Judul : Sayap-Sayap Kecil
Penulis : Andry Setiawan
Penyunting : Yooki
Penerbit : Inari
Cetakan : pertama, Oktober 2015
Tebal : 124 hlm; 19 cm
BLURB:
Para pembaca. Berikut fakta singkat tentang diriku:
1. Namaku Lana Wijaya
2. Ibuku suka memukul dan menyiksaku, bahkan dengan kesalahan sekecil apa pun. Seperti ketika aku lupa membeli obat nyamuk
3. Aku punya tetangga baru, cowok cakep yang tinggal di sebelah rumah
4. Kehadiran cowok cakep tidak mengubah kenyataan bahwa aku sering pergi ke sekolah dengan bekas memar di sekujur tubuhku
5. Doakan aku supaya bisa lulus SMA secepat mungkin dan pergi dari rumah sialan ini.
Buku ini adalah buku harianku. Aku tidak akan merahasiakannya dan membiarkan kalian untuk membaca kisah hidupku yang tidak terlalu sederhana ini. Mungkin sedikit aneh, tapi aku harap kalian bisa belajar dari aku.
SINOPSIS:
“Dia ibuku, orang yang melahirkan diriku. Walaupun aku tidak bisa menghormatinya, atau menganggapnya sebagai panutan, aku tidak bisa membencinya. Dia hanyalah... dia. Mungkin bagiku dia hanyalah orang lain, seperti orang yang kau temui di pinggir jalan dan kemudian kau lupakan wajahnya begitu saja.” (hal. 33)
“Aku harus memikirkan definisi normal bagi diriku, karena kata itu terlalu abstrak untuk direalisasikan. Aku masih belum tahu kehidupan normal seperti apa yang aku inginkan.” (hal. 72)
“Jadi menurutmu aku harus bahagia dengan Ayah yang datang lagi dalam kehidupanku?” “Karena kau bakal punya keluarga selain ibumu.” (hal. 79)
Lana, gadis 16 tahun, tinggal bersama ibunya semenjak perceraian sang ibu dengan ayahnya lima tahun lalu. Ibunya bekerja di klub malam, pulang pagi dan tidur selama Lana bersekolah. Lana lah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, termasuk memasak sebelum ke sekolah. Tapi, serajin dan sepatuh apa pun Lana, ibunya tetap gemar memaki bahkan memukulinya. Alhasil, Lana harus pintar menyembunyikan bekas pukulan yang diperolehnya agar tak seorang pun di sekolah mengetahui. Lana tak memiliki sahabat dekat tapi dia selalu berusaha tampil normal dan ceria di hadapan teman-temannya. Lana tak pernah menceritakan kehidupannya yang suram kepada siapa pun, kecuali ditulis di buku harian. Cita-citanya hanya satu: lekas lulus sekolah dan mencari kerja sehingga bisa hidup mandiri terlepas dari ibunya. Dan meskipun menderita, Lana tetap jadi gadis baik dan hobi memetik gitar sambil menciptakan lagu.
Suatu hari, di atas aula, di bawah tangki air sekolah, yang menjadi tempat kesukaannya, Lana berkenalan dengan seorang pemuda yang mengaku sebagai kakak kelasnya bernama Surya. Surya tinggal sendirian dengan orangtua di luar kota. Ajaibnya, rumah yang ditempati Surya ada di sebelah rumah Lana. Semenjak itulah Lana sering mengobrol dan pulang bersama Surya. Kepada Surya, Lana akhirnya berani mengungkapkan kisah hidupnya.
Sayangnya, kebahagiaan memiliki teman baru yang tampan dan baik itu tak serta merta membuat kehidupannya lebih baik. Sang ibu masih tetap temperamental, bahkan kemudian Lana ketahui perangai itu diperburuk konsumsi obat terlarang yang didapatkan di tempat kerjanya. Suatu hari, seseorang yang mendengar tindakan kekerasan ibu Lana, melaporkan hal itu kepada KPAI. Pelaporan itu ditindaklanjuti dengan penelusuran keberadaan ayah Lana. Ternyata, sang ayah yang selama ini mencari Lana telah memiliki keluarga baru yang bahagia dan dia bekerja sebagai editor sebuah penerbitan. Ayahnya bahkan sempat menghubungi Lana dan meminta bertemu. Sang ayah berencana mengambil alih hak asuh dan membawa Lana tinggal bersamanya. Namun, tak disangka, Lana menolak dan meminta waktu beberapa tahun lagi sampai bisa mandiri dan membalas budi pada sang ibu yang bagaimanapun telah bersusah payah membesarkannya selama ini.
Ketika keputusan itu telah diambil, Lana ingin menceritakannya pada Surya, tapi alangkah terkejut Lana ketika menemukan fakta bahwa Surya tak seperti pengakuannya. Dia bahkan tak menjumpai Surya di mana pun, bahkan di sekolah dan di rumah sebelah. Di lain sisi, Lana juga sempat menemui Bos Rudi, bos klub malam di mana ibunya bekerja dan meminta agar ibunya tidak lagi diberi kesempatan mengonsumsi obat-obatan terkutuk. Tindakan ini langsung memantik kemarahan sang ibu usai mendengar pengakuan bosnya. Lana lagi-lagi dipukuli, kali ini bahkan jauh lebih buruk dari biasanya. Ketika itulah Surya muncul dengan membuat pengakuan mencengangkan. Surya menawarkan dua pilihan sulit untuk Lana.
REVIEW:
“Dunia malam merusakmu. Karena itulah aku ingin keluar. Dunia itu penuh iri hati dan kekerasan. Aku rasa dunia itu memang cocok untukmu.” (hal. 121)
“Beberapa orang diciptakan untuk menjadi jahat. Mungkin Ibu salah satunya. Setidaknya aku sudah punya keberanian untuk mengambil sebuah keputusan, untuk memberinya kesempatan belajar.” (hal. 122)
Sudah banyak novel remaja beredar yang umumnya berlatar kehidupan sekolah, kisah cinta pertama, dan tak jarang disisipi konflik keluarga dan persahabatan. Namun, saya tidak mendapati tipikal kisah tersebut dalam novel ini. Kehidupan sekolahnya sengaja tidak dijadikan fokus cerita, pun kisah persahabatan dan kenakalan masa remaja. Tema utama yang diangkat justru konflik keluarga yang diwarnai kekerasan fisik dan verbal pada anak.
Karakter Lana sebagai tokoh utama, dengan penggunaan sudut pandang orang pertama, menjadi tereksplor dan mampu mengaduk-aduk emosi pembaca. Yang saya salut, penulis tidak menampilkan Lana sebagai sosok gadis remaja cengeng yang gemar mengeluh dan mengasihani diri sendiri. Bahkan di tengah aksi kekerasan ibunya, digambarkan Lana tetap berusaha sabar, mengubahnya menjadi lelucon dan menertawai diri sendiri. Gaya tulisannya—yang cenderung sarkastis dan ironis—dalam buku harian menggambarkan hal ini dengan cukup baik.
Sedangkan kehadiran Surya, menjadi semacam twist yang menyuguhkan kejutan bernuansa fantasi di akhir cerita. Sosoknya sempurna, sekaligus misterius, menggiring pembaca untuk menebak bahwa kisah Lana akan dibumbui nuansa kisah cinta ala remaja. Tokoh ibu dan ayah Lana sendiri, meskipun hanya digambarkan lewat pandangan Lana, menurut saya sudah cukup bisa mewakili karakter yang hendak disampaikan penulis. Suram dan kerasnya kehidupan malam menjadi alasan di balik perpisahan keduanya sekaligus buruknya karakter sang ibu. Kisah ini seakan mengingatkan kita bahwa gemerlap materi sekaligus kerasnya kehidupan memaksa seseorang berubah tanpa mereka sadari dan berdampak negatif pada hubungan dengan orang-orang terdekat. Juga bahwa setiap orang berhak memilih dan memiliki kehidupan layak, siapa pun dia, dan agar kita lebih peduli akan tindak kekerasan domestik, yang bisa saja terjadi di dekat kita. Jika kamu ingin bacaan remaja yang berbeda, novel mengharukan ini sangat tepat dipilih.
0 komentar:
Posting Komentar