Judul Buku : Once More Ramadhan
Penulis : Adya Pramudita, Dian Nafi, Aida MA, Linda Satibi, dkk
Desainer Kover : Sapta P. Soemowidjoko
Penata Isi : Phiy
Penerbit : Grasindo, 2014
Jumlah Halaman : 142 hal
Ramadhan adalah bulan istimewa. Di dalamnya selaksa nikmat dan berkah hadir menggurat kesan tersendiri di hati. Kerap tercipta momen-momen tak terduga yang mengubah cara pandang dan pola pikir hingga akhirnya mewarnai jalan kehidupan kemudian.
Sinopsis
Setiap orang pasti memiliki kisah Ramadhan terbaik dalam hidupnya, yang mengubah pandangan atau meningkatkan kesyukuran. Tak pernah ada kata yang cukup untuk menggambarkan keistimewaan Ramadhan—bulan seribu bulan ini. Melalui cerita-cerita sederhana di buku ini, tim penulis ingin berbagi tentang sebuah momen yang berkaitan erat dengan bulan yang senantiasa menebarkan keberkahan pada setiap umat, tanpa kecuali.
Kisah-kisah nyata di dalam buku ini dikemas sarat makna. Ada kisah seorang anak yang merindu kue kaleng (biskuit), yang sesungguhnya adalah penjelmaan rindu kepada sang ibu yang terpisah jarak ribuan mil. Lain lagi cerita seorang gadis yang menemukan Ramadhannya saat tak ada teman di sekitar, bahkan tak juga keluarga. Betapa ia tergugu saat merasakan Allah mendekapnya, sementara diri berlumur pekat dosa. Pun kisah lainnya, saat kehidupan tak lagi sama. Kenyamanan berganti haluan menjadi ujian kepapaan dan kehilangan. Betapa kehidupan baru bersama empat orang anak sangatlah berat. Namun berbekal keyakinan atas kebaikan-Nya, semua dapat terlampaui. Hadir pula pengalaman Ramadhan di belahan dunia lain, di negeri orang yang asing, di mana muslim menjadi minoritas. Betapa ukhuwah yang masih erat terasa, adaptasi dengan iklim Ramadhan yang jauh berbeda, mampu menyadarkan kita akan warna-warni kehidupan. Dunia tak hanya berputar di sekeliling kita. masih ada dunia luar yang luas di sana. Kerinduan akan sosok-sosok istimewa di hati juga tersaji apik dalam buku ini. Kepergian orang-orang terkasih di Ramadhan, ataupun kenangan mereka yang hadir di momen jelang Ramadhan dan hari raya, akan menggugah kealpaan kita tentang bagaimana mensyukuri tiap jengkal kenangan manis bersama,
Kesan Terhadap Buku
Saban Ramadhan telah sampai di gerbang kedatangan, bertebaran buku-buku religi, baik itu fiksi maupun non fiksi, yang menawarkan inspirasi untuk dibagi. Banyak di antara buku-buku tersebut yang berupaya menghadirkan ruh Ramadhan, kekhusyukan ibadah, dan segala pernik persiapan menyambut bulan penuh rahmah. Buku ini salah satu dari sekian buku tersebut.
Desain sampul yang sederhana, didominasi warna putih dan sketsa bangunan dengan tiga pintu, menurut saya sangat mewakili judul dan makna buku ini. Putih adalah lambang kesucian hati yang diharapkan digapai oleh muslim seusai Ramadhan, juga menggambarkan bulan Ramadhan sendiri sebagai bulan yang suci. Tiga pintu dengan salah satunya terpalang dan satu lainnya terbuka, barangkali ingin menggambarkan pintu-pintu kemaksiatan yang dibelenggu dan pintu-pintu kebaikan yang dibuka lebar kala Ramadhan.
Satu kekhasan yang ingin ditonjolkan oleh buku ini di mata saya antara lain dari segi tim penulis, yang notabene merupakan para anggota sebuah komunitas kepenulisan aktif. Beberapa dari mereka bahkan telah melahirkan karya-karya solo top dan memenangi aneka penghargaan bergengsi. Selain itu, kisah-kisah yang tertuang dalam buku Once More Ramadhan ini merupakan kisah-kisah nyata, bukan rekaan, baik yang dialami langsung oleh penulis maupun dikisahkan dari penuturan teman. Kisah-kisah nyata tersebut tak jauh dari sekitar kita, berangkat dari perputaran roda kehidupan, bahkan di kala Ramadhan. Banyak kisah di dalam buku menohok hati, membangunkan keimanan yang tengah mati suri, atau kepedulian yang bersembunyi.
Kisah berjudul Kue Kaleng misalnya. Kisah ini mengingatkan kembali bahwa fenomena kemelaratan, ketertindasan kaum perempuan, masih jelas terpampang di depan mata (halaman 1-10). Demikian pula kisah perempuan berkubang nista sebab dosa zina dan memutuskan tali silaturahim di Bejana 15 Hari, akan mengingatkan tiap insan yang nyaris putus asa akan rahmat Allah untuk berlari menuju ampunan-Nya (halaman 19-34).
Lalu ada sebuah judul yang cukup menyulut rasa penasaran saya, Tidak Lapar Saat Puasa? Waspadalah!, yang ternyata berisi ajakan perenungan tentang hikmah ibadah Ramadhan. Berawal dari anggapan bahwa cara terbaik dalam menjalani puasa adalah dengan mengupayakan sebisa mungkin agar tetap segar dan tidak merasa lapar, pun dengan mengonsumsi aneka suplemen makanan. Penulis kemudian mengemukakan sebuah pertanyaan menggelitik, “Tapi bukankah hal itu justru akan menggeser esensi dari ibadah puasa itu sendiri?” Maka lantas disodorkan sebuah perenungan, bahwa seharusnya puasa memberikan pengajaran kepada kita untuk tetap menjalankan kewajiban-kewajiban bahkan meski dengan tubuh yang kekurangan pasokan energi dari makanan yang biasanya dapat kita dapatkan dengan mudah (halaman 62-67).
Kehilangan seseorang yang berharga di hati dan kenangannya membekas hingga Ramadhan demi Ramadhan berlalu? Mungkin itulah yang tergambar dalam kisah Rindu Yang Dibawa Ramadhan di halaman 109-119. Seorang ayah yang begitu penyayang, dermawan, dan shalih, yang semasa hidup, setiap Ramadhan, menyibukkan diri dalam ibadah di masjid serta kegiatan amal kepada sesama, dipanggil oleh Sang Pemilik jiwa. Jamaah sholat jenazah yang hadir, pelayat, dan untaian doa dan tetes airmata sesudah kepergian sosok ayah ini melukiskan betapa amal kebaikan yang ditinggalkan manusia akan abadi dan menjadi warisan kenangan tak ternilai.
Yang tak kalah unik dari salah satu kisah adalah suguhan pengalaman sekaligus tips bagi ibu hamil dan menyusui dalam melaksanakan ibadah Ramadhan di halaman 68-74. Keutamaan niat yang lurus, disertai ikhtiar yang optimal, tak lupa kesadaran akan kemampuan diri dengan mengukur kondisi, merupakan kunci utama yang dijabarkan oleh penulis dengan apik. Karena tips ini berasal dari pengalaman pribadi, maka jelas aplikatif.
Kisah menarik nan unik lain datang dengan tajuk Berkah Ramadhan di Pedalaman Papua di halaman 126-132. Kisah ini membukakan mata kita bahwa keterbatasan tak menghalangi saudara-saudara muslim di Papua untuk menghidupkan hari-hari Ramadhan. Bahkan bisa dibilang, ghirah ibadah dan menuntut ilmu agama mereka jauh lebih menggelora daripada umat muslim yang hidup dalam gelimang kemewahan dan kenyamanan fasilitas, misal di ibukota dan kota-kota besar lain di Indonesia. Diceritakan bahkan mereka di Papua rela mendatangkan ustadz dari luar pulau khusus untuk membimbing mereka selama satu bulan penuh. Rasanya malu jika kita bercermin dengan kisah ini.
Rekomendasi
Seusai menamatkan buku ini, saya tak mengelak bahwasanya banyak hikmah yang bisa direguk. Kisah tentang hubungan anak dan orangtua, suami-istri, dan hubungan persaudaraan berdasarkan iman, semua ada di dalam buku ini. Saya pribadi merekomendasikan buku ini bagi siapa pun yang hendak bernostalgia dengan suasana Ramadhan atau mengobati keringnya iman di luar Ramadhan sekalipun. Empat bintang saya berikan untuk buku inspiratif ini.
makasiii dah nge-review buku ini.. :)
BalasHapussemoga membawa kebaikan bagi yang membacanya..
sama-sama, Mbak. aamiin :)
BalasHapus