Selasa, 27 Februari 2018

Labirin: Melepas Tak Sama dengan Melupakan

Posted by Menukil Aksara | 3:35:00 PM Categories:
Judul buku            : Labirin
Penulis                  : Aci Baehaqie
Penyunting            : Jia Effendie
Penerbit               : Bhuana Sastra (BIP Gramedia)
Tebal buku           : 357 hlm
Cetakan               : pertama, 2017

BLURB:
    Berbagai episode hidup telah dilewati Ayla, hingga pada suatu saat, ia membuat satu keputusan yang membawanya pada penyesalan panjang dan menyeretnya menuju sebuah labirin yang rumit. Labirin masa lalu itu harus ia lewati satu per satu, sehingga pada akhirnya, ia bisa menemukan jalan keluar, dan dengan rela melepaskan bagian yang amat berharga dalam hidupnya...

SINOPSIS:
    “Aku tidak akan berbohong... Kisah ini mungkin bukan romansa yang kamu harapkan. Bukan pula kisah percintaan romantis yang kamu inginkan. Justru, ini hanya kisah dia yang terbelenggu oleh patah hatinya sendiri. Sederhana saja... Aku ingin mempersembahkan kisah ini untukmu. Kamu yang mungkin belum mampu atau bahkan belum mau untuk berdamai dengan masa lalu... “
--Aci Baehaqie

“Labirin adalah sebuah puzzle dalam bentuk percabangan jalan yang kompleks dan memiliki banyak sekali jalan buntu.” (hlm. 340)

Aku memang terlalu bodoh untuk mengerti sebuah aturan mendasar untuk bermain di dalam sebuah labirin. Mencari dan menghafal sebelum waktu yang kumiliki semakin habis. Waktu yang sangat singkat itu, malah kupergunakan untuk tenggelam dalam kenangan, bukannya mencari jalan menuju rumah.” (hlm. 341)

Ini kisah tentang Ayla dan masa lalunya. Ketika masih belia, Ayla bersahabat dengan Emi dan Igo. Persahabatan yang mampu bertahan hingga mereka menginjak usia dewasa. Ayla juga dikenalkan dan dekat dengan sepupu Emi, pemuda blasteran Italia bermata hazel yang baik hati bernama Anthony. Kedekatan yang lantas berubah menjadi cinta. Cinta itu pun lantas diuji dengan berbagai masalah dalam kehidupan. Salah satunya dan yang terbesar adalah masalah perbedaan agama antara Ayla yang Muslim dan Anthony yang Katolik. Seolah mengulang ‘kesalahan’ yang pernah diperbuat mendiang kakak laki-lakinya, kisah cinta Ayla ini jelas ditentang sang ayah. Tak hanya itu, persahabatannya dengan Emi pun turut diuji. Emi terperangkap jebakan narkoba karena kurang perhatian orangtua sekaligus terjerumus pergaulan bebas yang buruk. Ketika Emi sedang dalam titik terendah hidupnya ini, ayah Ayla memberikan pilihan sulit. Ayla sempat bertekad tak akan pernah pergi dari sisi Emi maupun Anthony, tapi dia juga tak kuasa mengecewakan orangtuanya. Selain itu, dia sempat mendapatkan peluang beasiswa untuk berkuliah di benua lain, di kampus ternama dunia. Sebuah kesempatan emas yang nyaris dia lepaskan demi persahabatan dan cinta. Hingga di satu titik, Ayla pun akhirnya memilih tetap pergi, beberapa waktu kemudian.

Kisah lantas bergulir hingga terkuak kehidupan Ayla dewasa yang bekerja di sebuah perusahaan arsitektur bonafit, Larry & Amelie Architecture and Planning inc. yang berbasis di Singapura, sesuai bidang keilmuannya. Dia kerap melanglang dunia demi pekerjaan, bertemu aneka macam orang yang menjadi klien, atau secara tak sengaja berkenalan dengan orang-orang asing yang menorehkan kenangan. Tapi, sesungguhnya Ayla belum mampu melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu, terutama penyesalan akan keputusan yang menyebabkannya kehilangan orang-orang tersayang. Hingga suatu hari, dia dipertemukan kembali dengan Igo yang telah menjadi seorang perancang busana yang mulai mendunia, juga Dio dan Kayla yang merupakan kawan-kawan semasa kuliah di Bandung. Dari sinilah satu per satu orang dari masa lalu dijumpainya kembali, termasuk Emi dan Anthony yang sudah putus kontak selama bertahun-tahun. Ayla pun sedikit demi sedikit berusaha keluar dari labirin masa lalunya, berdamai, dan memperbaiki hubungan persahabatan yang lama merenggang.

REVIEW:
    “Dalam hidup, terkadang tidak penting bagaimana kamu memulainya, yang terpenting adalah bagaimana kamu mengakhirinya. Berhasil atau tidak tergantung perspektifmu.” (hlm. 92)

    “Rahasia kebahagiaan saya adalah karena tidak satu keputusan pun di dalam hidup saya, yang kemudian saya sesali. Tidak ada sama sekali. Karena itu, tidak ada bayangan masa lalu yang mengejar dan menghantui saya.” (hlm. 302)

    “Ada begitu banyak hal yang indah ketika kita tersesat, yaitu saling menemukan. Mungkin bukan menemukan seseorang yang selalu aku tunggu. Namun, setidaknya aku berhasil menemukan diriku sendiri.” (hlm. 340)

    Sesuai ‘warning’ penulis di kover belakang dan halaman awal, saya sejak awal tak berekspektasi akan kisah romansa yang manis. Dan benar saja, novel yang memakai sudut pandang orang pertama (Ayla/aku) ini benar-benar seperti labirin atau puzzle berceceran yang harus saya susun dan rapikan agar berhasil mendapat jalan keluar. Dikisahkan secara acak dalam segi seting waktu, menggunakan sistem penanda bulan dan tahun di awal tiap pergantian momen adegan. Ya, alurnya berjalan campuran, maju dan mundur, berkisar antara tahun 2001 hingga tahun 2018. Membaca novel dengan alur campuran yang acak seperti ini jelas sebuah tantangan, karena saya harus pandai mengingat atau menghafal rentetan kejadian dan hubungannya satu sama lain hingga akhirnya menjadi satu kisah utuh yang bisa dipahami.

    Dari segi seting, sesuai profesi Ayla yang tadi saya sebutkan, ada banyak kota dari berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia yang menjadi latar cerita. Juga disajikan detail desk job, rancangan bangunan, dan team work di perusahaan di mana Ayla bernaung. Deskripsinya saya nilai cukup baik, tak lupa bersenyawa dengan alur, plot, dan pesan yang ingin disampaikan, jadi tidak asal digambarkan indah atau berkesan saja. Selain itu, dalam perjalanan itu Ayla juga bertemu banyak sosok asing yang tak sekadar ‘lewat’, tapi menorehkan berbagai kisah dan pesan hidup masing-masing. Ini juga jadi poin plus novel. Beberapa tokoh yang berkesan bagi saya, antara lain sang filantropis Thomas Grey, Nyonya Chen, dan lelaki tua di Rotterdam.

    Perihal sosok Ayla sebagai tokoh utama, saya tak bisa bilang benar-benar menyukainya. Dia seolah mewakili perempuan kebanyakan yang sekilas tampak sukses dan mapan, tapi menyimpan luka dalam hati dan berusaha untuk mengobati diri. Begitu juga halnya dengan Emi dan Igo yang memiliki rahasia masing-masing. Mungkin sosok yang terbilang charming adalah Anthony, meskipun dia tetap punya kekurangan. Penulis juga menciptakan konflik rumit dengan isu yang sensitif untuk diangkat dalam kisah fiksi, antara lain cinta berbeda agama, lingkaran setan narkoba, pergaulan bebas, kekerasan dalam hubungan pasangan, hingga dilema tentang orientasi seks yang berbeda pada diri Igo dan makna cinta sejati. Emosi yang tercipta lewat pergulatan batin, konflik antartokoh, hingga interaksi persahabatan tiga sekawan dalam novel terasa.

Selain kalimat yang berasal dari dialog antartokoh, penulis juga selalu mengawali tiap bab dengan mengutip kalimat-kalimat penuh makna, entah berasal dari film maupun drama seri, yang kemungkinan menjadi favoritnya sekaligus mengena dengan alur cerita. Bagi kamu yang suka menandai kutipan dalam novel, dijamin kamu akan suka dan menilai novel ini ‘quoteable’.

Secara keseluruhan, ini merupakan novel dengan pilihan topik yang berani dan dieksekusi dengan cukup baik, sehingga tak terkesan dangkal. Novel yang menggambarkan hidup sebagai sebuah perjalanan, baik secara harfiah maupun simbolis. Dan, sebagai debut dari penulisnya, karya fiksi ini sama sekali tidak mengecewakan. Saya menunggu karya-karya selanjutnya dari Aci Baehaqie.
   

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube