Judul : London – Angel
Penulis : Windry Ramadhina
Editor : Ayuning & Gita Romadhona
Proofreader : Jia Effendie
Penerbit : GagasMedia
Cetakan : pertama, 2013
Tebal : x + 330 hlm; 13 x 19 cm
BLURB:
Pembaca tersayang,
Mari berjalan di sepanjang bantaran Sungai Thames, dalam rintik gerimis dan gemilang cahaya dari London Eye.
Windry Ramadhina, penulis novel ‘Orange’, ‘Memori’, dan ‘Montase’ membawa kita menemani seorang penulis bernama Gilang mengejar cinta Ning hingga Fitzrovia. Namun, ternyata tak semudah itu menyatakan cinta. Kota London malah mengarahkannya kepada seorang gadis misterius berambut ikal. Dia selalu muncul ketika hujan turun dan menghilang begitu hujan reda. Sementara itu, cinta yang dikejarnya belum juga ditemuinya. Apakah perjalanannya kali ini sia-sia belaka?
Setiap tempat punya cerita.
Dalam dingin kabut Kota London, ada hangat cinta menyelusup.
Enjoy the journey.
Edtor
SINOPSIS:
“Ning gadis yang cantik, benar-benar cantik. Dibutuhkan delapan tahun bagiku untuk menyadari hal tersebut.” (hal. 20)
“Aku tidak punya cukup waktu untuk mengungkapkan perasaanku kepada Ning, apalagi menjadikannya milikku. Tahu-tahu saja dia sudah terbang ke London, kuliah di kota berpenduduk sepuluh juta orang itu, lalu bekerja di galeri seni kontemporer paling ternama di dunia. Tahu-tahu saja dia tak terjangkau. Padahal, sebelum itu dia selalu ada di sisiku.” (hal. 21)
“Sebagai seorang penulis, terlebih aku adalah seorang penulis roman, seharusnya aku tahu hal utopis semacam ‘mengejar gadis ke London atas nama cinta’ hanya berjalan lancar dalam kisah-kisah fiksi.” (hal. 55)
Gilang yang seorang editor di sebuah penerbit karya sastra, cerpenis, sekaligus novelis yang ‘terjebak’ di penggarapan satu novelnya bersahabat karib dengan seorang gadis bernama Ning. Mereka telah bersahabat semenjak di bangku sekolah menengah. Hingga suatu hari di masa kuliah, seorang kawan baik lelakinya menyadarkan Gilang bahwa Ning terlalu indah untuk dipandang sebatas sahabat. Gilang pun mulai melihat Ning sebagai wanita tapi tak punya cukup keberanian maupun waktu untuk mengungkapkan perasaannya. Ning melanjutkan kuliah ke London hingga kemudian bekerja sebagai seorang kurator di sebuah galeri seni kontemporer ternama di sana. Semenjak Ning menetap di London, komunikasi mereka hanya berjalan lewat bantuan koneksi internet. Berawal dari Sabtu malam mabuk-mabukan bersama keempat sahabat prianya (Brutus, Hyde, Dum, Dee), terlontarlah pertaruhan untuk mengejar cinta Ning—gadisnya—hingga ke London. Sayangnya, acapkali harapan tidak seindah kenyataan.
Dengan keinginan memberi kejutan, Gilang tak memberitahukan kedatangannya pada Ning. Nahasnya, Ning sedang bertugas ke luar kota selama beberapa hari dan tak ada kepastian kapan kembali ke apartemennya di Colville Place ketika Gilang sudah tiba di sana. Tak tahu harus menghabiskan waktu melakukan apa, jadilah Gilang mengunjungi beberapa tempat menarik di London, antara lain London Eye dan Shakespeare Globe Theatre. Di sinilah dia lantas berjumpa dengan seorang gadis asing berparas sangat menawan dengan rambutnya yang keemasan—yang lantas dia juluki Goldilocks—dan payung berwarna merah. Gadis misterius ini selalu muncul tiba-tiba di saat hujan mengguyur London, untuk kemudian menghilang begitu saja kala hujan reda. Ajaibnya, payung merah yang ditinggalkannya dan disimpan Gilang sempat ‘menyelamatkan’ pernikahan seorang pria yang dikenal Gilang di pesawat. Dan baru Gilang tahu kemudian juga membawa pada keajaiban cinta lain.
Tentang kisah Gilang dan Ning, ketika akhirnya bisa bertemu, Gilang sempat diliputi keraguan akan pernyataan cintanya. Akankah Ning memiliki perasaan yang sama, atau jika tidak akankah pengakuan Gilang menghancurkan persahabatan yang telah terjalin belasan tahun? Dalam masa keraguan ini, banyak hal terjadi yang pada akhirnya memantapkan hati Gilang untuk jujur dengan perasaannya. Salah satu hal yang terjadi adalah kisah cinta pemilik motel di mana Gilang menetap, yaitu Madge atau yang biasa disapa Madam Ellis. Janda yang suaminya tewas dalam sebuah kecelakaan ini berubah murung dan menutup diri. Ia bahkan tak ingin menganggap keberadaan seorang pria sekaligus sahabat masa kecil yang telah lama mencintainya, yakni John Lowesley atau Mister Lowesley. Hingga suatu hari, kenekatan John mengubah segalanya. Kejadian menarik lain selama Gilang berada di London adalah beberapa perjumpaan tak disengaja antara dia dan seorang gadis Indonesia bernama Ayu. Ayu adalah seorang penggila buku tua dan klasik dan sibuk keluar masuk toko buku demi mendapatkan cetakan pertama ‘Wuthering Heights’ karya Emily Bronte. Sikapnya yang tak ramah dan sinis membuat Gilang keheranan.
REVIEW:
“Menunggu cinta bukan sesuatu yang sia-sia,” kubilang. “Menunggu seseorang yang tidak mungkin kembali, itu baru sia-sia.” (hal. 247)
“Kau tidak belajar mencintai. Kau mencintai dengan sendirinya.” (hal. 297)
“Malaikat-malaikat yang turun bersama hujan? Ya. Aku pernah melihat satu.” (hal. 315)
“Setiap orang punya keajaiban cintanya sendiri.” (hal. 320)
Tema keajaiban cinta dan persahabatan menjelma cinta, demikian novel ini hendak mengarahkan cerita. Persahabatan pria dan wanita yang berubah cinta memang sudah sering diangkat dalam fiksi. Namun, berkat setting London di musim gugur dengan hujan yang mengguyur nyaris setiap waktu dan kepercayaan tentang malaikat yang turun ke bumi selama hujan turun, membuat kisah Gilang dan Ning ini sangat menarik dan membawa aura magis. Deskripsi London dalam balutan gerimis, dengan galeri-galeri seni kontemporer yang tersebar di Fitzrovia, melatarbelakangi kisah cinta yang ‘muram’, membuat saya merasakan betul feeling yang ingin disampaikan sekaligus keindahan novel ini. Penuturan menggunakan sudut pandang orang pertama, ‘aku’ sebagai Gilang pun, sekali lagi mampu menghipnotis saya sekaligus menyelami apa yang dirasakan dan dipikirkan tokoh pria yang bisa dibilang flamboyan ini. Salah satu deskripsi yang saya sukai, contohnya: “Namun, bunyi ketukan sepatu gadis itu seperti mantra. Iramanya menumpulkan akal sehat, menyulapku menjadi anak dungu dari Hamelin yang tunduk pada nada-nada seruling Pied Piper si pengusir tikus dalam legenda Jerman.”(hal. 263).
Karakter-karakter dalam cerita juga tak ada yang ‘sia-sia’. Semua punya korelasi signifikan bagi plot cerita. Gilang, mengutip salah satu dialog, mengakui dirinya mengidolakan penulis legendaris Scott Fitzgerald, penyuka pub, bir, pesta (dalam hal ini bersama kawan-kawan prianya), yang saya rasa terinspirasi dari tokoh-tokoh fiksi Fitzgerald. Tapi, Gilang juga lucu, selera humornya bagus, dan tipe sahabat yang menyenangkan. Gilang memiliki kesamaan dengan Ayu, ‘terobsesi’ dengan buku-buku klasik dan tua, semacam cetakan pertama atau edisi khusus, terutama ‘Burmese Days’ yang gagal dia dapatkan. Gilang senang menjuluki sahabat-sahabatnya, semacam Brutus, Hyde, Dum, Dee, Jules, berdasarkan karakter spesifik mereka. Bahkan pria asing yang ditemuinya di perjalanan mendapat julukan ‘V’ yang berasal dari film, demikian juga si gadis misterius yang dijuluki Goldilocks karena mengingatkannya pada tokoh gadis cilik dalam cerita ‘Three Bears’. Menurut saya detail seperti ini merupakan nilai plus yang saya tunggu-tunggu dalam sebuah novel. Ning, di lain sisi, digambarkan sebagai gadis yang cantik, sangat cerdas, tahu apa yang dia mau, pencinta seni kontemporer, dan sahabat yang sportif. Cara Kak Windry membangun karakter Ning diperkuat dengan detail setting Fitzrovia dan galeri seni kontemporernya, semacam Tate Modern, di mana Ning bekerja. Karakter lain yang menarik bagi saya tentu saja Madame Ellis sang pemilik motel, Mister Lowesley si pemilik toko buku, dan Ed pelayan berdarah India yang cerewet dan suka ikut campur urusan orang lain. Kehadiran tiga orang ini membuat perasaan saya campur aduk.
Novel ini akan jadi bacaan yang sangat tepat bagi para pencinta roman dan hujan. Bagi saya sebagai pembaca baru karya-karya Kak Windry, paragraf penutup yang diberikan membuat saya penasaran dan ingin lekas membaca kisah Gilang yang lain dalam ‘Angel in the Rain’. Great job!
0 komentar:
Posting Komentar