Minggu, 30 November 2014

[resensi] Apa yang Kau Tuai, Apa yang Kau Tanam

Posted by Menukil Aksara | 10:06:00 PM Categories:


Judul Novel    : Charlie and the Chocolate Company (Charlie dan Pabrik
                         Cokelat Ajaib)
Penulis           : Roald Dahl
Ilustrasi          : Quentin Blake
Alih Bahasa   : Ade Dina Sigarlaki
Penebit          : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan         : Juli, 2002
Jumlah Halaman: 200 hlm; 20 cm
ISBN              : 979-686-889-X

Sinopsis:

    Willy Wonka dikenal sebagai pria misterius yang memiliki sekaligus mengelola sebuah pabrik cokelat raksasa yang sangat termahsyur kelezatannya. Saking fenomenal cita rasa produk olahan pabrik Mr. Wonka, banyak pesaing yang berlaku curang dengan mengirim mata-mata. Mata-mata tersebut menyamar sebagai pekerja di pabrik Mr. Wonka demi mengulik resep rahasia produk-produk andalannya. Merasa tertipu dan dirugikan, Mr. Wonka yang marah memutuskan memberhentikan semua pekerja dan menutup pabrik.

    Ajaib, sesudah bertahun-tahun tak terlihat asap mengepul dari cerobong pabrik; suatu hari, orang-orang menemukan pabrik Mr. Wonka beroperasi kembali. Anehnya, mereka tak pernah menyaksikan pekerja yang keluar masuk. Hanya tersebar rumor bahwa manusia-manusia pendeklah yang kini mengambil alih tugas para pekerja terdahulu.

    Kegemparan melanda ketika suatu ketika Mr. Wonka mengumumkan peredaran lima tiket emas dalam poduk cokelat yang berisi undangan istimewa bagi lima anak yang beruntung untuk mengunjungi pabrik cokelatnya seharian. Seorang anak laki-laki miskin, Charlie Bucket, menjadi salah satu anak yang sangat mendambakan keberuntungan undangan tersebut. Namun, dia sadar bahwa kemiskinan orangtuanya jelas memperkecil kemungkinan. Hingga, keajaiban itu terjadi. Dari sebatang cokelat yang mampu dibelinya di hari-hari terakhir jelang undangan, Charlie berkesempatan menjadi salah satu tamu kehormatan Mr. Wonka. Petualangan menakjubkan pun dimulai.

Ulasan Novel:

    Novel anak ini termasuk novel klasik terkenal yang bahkan sudah difilmkan. Saya sendiri lebih dulu menonton versi film daripada membaca versi novel. Di sampul depan tertulis pula stempel berbunyi, “Pengarang Favorit Anak-Anak Sedunia”, yang notabene dialamatkan pada Roald Dahl. Membaca ini tentu banyak ekspetasi dari pembaca novel. Tapi setelah menuntaskan bacaan saya sekaligus memutar ulang kaset rekaman otak terkait filmnya, ada bagian-bagian yang menurut saya kurang patut menjadi gaya penceritaan sebuah novel anak.

    Lima anak di dalam Charlie and the Chocolate Company ini menurut saya menggambarkan karakter anak-anak pada umumnya, baik maupun buruk. Bahkan, empat diantara mereka menggambarkan sosok anak yang kerap mendapat cap “anak nakal”. Satu-satunya tokoh anak baik di dalam cerita—sekaligus menjadi tokoh utama—adalah seorang Charlie Bucket yang kesehariannya sangat miskin namun penurut, penyayang pada keluarga, dan penyabar.

    Augustus Gloop dideskripsikan bertubuh kelewat tambun dan rakus. Begini deskripsinya:
    “Dalam foto itu tampak seorang anak laki-laki yang begitu gemuk sehingga tampak seperti habis ditiup dengan pompa yang sangat kuat. Lipatan lemak mencuat dari seluruh tubuhnya, dan wajahnya terlihat seperti gumpalan adonan roti dengan dua mata kismis kecil yang tamak mengintip keluar.” (halaman 36)

    Veruca Salt, anak perempuan yang terlampau dimanja kedua orangtuanya. Dikatakan bahwa ayah Veruca yang seorang pengusaha rela memborong semua cokelat Wonka yang bisa didapatnya, mengangkut dengan truk, lantas memerintahkan para pekerja pabriknya untuk mengupas bungkus satu per satu sampai ditemukan satu tiket emas (halaman 40-41).

    Violet Beauregarde di sisi lain, merupakan sosok anak perempuan yang terobsesi pada permen karet sampai-sampai mengunyahnya sepanjang hari. Anak laki-laki terakhir bernama Mike Teavee, seorang pecandu televisi. Tidak dijelaskan secara gamblang mengapa anak ini bisa mendapat tiket emas. Kemungkinan hanya kebetulan di tengah keasyikannya menatap layar kaca.

    Secara keseluruhan, Roald Dahl di sini mengutamakan sisi-sisi kreatifnya dalam menciptakan tokoh Willy Wonka, aneka kreasi di pabriknya, bahkan para Oompa-Loompa yang mungil. Deskripsi keajaiban seisi pabrik dan nama-nama serta keunggulan produk pabrik Wonka tereksplor secara memukau di sepanjang kisah. Roald Dahl bahkan menyertakan syair-syair lagu yang didendangkan para Oompa-Loompa saban kali terjadi peristiwa mencengangkan pada anak-anak undangan. Tidak heran jika versi layar lebarnya menjelma menjadi film musikal dengan gambaran yang sangat hidup dan visual efek yang menawan.

    Walaupun demikian, saya mendapati cukup banyak adegan, dialog, syair lagu, yang cukup sarkastik untuk ditulis dalam sebuah novel anak. Sebagai contoh, Mr. Wonka acapkali menegaskan pada anak-anak agar tidak mendebat. “Jangan mendebat, Nak, tolong, jangan mendebat!” (salah satunya di halaman120). Juga ‘ending’ mengenaskan bagi empat orang anak dengan karakter buruk mereka. Ya, meskipun saya paham maksudnya untuk pembelajaran. Bahwa kenakalan, ketidakpatuhan, atau manja berlebihan mereka akan mendatangkan petaka, namun rasanya terlalu sadis jika dibacakan dan dipaksakan sebagai sarana menakut-nakuti anak-anak. Apakah ini gaya pengajaran di negeri dari mana penulis berasal? Jadi, sampai sekarang saya gagal paham mengenai maksudnya. Apalagi di cover disebutkan penulis merupakan penulis yang difavoritkan.

    Ilustrasi dalam novel ini pun menurut saya agak ‘menakutkan’, sketsa para tokohnya tidak indah, tapi cenderung artistik. Yang mana, saya rasa kurang cocok sebagai gaya ilustrasi sebuah novel anak.

    Bagi Anda, penulis yang mencari bacaan sebagai sumber inspirasi kreativitas, tentang bagaimana mengoptimalkan imajinasi, novel ini memang layak sebagai referensi. Saya sendiri salut dengan kemahiran Roald Dahl mengeksplor setting dan karakter unik Willy Wonka. Jikalau anak-anak membaca sendiri, sebaiknya ada pendampingan agar orangtua bisa menjelaskan maksud adegan-adegan dalam novel. Ending yang membahagiakan bagi Charlie Bucket pun memang khas novel anak. Selain itu, pesan agar anak-anak lebih dekat dan menyayangi keluarga menjadi satu hal penting yang patut digarisbawahi. Jika menonton flmnya, bahkan ada pesan lain di akhir cerita yang mencontohkan pentingnya merawat kesehatan gigi.




9 komentar:

  1. Charlie and the Chocolate Company.... ini yang udah filmkan, kan? Sering diputar di TV swasta. Walau sering diputar, tetap nggak bosan nantinya.
    Wah, baru tauuu kalo film itu diangkat dari novelnya Roald Dahl

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, saya juga nonton filmnya dulu, baru baca novelnya :)

      Hapus
  2. Belum pernah baca novel maupun nonton filmnya. Baru membaca 1 novel Road Dahl yg judulnya Hati Singa, pesan nasraninya cukup kental :-)

    BalasHapus
  3. novel road dahl baru 1 yg saya baca, ada resensinya, yg ini kayanya cukup tebel. iya utk mancing imajinasi cukup ok, tapi pesannya mank kelewat tajam kayanya utk anak2

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau tebel sih nggak, Mbak. kalau sarkas iya hehe.. sarkas yang imajinatif hehe..

      Hapus
  4. Kekhasan Dahl begitu kak. Untuk buku anak-anak karya dia harus dengan bimbingan orang tua (^_^)
    Sarkas sih. Tapi emang ngena juga ke pembaca dewasa dan anak2 (^_^)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya.. wajib ada bimbingan/pendampingan nih :)

      Hapus
    2. Tapi saat baca bersama, baik anak-anak dan orang tua sama-sama dapat hikmah. Rasanya itu jarang terjadi di buku anak-anak (^_^)

      Hapus

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube