Senin, 31 Juli 2017

[RESENSI] Montase: Idealisme Perfilman Hingga Filosofi Sakura

Posted by Menukil Aksara | 7:50:00 AM Categories:


Judul             : Montase
Penulis          : Windry Ramadhina
Editor            : Ayuning & Gita Romadhona
Proofreader: Christian Simamora
Penerbit       : GagasMedia
Cetakan        : kelima, 2014
Tebal            : viii + 360 hlm; 13 x 19 cm

BLURB:
    Aku berharap tak pernah bertemu denganmu. Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku. Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu. Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu. Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.
    Tapi..., kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa. Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai... dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.

SINOPSIS:

    “Ada sesuatu dalam film dokumenter, entah apa, yang menyebabkan aku sangat tertarik. Kejujurannya, mungkin, atau detail-detail autentik yang memperlihatkan kehidupan apa adanya. Barangkali juga, pemikiran yang membumi, kesadaran akan keberadaan masalah-masalah di dunia, dan kepedulian untuk mengatasi semua itu. Atau, bisa jadi, momen magis kala film itu usai dan aku merasa ada sesuatu yang berubah dari diriku.” (hal. 62)

    “Lalu, ketika tiba-tiba dia melempar pandangannya kepadaku dan tersenyum, aku merasakan sesuatu yang aneh, nyaris magis. Saat itu, waktu seolah-olah berhenti sejenak dan ruang di sekeliling kami menjadi beku. Haru ikut beku. Sosoknya yang berada dalam pelukan lili mengkristal selama sepersekian detik dan bermetamorfosis menjadi potret indah yang merenggut napasku.” (hal. 73-74)

    “Selama ini, setiap aku terbangun pada pagi hari, yang terpikir pertama kali di kepalaku adalah si Babe dan rencana syuting film dokumenter.” (hal. 219)

    “Menjadi pembuat film dokumenter? Ya. Itu impianku sejak masih sekolah. Bahkan, aku tidak ingat apa aku pernah memimpikan hal lain.” (hal. 249)

    “Menyukai seseorang dan mendapat balasan dari orang itu adalah salah satu impian Haru.” (hal. 340)

    Rayyi, seorang mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta Peminatan Produksi sesungguhnya tak pernah tertarik mengikuti jejak ayahnya, mengelola sebuah rumah produksi besar yang melahirkan banyak film dan sinetron komersil. Bermula dari perkenalannya pada film hitam-putih tanpa suara karya Dziga Vertov, “The Man with a Movie Camera” milik mendiang sang mama, Rayyi yang oleh ketiga sahabat karibnya selalu disapa Bao-Bao ini jatuh cinta pada film dokumenter dan selalu bermimpi membuat film dokumenter terbaik. Perbedaan pendapat dan kepentingan dengan sang papa ini tak kunjung menjumpai titik kompromi. Rayyi lantas kerap membolos kuliah Peminatan Produksi untuk syuting film dokumenter bersama kamera kesayangannya yang dinamai Babe. Rayyi juga seringkali menyusup ke kelas Peminatan Dokumenter untuk menimba ilmu. Suatu hari, di tengah kekecewaannya karena kalah dari seorang mahasiswi ‘studi banding’ dari Jepang, Haru Enomoto, dalam sebuah seleksi film dokumenter yang diselenggarakan Greenpeace, Rayyi kembali menyusup ke kelas Peminatan Dokumenter di mana seorang sineas muda ternama Samuel Hardi sedang menjadi dosen tamu. Tak disangka, Haru mengikuti kelas yang sama. Di kelas ini, Rayyi dan ketiga sahabatnya (Sube, Andre, Bev)—yang ikut-ikutan menyusup—mendapat tugas membuat sebuah film pendek dokumenter bertema observasi. Bermula dari usul iseng Andre agar Rayyi menjadikan Haru objek filmnya, Rayyi pun mulai mengenal Haru lebih dekat, setelah tawaran Rayyi disambut antusias oleh Haru. Boneka kokeshi Jepang, gadis berkepala angin, adalah julukan-julukan Rayyi pada Haru. Awalnya Rayyi meremehkan dan menganggap Haru gadis sembrono yang aneh dan tidak menarik, namun sebuah momen yang terekam kameranya mengubah pandangan itu.

    Pertemuan demi pertemuan makin mengakrabkan Rayyi dan Haru, hingga tanpa Rayyi sadari cinta telah tumbuh di hatinya. Momen kebersamaan mereka terasa sederhana namun indah, hingga suatu hari kebersamaan itu dihancurkan dengan terungkapnya rahasia mengenai kondisi kesehatan Haru. Rayyi juga tengah dihadapkan pada keputusan pahit papanya untuk ‘mendisiplinkan’ dan mengawasi ketat gerak-gerik Rayyi di kampus, usai insiden nilai ujian yang bobrok. Rayyi terpaksa menurut, menjadi karyawan magang di rumah produksi papanya setiap akhir pekan dan tak lagi membolos di kelas Peminatan Produksi. Tawaran Samuel Hardi untuk belajar langsung di rumah produksinya dan mengikuti ajang kompetisi internasional pun terpaksa Rayyi tolak. Kabar buruk lain datang tak lama kemudian. Haru mendadak kembali ke negerinya dengan hanya sebuah ucapan selamat tinggal singkat lewat pesan teks pada Rayyi. Rayyi tak mampu menghalangi kepergian Haru. Sepeninggal Haru, konflik antara Rayyi dan papanya memuncak hingga sampai pada pilihan Rayyi untuk hengkang dari rumah dan meminta Samuel Hardi menampungnya.

    Walaupun terpisah jauh, Rayyi tetap rajin bertukar kabar lewat surel dengan Haru. Rayyi pun bekerja keras merintis impian di rumah produksi milik Samuel Hardi. Hingga suatu hari, sebuah kabar diterima Rayyi dari orangtua Haru. Komunikasi lantas terputus. Namun, ketika Rayyi masih berjuang melanjutkan hidup, dua tahun kemudian datang sepucuk surat dari Haru. Sontak Rayyi kembali berharap dan tanpa pikir panjang terbang ke Tokyo. Di Tokyo, Rayyi menyaksikan langsung keindahan Sakura yang pernah ditunjukkan Haru lewat film pendeknya dan semangat untuk meraih impian besar kian terpacu.

REVIEW:
    “Jangan berhenti mengejar impianmu atau kau akan menyesal, Rayyi.” (hal. 249)

    “Selalu ada impian yang lebih besar dari impian lain, kan?” (hal. 250)

    “Kita tidak hidup selamanya, Rayyi. Karena itu, jangan buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak kita inginkan.” (hal. 250)

    “Keindahan Sakura hanya sebentar, tapi karena itu dia begitu berharga.” (hal. 347)

    “Sakura adalah ciri kehidupan yang tidak abadi.” (hal. 347)

    Seingat saya, baru kali ini saya membaca novel yang mengangkat tema, setting, dan tokoh seputar dunia perfilman dokumenter. Yang mana, ini menjadi daya tarik tersendiri. Suasana perkuliahan, pergaulan para mahasiswa Fakultas Film dan Televisi IKJ pun kental mewarnai. Saya suka dengan tokoh-tokoh semacam Sube, Andre, dan Bev sebagai sahabat karib yang saling mendukung dengan Rayyi. Chemistry mereka terasa, ditambah kekonyolan dan banyolan khas mahasiswa yang mampu mengundang tawa. Misalnya teka-teki tentang nama panggilan Bao-Bao, juga detail semacam menu favorit mereka: internet. Kemunculan sesosok Samuel Hardi yang berpenampilan layaknya pria metroseksual, tapi angkuh dan suka meremehkan orang, juga sangat mendukung plot cerita (dan saya baru tahu kalau tokoh satu ini dibuatkan novel khusus). Kak Windry pun tak segan menyebutkan beberapa sineas kenamaan, membuat kritik dunia perfilman lebih tersampaikan. Mengenai setting Jepang, meskipun tak dominan tapi tidak bisa dikatakan hanya tempelan, sebab Jepang dan Sakura berkorelasi erat dengan tokoh Haru dan pesan moral yang ingin disampaikan. Saya pun cukup puas dengan deskripsi yang disajikan terkait beberapa spot di Tokyo. POV ‘aku’ sebagai Rayyi juga dieksekusi dengan baik.

    Jika pada novel roman umumnya, jatuh cinta digambarkan lewat adegan-adegan ‘kebetulan’ yang romantis, maka di sini muncul apa yang saya sebut ‘jatuh cinta lewat lensa kamera’. Ya, itu juga yang menggambarkan chemistry dari dua tokoh utama: Rayyi dan Haru. Dua orang yang bertolak belakang karakter. Haru yang berfisik lemah namun selalu optimis dan penyayang, sekaligus ceroboh sehingga mirip alien tersesat di planet bumi. Rayyi yang setia kawan, idealis, sangat mencintai kamera dan dunia perfilman dokumenter, tapi terjebak dengan impian sang ayah yang dibebankan ke pundaknya. Haru dan Rayyi dipersatukan oleh kesamaan nasib, di mana kuliah yang mereka ambil pada dasarnya bukan minat murni mereka. Tapi sikap penerimaan Haru yang tulus mampu menggugah hati Rayyi. Karakter Rayyi yang kurang saya sukai di sini adalah fakta bahwa dia terkesan baru berani memperjuangkan impiannya sesudah kemunculan sosok Haru, tapi di sisi lain saya bisa memahami memang di sinilah peran Haru dalam cerita. Ide yang bisa dibilang telah banyak diangkat: seseorang yang hadir untuk menginspirasi, namun tak selalu untuk dimiliki.

    Sebagai novel Kak Windry yang pertama saya baca, bisa dikatakan ini menjadi perkenalan yang menyenangkan. Saya dibuat jatuh cinta dengan gaya tulisannya sekaligus ketagihan ingin baca lebih banyak lagi karya Kak Windry.


0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube