Foto dari SINI |
Aku tak mengira, hal mengerikan itu terjadi padaku. Batinku bermonolog.
Kusentuhkan ujung jari telunjuk kanan ke dinding putih di sisiku. Dingin. Kuukir sebuah nama di sana. Bayu.
***
Nama yang indah. Setidaknya bagi cuping telingaku yang menyukai belai sepoi angin. Bagi anak rambutku yang genit meliuk dipermainkannya.
“Namamu juga indah. Lintang. Segemintang parasmu.”
Sebuah pujian meluncur dari bibir basahnya. Hidung yang bangir sempurna, kulit eksotis, tubuh tegap, pria di hadapanku ini pasti memesona siapa pun yang memandang.
Semenjak hari itu, di jumpa perdana kita di bibir pantai Losari, kau rutin menanyakan kabarku via SMS maupun menelepon langsung. Perhatianmu jelas merekahkan kuncup cintaku. Hingga suatu sore, di pantai kita pertama jumpa, tiga bulan kemudian, kau mengajukan pertanyaan maha penting itu.
“Maukah kau menikah denganku, Lintang?”
Mimik mukamu sungguh-sungguh, tak ada sedikit pun ragu tercetak di sana. Dan kau membawa sebuket Lily, bunga kesukaanku.
“Iya, Bayu, aku mau.”
Dengan tersipu, aku menyodorkan jawab. Kita pun menikah.
***
Semua terasa sempurna, kukira cintamu nyata. Hingga suatu malam, kupergoki engkau sedang mencumbui nafsu bersama seorang gadis. Bukan, dia bukan orang asing. Dia kawan karibku sendiri. Aku marah namun pengakuan dosa dan permohonan maaf yang terdengar tulus meluluhkannya.
Malam itu, ketika kita kembali merangkai kasih, gadis itu datang. Dia agaknya meradang atas pelanggaran janji yang kalian buat. Aku tak tahu janji apa itu, hingga peristiwa durjana itu terjadi. Kau membunuh gadis itu, sahabatku. Dan kau tudingkan semua bukti ke arahku.
Dan di sinilah aku kini. Terkurung, terpasung dalam kamar sempit tak berjendela. Kau jebak aku hanya demi sepundi emas dan dollar.
“Bagaimana kondisi pasien kamar 303 hari ini, Suster?” Lamat-lamat kudengar sebuah suara.
***
Foto dari SINI |
Keren mbak.... Salam kenal ya :)
BalasHapusMakasih, salam kenal juga :)
HapusTwist... ^_^ bagus, Kak Melani... ;)
BalasHapusMakasih udah baca, Anis :)
Hapus