Senin, 07 Juli 2014

[resensi novel] Memungut Hikmah Menjemput Hidayah dari Jejak Islam di Eropa

Posted by Menukil Aksara | 6:38:00 AM Categories:



Judul Buku                        : 99 Cahaya di Langit Eropa – Perjalanan Menapak  
                                          Jejak Islam di Eropa (Edisi Cover Film)
Penulis                              : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Desain Isi dan Grafis Peta   : Suprianto
Desain Sampul                  : Maxima Pictures
Penerbit                            : Gramedia Pustaka Utama, Januari 2014

    Apa yang Anda bayangkan jika mendengar “Eropa”? Eiffel? Colosseum? San Siro? Atau Tembok Berlin? Bagi saya, Eropa adalah sejuta misteri tentang sebuah peradaban yang sangat luhur, peradaban keyakinan saya, Islam. Buku ini bercerita tentang perjalanan sebuah “pencarian”. Pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan Islam di benua ini. Dalam perjalanan itu saya bertemu dengan orang-orang yang mengajari saya, apa itu Islam rahmatan lil alamin. Perjalanan yang mempertemukan saya dengan para pahlawan Islam pada masa lalu. Perjalanan yang merengkuh dan mendamaikan kalbu dan keberadaan diri saya. Pada akhirnya, di buku ini Anda akan menemukan bahwa Eropa tak sekadar Eiffel atau Colosseum. Lebih... sungguh lebih daripada itu.
    Paragraf pernyataan di atas dapat dibaca di bagian belakang sampul buku ini. Sebuah pernyataan yang sangat menarik minat siapa pun untuk membuka lembar demi lembar buku ini dan menelisik apa isinya. Ibarat membuka jendela dunia, menjelajah Eropa lewat kisah perjalanan duo penulisnya—Hanum dan Rangga—yang merupakan pasangan suami istri.

Sinopsis
    “Wahai anakku! Dunia ini bagaikan samudra tempat banyak ciptaan-ciptaan-Nya yang tenggelam. Maka jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah. Jadikan ketakutanmu pada Allah sebagai kapal-kapal yang menyelamatkanmu. Kembangkanlah keimanan sebagai layarmu, logika sebagai pendayung kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nahkoda perjalananmu; dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaan.” Penggalan petuah Ali bin Abi Thalib di atas membuka lembar perjalanan dalam buku ini. Sudah terlalu banyak buku traveling sebelumnya, terutama tentang Eropa dan segala keindahannya. Di buku ini kedua penulis berupaya memaknai perjalanan lebih besar dari itu. Sebuah perjalanan harus bisa membawa pelakunya naik ke derajat yang lebih tinggi, memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan. Hanum dan Rangga, pasangan suami istri yang beruntung dapat merasakan tiga tahun lebih kehidupan di Eropa mengisahkan pernak-pernik kisahnya dalam sudut pandang penceritaan orang pertama (aku-Hanum). Kisah dimulai ketika Hanum berkenalan dengan seorang muslimah imigran dari Turki bernama Fatma Pasha di sebuah kursus bahasa Jerman. Perkenalan ini berlanjut menjadi persahabatan atas nama iman. Fatma senang mengajak Hanum berpelesir ke tempat-tempat bersejarah di Wina, Austria, di mana mereka berdiam saat itu. Lewat perjalanan wisata inilah Fatma yang berperan sebagai tour guide amatiran bagi Hanum banyak menyibak jejak peradaban Islam di Austria dan Eropa pada umumnya. Hingga pada suatu hari, mereka menjalin mimpi bersama untuk dapat mengunjungi situs-situs bersejarah peninggalan peradaban Islam lainnya di Eropa, seperti di Istanbul, Granada, Cordoba, Vienna, Paris, hingga ke Kairo, Roma, Mekkah, dan Madinah. Sayang, musibah menerpa Fatma yang mengharuskannya menghilang sementara waktu dari kehidupan Hanum. Hanum yang kebingungan memutuskan melanjutkan mimpi mereka dengan menjelajahi situs-situs bersejarah tersebut bersama suaminya. Catatan perjalanannya ditulis dan dikirim ke surel Fatma secara rutin meskipun tak satu pun menuai balasan. Hingga suatu hari, secara tak terduga Fatma mengirimkan sebuah pesan yang mengabarkan alasannya menghilang dan meminta Hanum mengunjunginya di Turki.

Isi Buku

    Buku ini sangat padat muatan sejarahnya. Tiap lembarnya menyimpan rahasia yang berusaha dikuak oleh kedua penulisnya. Lebih daripada itu, kisah tentang perjuangan para muslim minoritas dalam mempertahankan keIslaman di benua yang dihuni mayoritas penganut atheis dan sekuleris ini sangat menarik disimak.
    Banyak kutipan menarik di dalamnya, antara lain:
•    Seorang turis di asing di Kahlenberg menyebut roti croissant bukan dari Perancis melainkan dari Austria. Roti ini untuk merayakan kekalahan Turki di Wina. Croissant melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan. Sehingga memakan croissant berarti memakan Islam. (hal. 39)
•    Turki pernah hampir menguasai Eropa Barat. Sekitar 300 tahun lalu, pasukan Turki yang sudah mengepung Wina dipukul mundur oleh gabungan Jerman dan Polandia di atas bukit Kahlenberg. (hal. 42)
•    Kara Mustafa Pasha, panglima perang khalifah Usmaniyah/Ottoman dilukis seperti seorang pesakitan dan lukisan dirinya dipajang di dalam Wien Stadt museum. (hal. 79)
•    Syiar Muslim di Austria: tebarkan senyum indah, kuasai bahasa Jerman dan Inggris, selalu jujur dalam berdagang. (hal. 90)
•    Patung Saint Michel yang menjadi ikon Paris merupakan penggambaran malaikat Mikail dalam Islam. Dalam tradisi Kristen, Mikail dikenal sebagai malaikat perang, sementara di Yahudi, Mikail berarti ‘dia yang menyerupai Tuhan’. (hal. 133)
•    Voltaire, seorang sastrawan atheis yang pernah menulis karya yang menghinakan Islam, pernah juga menulis sebuah esai tentang Islam yang menjunjung toleransi dan mengagumi kepemimpinan Nabi Muhammad. (hal. 137)
•    Di Section Islamic Art Gallery, Museum Louvre banyak ditemukan tulisan kufic dan pseudokufic di berbagai benda peninggalan sejarah. Selain itu yang kontroversial adalah di kerudung lukisan bunda Maria dan mantel koronasi raja Roger II.
•    Axe Historique atau garis imajiner yang tepat membelah Paris, memiliki julukan lain Voie Triomphale atau jalan kemenangan, jika ditelusuri lebih jauh ke timur hingga melampaui Eropa akan membawa garis ke Mekah. Salah satu rahasia besar tentang keIslaman Napoleon Bonaparte. (hal 177)
•    Kota yang mendapat julukan city of lights karena cahaya pengetahuan dan peradabannya yang bersinar di masa lalu berkat Islam adalah Cordoba. (hal. 194)
•    Di Notre Dame banyak dijumpai kemiripan arsitektur dengan Mezquita, masjid terbesar di Cordoba yang kemudian dialihfungsikan menjadi gereja. (hal. 200)
•    Arah mihrab di Mezquita tidak sepenuhnya menghadap kiblat. Penguasa saat itu, Sultan Al Rahman, sengaja membuatnya demikian karena di sebelah Mezquita terdapat gereja yang lebih dulu berdiri. Meski demikian, pada praktiknya jamaah tetap shalat menyerong ke arah kiblat. (hal. 274)
•    The Last Moor’s Sihgyang terkenal di Al Hambra merupakan tempat Boabdil terakhir kalinya memandang Granada setelah diusir oleh Isabella dan Ferdinand akibat penaklukan kerajaan Spanyol. (hal. 301)
•    Di Hagia Sophia ditemukan dua ruh desain arsitektur yang berbeda, peninggalan kekaisaran Byzantium dan kekhilafahan Ottoman. (hal. 334)
•    Sultan Mehmed membangun Blue Mosque tepat di depan Hagia Sophia seolah-olah ingin mengatakan peradaban Islam tak kalah dengan Byzantium. (hal. 341)
•    Desain sederhana dari istana Topkapi melambangkan prinsip para sultan masa itu yang tidak menghendaki kemewahan dan kesempurnaan, karena kesempurnaan adalah milik Allah. (hal. 349)
Sesungguhnya masih banyak kutipan menarik lainnya terkait kehidupan beragama di Eropa khususnya bagaimana kaum Muslim minoritas diperlakukan, yang dapat dijumpai dalam buku setebal 420 halaman ini. Selain itu, buku ini dilengkapi kisah di balik layar pembuatan film yang diadaptasi dari novel ini, mulai dari penggarapan naskah, casting, dan pengambilan gambar.

Kekurangan Buku
    Sebagai karya manusia, buku ini tak lepas dari ketidaksempurnaan. Sebagian kecilnya disebabkan oleh sedikit kesalahan cetak dan EYD. Sebagian besarnya karena sudut pandang pemikiran penulis yang tak dapat dimungkiri tertuang dalam buku ini. Saya sangat menyayangkan pendapat-pendapat penulis yang terkesan merendahkan jihad yang dilakukan kekhilafahan Islam dan disamakan dengan penaklukan dan kolonialisme bangsa-bangsa nonmuslim. Bahkan buku ini diawali dengan adegan kekalahan panglima Kara Mustafa yang ditafsirkan sepihak menjadi fiksi dengan menyudutkan Kara sebagai pecundang yang kalah perang. Hal ini bisa dikatakan lucu dan ironis mengingat berkat jihad dengan tujuan memperluas dakwah Islam dengan kekuatanlah peradaban Islam dapat dijumpai jejak-jejak keemasannya di seantero Eropa oleh kedua penulis.
    Terlepas dari opini-opini pribadi sang penulis, buku ini layak dibaca oleh generasi muda Islam masa kini demi membangunkan kembali ghirah perjuangan dakwah Islam dan kebanggaan atas identitasnya sebagai bagian umat yang pernah jaya dan memimpin dunia. Saya memberi 4/5 bintang untuk buku ini.




0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube