Judul : Sophismata
Penulis : Alanda Kariza
Editor : Anastasia Aemilia
Proofreader : Claudia Von Nasution
Desain Sampul : Martin Dima
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : pertama, 2017
Tebal : 272 hlm.; 20 cm
BLURB:
Sigi sudah tiga tahun bekerja sebagai staf anggota DPR, tapi tidak juga bisa menyukai politik. Ia bertahan hanya karena ingin belajar dari atasannya—mantan aktivis 1998—yang sejak lama ia idolakan, dan berharap bisa dipromosikan menjadi tenaga ahli. Tetapi, semakin hari ia justru dipaksa menghadapi berbagai intrik yang baginya menggelikan.
Semua itu berubah ketika ia bertemu lagi dengan Timur, seniornya di SMA yang begitu bersemangat mendirikan partai politik. Cara pria itu membicarakan ambisinya menarik perhatian Sigi. Perlahan Sigi menyadari bahwa tidak semua politisi seburuk yang ia pikir.
SINOPSIS:
“Politik adalah tempat kepentingan yang berbeda-beda diakomodir. Seperti memiliki satu piza yang hendak dimakan banyak orang. Potongan-potongannya dibagikan ke sana-sini. Berapa besarannya? Tergantung proporsi kontribusi mereka terhadap kemakmuran masyarakat. Contoh nyatanya bisa kamu lihat sehari-hari. Misalnya, ketika Presiden bagi-bagi jatah kursi di kabinet untuk birokrat, teknokrat, dan tentunya orang partai.” (hal. 10)
“Ada seorang dokter yang pernah jadi perdana menteri Indonesia keenam. Tidak banyak orang yang tahu namanya. Gue juga kalau nggak baca buku itu mungkin nggak tahu. Namanya dr. Soekiman Wirjosandjojo. Beliau berpendapat bahwa hukum tanpa kekuasaan akan menimbulkan anarki. Sebaliknya, kekuasaan tanpa hukum akan meninggalkan tirani.” (hal. 62)
“Terkadang, kita memang harus terpuruk dulu untuk bisa bangkit,” tambah Timur. “Dessert wine dari Australia, namanya Noble One, adalah salah satu wine terbaik di dunia—sering sekali dapat penghargaan. Gue pernah coba. Rasanya seperti madu, Gi. Ternyata, dibuatnya dari anggur-anggur busuk, atau yang sengaja dibuat busuk. Terkadang mungkin kita memang harus bekerja sampai busuk dulu untuk bisa mencapai sesuatu.” (hal. 109)
Cita-cita Sigi tidak muluk. Dia hanya ingin kenaikan jabatan dari posisinya sebagai staf administrasi. Sayangnya, menurut Johar Sancoyo, atasannya, itu cita-cita yang belum pantas Sigi raih, bahkan setelah tiga tahun bekerja tanpa cela. Berdalih peraturan yang mengharuskan Sigi harus terlebih dulu menempuh pendidikan S2 dan pandangan yang bernada misoginis, Johar Sancoyo selalu menampik permintaan Sigi. Jadwal, e-mail, pemantauan media adalah tiga hal yang harus Sigi lakukan tiap pagi, sebelum atasannya datang. Sigi ingin berbuat lebih banyak, dengan menjabat sebagai tenaga ahli. Dia juga tidak ingin dipandang remeh sebagai wanita oleh kedua rekan prianya: Catra dan Gilbert. Awalnya, Sigi yang berlatar belakang pendidikan ilmu administrasi negara hanya ingin bekerja di lembaga pemerintah. Dia tidak menyukai politik. Sigi mengidolakan Johar Sancoyo (JS) karena satu almamater dan pernah mengenali sepak terjang JS selama masa reformasi.
Hingga suatu hari, ketika menemani JS dalam sebuah pertemuan non-formal di sebuah restoran, Sigi dipertemukan kembali dengan Timur, mantan kakak kelas semasa SMA di Bandung. Agaknya Timur ingin berbincang santai sekaligus belajar dari pengalaman JS dalam berpolitik. Timur dan kedua teman karibnya sedang bersiap mendeklarasikan sebuah partai politik baru. Pertemuan itu lantas berlanjut menjadi obrolan ringan dan pertemuan-pertemuan berikutnya antara Sigi dan Timur. Timur agaknya telah menaruh ketertarikan pada Sigi semenjak mereka masih di SMA, namun ketika lulus mereka berpisah arah. Sigi berkuliah di Yogyakarta, sedangkan Timur mengambil pendidikan ilmu hukum di Jakarta. Timur yang seorang pengacara dan kini bekerja di organisasi pemantau peradilan memandang Sigi sebagai seorang wanita cerdas, tak ragu berterus terang, asertif, dingin, menarik. Sigi pun menyukai Timur yang setiap kali berbicara masalah politik dan idealismenya tampak berapi-api. Di mata Sigi, pria cerdas lebih menarik. Dari kedekatan ini, keduanya saling memahami dan berbagi pandangan masing-masing terkait politik. Pelan tapi pasti, Sigi bisa melihat bahwa tak semua politisi itu buruk. Masih ada politisi-politisi muda yang idealis dan bersih. Meskipun itu tak serta merta membuat Sigi berencana ikut mencemplungkan diri dalam dunia politik.
Di lain sisi, usaha JS untuk bisa memperoleh jabatan menteri, sedang menemukan peluang besar. Ketika Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang sedang menjabat terancam menjadi tersangka dalam kasus penggelapan dana. JS memang selalu menggembar-gemborkan dirinya sebagai pendukung koperasi, bahkan sedang menggulirkan sebuah rancangan program aplikasi untuk menghubungkan semua koperasi di Indonesia. Sigi sendiri melihat ini sebagai peluang untuk menyumbang ide. JS pun menjanjikan peluang kenaikan jabatan jika Sigi berhasil membuatkan janji temu dengan Pak Cipta, Kepala Staf Presiden. JS merencanakan pertemuan itu sebagai upaya agar ‘terlihat’ sebagai kandidat potensial di mata Presiden. Sayangnya, pertemuan yang akhirnya berhasil terjadi dengan Pak Cipta tak membuahkan hasil persis seperti yang diharapkan JS. Janji pada Sigi pun diingkari oleh JS. Justru Pak Cipta secara terpisah menawarkan posisi jabatan dalam tim Staf Kepresidenan pada Sigi. Di sinilah dilema Sigi bermula.
Selain kegagalan target pertemuan dengan Pak Cipta, JS juga tersandung kasus. Seorang wanita muda bernama Megara mendadak muncul dan meneror. Megara bahkan sempat mengirimi Sigi sebuah file yang isinya membuat Sigi ketar-ketir. Hal tersebut berlanjut dengan kemunculan desas-desus di media massa terkait JS dan Megara. Naasnya, justru Sigi yang dituduh berkhianat dan membocorkan rahasia JS, sampai-sampai dia diperintahkan cuti selama beberapa hari dan pulang ke Bandung. Ketika masalah sudah selesai dan diluruskan, Sigi kembali disambut hangat di kantor, bahkan dipastikan akan dikabulkan permintaan kenaikan jabatannya. Sayangnya, kali ini Sigi tak terlalu bersemangat sebab mempertanyakan motif JS. Sigi juga telah kehilangan respek terhadap JS dan kedua rekannya di kantor. Kasus tersebut juga membukakan mata Sigi bahwa pekerjaannya—sebagai tenaga ahli sekalipun—mau tidak mau mengharuskannya terlibat dalam politik. Di masa-masa inilah Timur kembali berperan memberikan dukungan maupun pertimbangan sudut pandang. Hingga pada akhirnya Sigi harus memilih, apakah tetap bertahan di gedung dewan ataukah menerima tawaran Pak Cipta.
REVIEW:
“Tapi, menurut lo, apa memang harus begitu? Harus menggunakan cara yang ‘kotor’ untuk bisa mencapai apa yang kita mau?”
“Nggak harus. Itu semua kan hanya jalan pintas. Tentu saja kita bisa mencapai apa yang kita mau tanpa kehilangan integritas, tapi butuh usaha yang lebih keras.” (hal. 180)
“Kalau boleh jujur, aku nggak terlalu percaya passion. Buatku, bikin kue itu semacam rekreasi. Aku takut kalau itu aku jadikan pekerjaan, nanti malah jadi nggak fun. Lagi pula, perkara do what you love itu terlalu utopis. Semua kerjaan, semenyenangkan apa pun, pasti pada satu titik akan melelahkan. Mending cari kerjaan yang aku sedikit suka, tapi sekaligus menantang. Biar aku juga bisa berkembang, ya kan?” (hal. 201)
“Nggak bisa ya, semua orang jadi teknokrat saja seperti Pak Cipta begitu? Bantu Indonesia tanpa harus melalui partai politik.”
“Negara ini butuh keduanya, dan kamu bebas memilih.” (hal. 265)
Sebuah novel kontemporer yang hendak mengawinkan ide bahasan politik dengan roman ini memang menarik. Secara tampilan, baik kover, judul, dan blurb dikemas apik dan menurut yang saya dengar mengalami berkali-kali penyesuaian dan editing. Endorser juga bertaburan di kover belakang maupun halaman awal buku. Saya setuju dengan beberapa pernyataan yang dikutip. Politik, anak muda, mimpi, dan kisah cinta. Kurang lebih keempat hal tersebutlah yang mewakili isi novel “Sophismata” ini. Bahasanya ringan, disisipi banyak istilah asing maupun dunia politik. Kutipan, dialog, hingga deskripsinya juga cerdas dan berbobot. Cukup banyak pemikiran tokoh-tokoh ternama terkait politik yang bisa dijumpai. Saya juga suka filosofi-filosofi kehidupan yang disajikan penulis yang dikaitkan dengan karakter Sigi, misalnya tentang stress baking, teknik pembuatan kue, hingga kesukaannya terhadap warna hitam-putih. Yang saya sayangkan adalah ketiadaan catatan kaki berisi penjelasan untuk cukup banyak istilah perpolitikan, misalnya konstituen, masa reses dan sidang. Catatan kaki hanya diberikan sebagai penjelasan untuk beberapa singkatan istilah. Saya menerima keluhan serupa dari teman-teman pembaca lain. Padahal novel ini justru ingin menggaet para pembaca yang awam tentang perpolitikan. Selain itu, terkait dua judul buku George Orwell: “Animal Farm” dan “1984” yang sempat muncul sekilas dalam dua adegan, saya rasa kurang dieksplor. Padahal menurut saya buku ini erat kaitannya dengan cikal bakal ketertarikan Timur pada dunia politik. Mengapa tak dimunculkan dialog pendapat Timur dan Sigi tentang dua buku tersebut, sehingga tidak terkesan tempelan?
Terkait karakter Sigi yang anomali, awalnya memang terkesan secara logis sulit dipahami. Tapi, seiring proses menuntaskan membaca, penulis berhasil membuat saya paham akan karakter Sigi dan segala hal yang melatarbelakangi pandangannya. Salah satu yang saya sukai adalah keluarganya. Sang ayah yang notabene kaum akademisi, seorang dosen, yang lebih mengharapkan anaknya berkecimpung di dunia yang sama dan menempuh pendidikan setinggi mungkin. Dan meskipun kurang sependapat dengan keinginan ayahnya, saya rasa ketidaktertarikan Sigi akan dunia politik secara tidak langsung dipengaruhi juga latar belakang ayahnya ini. Beda hal dengan Timur, yang gemar melahap buku-buku lama peninggalan sang kakek dan mengidolakannya, pada akhirnya memengaruhi pola pikirnya terkait hukum dan perpolitikan. Karakter menarik dan unik lain yang saya sukai dari Sigi adalah kegemarannya membuat kue dan memasak, yang diwarisi dari sang ibu. Hal ini menjadikan sosok Sigi tampak feminin, meskipun di lain sisi dia digambarkan sebagai wanita karir yang punya idealisme dan keinginan besar berperan nyata dalam masyarakat. Chemistry antara Sigi dengan Timur berhasil dibangun cukup baik, apa lagi karakter Timur yang dewasa digambarkan cukup berbeda secara pemikiran, seolah mereka saling melengkapi. Kisah romansa yang porsinya tak mendominasi menurut saya sudah pas dan berkesesuaian dengan karakter Sigi-Timur. Saya suka momen-momen pertemuan yang tak sekadar mengumbar adegan romantis ala roman kontemporer umumnya, tapi banyak disisipi dialog saling bertukar pikiran.
Sedangkan dari sisi tokoh Johar Sancoyo, memang karakternya sesuai bayangan saya akan sosok politisi yang flamboyan, pandai berdiplomasi, dan supel, sekaligus memiliki sisi lemah jika berhubungan dengan wanita. Tapi menurut saya kisah kiprah Johar Sancoyo di masa awal reformasi seharusnya bisa lebih banyak dipaparkan, secara dikatakan bahwa dia sempat menjadi tokoh panutan dari Sigi dan Timur. Selain itu, agar pertemuan awal Sigi dan Timur ketika bersama Johar Sancoyo tidak terkesan terlalu kebetulan, jika mengingat Timur ingin belajar tentang masa awal JS berpolitik, bukan sepak terjangnya di masa kini setelah menjabat anggota dewan. Konflik JS dan Megara pun kurang memuaskan bagi saya. Terasa tidak gereget apa lagi dengan penyelesaian konflik yang ‘begitu’ saja. Padahal ketika mencapai klimaks konflik, saya sempat ikut tegang dan mengharapkan sesuatu yang lebih dari penulis.
Secara keseluruhan, bagaimanapun, saya mengapresiasi terobosan baru ini. Ini kali pertama saya membaca novel roman populer dengan nuansa beda. Di sini pembaca diajak membuka mata bahwa dunia politik yang abu-abu memang bukan untuk semua orang dan kita bebas memilh, apakah hendak menjadi politisi, teknokrat atau birokrat. Tapi pada dasarnya negara membutuhkan semua elemen tersebut, terutama sumbangsih nyata bagi kemakmuran rakyat. Jika Anda tertantang untuk mengintip sedikit seluk-beluk dunia politik, ingin berbagi mimpi dengan anak muda seperti Sigi dan Timur, maka novel ini sangat layak dibaca. Dan sebagai penulis, saya menantikan karya berbobot selanjutnya dari seorang Alanda Kariza.
"What happens when you dislike politicians so much, yet you fall in love with one?"
0 komentar:
Posting Komentar