Judul : Table For two
Penulis : Dy Lunaly
Penyunting: Pratiwi Utami
Penerbit : Bentang Belia (PT Bentang Pustaka)
Cetakan : pertama, Desember 2016
Tebal : iv + 260 hlm.; 20.8 cm
BLURB:
“Dia memang teman masa kecilku. Tapi, dia sudah bukan lagi bocah kurus yang ada dalam ingatanku, melainkan seorang pria. Seorang pria yang, sungguh tidak ingin aku akui, sangat menarik.”
Asha benci tinju sebesar dia membenci Arga, pria yang pernah disebutnya sebagai sahabat. Tragedi yang merenggut nyawa Papa membuat hubungan Asha dan Arga merenggang. Bertemu lagi dengan Arga nggak pernah terpikirkan olehnya. Tapi, itu yang terjadi. Permintaan Mama memaksanya untuk bertemu dengan Arga sekaligus menjadi pengawas diet petinju super-menyebalkan itu.
Menjadi pengawas diet Arga berarti pertengkaran tanpa henti, rencana diet yang berantakan dan berkurangnya waktu untuk dinikmati bersama Kak Rama, dietisien di klinik kesehatan Mama. Namun, Asha nggak punya pilihan. Ia harus profesional dan berusaha berdamai dengan trauma masa lalunya.
SINOPSIS:
“Thomson and Thompson. Rasanya julukan itu masih kurang tepat untuk menggambarkan kami dulu. Kami jauh lebih dekat daripada pasangan detektif kembar itu. Benar-benar tidak terpisahkan. Lebih tepatnya, aku yang tidak pernah ingin berpisah dari Arga.” (hal. 46-47)
“Aku pernah janji untuk selalu ngelindungin kamu.”
“Aku cuma bisa ngelindungin kamu kalau aku kuat.” (hal. 112)
“yang disebut kuat itu bukan yang bisa mengalahkan lawan, melainkan seseorang yang bisa dihormati dan dihargai karena berhasil mengalahkan keinginan untuk balas dendam.” (hal. 143)
“Jangan jadi kupu-kupu lah, Sha, nanti aku yang repot harus ngejar-ngejar kamu.” (hal. 171)
“Dia ingat semua janji yang pernah diucapkannya. Dan sekarang ketika kami bertemu kembali, dia berusaha untuk menepatinya. Satu per satu. Semuanya.” (hal. 171)
Asha Chandraningtyas Gunawan, atau Asha sedang disibukkan oleh skripsi. Oleh sebab itulah dia tidak lagi bekerja paruh waktu di klinik konsultasi gizi ‘Tiny Tots’ milik mamanya, Dokter Wina. Namun, kedekatannya dengan salah satu dietisien muda di klinik tersebut, Mahendra Ramadhan atau Rama tetap terjalin. Suatu hari, sahabat lama ayahnya, Om Bima datang menemui sang mama. Ternyata, kunjungan Om Bima ada kaitannya dengan sang keponakan, Satya Arganta Yudha alias Arga, yang adalah seorang petinju profesional. Dan, Arga yang sedang bersiap menghadapi sebuah pertandingan besar mengalami masalah dengan bobot tubuhnya yang melebihi limit kelas bantam. Dokter Wina dimintai tolong oleh Om Bima untuk membuatkan jadwal diet sehat untuk Arga, namun tanggung jawab pengawasannya justru diserahkan Dokter Wina kepada Asha. Asha pun bimbang. Dia membenci dunia tinju, karena itu mengingatkannya akan kenangan pahit yang merenggut nyawa papanya, Gunawan yang dulu juga petinju. Namun, Asha juga tidak ingin Arga yang merupakan sahabat masa kecilnya mengalami tragedi yang sama dengan sang papa.
Ketika pada akhirnya Asha bersedia menjadi pengawas diet Arga, pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Arga pada dasarnya meremehkan dan terang-terangan menolak pola makannya diatur oleh dietisien. Di lain sisi, kenangan demi kenangan masa kecil Asha bersama Arga berkelebatan. Janji-janji yang pernah terucap dan sebuah pertengkaran tujuh tahun lalu yang merenggangkan hubungan Asha dan Arga terkuak. Asha sendiri tertegun kala mengetahui bahwa Arga tak melupakan barang sedikit pun semua janjinya. Ketika Asha nyaris menyerah karena Arga tetap membandel dengan dietnya yang tak sehat, Om Bima menceritakan kisah keluarga Arga yang rumit, tentang ayah ibunya yang berpisah, dan trauma kekerasan domestik yang sempat dialami Arga. Om Bima juga membuat pengakuan terkait kejadian yang sebenarnya jelang kematian papa Asha, Gunawan. Asha sekali lagi berusaha bersabar dan mau mencoba memahami. Hingga suatu hari, di puncak kekesalannya atas berat tubuh yang tak kunjung turun sesuai target, Arga sempat mengungkit masa lalu dan menyalahkan Dokter Wina atas tuduhan ketidakbecusan mengawasi diet suaminya sendiri. Asha sangat marah dan tak terima karena merasa Arga menjelek-jelekkan papa dan mamanya. Di saat hubungan Asha dan Arga memanas inilah terjadi hal yang selama ini ditakutkan Dokter Wina, Asha, dan Om Bima. Arga ambruk pingsan karena tubuhnya kelelahan ditambah diet yang tidak benar.
Peristiwa pingsannya Arga justru memperbaiki hubungan Arga dan Asha. Arga pun telah mengetahui rincian kejadian sebelum kematian Om Gunawan dan tak lagi menyalahkan Dokter Wina. Arga memutuskan menuruti kemauan Om Bima dan mematuhi jadwal diet yang telah disusun oleh Dokter Wina. Bersamaan dengan itu, Arga juga mengakui perasaannya kepada Asha. Asha harus memilih, apakah akan menerima pernyataan cinta Arga ataukah tetap setia pada hubungannya dengan Rama yang sudah serius.
REVIEW:
“Ternyata kenangan bahagia, tidak peduli selama apa pun tersimpan, selalu menghadirkan getar kerinduan ketika mengingatnya.” (hal. 7)
“Ternyata benar, kenangan tidak tersimpan dalam ingatan atau hati. Tetapi, pada benda atau tempat kenangan itu terjadi.” (hal. 64)
“Sebesar apa pun kita menyesalinya, kita nggak akan pernah bisa mengubah masa lalu.” (hal. 145)
“cinta itu bukan masalah siapa yang datang duluan. Aku cinta dia bukan karena dia yang duluan datang, aku cinta dia karena hati aku memilih dia.” (hal. 242)
Meskipun diterbitkan Bentang Belia, menurut saya, menilik para tokohnya yang sudah dewasa (21 tahun ke atas), novel ini tergolong young adult romance, bukan teenlit. Namun, kontennya tetap aman bagi kalangan remaja. Novel ini juga merupakan salah satu judul dari seri novel bertema profesi, sport, and romance. Ide cerita yang menggabungkan antara dietisien (pengawas diet/ahli gizi) dengan petinju profesional memang sangat menarik. Dan karena target pembaca kalangan muda yang lebih menyukai tipe bacaan ringan, maka gaya bahasa yang ringan, tidak terlalu dibebani istilah-istilah rumit dunia ahli gizi, diet, dan tinju, sudah pas. Kovernya juga menarik, kompak mengadopsi konsep yang sama dengan judul lain dari seri ini.
Hanya saja, saya kurang setuju dengan pilihan penulis menggunakan POV orang pertama, yaitu Asha, sedangkan di kover saya mengharapkan Arga lebih ditonjolkan. Sudut pandang Asha membuat saya tidak leluasa memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan seorang Arga—yang bagi saya karakternya lebih rumit dan lebih menarik. Selain itu, karakter Arga yang kuat justru tertutupi oleh fokus masalah yang membuatnya tampak ‘jahat’ atau dalam dunia fiksi disebut antagonis. Kecintaan Arga pada dunia tinju, bagaimana dia menganggap tinju sebagai sebuah proses penyembuhan trauma dan belajar sportivitas, kurang tereksplor. Dalam hal chemistry, saya juga kurang dapat merasakannya, baik Asha vs Arga, maupun Asha vs Rama. Kedekatan Asha dan Rama lebih cocok seperti kakak-adik. Apalagi dengan karakter Rama yang dari awal hingga akhir cerita digambarkan nyaris tanpa cela, sangat pengertian. Konflik jelang akhir dan bagian ‘peleraian’ antara Asha, Arga, dan Rama akhirnya kurang gereget dan terkesan buru-buru, ‘begitu saja’.
Walau begitu, saya sangat mengapresiasi penulis menyoroti dunia tinju, masalah diet sehat, problematika masa kini terkait obesitas yang terjadi di usia dini, pola pengasuhan anak yang salah, dan konflik yang biasa terjadi dalam keluarga. Saya juga suka bagian kedekatan Asha dengan papanya, meskipun hanya tergambar melalui kilasan-kilasan masa lalu. Sebuah novel ringan dengan pesan yang positif.
0 komentar:
Posting Komentar