Judul : Purple Eyes
Penulis : Prisca Primasari
Penyunting : Cerberus404
Penerbit : Inari
Cetakan : pertama, Mei 2016
Tebal : 144 hlm; 19 cm
BLURB:
Karena terkadang tidak merasakan itu lebih baik daripada menanggung rasa sakit yang bertubi-tubi.
Ivarr Amundsen kehilangan kemampuannya untuk merasa. Orang yang sangat dia sayangi meninggal dengan cara yang keji dan dia memilih untuk tidak merasakan apa-apa lagi, menjadi seperti sebongkah patung lilin.
Namun, saat Ivarr bertemu Solveig, perlahan dia bisa merasakan lagi percikan-percikan emosi dalam dirinya. Solveig, gadis yang misterius dan aneh.
Berlatar di Trondheim, Norwegia, kisah ini akan membawamu ke suatu masa yang muram dan bersalju.
Namun, cinta akan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.
SINOPSIS:
“Lyre pikir urusan itu akan berjalan lancar,tenang, dan baik-baik saja seperti misi-misi yang dulu dijalani Hades seorang diri. Rupanya Lyre salah. Urusan itu sedikit terhambat, membuat Hades uring-uringan, kesal, dan luar biasa jengkel. Karena selagi menjalankan misi tersebut, Lyre jatuh cinta. Kepada manusia.” (hal. 6)
“Pergi ke bumi dan menghabisi nyawa pendosa tidak segampang kedengarannya... Kematian harus dirancang dengan selogis mungkin, dan itu jugalah yang akan Hades lakukan sekarang.” (hal. 13)
“Orang menangis karena kehilangan itu wajar,” ujar Halstein lagi. “Yang tidak wajar adalah kalau dia tidak menangis. Lebih tidak wajar lagi kalau tidak merasa sedih.” (hal. 50)
Lyre sudah lupa nama aslinya. Semenjak 120 tahun lalu, setelah kematiannya di usia muda, Lyre ditugasi menjadi asisten Hades, sang dewa kematian bersayap dan menjalani rutinitas yang monoton. Hingga suatu masa, turun perintah agar Hades turun ke bumi membereskan sebuah masalah. Masalah itu disebabkan oleh satu manusia bodoh yang membunuhi banyak manusia lain dan mengambili lever para korbannya. Kali ini Hades meminta Lyre menemaninya. Tujuan mereka adalah kota Trondheim, Norwegia, yang kala itu sedang sangat dingin dan bersalju. Hades mengubah namanya menjadi Herr Halstein, dan Lyre menjadi Solveig. Mereka mengunjungi rumah Ivarr Amundsen. Adik Ivarr, Nikolai, adalah salah satu dari korban pembunuhan. Awalnya Solveig bingung apa tujuan Halstein menarget Ivarr dan bagaimana rencana misi mereka akan dijalankan. Agaknya Halstein sengaja memancing keluar segala emosi yang sengaja ‘disembunyikan’ oleh Ivarr dengan membuatnya jatuh cinta kepada Solveig. Barulah rencana membereskan sang pembunuh akan berhasil.
Sayangnya, membuat Ivarr kembali ‘merasa’ bukanlah perkara gampang. Ivarr yang juga sedang berjuang menghadapi penyakitnya ibarat patung lilin, seolah tak memiliki perasaan dan tak menunjukkan ekspresi. Namun berkat kegigihan Solveig, perlahan Ivarr mulai tertarik pada Solveig yang tampak tak seperti gadis-gadis yang pernah dikenalnya. Ketika Ivarr mulai percaya pada Solveig, Halstein sengaja megungkap rahasia tentang identitas pembunuh adiknya dan mendorong Ivarr untuk membalaskan kematian Nikolai. Halstein ingin segera mengakhiri misi dan membuat skenario kematian sang pembunuh selogis mungkin.
Begitu misi dianggap selesai, Halstein dan Solveig harus kembali. Ivarr yang ditinggalkan berusaha mencari tahu kebenaran tentang sosok Solveig hingga rela terbang ke Inggris, yang diyakininya merupakan tanah kelahiran Solveig. Bahkan jika kenyataan yang akan dijumpainya pahit, Ivarr ingin mengenang Solveig.
REVIEW:
“Membenci itu sangat melelahkan, bahkan lebih menguras emosi daripada merasa sedih.” (hal.117)
“Tidak ada salahnya memiliki harapan, baik ketika hidup maupun setelah mati.” (hal. 123)
“Umur 22 tahun atau 200 tahun tidak ada bedanya. Kalau kau sudah meraih semua yang kau inginkan, yang tersisa bagimu hanyalah beristirahat dengan tenang. Dan menjalani kehidupan yang lebih baik setelah kematian.” (hal. 124)
Siapa mengira novel tipis ini tidak sekadar cerita roman biasa? Memadukan tema mitologi dan cinta adalah sesuatu yang memang disukai penulis. Hades, sang dewa kematian yang menjadi tokoh utama kisah ini berhasil mencuri perhatian saya sejak awal cerita. Penggambaran Hades yang sangat rupawan, dengan aura yang gelap dan mengintimidasi, sepasang sayap yang luar biasa indah, dan sikapnya yang dingin sekaligus nyentrik tentu saja mudah disukai pembaca. Saya tertawa di bagian adegan ketika Hades bersiap menyamar dan turun ke bumi. Alih-alih mengenakan pakaian ‘membaur’, dia justru memilih tuksedo putih bak pengantin pria. Dan dia sangat percaya diri. Tepat sekali sebagai gambaran sosok dewa kematian. Sedangkan Lyre sendiri yang dikisahkan berasal dari Inggris, berwajah cantik aristokratis, bermata cokelat indah, dan berambut pendek disertai sifat penurutnya meskipun tak sampai menjadi favorit atau heroine, tapi saya akui pas dengan perannya dalam cerita. Tak lupa sosok Ivarr Amundsen yang tampan, bermata biru gelap nyaris ungu, sangat pendiam dan tertutup, menggelitik rasa ingin tahu dan membuat cukup gemas dengan sikapnya. Penggambaran karakter Nikolai dan kedekatan kakak-beradik ini lewat cerita-cerita Ivarr membuat saya akhirnya bisa memahami Ivarr.
Setting kota bernuansa Skandinavia yang futuristik, yang suram dengan salju, cuaca dingin dan berbadainya memang sebuah pilihan yang tepat. Apa lagi penulis menyisipkan topik mitos, sejarah, sastra dan seni lewat adegan jalan-jalan singkat dan obrolan antara Ivarr dan Solveig yang terkesan mengalir.
Meskipun saya ingin lebih lagi dari penulis (mengingat bukunya terlalu tipis), tapi saya cukup puas dengan keseluruhan eksekusinya. Tak banyak penulis tanah air yang memiliki kecenderungan gaya bercerita seperti ini. Sebuah kisah yang ironis, menghangatkan hati dalam suasana kota yang beku dan muram. Saya sangat menantikan karya keren lain dari Kak Prisca. Akankah ada kisah lain tentang Hades?
0 komentar:
Posting Komentar