Ramadhan adalah tamu yang wajib disambut dan dimuliakan, demikian petuah yang biasa diperdengarkan menjelang dan selama bulan penuh berkah ini berlangsung. Keutamaan Ramadhan, bagi yang semenjak lahir sudah memeluk Islam sepertiku acapkali diajarkan semenjak dini. Di usia sekolah dasar, aku mulai dianjurkan berpuasa oleh ibuku. Puasa semenjak azan Subuh hingga Maghrib bagi seorang kanak-kanak tentulah belum sekokoh mereka yang telah dewasa. Bagiku kala itu, puasa terasa cukup berat. Ini diperparah oleh kondisiku yang disekolahkan di sebuah sekolah swasta Katolik. Ya, akibat terlampau perfeksionis dalam menetapkan standar kedisiplinan pengajaran, ibuku merelakanku menuntut ilmu di sekolah berbasis non Muslim.
Aku ingat betul kala itu. Ramadhan bertepatan dengan musimnya ujian sekolah. Kotaku yang terletak di garis pantai memang terkenal panas. Terik mataharinya mampu melelehkan keringat dan memicu rasa haus yang teramat menyiksa. Diantara jadwal ujian, ada satu jadwal yang merisaukan. Ujian itu tak lain adalah ujian praktik olahraga. Hari itu aku diuji dalam beberapa cabang olahraga, antara lain senam dan lari. Ah, terbayang bukan, betapa seorang anak kecil yang masih doyan merengek diwajibkan menahan dahaga di saat kawan-kawan lain bebas minum dan makan di hadapannya. Begitu ujian berakhir dan aku pulang ke rumah, bisa dipastikan aku mengeluh tak sanggup meneruskan puasa. Dengan muka ditekuk sedalam mungkin dan hati yang gondok, aku mengomel hingga didengar oleh ibu. Alih-alih menghibur atau memberikan keringanan, ibuku malah menekankan agar aku jangan cengeng dan uring-uringan. Karena kesal, aku mendekam di kamar selepas pulang sekolah. Entah karena fisikku yang lelah, bibirku yang capek mengeluh, atau memang efek tubuh yang sedang berpuasa sehingga mudah mengantuk, aku pun tertidur. Dan taraa.. sore pun menjelang dan azan Maghrib tinggal menghitung menit. Aku sukses melanjutkan puasaku hingga waktu berbuka tiba.
Lain masa sekolah dasar, lain pula masa sekolah menengah pertama. Kali ini kehebohan puasa ala pemula masih terasa. Salah satu kewajiban dari sekolah—yang jika dipikir sekarang agak konyol—adalah mengumpulkan absensi tarawih pribadi di masing-masing lingkungan tempat tinggal, lengkap dengan dibubuhi tanda tangan takmir—pengurus—masjid. Bisa dipahami maksud baik dari penugasan ini, agar siswa-siswi rajin melaksanakan ibadah sholat yang spesial hadir setahun sekali itu. Kelemahannya adalah penugasan tak diimbangi dengan penanaman pemahaman niat ikhlas dalam beribadah. Alhasil, aku dan beberapa kawan yang tinggal dalam satu kompleks tempat tinggal memaknai tugas ini sebatas formalitas sekaligus menghindari nilai jelek di rapor—meskipun aku tidak sepenuhnya yakin penugasan ini berdampak signifikan terhadap nilai.
Demi mendapatkan tanda tangan bukti keabsahan absensi tarawih, kami mau tak mau harus mengenal salah satu pengurus masjid. Anehnya, alih-alih mencari tahu, kami membuat asumsi sendiri bahwa pengurus masjid itu bisa siapapun, asalkan dia tampak selalu menghadiri jamaah tarawih. Salah satu kandidat terkuat itu adalah seorang pemuda tetangga yang ramah. Jadilah kesepakatan tercapai. Setiap selesai menjalankan ibadah tarawih, dengan malu-malu kami menghampiri pemuda itu dan memintanya menandatangani buku absensi tarawih kami. Pemuda baik hati itu pun tak keberatan. Yang terpenting, di akhir Ramadhan kami bisa mengumpulkan buku itu tanpa cela.
Satu hal yang masih melekat di benakku hingga sekarang tentang Ramadhan di kotaku adalah suasana tarawih yang nyaris sama di mana pun. Di tiap masjid perumahan, akan selalu ada barisan anak-anak dan remaja yang datang bergerombol—kerapkali membuat “shaf khusus” anggota geng mereka—dan menyisakan rakaat-rakaat akhir dengan keriuhan. Tingkah laku mereka ini seringkali mengundang teguran dari jamaah dewasa. Namun bukan kanak-kanak namanya jika mereka patuh begitu saja. Di lingkungan rumahku sekarang, terdapat tradisi pembagian kue-kue basah setiap usai tarawih. Maka jamaah yang paling antusias berebut kue sudah bisa dipastikan adalah jamaah biang keriuhan itu. Meski polah mereka ini perlu dibenahi, namun masa-masa ini pasti membekaskan kenangan tak terlupa kala mereka telah matang kelak. Sama halnya dengan yang kurasakan sekarang.
Aku ingat betul kala itu. Ramadhan bertepatan dengan musimnya ujian sekolah. Kotaku yang terletak di garis pantai memang terkenal panas. Terik mataharinya mampu melelehkan keringat dan memicu rasa haus yang teramat menyiksa. Diantara jadwal ujian, ada satu jadwal yang merisaukan. Ujian itu tak lain adalah ujian praktik olahraga. Hari itu aku diuji dalam beberapa cabang olahraga, antara lain senam dan lari. Ah, terbayang bukan, betapa seorang anak kecil yang masih doyan merengek diwajibkan menahan dahaga di saat kawan-kawan lain bebas minum dan makan di hadapannya. Begitu ujian berakhir dan aku pulang ke rumah, bisa dipastikan aku mengeluh tak sanggup meneruskan puasa. Dengan muka ditekuk sedalam mungkin dan hati yang gondok, aku mengomel hingga didengar oleh ibu. Alih-alih menghibur atau memberikan keringanan, ibuku malah menekankan agar aku jangan cengeng dan uring-uringan. Karena kesal, aku mendekam di kamar selepas pulang sekolah. Entah karena fisikku yang lelah, bibirku yang capek mengeluh, atau memang efek tubuh yang sedang berpuasa sehingga mudah mengantuk, aku pun tertidur. Dan taraa.. sore pun menjelang dan azan Maghrib tinggal menghitung menit. Aku sukses melanjutkan puasaku hingga waktu berbuka tiba.
Lain masa sekolah dasar, lain pula masa sekolah menengah pertama. Kali ini kehebohan puasa ala pemula masih terasa. Salah satu kewajiban dari sekolah—yang jika dipikir sekarang agak konyol—adalah mengumpulkan absensi tarawih pribadi di masing-masing lingkungan tempat tinggal, lengkap dengan dibubuhi tanda tangan takmir—pengurus—masjid. Bisa dipahami maksud baik dari penugasan ini, agar siswa-siswi rajin melaksanakan ibadah sholat yang spesial hadir setahun sekali itu. Kelemahannya adalah penugasan tak diimbangi dengan penanaman pemahaman niat ikhlas dalam beribadah. Alhasil, aku dan beberapa kawan yang tinggal dalam satu kompleks tempat tinggal memaknai tugas ini sebatas formalitas sekaligus menghindari nilai jelek di rapor—meskipun aku tidak sepenuhnya yakin penugasan ini berdampak signifikan terhadap nilai.
Demi mendapatkan tanda tangan bukti keabsahan absensi tarawih, kami mau tak mau harus mengenal salah satu pengurus masjid. Anehnya, alih-alih mencari tahu, kami membuat asumsi sendiri bahwa pengurus masjid itu bisa siapapun, asalkan dia tampak selalu menghadiri jamaah tarawih. Salah satu kandidat terkuat itu adalah seorang pemuda tetangga yang ramah. Jadilah kesepakatan tercapai. Setiap selesai menjalankan ibadah tarawih, dengan malu-malu kami menghampiri pemuda itu dan memintanya menandatangani buku absensi tarawih kami. Pemuda baik hati itu pun tak keberatan. Yang terpenting, di akhir Ramadhan kami bisa mengumpulkan buku itu tanpa cela.
Satu hal yang masih melekat di benakku hingga sekarang tentang Ramadhan di kotaku adalah suasana tarawih yang nyaris sama di mana pun. Di tiap masjid perumahan, akan selalu ada barisan anak-anak dan remaja yang datang bergerombol—kerapkali membuat “shaf khusus” anggota geng mereka—dan menyisakan rakaat-rakaat akhir dengan keriuhan. Tingkah laku mereka ini seringkali mengundang teguran dari jamaah dewasa. Namun bukan kanak-kanak namanya jika mereka patuh begitu saja. Di lingkungan rumahku sekarang, terdapat tradisi pembagian kue-kue basah setiap usai tarawih. Maka jamaah yang paling antusias berebut kue sudah bisa dipastikan adalah jamaah biang keriuhan itu. Meski polah mereka ini perlu dibenahi, namun masa-masa ini pasti membekaskan kenangan tak terlupa kala mereka telah matang kelak. Sama halnya dengan yang kurasakan sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar