Selasa, 07 November 2017

Welcome Home Rain: Memahami Arti Mimpi dan Ambisi

Posted by Menukil Aksara | 10:40:00 AM Categories:
Judul buku                      : Welcome Home, Rain
Penulis                            : Suarcani
Penyunting                      : Midya N. Santi
Penerbit                          : Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku                      : 304 hlm.; 20 cm
Cetakan                          : pertama, 2017

BLURB:
    “Kamu tahu apa bedanya mimpi dan ambisi, Ghi?”

    Ghi tidak mau lagi menyanyikan Welcome Home, Rain, lagu duet ciptaan Kei. Sejak pemuda itu memergoki Kei keluar dari kamar hotel dengan bos perusahaan rekaman terkenal, ia tidak lagi mau berhubungan dengan segala hal tentang gadis yang menjadi kekasih sekaligus pasangan duetnya. Toh, job menyanyi masih mengalir deras untuk Ghi yang sudah lebih dulu tenar dan dipuja banyak orang.

    Bagi Kei, skandal itu menutup pintu mimpinya. Bermain piano dan menyanyi tidak lagi dapat dilakukan tanpa menghadirkan perih di hati. Bahkan omelan Mama yang setiap hari mengisi hari-hari mereka dalam kemiskinan setelah Papa bunuh diri tak mampu memaksanya kembali ke dunia musik.

    Hingga tawaran duet di panggung pada hari Valentine tiba. Baik Ghi ataupun Kei tidak dapat mengelak. Ghi butuh membuktikan kepada fans dan haters yang mengejeknya cengeng karena belum bisa move on. Kei butuh uang untuk melunasi utang Mama yang tak sanggup lepas dari hidup mewah.

    Dengan kembali berduet di panggung, mereka berusaha memahami arti mimpi dan ambisi yang sesungguhnya.

SINOPSIS:
    “Piano adalah cinta pertamanya.” (hal. 26)
    “Ghi tidak membenci hujan, ia hanya kesal karena kenangan itu akan selalu mengekor ketika titik-titik air menjejak tanah.” (hal. 31)
    “Setiap luka itu butuh obat, Ghi. Termasuk sakit hati. Tapi kalau ngobatinnya saja longgak mau, kapan luka lo sembuh?” (hal. 42)
    “Kenapa milih piano?”
    “ Mungkin karena piano itu seperti hujan,” kata Kei. “Mereka bisa menghasilkan polifoni.” (hal. 74)

Kei sang pianis yang pernah menjadi penyanyi pendatang baru sekaligus partner duet Ghi, kini menjauh dari dunia hiburan. Sebuah skandal yang menghebohkan media massa memaksanya menyingkir sekaligus mengakhiri hubungan asmaranya dengan Ghi secara tragis. Kei berusaha hidup normal meskipun masih kerap mendengar cemoohan masyarakat dan teman-teman sekampusnya. Dia juga harus rela diomeli sang mama tentang kebodohannya. Juga tuntutan untuk tetap menopang gaya hidup mewah orangtua satu-satunya itu. Sepeninggal sang papa sekaligus bangkrutnya bisnis keluarga, Mama melampiaskan segalanya pada Kei. Hingga suatu hari, tawaran untuk berduet kembali dengan Ghi di panggung dalam sebuah acara besar  datang lewat Soraya, manajer Ghi.

    Ghi sendiri tetap eksis menyanyi dan masih dipuja fans, walaupun di belakang ada saja haters yang mencibir terkait keputusannya menolak menyanyikan lagu duet dengan Kei dulu. Meski Ghi mengelak, pada faktanya dia memang patah hati dan sakit hati pada Kei dan atas skandal yang dulu terjadi. Kali ini Soraya memaksanya membuktikan bahwa dia tidak seperti sangkaan para haters. Pada akhirnya, baik Ghi maupun Kei menyerah dan terpaksa menerima tawaran duet di panggung tersebut dengan alasan masing-masing.

    Di saat bersamaan, seorang pria yang jauh lebih dewasa bernama Sunu mengenalkan diri sebagai kenalan Mama Kei dan bermaksud menjalin hubungan serius dengan Kei. Kei tentu saja menolak, namun dia tak kuasa menolak mentah-mentah. Kehadiran Sunu dan kembalinya Kei menyanyi di kafe milik Danan, yang sempat disaksikan Ghi, membuat Ghi makin membenci Kei. Namun Kei tak ambil pusing. Kei tetap memilih bungkam tentang kehidupan pribadinya. Bahkan terhadap Donna, adik Danan yang juga merupakan sahabat karibnya, Kei menutup diri. Persahabatan dengan Donna yang berubah pelik karena suatu hal juga menjadi alasan Kei menjaga jarak.

    Tanpa disangka, kembalinya Kei dan Ghi berduet mengungkap banyak rahasia. Tentang rahasia besar keluarga Kei, rahasia kelam Donna, apa yang terjadi dengan bos perusahaan rekaman besar, hingga perasaan Kei dan Ghi satu sama lain. Mereka juga mengoreksi kembali apa tujuan mereka bermusik selama ini, tentang mimpi dan ambisi, dan arti penting keluarga.


REVIEW:
    “... jika kamu berhenti nyanyi hanya karena omongan para hater, itu sama saja dengan menitipkan uang kamu di dompet mereka.” (hal. 108)
    “Membenci itu wajar, tapi kalau sampai lo benci diri sendiri karena patah hati sebegitu dalam, itu sudah kelewatan namanya.” (hal. 117)
    “Mimpi, cita-cita... itu tidak akan pernah lenyap, bisa kita gapai kapan pun kita mau selama kita berusaha.” (hal. 234)
    “Sama halnya dengan lagu, setiap kehidupan memiliki melodinya sendiri. Not-not itu adalah momen-momen dalam hidup.” (hal. 295)

    Menggunakan alur campuran maju-mundur dan sudut pandang orang ketiga dalam penceritaan, novel dengan tema musik, cinta, dan konflik kehidupan ini sangat menarik bagi saya. Semenjak awal, nuansa sendu dengan dilatarbelakangi hujan yang kerap turun juga sangat mendukung emosi yang saya rasakan selama membaca.

    Penulis berhasil menggabungkan keindahan lagu, musik (terutama piano) dengan hujan, beserta segala filosofinya sepanjang cerita. Bagi pembaca awam seperti saya, informasi dan filosofi permainan piano disajikan dengan apik, menggunakan istilah-istilah dan pemaparan yang mudah dipahami, tak hanya lewat deskripsi langsung, tapi juga diselipkan dalam adegan dan dialog. Bagi saya, musik menjadi jiwa cerita, tak sekadar tempelan atau pemanis.

    Dua tokoh utama, Kei dan Ghi memang bukan sosok dengan karakter manis yang membuat saya terpesona dengan segala kelebihan mereka. Mereka cenderung mewakili sisi manusiawi; dua anak muda yang berusaha memahami hidup dengan segala keterbatasan mereka. Ghi, meskipun secara penampilan rupawan, dipuja banyak penggemar, namun punya sisi rapuh, terutama pasca kandasnya kisah cinta dengan Kei. Ghi juga menampilkan sisi ‘nakal’ dengan kegemarannya tebar pesona, menggoda para gadis cantik yang mengelilinginya. Sementara Kei, gadis dengan latar belakang keluarga yang pelik, sangat tertutup, dan cenderung keras kepala jika sudah menetapkan sesuatu hingga membuat saya gemas, kadang seolah lebih suka menyiksa diri sendiri ketimbang berbagi kesedihan dengan orang lain. Tapi, bagaimanapun, Kei mengundang simpati atas ketegarannya menjalani ujian hidup dan kasih sayangnya terhadap sang mama. Kak Suarcani menurut saya mengajak pembaca memaknai hidup yang tak selalu manis lewat dua sosok ini. Tokoh-tokoh lain seperti Donna, Danan, Soraya, Damian, Sunu, hingga Mayuni sang mama pun cukup kuat menyokong jalinan cerita.

    Konflik yang disuguhkan juga tak melulu soal cinta anak muda, tapi juga tentang kejamnya dunia hiburan, tentang keluarga (hubungan anak dan orangtua), bahkan filosofi kehidupan seperti filosofi koin. Meski rumit, karena penulis mengungkapkan runut, termasuk rahasia-rahasia besar lewat kilas balik, saya merasa puas. Eksekusi ending dan twist pun mampu ‘membayar’ kekesalan saya sepanjang cerita dengan baik. Novel yang briian dalam hal ide dan eksekusi, hingga saya rasa sangat recommended bagi para pencinta romance young-adult Indonesia. Sebuah pengalaman membaca yang sama sekali tak mengecewakan.

Kala langit tak mampu menahan,
Mentari tidak cukup hangat menyentuh,
Kamu turun menghapus debu,
Menyapaku dalam deru
Welcome home, Rain


0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube