Senin, 21 Mei 2018

Arterio: Sebab Cinta Sejati Mengalir Sampai ke Jantung

Posted by Menukil Aksara | 11:15:00 AM Categories:
Judul buku             : Arterio
Penulis                   : Sangaji  Munkian
Editor                    : Auliya Milatina Fajwah
Penerbit                 : BITREAD Publishing
Tahun terbit           : 2018
Tebal buku             : XII + 410 hlm.
ISBN                      : 978–602–5634–1-6

BLURB:
    Seseorang yang menekuni bidang medis umumnya berperangai ramah, penyabar, dan punya kepedulian yang tinggi untuk menolong mereka yang terluka, tetapi itu tidak berlaku bagi Zag Waringga, dia tipikal pemarah, emosian, juga pendendam. Alih-alih menciptakan ramuan yang dapat menyembuhkan, Zag justru menciptakan racun paling mematikan. Lain halnya dengan Nawacita, dia adalah sosok yang begitu perhatian, penuh belas kasihan, tetapi terlampau naif, padahal dia memiliki potensi istimewa yang selangka bintang jatuh, yakni merasakan detak jantung beserta aliran darah secara terperinci.

    Arteri(o) akan mendenyutkan sebuah kisah yang berangkat dari pertanyaan: apakah tempat yang kini kau tempati sudah tepat? Bagaimana jika itu tidak sesuai dengan karakter dan tujuan hidupmu? Apakah petuah di mana pun kau ditempatkan Tuhan selalu punya alasan, perlu direvisi?

    Arteri(o) sebagai pembuluh yang mengalirkan darah dari jantung ke seluruh bagian tubuh, akan mengajakmu ke dunia yang lain dari pada yang lain, kisah yang meletupkan fantasi, aksi, konspirasi, dan tentu saja romansa yang tepat menghujam jantungmu.

    Aku ingin menjadi arteri sang pembuluh, yang bersama degup terjujurmu mengarungi setiap ruas jaringan tanpa sekalipun berpikir melewatkannya.
SINOPSIS:
    “Kita tidak dianjurkan berambisi melewati batas kuota.” (hlm. 35)

    “... tiap manusia diberi kemampuan tersendiri oleh Tuhan, kemampuan yang istimewa dan jarang ada pada yang lainnya.” (hlm. 35)

    Di sebuah negara bernama Kartanaraya di mana sistem pendidikannya unik, terdapat Akademi yang membagi siswa-siswanya ke dalam lima jurusan. Tiap siswa yang telah melewati masa inisiasi akan menjalani pendidikan di salah satu jurusan tersebut, yang juga akan menjadi status sosial permanen yang melekat pada dirinya. Hanya kejadian luar biasa yang memungkinkan siswa berpindah jurusan. Kelima jurusan tersebut adalah Lazuar, Vitaera, Pragma, Arterio, dan Zewira. Lazuar adalah mereka yang mencintai ilmu hayati. Vitaera adalah mereka yang mendalami ilmu tentang manusia, seluk beluk terkait sejarah, bahasa, perilaku, dan seluruh budaya. Arterio adalah mereka yang menggandrungi ilmu tentang kesehatan dan penyembuhan. Pragma adalah mereka yang menekuni ilmu praktis yang dapat dilihat, dihitung, dan dilakukan secara teknis. Sedangkan Zewira adalah mereka yang memaknai tentang kedalaman pikiran, kekuatan, struktur pemerintahan, perjuangan, dan ketertiban. Zewira acapkali dipandang spesial. Letak gedung jurusan dan asrama pun terpisah dari yang lain.

    Zag Waringga adalah Arterio strata muda berusia 18 tahun. Tak seperti murid lainnya, Zag tidak bisa menerima jurusannya. Dia sesungguhnya berharap masuk Zewira. Bukanlah tanpa alasan, hal ini ada kaitannya dengan dendam atas kematian ayahnya oleh pimpinan pasukan musuh Jaharu bertahun-tahun silam. Menjadi Arterio dianggap Zag tak mendukung rencana balas dendamnya. Oleh sebab itu, alih-alih bersemangat mempelajari ramuan penyembuhan, Zag justru diam-diam belajar meracik racun mematikan, bahkan yang sangat sulit. Dia kerap menyambangi Laboratorium Tumbuhan Kuno dan Racun tanpa izin demi mendapatkan catatan rahasia terkait racun yang diincarnya. Bahkan di malam Soir atau semacam pesta dansa, Zag lebih memilih menghabiskan waktu di Laboratorium tersebut. Di masa kunjungan tak berizinnya inilah Zag berjumpa salah seorang anggota keluarga Nayef. Anak bungsu keluarga bangsawan tersebut yang bernama Kiastra justru membantunya secara tak langsung dalam meracik racun. Tapi kemudian Kiastra menggunakan ‘bakatnya’ demi membuat Zag lupa akan identitas dirinya dan pertemuan mereka.

    Di lain pihak, ada Nawacita Lumie, gadis penyayang yang mencintai Zag. Cita satu angkatan dan satu jurusan dengan Zag. Bertiga bersama Datroit, mereka adalah kawan karib. Cita dan Datroit mengetahui ambisi Zag dan tak bosan mengingatkan bahwa Zag seharusnya menerima penempatannya di Arterio. Hingga suatu hari, diumumkan sebuah kabar menggemparkan tentang penyerangan Jaharu ke kota Purwa. Di ibukota Karta, Anggota Dewan dan keluarga Nayef membuat kebijakan dengan membentuk Laskar Patriot, di mana para pemuda bisa mengajukan diri untuk menjadi bagiannya. Zag tak melewatkan peluang ini. Ketika diumumkan siapa saja yang lolos seleksi, Zag sangat kecewa mengetahui bahwa dia lolos tapi ditempatkan di pasukan cadangan paling belakang, itu pun bersama para Arterio muda, termasuk Cita dan Datroit.

    Namun tak diduga semua orang, pasukan cadangan paling bontot ini justru menjadi sasaran empuk pasukan Jaharu. Mereka disekap di kota bawah tanah, ironisnya bersama sepasukan Zewira yang sudah babak belur. Hingga di sebuah momen krusial, Zag berhasil menantang Jou Ozlem sang pemimpin untuk berduel satu lawan satu. Berkat latihan fisik bersama sahabat Zewiranya bernama Lankurt, Zag mampu mengimbangi adu fisik. Selain itu, siasat liciknya menggunakan ramuan racun mematikan yang sudah dipersiapkan berhasil menewaskan Jou Ozlem. Cita lantas membantu di saat kritis menggunakan ‘bakatnya’. Dia melumpuhkan pasukan Jaharu tanpa kendala hanya dengan menguasai detak jantung dan aliran darah mereka. Arterio dan Zewira yang disekap pun berhasil lolos. Atas jasa mereka, Zag, Datroit, dan Cita mendapat penghargaan. Khusus untuk Cita, tak hanya penghargaan dan hadiah, keluarga Nayef melalui Madame menawarinya pindah jurusan ke Zewira. Permintaan yang sesungguhnya disertai ancaman dan perintah ini pun lantas membuat Cita terpojok. Demi memudahkan perpisahan, dia berbohong pada Zag di pertemuan terakhir. Zag yang belum lama menyatakan perasaan pada Cita pun sontak terkejut dan sangat kecewa. Zag juga telah mampu menerima keberadaannya di Arterio, tapi kabar dari Cita menyulut amarahnya.

    Cita kemudian memulai hari-harinya di asrama Zewira. Ternyata tak sendirian, ada tiga murid lain yang pindah ke Zewira bersamanya, masing-masing memiliki ‘bakat’ yang unik. Di asrama, Cita juga berkawan baik dengan Lanina. Masa adaptasi yang berat, disertai pola pendidikan yang jauh lebih keras daripada di Arterio, memaksa Cita fokus dan melupakan perpisahandengan keluarga dan Zag. Selain itu, seorang senior bernama Rafidan kerap menyusahkannya. Rafidan seolah membenci dan sengaja memplonconya. Namun, suatu hari sikap Rafidan melunak dan puncaknya beberapa waktu kemudian bahkan mengajak Cita berkencan. Rafidan bahkan berani menyatakan cinta. Cita tentu saja terkejut dan gamang, apakah dia juga mulai memiliki perasaan pada Rafidan.

    Beberapa waktu kemudian, di acara simbolisasi pembangunan kembali Kota Purwa, sebuah tragedi penyerangan Jaharu kembali terjadi. Cita yang hadir bersama para Zewira turut melakukan perlawanan dan penyelamatan. Di momen inilah kedok Rafidan terkuak. Fakta ini jelas mengejutkan Cita. Di saat kritis, datanglah teman-teman Zewiranya, juga Zag dan Datroit. Bersama-sama mereka lantas berupaya menggagalkan rencana besar busuk Jaharu dan menyelamatkan bangsa.

REVIEW:
    “Aku sadar bahwa balas dendam dan keadilan adalah hal yang berbeda.” (hlm. 384)

    “... balada yang paling menyedihkan adalah dia yang mengetahui sesungguhnya dia memperoleh cinta dengan teramat, tetapi ia terlambat menyadarinya.” (hlm. 391)

    Novel bergenre fantasi karya penulis Indonesia ini mengusung tema menarik tentang impian, cinta, dan pencarian jati diri. Premisnya juga menjanjikan. Tak ada mythical creatures dan penyihir ala fantasi umumnya. Seting negara Kartanaraya tidak dijelaskan detail, di bagian dunia mana tepatnya. Meskipun demikian, sempat terselip keterangan musim semi dan dari gaya hidup maupun penampilan rakyatnya, seolah menyiratkan era di masa lampau. Saya cukup puas dengan detail seting dan pembelajaran di jurusan Arterio maupun Zewira yang lebih disorot di buku ini ketimbang jurusan lain. Juga dengan ide dan penjabaran aneka ‘bakat’ beberapa tokohnya. Ide yang segar dan cerdas. Alurnya campuran, tapi tetap didominasi alur maju.

Gaya bahasa menggunakan diksi yang dijalin indah dan berima. Taste-nya jadi berbeda dengan novel kontemporer atau novel fantasi terjemahan dan novel fantasi Indonesia lain yang pernah saya baca. Salut dengan kepiawaian penulis bermain diksi. Sayangnya ini kurang klop dengan selera saya sehingga cukup mempengaruhi feel baca. Tambahan lagi, beberapa kali saya menemukan paragraf narasi yang agak bertele-tele, yang menurut saya kalaupun dibuang tak akan mempengaruhi jalan cerita. Sejumlah typo juga masih dijumpai. Diantaranya ada yang terulang: bias (:bisa), dating (:datang), lancer (:lancar). Juga kata-kata yang hilang sehingga saya harus mengira-ngira apa yang coba disampaikan penulis. Penggunaan tanda baca koma juga kerap tak tepat. Kalimat jadi terlalu panjang, yang seharusnya bisa dipenggal dengan titik.

Pemilihan POV orang pertama bergantian Zag dan Cita pun menarik. Saya suka karakter Zag yang sinis, blakblakan, tangguh, dan cerdas, meskipun dia sempat terbelenggu ambisi balas dendam. Kisah dalam sudut pandang Zag jadi lebih menarik bagi saya. Berbeda dengan ketika kisah berganti sudut pandang Cita. Saya merasa cukup bosan apalagi saya kurang suka dengan karakter Cita. Dia terlampau naif dan kerap kali terkesan lemah dan plinplan, walaupun penuh belas kasih. Chemistry dan romansa antara Zag dan Cita pun kurang bisa saya rasakan. Paling mengherankan ketika Zag tak menunjukkan rasa cinta sama sekali kepada Cita tapi lantas mengakui perasaan, tak lama usai tragedi penyekapan di Kota Purwa. Saya merasa ini terlalu dipaksakan dan tiba-tiba. Demikian juga dengan Cita yang terkesan terlalu mudah melupakan Zag dan menerima Rafidan—meskipun ada pengungkapan fakta alasan di balik ini. Padahal dikisahkan sebelumnya bahwa Cita sangat mencintai Zag, bahkan ketika cintanya masih bertepuk sebelah tangan. Keganjilan lain adalah perihal fakta ramuan cinta Kaias yang digunakan Rafidan. Padahal Rafidan bukan murid Arterio sedangkan bahkan murid Arterio pun sering kali gagal meracik karena syarat yang pelik. Penjelasan tentang perjanjian gelap pertukaran jiwa pun kurang. Interaksi antara Rafidan, Cita, dan Zag juga belum mampu menggugah saya. Sepanjang cerita bisa dibilang saya hanya mengikuti saja sampai tamat tanpa benar-benar merasakan teraduk-aduk emosi. Sesungguhnya plot, twist, dan ending cukup bagus. Hanya saja eksekusi di beberapa bagian masih kurang mulus.

Selain Zag, cukup suka kehadiran tokoh-tokoh pendukung:Datroit, Lankurt, Lanina, Parame, Oktavio, dan Bara. Mereka memberi kontribusi peran yang cukup penting. Sedangkan tokoh yang paling memantik rasa ingin tahu adalah Kiastra. Di buku ini kesan misteriusnya sangat kental. Selain itu dia punya andil dalam peran Zag di masa kecamuk. Jika benar penulis berencana menyoroti keluarga Nayef lebih jauh di buku kedua, saya berharap teka-teki Kiastra digali mendalam. Overall, novel yang rencananya akan menjadi saga ini menjanjikan dan bisa jadi pilihan bacaan para penikmat novel fantasi bercita rasa Indonesia. Ditunggu kelanjutannya.



0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube