan egois. Dan terakhir, tokoh Zaky, yang memiliki orientasi seksual berbeda tapi sebuah keputusan lantas mengubah hidupnya. Sosok yang menarik meskipun tak menjadi sorotan utama. Hadir juga tokoh-tokoh lain yang mendukung plot dengan baik, seperti Monik, Om Topan, teman-teman semasa SMA hingga karyawan-karyawan Lara.

    Mengenai alur yang digunakan, pilihan tepat menggunakan alur campuran maju-mundur. Lara mengorek luka lewat kenangan masa lalu dan kisah cinta masa remajanya yang pilu, juga mengungkap sedikit kehidupan cinta Nana yang tak kalah rumit. Seting Bandung tempo dulu pun bisa tergambar baik lewat kenangan masa muda Lara-Yoza. Ditampilkan juga spot-spot favorit dan tren anak muda masa itu, seperti lagu-lagu yang sedang hit lewat pertunjukan band Yoza dan kawan-kawan. Sedangkan seting Bandung masa kini dihadirkan lewat deskripsi kerja tim Cherish Wedding, spot wedding venue yang menjadi pilihan klien, dan semacamnya. Detail penggambaran profesi Lara dengan usaha wedding planner-nya juga apik, menyisipkan filosofi kerja lewat interaksi dialog dengan klien, beberapa istilah khusus juga hadir. Saya sampai googling terkait perbedaan mendasar wedding planner dengan wedding organizer karena sempat disinggung beberapa kali dalam cerita. Sebagai pembaca yang awam tentang hal ini, saya puas dengan pemaparan penulis.

    Novel ini juga memiliki plot yang rapi. Dibuka dengan prolog yang puitis, menggambarkan rasa sepi dan trauma dari luka hati yang masih tertinggal, otomatis membuat saya penasaran dengan kisah kelam apa yang disembunyikan. Lantas saya diajak mengenal dan menyelami sosok Lara dan tokoh-tokoh lain. Kejutan demi kejutan dihadiahkan pada pembaca, mengungkap satu per satu rahasia seorang Lara hingga tiba di rahasia akhir yang tak terduga. Meskipun ada plot yang bisa saya tebak, tapi penulis menyuguhkan plot twist yang mencengangkan dan momen-momen di mana aura kelam itu sangat terasa. Saya dibikin syok dan bisa merasakan penderitaan dan penyesalan para tokoh. Terasa juga gejolak emosi Tante Rahma di rumah sakit di adegan jelang akhir. Ikutan gemas banget dengan sikap keluarga Yoza. Menyentil tabiat pejabat juga, nih, hehe... Adegan akhir pun favorit banget. Ending yang logis dan memuaskan.

    Secara keseluruhan, ini merupakan perkenalan saya dengan karya penulis yang berkesan. Saya sangat puas dengan eksekusi cerita yang disuguhkan; sebanding dengan ekspektasi pembaca jika menilik kover buku yang cantik, juga judul dan blurb yang menarik. Semua elemen disajikan dengan porsi yang pas. Chemistry antartokoh terasa. Nggak terlampau drama tapi tetap emosional dan ada sisi-sisi manisnya juga. Risetnya nggak main-main. Detail deskripsinya memuaskan. Terlihat sekali penulis piawai memilah mana yang harus ditonjolkan, mana yang tidak perlu (pujian juga untuk proses editing, nih). Bagi kamu pencinta novel romance-metropop, wajib deh baca karya yang satu ini. Bagi yang sedang patah hati, baca ini bisa bikin kamu nggak takut untuk jatuh cinta lagi :)



Selasa, 06 Maret 2018

Judul buku          : Berjalan Jauh
Penulis                : Fauzan Mukrim
Editor                 : Windy Ariestanty & Gita Romadhona
Penerbit              : Penerbit KataDepan
Tahun terbit         : Januari 2018, cetakan pertama
Tebal buku          : vi + 244 hlm; 13 x 19 cm

BLURB:
    “... Yang terpenting sebenarnya bukan seberapa jauh kau pergi, atau seberapa berbahaya tempat yang kau datangi itu, melainkan seberapa dalam kau bisa menemukan dirimu di mana pun kau berada.”

    Dalam Berjalan Jauh, kau akan menemukan banyak sisi cerita. Bisa jadi, sebenarnya kau sudah mengakrabinya, meski ketergesaan membuatmu gampang lupa.

    Berjalan Jauh
adalah rasa rindu yang disimpan dalam catatan-catatan hangat sekaligus doa yang panjang tentang masa depan yang masih dalam angan.

    Berjalan Jauh
berisi banyak cinta yang bisa kau gunakan dalam segala cuaca.

Sinopsis & Review:
    “Itulah mengapa aku menulis ini, Nak. Untuk mengenang kebaikan-kebaikan kecil orang lain yang mudah sekali terlupakan.” (hlm. 6)

    “Mel Gibson, bintang film Hollywood yang badannya besar itu pernah berfatwa, “Bila engkau ingin mengetahui titik lemah seseorang, biarkan saja dia berbicara sebanyak-banyaknya, sementara kau mendengarkan saja.” Dan, inilah aku melantur dan membual sepanjang ini, dengan tujuan yang sama: agar kau tahu kelemahanku.” (hlm. 55)

    Berisi lima puluh satu (51) judul, buku nonfiksi ini menyuguhkan bermacam sisi cerita. Disajikan ringkas, bahkan ada yang hanya dalam satu-dua halaman. Pemilihan judul ada kalanya sederhana tapi tetap menarik, dan ada juga yang unik. Meskipun menggunakan format seorang ayah yang bertutur kepada anak laki-lakinya yang masih kecil dalam catatan-catatan, ada kalanya penulis berusaha memandang suatu kisah dan mengambil hikmah atasnya dari sudut pandang orang lain. Sebuah usaha untuk berempati seraya menularkan pemahaman itu pada sang anak. Ada kalanya cerita yang dituturkan sederhana, dekat sekali dengan keseharian kita, tapi penulis mahir mengemasnya dalam gaya bercerita yang menarik, perumpamaan yang tepat, sekaligus menyisipkan pesan moral yang jelas dan mendalam. Mengingatkan kita akan kelalaian untuk mengambil ibrah atau tak sadar melupakan begitu saja berbagai hal di sekitar. Terkadang penulis lihai melibatkan kejadian yang sudah familier atau pernah kita baca dan dengar di media massa, tapi tak jarang juga mengangkat peristiwa bersejarah atau pengetahuan yang terlupakan atau kurang dikenal. Lantas, saya juga kerap dibikin terkaget-kaget dengan ‘twist’ alias kejutan di bagian akhir yang selintas tak terpikirkan di awal cerita.

    Penulis juga menuangkan kenangan berkesan masa silamnya baik yang membahagiakan maupun yang menyedihkan. Ibarat rasa rindu yang ingin dibagi dengan anaknya maupun pembaca. Juga harapan-harapan akan masa depan, lewat peristiwa-peristiwa yang dialami di masa kini. Tentu saja, dengan hikmah yang diselipkan. Beberapa hikmah disarikan juga dari ajaran agama.

    Membaca Berjalan Jauh, saya dibikin tertawa dan tersenyum lebar oleh cerita yang terkesan konyol, perumpamaan yang menggelikan tapi cerdas, sekaligus terenyuh hingga menitikkan airmata. Bahkan merasa tersentil juga dengan sindiran-sindiran tak langsungnya. Hampir semua cerita awalnya terkesan melantur dan melebar ke mana-mana, diselipi detail-detai yang terkesan tak berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan, tetapi saya menilai penulis sengaja melakukannya agar sang anak mengenalnya sedemikian rupa, hingga menemukan kelemahan, kelebihan, apa yang disukai dan tidak disukai.

    Saya suka semua ceritanya, tapi tetap ada yang lebih favorit dari yang lain. Sebut saja cerita berjudul “Hari yang Berat”, yang mengenalkan sosok berempati tinggi, meski kebaikannya terkesan sepele, yakni bersikap santun pada orang asing, yang bahkan tak bertatap muka dengannya secara langsung. Serupa dengan cerita “Suaka bagi Hal-Hal Baik”, tentang orang yang tanpa sadar telah melestarikan hal-hal baik dalam dirinya, di kala kebaikan itu mulai menjadi hal langka di negeri ini. Juga cerita “Dua Ayah yang Tidak Mengobrol Bola” yang tak saya duga mengangkat topik tentang hubungan ayah-anak yang diwarnai kekecewaan akan pola pengasuhan yang salah. Menyentuh, membuat siapa pun berkaca akan hubungannya dengan orangtua sendiri, disertai hikmah mendalam yang tak terpikirkan. Dan cerita “Ikut Jumatan”, yang sangat singkat tapi langsung membuat saya tersentil dan teringat akan ibu saya. 

    Sebelum membaca hingga tuntas, saya tak berekspektasi tinggi terhadap buku ini. Tapi ternyata menjadi pengalaman membaca yang menyenangkan sekaligus menginspirasi. Blurb dan tagline-nya sesuai isi , yang banyak pula mengandung unsur parenting yang mendidik tanpa kesan menggurui. Membacanya bisa jadi tak bisa dalam sekali duduk dan pesannya membuat kita berpikir lama sesudah menamatkan. Saya juga yakin akan rela membaca ulang entah berapa kali lagi di masa yang akan datang. Fauzan Mukrim seems to be a good storyteller. Mungkin ada pengaruh juga dari profesinya sebagai jurnalis. Sekadar masukan, jika buku ini ada kelanjutannya, akan lebih menarik jika disertai koleksi foto pribadi atau ilustrasi keseharian ayah-anak.

Kutipan-Kutipan Favorit:
    Selain menghibur, Berjalan Jauh juga memuat pernyataan-pernyataan inspiratif, baik dari penulis sendiri, berkaitan dengan cerita yang dituturkan, maupun pernyataan orang lain termasuk dari tokoh-tokoh terkenal. Berikut adalah beberapa yang saya suka.

    “Kita kaktus, Nak. Itu artinya kita akan bertahan, tanpa harus mengabaikan atau menganggap yang lain tak penting.” (hlm. 21)

    “... sesuatu yang terlihat tidak efisien, memperlambat atau menyiksa, sering kali diperlukan untuk melatih diri kita sehingga terhindar dari kutukan zona nyaman. Zona yang ujung-ujungnya hanya akan membawa kerusakan dan silang sengkarut.” (hlm. 59)

    “... betapa sering kita memelihara rubah dalam diri kita. Ketika kita kehilangan kuasa pada sesuatu, kita menyalahkannya. Atau setidaknya merendahkannya bahwa dia memang sama sekali tak berarti untuk kita. “ (hlm. 75)

    “Pagliacci dalam diri kita lalu pergi menemui dokter, atau siapa pun yang kita anggap pintar, yang justru menyarankan kita untuk bertemu dengan diri kita sendiri. Itulah jalan kebahagiaan. Kita tahu arahnya. Kita hanya sering kali lupa. Sering kali merasa teralienasi.” (hlm. 101)

    “Sayangi ibumu selalu. Untukmu, dia telah menyediakan dua tempat terbaik. Sembilan bulan dalam perutnya dan seumur hidup dalam doanya.” (hlm. 115)

    “Keberanian adalah ketakutan yang sudah berdamai.” (hlm. 133)

    “Untuk meraih impianmu, cukup dengan menempatkan kedua kakimu bergantian di depan.” (hlm. 150)

    “Kata film Korea, kau tak akan pernah tahu kesedihan seorang ayah, karena airmatanya hanya akan menetes di gelas kopinya.” (hlm. 221)

    “Berkotor-kotor berkeringat untuk memenuhi piring nasi orang yang dicintai dengan makanan yang halal, adalah sebenar-benar panggilan jiwa.” (hlm. 232)
   

Soulmate in Samarkand: Pencarian Cinta Sejati dan Jati Diri

Posted by Menukil Aksara | 1:35:00 PM Categories:
Judul buku                : Soulmate in Samarkand
Penulis                      : Astrid Tito & El Devi
Editor                       : Birulaut
Penerbit                    : RDM Publishers
Tahun terbit               : Februari, 2018, cetakan pertama
Tebal buku                : 233 hlm.

BLURB:
    Wanita cantik itu membuka syal yang melingkari leher jenjangnya. Ia memperlihatkan tato barunya. Gambar dua sayap dengan nama Wangsa Cahaya terpatri di lambang itu. Gambar abadi itu ia sematkan dengan cinta di kulitnya yang seputih susu.

    Tapi ekspresi Wangsa justru di luar dugaan. Ingatan Wangsa malah tertarik seutuhnya pada pesan sang paman. “Pasangan jiwamu sangat cantik. Ia akan melindungimu dengan ‘sayap’nya.” Apakah Caroline, wanita di hadapannya-lah yang ditakdirkan menjadi pasangan jiwanya? Seperti tato bergambar sayap itu?

    “It’s my first tattoo, My first love. Aku sengaja menaruhnya di leher, agar kamu begitu dekat. Aku yakin, Daddy pasti mengizinkan hubungan kita sampai kita menikah.” Ucap Caroline lagi. Namun perjalanan Wangsa ke Samarkand mengubah segalanya.

    Di bumi Uzbekistan itu ia terpesona dengan Nicol, street musician cerdas. Jatuh hati pada Zilola, wanita sexy yang kaya raya. Serta takluk pada Amaranggana, wanita cantik dan gesit, namun bisu dan tuli.

    Lalu, siapakah pasangan jiwa Wangsa yang sebenarnya? Ini bukan sekedar kisah pencarian pasangan jiwa. Ini adalah kisah pencarian cinta sejati dan jati diri.

Sinopsis:
    “Apa yang telah terjadi adalah takdir-Nya. Badai datang, maka pepohonan akan memperkuat akarnya.” (hlm. 126)

    “Semua bayi harus jatuh dulu sebelum bisa benar-benar berdiri.” (hlm. 159)

    Wangsa Cahaya yatim piatu semenjak kanak-kanak. Dia tumbuh besar bersama pamannya, Wangsa Cakra yang sekaligus mengajarinya ilmu beladiri pencak silat. Sebenarnya, Wangsa adalah nama klan keluarga dan anggota keluarga yang lain disapa dengan nama kedua, kecuali Wangsa Cahaya yang disapa Wangsa. Menginjak remaja, Wangsa menuai berbagai prestasi sebagai atlet pencak silat nasional, bahkan di kompetisi tingkat internasional. Namun, Wangsa tak puas, apalagi ketika merasa negara kurang mengapresiasi profesi atlet. Dia pun memutuskan berpindah kewarganegaraan dan mencoba peruntungan sebagai stuntman dalam film-film Hollywood lewat seorang relasi. Itu pun tak terlampau lama, ketika dia tergiur tawaran seorang konglomerat Indonesia untuk menjadi bodyguard putri kesayangannya yang seorang supermodel dengan bayaran sangat tinggi. 

Kemewahan hidup melenakan Wangsa dari aturan-aturan agama, demikian juga kedekatannya dengan putri sang konglomerat, Caroline. Ia nyaris melamar Caroline, ketika gadis cantik itu menunjukkan tato bergambar sayap dengan ukiran nama Wangsa di bagian tubuhnya. Wangsa mendadak teringat pernyataan Paman Cakra, menyusul kabar mengejutkan mengenai sang paman yang terbaring di ruang intensif sebuah rumah sakit. Yang lebih menyesakkan, Paman Cakra kemudian meninggal secara tragis tanpa Wangsa ketahui dengan pasti penyebabnya. Berbekal wasiat sang paman untuk menyerahkan sebuah plakat kepada Wangsatanu Sulaymanov di Samarkand, bertolaklah Wangsa ke bumi Uzbekistan, meninggalkan Caroline yang mendendam.

Baru menjejakkan kaki di Samarkand, Wangsa berkenalan dengan Zilola, seorang gadis cantik kaya raya dalam sebuah insiden. Ketika akhirnya berhasil menemukan perguruan di mana Wangsatanu Sulaymanov berada, Wangsa justru dibuat bingung dengan sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkan, namun tak mampu dijawab dengan benar. Begitu juga dua laki-laki dan seorang perempuan yang sempat menyerangnya tiba-tiba di perguruan. Merasa dipermainkan, Wangsa pun pergi sebelum sempat menyerahkan plakat.
Selepas itu, Wangsa bertemu seorang seniman jalanan cerdas yang mengaku bernama Nicol. Tak disangka, Wangsa kehilangan segala harta benda sesudah kebersamaan singkat dengan Nicol, diikuti perkenalan dengan Boris dan Levi, yang menambah masalah. Wangsa pun terlunta-lunta di jalanan, hingga di titik terendahnya tiga orang dari perguruan Sulaymanov yang pernah beradu fisik dengannya menemukan dan menolong. Temur Bek, Ammer de La Ray, dan Amaranggana, mereka ternyata murid-murid Wangsatanu Sulaymanov. Seiring waktu, Wangsa mulai berbaur dan berguru di perguruan Sulaymanov. Bahkan dia memiiki ketertarikan pada Amara, gadis bisu tuli misterius yang selalu bersarung tangan hitam, berilmu beladiri tinggi dan berpakaian ala ninja namun berhati emas.

Hingga sebuah pemaparan tentang jati diri Wangsatanu Sulaymanov, latar belakang Klan Wangsa yang berseteru dengan Klan Hassis, juga rencana perjodohan Wangsa dengan Amara, membuat Wangsa  tak bisa menerima begitu saja. Dia memilih menjauhkan diri sementara waktu ke Tashkent, di mana dia kembali berjumpa Zilola. Tapi kehadiran Levi dan terbongkarnya kedok Zilola dan Levi, menyusul sebuah pertarungan sengit memaksa Wangsa kembali ke perguruan Sulaymanov dalam kondisi fisik yang tak lagi sempurna. Wangsa nyaris putus asa karena tak bisa menerima takdir-Nya. Sedangkan Amara, Temmur, dan Ammer terus berusaha membangkitkan kembali semangat hidup dan menyadarkan Wangsa. Hingga suatu hari, terungkaplah rahasia masa kecil Wangsa yang berkaitan dengan Amara. Wangsa pun harus memilih, apakah melanjutkan perjuangan keluarga untuk membasmi mafia besar Klan Hassis atau kembali ke kehidupan lamanya yang bergelimang harta dan akrab dengan maksiat.

REVIEW:
    “Hidup memang permainan semata. Tapi bukan untuk dimain-mainkan... “ (hlm. 146)

    “... Setiap tekanan, setiap kesedihan dan setiap kekecewaan yang diberikan-Nya, sama sekali bukan untuk melemahkan dan menghancurkan manusia. Sebaliknya, malah membuat kita lebih kuat. Tekanan semakin besar, maka kekuatan semakin besar. Akhirnya akan menghancurkan semua batu dalam hidup.” (hlm. 203)

    Mengenai karakter tokoh utama, Wangsa Cahaya, saya antara tidak suka dengan bersimpati atas perjalanan hidupnya. Dia sosok yang lemah bila menyangkut harta dan perempuan cantik. Fisiknya yang rupawan, dibekali kemampuan beladiri memang logis menjadi ujian bagi dirinya sendiri maupun para wanita. Tapi perkembangan karakternya menjadi fokus dan pesan moral utama cerita sehingga bisa saya terima. Saya suka dengan sosok Paman Cakra dan Kakek Sulaymanov yang bijak dan meletakkan pondasi prinsip bagi Wangsa, meski seringkali dilanggar juga, hehe... Dan, tokoh yang paling favorit tentu saja Amara, gadis dengan penampilan tak biasa, mampu mengubah kekurangannya menjadi kelebihan. Karakter perempuan yang kuat.

    Seting di beberapa kota, Jakarta, Sumedang, Singapore city, hingga Tashkent dan Samarkand jelas menarik. Pilihan POV orang ketiga pun membuat penulis leluasa mendeskripsikan detail seting, beserta nuansa religi, sejarah, budaya, dan kuliner yang menyatu dengan plot cerita. Karena salah satu penulis pernah berkunjung ke bumi Uzbekistan, menurut saya ‘rasa’ yang disisipkan menjadi poin plus. 

    Alur cerita cepat, menggunakan campuran alur maju-mundur dengan jalinan plot yang cukup kompleks. Ibarat kepingan puzzle yang harus saya satukan satu per satu untuk menyusun gambaran utuh cerita yang menarik. Alur cepat ini selain jadi poin plus, berisiko juga sebenarnya, terutama bisa jadi membuat pembaca kurang terikat dengan emosi tokoh. Di momen sedih, misalnya, kadang terasa cepat lewat dan kurang gereget. Meski saya turut merasa sangat gemas setiap kali Wangsa diberi ujian hidup, lantas harus disemangati dan disadarkan orang-orang terdekat. Memang bandel sih, ya, Wangsa ini, hehe...

    Diksi yang digunakan mudah dipahami, dialognya natural dengan sedikit unsur bahasa asing sesuai karakter tokoh. Hanya saja, saya masih mendapati typo, kesalahan ejaan, dan kalimat-kalimat yang menurut saya bisa lebih efektif. Deskripsi seting maupun karakter tokoh juga seharusnya bisa lebih ‘showing’ ketimbang ‘telling’.

    Secara keseluruhan, novel ini bertema dan berpremis menarik, menawarkan petualangan dan aksi membasmi mafia narkoba yang seru. Pesan moral bagus, beberapa di antaranya mengutip ayat dan hadits. Ending-nya juga logis dan bisa saya terima. Recommended bagi para pembaca penyuka genre religi dengan sentuhan yang beda dan kadar romance yang tidak dominan.

Kamis, 01 Maret 2018

Salt to the Sea: Tragedi Terlupakan dan Korban Perang yang Terbungkam

Posted by Menukil Aksara | 12:23:00 PM Categories:
Judul buku           : Salt to the Sea
Penulis                 : Ruta Sepetys
Alih bahasa          : Putri Septiana Kurniawati
Editor                  : Fidyastria Saspida
Penerbit              : PT Elex Media Komputindo
Cetakan              : pertama, 2018
Tebal buku          : 369 hlm.

BLURB:   
    Tahun 1945. Perang Dunia II merambah Prusia Timur. Jutaan pengungsi pergi mencari tempat aman. Di antara mereka terdapat empat orang dengan kisah dan rahasia yang berbeda.

    Takdir mempertemukan keempatnya di Wilhelm Gustloff, kapal megah yang menjadi tempat mereka menggantungkan harapan bersama lebih dari sepuluh ribu penumpang lainnya.

    Tapi sebelum kebebasan sempat diraih, tragedi besar pun terjadi. Tak peduli dari negara mana mereka berasal dan status apa yang mereka sandang, ribuan penumpang kapal harus berjuang keras melakukan satu hal: bertahan hidup.

SINOPSIS:
    “Kami para penyintas, bukanlah saksi yang sesungguhnya. Para saksi sesungguhnya, yang tahu kebenaran yang tak terungkapkan, adalah orang-orang yang tenggelam, mati, dan menghilang.”
--Primo Levi

    “Jerman menginvasi Rusia tahun 1941. Selama empat tahun terakhir, kedua negara itu sudah melakukan kekejaman yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tidak hanya ke satu sama lain, tapi juga ke penduduk sipil tak bersalah yang menghalangi jalan mereka.”
(hlm. 21)

    “Kecemasan semakin meningkat di pelabuhan seiring setiap menit yang berlalu. Ada rumor yang beredar bahwa garis depan Jerman sudah tumbang dua minggu lalu... Komando Tertinggi Jerman segera mengatur evakuasi besar-besaran lewat jalur perairan. Mereka menyebutnya Operasi Hannibal... “ (hlm. 61)

    Berlatar tahun 1945 di masa Perang Dunia II berkecamuk. Joana, seorang perawat muda berkebangsaan Lituania yang pernah menjalani pelatihan medis di Insterburg berada dalam perjalanan pengungsian, mencari tempat aman dari serangan militer Rusia. Dia tak sendirian. Bersama rombongan kecil yang di dalamnya ada seorang gadis buta bernama Ingrid, seorang bocah lelaki yang dijuluki pengembara kecil bernama Klaus, wanita bertubuh raksasa yang gemar berkata-kata kasar tapi diikuti kata ‘maaf’, dan Pak Tua Heinz si pujangga sepatu. Ketika sedang berlindung di sebuah lumbung, rombongan ini dipertemukan dengan dua pengelana asing; seorang pemuda misterius berpakaian sipil memegang pistol dan seorang gadis berambut pirang dan bertopi rajut merah muda. Pemuda itu adalah Florian, yang terlibat satu rahasia besar negara, merupakan murid restorasi sang direktur museum Konigsberg, Dr. Lange, dan mengenal petinggi Nazi, Erich Koch beserta harta berharga Ruang Amber. Dia tak mau jujur tentang identitasnya kepada siapa pun, sehingga mengundang curiga, terutama Eva yang menuduhnya seorang pembelot dan Ingrid yang menyebutnya pencuri. Sedangkan Emilia adalah warga Lwow, Polandia, yang sempat mengungsi ke Nemmersdorf dan sebatang kara. Sudah diketahui umum bahwa Hitler sangat merendahkan bangsa Polandia bahkan membantai mereka. Oleh karenanya, kehadiran Emilia tak diinginkan dalam rombongan.

    Walaupun Joana sudah membantu mengobati luka seriusnya, Florian tetap bertekad pergi memisahkan diri dari rombongan. Emilia yang semenjak diselamatkan dari tentara Rusia oleh Florian menganggapnya kesatria penyelamat, tak mau ditinggalkan dan membuntuti. Namun takdir ternyata mempertemukan keduanya kembali dengan Joana dan rombongannya. Joana dan Florian bahkan dikejutkan oleh fakta baru yang terungkap mengenai kehamilan Emilia yang ditutup-tutupi. Emilia sempat menyebut-nyebut nama August, yang diduga kekasihnya oleh anggota rombongan. Sesudah bermalam di sebuah estat terbengkalai, rombongan ini melanjutkan perjalanan menuju laguna es. Mereka harus melewati pos pemeriksaan desa terdekat sebelum menyeberangi laguna, bersama jutaan pengungsi lain yang mulai berdatangan pasca dikeluarkannya perintah evakuasi Operasi Hannibal. Emilia yang tak memiliki berkas, diminta menyamarkan diri sebagai wanita Latvia dengan identitas yang ditemukan Joana. Florian pun menyiapkan berkas rahasia penting agar lolos dari pemeriksaan. Hal ini membuat anggota rombongan semakin penasaran akan siapa sebenarnya Florian.

    Di laguna es, tragedi terjadi. Pesawat-pesawat tempur Rusia membombardir sehingga ada bagian es yang retak, bahkan menewaskan pengungsi yang sedang menyeberang. Tak ada waktu berduka. Mereka harus terus berjalan demi bertahan hidup. Dan ketika Florian berhasil mendapatkan perahu untuk menuju Gotenhafen, Joana dan rombongan menguntit dan menuntut ikut. Sesampainya di pelabuhan, jutaan pengungsi berdesakan, berebut tempat di kapal-kapal yang disiapkan untuk mengangkut mereka. Rombongan kecil Joana bertekad tak akan terpisahkan. Florian yang merasakan ketakutan tersendiri akan identitasnya yang bisa terbongkar dengan penjagaan yang lebih ketat, memanfaatkan Alfred, seorang pelaut muda yang tampak ambisius mendapatkan pengakuan tapi bodoh. Lewat bantuan Alfred dan beberapa orang lainnya, Florian berhasil menaiki Wilhelm Gustloff menggunakan karcis kapal palsu. Seorang prajurit berwenang sempat mencurigainya tapi dia berhasil lolos dari interogasi. Di atas kapal pun, Florian memilih bersembunyi di tempat yang tak umum, bukan bergabung dengan penumpang lain. Joana mendapatkan kemudahan akses berkat keahlian medisnya yang dibutuhkan dokter yang bertugas.

    Di atas kapal, Emilia secara tak diduga menjalani persalinan dini dan melahirkan seorang bayi perempuan. Di saat inilah rahasia tentang apa yang dialaminya di Nemmersdorf terungkap. Di lain sisi, Joana marah atas kebohongan Florian kepada prajurit berwenang yang melibatkan namanya. Meski demikian, dia memutuskan percaya bahwa Florian bukan pria jahat, apalagi setelah menyaksikan kebaikannya pada Emilia dan bayinya. Ketika gelagat buruk menunjukkan kehadirannya telah terendus Koch, Florian mempersiapkan diri lebih baik. Namun, kapal tiba-tiba oleng, lampu darurat menyala, alarm berdering, menyusul suara bum hebat. Florian dan yang lain segera tahu bahwa Wilhelm Gustloff akan karam, membawa serta lebih dari sepuluh ribu penumpangnya. Jerit kepanikan dan huru-hara pun terjadi. Para pengungsi berlomba-lomba menuju sekoci penyelamat demi hidup masing-masing. Tapi tak semua orang beruntung dengan nyawanya.

REVIEW:
     “Selama berminggu-minggu dalam pelarian, aku membayangkan semua kemungkinan. Aku sudah memperhitungkan bermacam cara aku akan mati... Tapi aku tidak pernah membayangkan kejadian ini. Bagaimana bisa kita melawan penderitaan berkepanjangan yang begitu menyiksa dengan mengetahui bahwa kita akan menyerah pada lautan?” (hlm. 337)

    Seingat saya, ini adalah kali pertama saya membaca novel fiksi sejarah karya penulis luar, apalagi dengan tokoh utama berusia belasan hingga awal dua puluhan tahun. Gaya berceritanya pun terbilang menarik. Dikisahkan secara naratif menggunakan sudut pandang orang pertama secara bergantian dari empat tokoh utama yang berbeda bangsa dan status: Joana, Florian, Emilia, dan Alfred. Tidak ada pembagian memakai bab, melainkan per tokoh bergiliran, terbagi dalam beberapa fragmen pendek yang dalam edisi terjemahan ini hanya menghabiskan satu hingga dua halaman. Semua adegan dan sisipan fakta-fakta sejarah yang terjadi selama Perang Dunia II digambarkan oleh masing-masing tokoh, melibatkan emosi yang mereka rasakan. Ruta Sepetys ingin pembaca melihat perang dari mata anak-anak muda dari negara yang berbeda, yang dipaksa meninggalkan semua yang dicintai. Saya sangat menghargai pilihan ini. Meski  demikian, pilihan ini juga mengandung risiko. Sebagai contoh utama adalah ketika konflik mencapai klimaks, yakni detik-detik tatkala Wilhelm Gustloff karam dan ribuan penumpangnya berjuang melawan kematian, saya kurang bisa merasakan aura mencekam secara klimaks. Bukan karena deskripsi dan diksinya kurang bagus, tapi menurut saya ini disebabkan narasi yang digunakan lewat empat orang berbeda secara bergantian, secuil-secuil. Ibarat ketika menonton film, kamera beralih-alih sorotan, dari Joana, ke Florian, ke Emilia, lantas ke Alfred dalam jangka waktu singkat. Ketika saya sedang siap terhanyut oleh emosi satu orang, tiba-tiba sudah harus berpindah emosi ke orang lainnya yang tentu saja berbeda auranya. Ini memang cukup memengaruhi emosi saya saat membaca.

    Deskripsi seting secara keseluruhan mendetail, tak perlu diragukan keotentikannya, terutama riset yang dilakukan Sepetys untuk novel ini tidak main-main. Butuh waktu bertahun-tahun dengan mengunjungi langsung kota-kota dan tempat-tempat kejadian, juga menemui dan mewawancarai narasumber yang menjadi saksi hidup sejarah. Salut dengan dedikasi ini. Dan, menurut penilaian saya setelah membaca catatan penulis di akhir, keempat tokoh utama dan beberapa tokoh lain dalam cerita sebenarnya terinspirasi dari tokoh-tokoh nyata yang sempat mengalami sendiri maupun diceritakan saksi sejarah yang masih hidup.

    Jika ditanya siapa tokoh favorit, saya sedari awal sudah bersimpati kepada Emilia. Meskipun seorang diri, ketakutan, masih sangat muda, dan menanggung beban berat, meminjam julukan Florian, Emilia memang sosok pejuang hingga akhir. Selain itu, kehadiran sosok kanak-kanak, Klaus si pengembara kecil juga mengaduk-aduk emosi. Tokoh seperti Heinz si pujangga sepatu pun sangat berkesan, walaupun dia tidak menjadi sorotan utama. Secara keseluruhan, Sepetys berhasil menciptakan masing-masing tokoh beserta rahasia yang diungkapkan perlahan, menjaga keingintahuan pembaca hingga akhir. Bahkan Alfred yang kurang saya sukai sejak awal karena tidak jelas perannya, menyuguhkan kejutan tak terduga, terutama mengenai sosok Hannelore yang kerap disebutnya. Keempat pemuda ini mewakili sosok-sosok manusia biasa yang putus asa akan masa depan tapi diam-diam menyimpan sisa-sisa harapan akan kehidupan yang lebih baik usai perang. Rasa kehilangan mereka akan tanah air dan orang-orang terkasih pun terasa. Yang meleset dari tebakan awal saya justru kisah mereka di atas kapal yang saya kira akan lebih panjang durasinya dibandingkan kisah selama perjalanan darat, juga nasib misi rahasia Florian terkait Ruang Amber.

    Ini merupakan pengalaman membaca yang berkesan dan menginspirasi. Dengan membaca fiksi sejarah, apalagi yang mengangkat sejarah dunia semacam ini, pembaca diajak bersatu dalam bermacam kisah, pembelajaran, dan kenangan dari berbagai belahan dunia yang mungkin terlupakan. Saya juga jadi belajar dari masa lalu, mengenai bagaimana perang dan dampaknya secara luas. Terjemahan bahasa Indonesianya pun memuaskan dan terdapat 'bonus' peta di dalam buku. Truly recommended.

    “Saat para penyintas telah tiada, kita tidak boleh membiarkan kebenaran menghilang bersama mereka.”
    --Ruta Sepetys


 
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube