Jumat, 21 Juli 2017

[RESENSI] Test Pack: Sejauh Mana Komitmen Membawamu

Posted by Menukil Aksara | 9:30:00 AM Categories:





Judul       : Test Pack
Penulis   : Ninit Yunita
Editor     : FX Rudy Gunawan
Penerbit: GagasMedia
Cetakan : keenam belas, 2013
Tebal      : xiv + 202 hlm; 13x 19 cm

BLURB:

Sebagian dari kita mungkin mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar, even mungkin karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dahulu, atau mendadak miskin.

    Will you still love them, then?
    That’s why you need commitment.
    Don’t love someone because of what/how/who they are.
    From now on, start loving someone,
    because you want to.


SINOPSIS:

  “Pernah menonton sebuah quiz dengan hadiah spektakuler sebesar 1 MILYAR RUPIAH di layar TV? Nama quiz tersebut adalah WHO WANTS TO BE A MILLIONAIRE dengan Tantowi Yahya sebagai host.
    “Dan... selama tujuh tahun, gua sering merasa sebagai orang yang duduk di kursi panas itu. Here’s the million dollar question: will I ever have a baby?”
(hal. 1-2)

    “Onde kucing tetangga gua itu memang nggak punya perasaan sama sekali. Kayaknya hanya sekali bertemu kucing jantan dan tadaaa! She’s got pregnant instantly. Now I hate cats more than anything in the world!” (hal. 53)

    “Siapa sih yang tidak menginginkan anak? Oke, terkadang anak kecil memang annoying. That’s why I hate kids sometimes. But the truth is... I want to have a baby from my wife, too. Pernah sih beberapa kali gue berimajinasi. Gue, Tata, dan si kecil yang mana gue menggendong si kecil dan Tata melingkarkan lengannya pada gue. Seperti iklan layanan masyarakat tentang keluarga berencana. Seminggu kemudian, gue mengambil hasil tes. Gue dinyatakan infertil.” (hal. 107)

    Arista alias Tata dan Rahmat Natadiningrat adalah pasangan suami istri yang telah tujuh tahun menantikan kehadiran anak. Layaknya wanita menikah yang telah melampaui usia 30 tahun pada umumnya (Tata berusia 32 tahun), Tata terobsesi untuk segera melahirkan anak. Atas alasan ‘takut’, dia belum memeriksakan diri ke dokter kandungan tentang kondisinya. Namun, segala upaya ‘alami’ telah rajin dia lakukan bersama suami. Pekerjaannya sebagai pengacara, yang sebagian besar mewakili klien untuk kasus perceraian, membuat Tata bersyukur pernikahannya bahagia, memiliki pasangan humoris yang dia cintai, kecuali tentu saja dalam hal mendapatkan momongan. Karena itulah impiannya tentang anak belum pupus. Sedangkan Rahmat yang seorang psikolog sekaligus konsultan pernikahan, juga kerap menemui pasangan yang bermasalah hingga berkonsultasi demi terhindarnya perceraian, dan dia bersyukur pernikahannya baik-baik saja.

Hingga suatu hari, ketika sahabat sekaligus rekan kerjanya mengabarkan tentang kehamilannya yang kedua, bersamaan dengan kehamilan orang-orang terdekat lain, Tata menjadi jauh lebih sensitif. Atas saran Dian sahabatnya, Tata pun akhirnya berkonsultasi pada dokter yang direkomendasikan. Lega, Tata kini memastikan kondisinya baik-baik saja, tidak ada masalah dengan kesuburan dan potensi untuk hamil ada. Sayangnya, tak demikian halnya dengan sang suami. Tak disangka, vonis infertil justru jatuh pada Rahmat. Fakta inilah yang kemudian mengubah segalanya. Tata dan Rahmat melalui masa sulit berdamai dengan kenyataan. Tata pun sempat menyatakan tak sanggup dan memilih menenangkan diri di rumah orangtuanya. Bagaimanapun, impiannya hancur seketika. Dia butuh waktu merenungkan kembali makna bahagia. Rahmat merasa menjadi manusia tak berguna dan suami yang patah hati. Pasangan ini menghadapi ujian terbesar atas cinta dan komitmen mereka dalam pernikahan.

REVIEW:

“Yang berbeda dari medis dan psikologis adalah bahwa dalam medis, setelah badan mati, nyawa tidak merasa sakit lagi. Dalam psikologis, ketika nyawa terluka, dia masih harus hidup dan merasakannya.” (hal. 15)

“Gue lalu memikirkan satu hal. Di luar sana ada jutaan pasangan yang susah setengah mati seperti kami untuk mendapatkan anak. Tapi tidak jarang kita melihat anak yang membentak orangtuanya. Anak yang manja, anak yang menyakiti orangtuanya. Sekarang gue tahu benar mengapa meski orang tua mencintai semua anak secara total, mereka juga sering kali, sakit hati.” (hal. 17)

“Tidak ada manusia sempurna sehingga kita semua tidak luput dari kesalahan. Di saat pasangan memiliki kelemahan, kita sering menyerangnya dengan ‘senjata’ yang kita miliki. Padahal kita tidak hidup di masa lalu. Kita hidup sekarang di mana senjata itu sudah tidak ada gunanya lagi.” (hal 111-112)

“Saat pasangan bercerai, I couldn’t help but wonder... have they forgotten the day when they fell in love?” (hal. 112)

“Banyak hubungan yang patah hilang dan berganti karena tidak memiliki komitmen. Orang sering mendasari cinta atas hal-hal yang dianggap indah. It may sound romantic dan melakukan hal tersebut bukan sesuatu yang salah... Jarang ada yang mengatakan: ‘Saya sayang dia karena saya ingin sayang dia.’ Itulah komitmen. Komitmen adalah sumber kekuatan bukan sesuatu yang justru membuat orang takut untuk menghadapinya.” (hal. 193-194)

Usai membaca blurb novel ini, sempat terpikir bahwa kisahnya akan melow. Lantas, saya juga membaca semua endorser, yang tersebar di backcover maupun halaman awal buku. Hmm... they wrote amazing comments about this novel. I’m interested. Then, tadaaa... when I read the first and the second chapter, I laughed instantly! Ninit Yunita yang juga adalah istri Adhitya Mulya ini ternyata punya selera humor yang bagus, pas dengan selera saya. Gaya berceritanya ringan, santai, dipadukan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari para tokohnya yang notabene para pekerja kantoran di Bekasi. Dia juga mampu menyisipkan adegan-adegan konyol yang berisi adegan ‘dewasa’, sindiran, maupun pertikaian pasangan suami-istri klien yang membuat saya tertawa sekaligus merana (karena adakalanya sebenarnya itu adalah adegan sedih). Ada banyak karakter annoying sekaligus lucu dalam novel ini. Misalnya dr. S. Perma dan dr. Peni. S (ya ampuun, itu nama diambil dari alat vital, bukan? Hahaha... ). Juga Sri Narsisari seorang resepsionis yang narsis, sok gaul, dan hobi bergosip. Ada juga pasangan Bapak dan Ibu Sutoyo yang kalau sedang berkonsultasi tak segan-segan ‘berkelahi’ hingga merusak barang-barang di kantor psikolog mereka. Bahkan, panggilan sayang Tata dan Rahmat saja sudah mampu membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Kakang dan Neng, 'sangat sunda', kan?

Meski demikian, tema besar tentang komitmen dalam pernikahan dan makna kebahagiaan itu sendiri tetap tersampaikan dengan baik. Cerita tidak melebar ke mana-mana seperti kisah novel bertema pernikahan umumnya, yang melibatkan unsur campur tangan keluarga besar, gangguan orang ketiga, maupun istilah-istilah dunia kedokteran yang njelimet (terkait upaya hamil). Penulis fokus pada dilema hati pasangan Tata dan Rahmat. Penggunaan POV orang pertama dari kedua tokohnya, Tata (gua) dan Rahmat (gue) pun sangat tepat, menyesuaikan fokus cerita itu sendiri. Saya akhirnya diajak menyelami perasaan dan pemikiran kedua belah pihak, pria dan wanita, sang istri maupun sang suami.

Kisah Tata dan Rahmat ingin menyadarkan banyak pasangan menikah di luar sana untuk meluruskan kembali komitmen awal pernikahan, alasan mereka mencintai pasangan, dan tolak ukur kebahagiaan dalam sebuah pernikahan. Bahwa pernyataan, ‘mencintai apa adanya’ bisa jadi bumerang suatu hari, kecuali kita memiliki komitmen. Sebuah novel ringan yang kaya pesan positif. No wonder novel ini telah dicetak ulang belasan kali, bahkan difilmkan.



0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube