Judul buku : Glaze
Penulis : Windry Ramadhina
Editor : Gita Romadhona
Proofreader : Tharien Indri
Ilustrasi isi : Windry Ramadhina
Penerbit : Roro Raya Sejahtera (imprint Twigora)
Cetakan : pertama, Januari 2017
Tebal buku : iv + 396 hlm; 14 x 20 cm
han lama
“Baik-baik saja tidak sama dengan bahagia.” (hal. 366)
Penulis : Windry Ramadhina
Editor : Gita Romadhona
Proofreader : Tharien Indri
Ilustrasi isi : Windry Ramadhina
Penerbit : Roro Raya Sejahtera (imprint Twigora)
Cetakan : pertama, Januari 2017
Tebal buku : iv + 396 hlm; 14 x 20 cm
han lama
BLURB:
Seperti glasir di permukaan keramik, aku merasakanmu sepanjang waktu.
Mataku tak lelah menatapmu, diam-diam mengabadikan senyumanmu di benakku.
Telingaku mengenali musik dalam tawamu, membuatku selalu rindu mendengar cerita-ceritamu.
Bahkan ketika kita berjauhan, aku selalu bisa membayangkanmu duduk bersisian denganku.
Seperti glasir di permukaan keramik, kepergianmu kini membungkusku dalam kelabu.
Ruang di pelukanmu terasa kosong tanpa dirimu.
Dadaku selalu sesak karena tumpukan kesedihan mengenang cintamu.
Bahkan ketika aku ingin melupakanmu, bayanganmu datang untuk mengingatkan betapa besar kehilanganku.
Aku menyesal telah membuatmu terluka, tapi apa dayaku?
Aku yang dulu begitu bodoh dan naif, terlambat menyadari kalau kau adalah definisi bahagiaku.
SINOPSIS:
“Eliot, dia seperti sebongkah batu besar dalam karung lusuh yang harus
kupanggul bertahun-tahun. Dan, kini karena dia sudah tidak ada, aku
tidak memiliki beban. Tetapi, herannya, aku masih bisa merasakan sakit
yang muncul di dadaku... “ (hal. 16)
“Dia mencintai Kara. Sungguh-sungguh mencintai Kara. Dan, dia menitipkan perempuan itu kepadaku.” (hal. 87)
“Aku... tidak ingin menangis lagi. Aku ingin... setiap mengingat Eliot... aku tersenyum.” (hal. 138)
“Aku suka membuat keramik,” katanya, “tapi aku tidak akan bisa membuat
keramik yang sama dua kali.” “Kenapa?” “Mengulang sesuatu, yang seperti
itu bukan seni.” (hal. 167)
Adegan diawali dengan kematian Eliot di rumah sakit disusul suasana
pemakaman. Kalle, kakak laki-laki Eliot adalah satu-satunya anggota
keluarga yang masih tersisa, setelah kedua orangtua mereka meninggal
ketika mereka masih kecil. Kedua bersaudara tersebut diasuh oleh tante
dan om mereka. Kalle dewasa lantas mewarisi tanggung jawab mengelola
perusahaan properti peninggalan orangtua sekaligus mendiami rumah besar
milik keluarga. Sedangkan Eliot, semasa hidup dewasanya justru tinggal
di sebuah rumah cukup sederhana di pinggiran kota Bogor.
Sepeninggal Eliot, Kalle berkewajiban mengurus rumah di Bogor tersebut,
termasuk barang-barang Eliot. Kalle berencana menjual rumah itu. Di
sanalah lantas Kalle menemukan sebuah video wasiat Eliot. Ternyata Eliot
gemar membuat rekaman video tentang kesehariannya di Bogor. Anehnya, di
video terakhirnya Eliot menitipkan suatu hal berharga, tapi bukan benda
melainkan seorang gadis bernama Kara, yang kemudian Kalle tahu adalah
kekasih Eliot. Kara ternyata tinggal di sebuah rumah bersebelahan dengan
rumah Eliot dan kucing hitamnya kerap menerobos masuk.
Awalnya Kalle tak terlalu ambil pusing dengan wasiat Eliot. Apa lagi
hubungannya dengan sang adik tak terlalu dekat semasa Eliot hidup. Kalle
bisa dibilang membenci Eliot karena suatu hal. Namun, Kalle kemudian
menyadari bahwa Kara adalah gadis yang pernah dilihatnya di rumah sakit
dan pemakaman. Sebuah pertemuan juga membuat Kalle mengenal Kara, apa
lagi mereka bertetangga selama di Bogor, dan tante Kalle cukup akrab
dengan gadis itu. Kara adalah seorang seniman keramik yang memiliki
bengkel kerja di rumahnya, juga mengajar seni keramik pada anak-anak
sekolah alam milik sahabatnya, Rere. Di mata Kalle, Kara adalah gadis
aneh yang benar-benar kacau. Kara selalu berpenampilan berantakan,
pelupa, dan ceroboh, tapi juga naif dan baik. Perlahan, Kalle mulai
menaruh perhatian. Hingga sebuah kejadian di tanah pemakaman Eliot
membuat Kalle merasakan hal lain terhadap Kara, meskipun masih tak mau
mengakui. Kalle juga berpikir rekaman-rekaman Eliot tentang Kara
meracuni pikirannya.
Suatu ketika, Kara mendapat penawaran tak terduga untuk berpartisipasi
dalam sebuah pameran seni di galeri milik Inoue-san, seorang kurator
senior dari Jepang, yang memiliki galeri di Jakarta. Sebenarnya itu
merupakan pameran terakhir yang diadakan sebelum galeri beralih fungsi
dan kepemilikan ke tangan perusahaan milik Kalle. Tak disangka, Kara
berhasil menciptakan sebuah karya memukau, bahkan menarik perhatian
seorang profesor seni keramik Jepang yang juga merupakan kenalan
Inoue-san. Profesor tersebut juga menawari Kara untuk belajar lebih
lanjut seni pewarnaan keramik di Tokyo. Tawaran menarik yang sempat
ditolak namun kemudian diterima oleh Kara. Persetujuan Kara ini ada
kaitannya dengan Kalle dan apa yang ditemukannya di ruang kerja Kalle.
Selama perpisatersebut, baik Kara maupun Kalle berusaha mendefinisikan kembali arti bahagia mereka.
REVIEW:
“Saat membuat keramik, kita memindahkan sebagian jiwa kita ke dalamnya. Jiwa yang bahagia menghasilkan keramik yang bahagia. Jiwa yang muram menghasilkan keramik yang muram.” (hal. 178)
“Cinta Eliot kepada Kara, aku bisa merasakannya. Jelas dan nyata. Seakan-akan, Eliot merasuki aku.” (hal. 215)
“Ciuman Kalle seperti serbuk sihir yang membawa aku terbang tinggi. Sangat, sangat, sangat tinggi. Aku tidak tahu cara kembali.” (hal. 298)
“Dia pergi dari rumah Eliot untuk selamanya. Malam itu, aku membuat banyak keramik yang menangis.” (hal. 328)
Blurb-nya beda, berbentuk puisi, kovernya indah, itu kesan pertama saya terhadap "Glaze". Kisah yang sedari halaman awalnya sudah sendu ini mengajak saya menelusuri perasaan dan pemikiran dua tokoh utamanya: Kara dan Kalle, menggunakan sudut pandang orang pertama (mereka berdua secara bergantian). Pemberian judul tiap bab sesuai pergantian POV juga sangat membantu memberikan ‘peringatan’ kepada saya, sehingga saya bisa menyesuaikan diri. Dan, salut sekali dengan ide brilian ini. Tak banyak penulis novel yang memilih POV orang pertama dari dua tokoh sekaligus, apa lagi dua tokohnya ini laki-laki dan perempuan. Tentu dibutuhkan usaha ekstra secara laki-laki dan perempuan jelas berbeda dalam mengekspresikan diri masing-masing. Dan, tak hanya itu, ternyata Kak Windry menambahkan poin plus dengan memberi sentuhan personal pada Kara, misalnya julukan 'Kumal'. Cara dia berbicara, berpikir, bertindak pun punya kekhasan. Seperti ungkapan ‘sangat, sangat, sangat’ dan ‘loop, chamois, spons’, juga tiruan bunyi ‘hu hu hu’, ‘ngit ngit ngit’ yang sering kali muncul dalam bab ‘Kara’. Saya jadi lebih mudah membayangkan sosok Kara, seolah dia lebih hidup di benak saya. Saya juga suka dengan karakter Kalle. Seorang pria yang menyimpan luka, membuat saya turut merasakan berbagai emosi yang campur aduk dan dirasakannya terkait sang papa dan adiknya semasa mereka hidup. Tokoh yang mengundang simpati sekaligus manusiawi dari segi karakternya.
Setting Bogor juga punya nilai personal bagi saya, karena saya juga mencintai kota hujan tersebut, punya kenangan mendalam di sana, sehingga sangat terasa feel-nya terutama ketika di jelang akhir, Kara menggambarkan kerinduannya akan kesemrawutan Bogor. Juga penggambaran sekolah alam, anak-anaknya yang berisik tapi menggemaskan, bengkel keramik dan galeri seni yang sangat apik. Pemaparan tentang seni keramik, proses dan filosofinya pun cukup mudah dipahami orang awam seperti saya tanpa meninggalkan kesan keindahannya. Ilustrasi isi pun sangat membantu menjadikan sosok Kara, Kalle, Eliot, dan adegan-adegan dalam novel lebih hidup.
Perkembangan karakter Kalle maupun Kara pun mengalir, tak terkesan terburu-buru, sehingga saya bisa merasakan ketika mereka patah hati, terkungkung kesedihan, lantas proses merelakan, jatuh cinta lagi, patah hati lagi dan pada akhirnya berusaha mendefinisikan kebahagiaan. Saya terhanyut dengan jalinan kisah keduanya, juga konflik batin dan keraguan yang jelas mengambang. Pada akhirnya, ending memuaskan. Tiga kalimat paling akhir dari bab penutupnya, wow, sederhana tapi sangat tepat sasaran. Kalimat tersebut bercokol dalam benak saya hingga lama setelah saya meletakkan buku. Mirip salah satu ungkapan dalam novel, “seakan-akan Kalle merasuki aku.”. Satu lagi karya brilian dari seorang Windry Ramadhina yang sangat saya rekomendasikan.
“Baik-baik saja tidak sama dengan bahagia.” (hal. 366)
0 komentar:
Posting Komentar