Rabu, 03 Desember 2014

Ibu Sang Matahari Kami

Posted by Menukil Aksara | 6:39:00 AM Categories:
foto hasil gugling

Ibu. Satu kata panggilan yang pasti sangat akrab di telinga anak manusia mana pun di dunia. Siapa yang terlahir ke muka bumi tentulah beribu, memiliki sesosok wanita yang mengantarkan kehadiran ke dunia fana. Rahim seorang ibulah yang dititipi Sang Khaliq sebagai tempat berdiam, berlindung, sebelum siap menyongsong kehidupan yang rentan akan ujian.

    Sebagai makhluk Allah yang menetapi kodrat penciptaan, seorang perempuan dianugerahi kekuatan, baik fisik maupun psikis yang dalam hal-hal tertentu melampaui laki-laki. Simak saja sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa laki-laki pun tak sanggup menanggung rasa sakit selama proses melahirkan, yang bisa diukur tingkat sakitnya lewat kecanggihan instrumen penelitian masa kini. Pun, perempuan dianugerahi air mata yang menjadi sumber kekuatan ketika persoalan pelik hidup menerjang.

    Mengutip pemaparan Rena Puspa dalam buku Bahagia Ketika Ikhlas, “Ibarat seorang calon tentara yang akan dilantik menjadi tentara, dia harus terlebih dahulu menjalani masa karantina dan penggemblengan. Begitu juga yang terjadi pada seorang calon ibu. Melalui proses kehamilanlah masa penggemblengan menjadi seorang ibu itu dimulai, dan saat kelahiran merupakan proses lulusnya calon ibu, menjadi fase awal menjadi seorang ibu yang sesungguhnya.”

    Risiko kematian yang bisa saja menimpa pada seorang calon ibu selama proses melahirkan, tak pelak kerap memunculkan ketakutan luar biasa. Di lain sisi, ketakutan luar biasa justru akan membuat proses kelahiran tidak lancar, karena otot-otot pada daerah vagina dan panggul yang berguna untuk menopang keluarnya si janin berubah menegang dan mengeras—alih-alih lentur, sehingga mengganjal keluarnya kepala bayi. Bayangkan pula rasa sakit yang justru kian terasa.

    Ini masih risiko selama proses kehamilan dan melahirkan. Sesudah sang anak lahir, tumbuh, berkembang, berderet persoalan akan muncul.  Wajar saja jika Allah menganugerahi berbagai macam hormon (antara lain estrogen, progesteron, oksitosin, dan dopamin) yang berhubungan dengan tugas besar seorang ibu, yaitu memelihara, menyayangi, dan mendorong seorang wanita mengasah terus naluri keibuannya.

foto dari SINI

    Pengalaman hidup kita masing-masing bersama ibu tercinta sudah tentu tak sama. Bahkan, bisa jadi ada diantara teman-teman yang tak berkesempatan merasakan belaian hangat seorang ibu dalam waktu yang lama. Saya akan berbagi sekelumit kisah saya dan Ibu yang tak sempurna. Meskipun demikian, semoga tetap ada hikmah yang dapat dipetik darinya.

    “Ibu sudah tidak ingat lagi wajah Bapak. Mbah Kakung-mu katanya berkulit bersih, berwibawa, dan disegani oleh warga desa,” tutur Ibu.

    “Bapak tidak meninggalkan warisan berlimpah, hanya sepetak tanah yang sekarang berdiri rumah di atasnya.”

    “Mbah Putri nggak menikah lagi ya, Bu? Lalu bagaimana Mbah menghidupi anak-anaknya?”

    “Nggak. Mbahmu kerja serabutan asal bisa membeli makan dan membiayai sekolah. Mbah juga jualan jajan. Ibu dulu selalu membantu Mbah mengolah kripik pisang dari pohon pisang kami sendiri.”

    “Eka juga ingat, Bu. Sewaktu kecil, Eka sering melihat proses membuat kripik pisang di rumah Mbah.”

    Ingatan menarikku pada kenangan bertahun-tahun silam. Ah, rasa manis dan renyah kripik pisang buatan Mbah sangat kurindukan. Kini Mbah sudah tiada, akibat stroke di usia senja.

    “Kamu masih ingat Om Danang, tho? Anak dari Mbah Ratno, adiknya Mbah Putri?”

    “Oh, iya ingat,” sahutku seraya membayangkan Om Danang yang hitam manis berperawakan tinggi besar.

    “Dulu sewaktu Om Danang masih kecil, seumuran keponakanmu, Ibu yang membantu mengasuhnya.”

    “Oya? Sewaktu itu Ibu sudah besar kah? Kenapa Ibu yang mengasuh?”

    “Ibu seumuran anak SD. Om Danang itu dulu anak yang rewel, nyaris tiap malam dia tidak segera tidur. Hobinya mengajak Ibu main bola di rumah malam-malam. Kan saudaranya banyak, jadi tenaga Ibu dibutuhkan.”

    Aku mengangguk-angguk. Keluarga Mbah Ratno memang cukup berada, hasil jerih payah berdagang di pasar kota.

    “Mungkin Lik Ratno kasihan sama Ibu. Jadi Ibu sering disuruh bantu-bantu di rumahnya. Lumayan kan, dapat uang saku untuk menambah biaya sekolah,” Ibu menimpali.

    Perbincangan kami sore itu pastilah sangat membekas di hati Ibu. Ibu bertubuh paling kecil jika dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Entah itu faktor genetik ataukah jejak kerja keras Ibu semasa kanak-kanak.

“Kamu ingat kan sungai Bengawan Solo, beberapa ratus meter dari rumah Mbah Putri? Selepas mengajar di sekolah lama, Ibu dipindahtugaskan ke sekolah yang terletak di seberang sungai itu.”

    “Iya ingat, Bu. Namanya SDN Sranak, kan, ya? Nggak terbayangkan kalau Eka yang harus menyeberang sungai tiap hari ke sana. Perahunya juga kecil, dikayuh manual pula. Siang hari tentulah terik matahari sangat menyengat di sungai.”  
  Ibu tersenyum mengiyakan.

    Sebagai sosok yatim dari keluarga biasa, Ibu termasuk idealis. Bagi beliau, pendidikan adalah nomor satu. Kedua anak perempuannya juga harus berpendidikan tinggi. Ibu rela menyisihkan gaji untuk biaya pendidikan dan hidup sederhana. Maka ketika saya pernah gagal setia pada pilihan program studi di bangku kuliah, dan memilih menulis ketimbang bekerja kantoran usai menikah, Ibu jelas-jelas mengutarakan kekecewaannya. Tapi, sebagai seorang ibu, pintu maaf itu selalu terbuka. Kesabaran dan kasih sayang itu tetap mengucur deras.

Dan meski pernikahan Ibu tak berjalan mulus, perceraian tak menyurutkan idealismenya. Saya tahu betul mengapa Ibu terpaksa menyudahi ikatan dengan Bapak. Bahkan Ibu pun meminta ‘izin’ pada anak-anaknya yang tatkala itu telah beranjak dewasa ketika dihadapkan pada pilihan menyakitkan itu. Saya tak menampik jika Ibu bertahan dari kemelut rumah tangga yang tak berkesudahan demi anak-anaknya. Kami masih kecil, masih butuh Bapak, pasti itu alasan Ibu. Jadi, dari sisi mana saya berhak menghakimi Ibu sebagai sosok egois? Tidak, sama sekali bukan. Bahkan selama usia pernikahan yang panjang, bisa saya nyatakan bahwa Ibu telah banyak berkorban. Rumah yang kini kami diami, itu adalah hasil jerih payah pengabdian Ibu sebagai guru pemerintah dengan gaji yang jauh dari melimpah.

Walaupun saya dan Ibu tak sering mengucapkan kata sayang secara verbal, mengingat karakter kami yang sama-sama keras, namun bukti cinta itu bertebaran di sepanjang kehidupan kami. Maka, maafkan ananda, Ibu, jika hingga detik ini belum bisa membahagiakan seperti yang Ibu mau. Semoga segala pengorbanan Ibu dibalas lebih indah oleh Sang Maha Pemberi Balasan. Love you, Mom...
foto dari SINI



*Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera





6 komentar:

  1. Kadang sikap aja sudah mengalahkan srmuanya ya mbak. Ga perlu kata2 lg untuk menggambarkan kasih ibu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena kata-kata nggak cukup lagi menggambarkan :)

      Hapus
  2. Seringkali dalam sikap diam, ibu memendam banyak sekali beban hanya karena cintanya yang twelalu dalam buat kita anak-anaknya ya

    BalasHapus
  3. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube