Sabtu, 15 November 2014

[resensi] Bidadari Tak Pernah Ingkar Janji

Posted by Menukil Aksara | 11:29:00 PM Categories:


Judul Novel : Bidadari-Bidadari Surga
Penulis         : Tere Liye
Desain Cover: Eja-creative14
Penerbit       : Republika
Cetakan VI   : Maret, 2010
Jumlah Halaman: vi+368 halaman 20.5 x 13.5 cm
ISBN            : 978-979-1102-26-1

Sinopsis:


    Berkisah tentang sebuah keluarga. Mamak Lanuri, Laisa, Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta, yang hidup di Lembah Lahambay yang indah, terletak persis di tengah-tengah bukit barisan yang membentang membelah pulau. Laisa yang berpenampilan fisik jauh dari cantik akibat kecelakaan di masa bayi, memiliki perangai yang menawan, melebihi kecantikan fisik mana pun. Keteguhan, ketulusan cintanya pada keluarga, terutama pada keempat adik-adiknya—yang bahkan bukan saudara sekandung—yang menjadi poros kisah ini. keluarga miskin yang hidup jauh dari hiruk-pikuk kemajuan kota besar mampu melejitkan kesuksesan individu-individunya berkat pengorbanan tiada tara Laisa. Namun di balik kebahagiaan itu, sempat terbetik lara atas kesendirian Laisa tanpa pendamping hidup. Selain itu, suatu hari keempat adik Laisa diminta pulang di luar jadwal pulang rutin mereka. Ada hal mendesak apa? Apa saja pengorbanan Laisa dan bagaimana akhir kisah mereka? Novel keluarga religi ini akan menuntaskan dahaga keingintahuan Anda.
   
Ulasan:


    Salah satu novel terbaik Tere Liye yang telah difilmkan ini bukan sekadar novel cinta . Dengan seabreg endorsement di dalam maupun di sampul belakang, kita pasti tergoda untuk membawa pulang novel tebal ini. Dan endorsement itu pun bukan isapan jempol belaka.


    Seperti biasa, Tere Liye mampu menciptakan magnet bagi pembacanya dengan suguhan pembuka yang cantik. Dimulai dengan sepenggal adegan menyedihkan dan sebuah pesan darurat yang dikirimkan ke empat nomor berbeda. Alur maju-mundur yang digunakan mengingatkan pembaca pada novel Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Flashback diperoleh melalui cukilan-cukilan kenangan dari para tokohnya. Bedanya, kali ini Tere Liye menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang ketiga ini pun nantinya berubah menjadi ‘aku’ di jelang akhir kisah secara tak terduga, sekaligus mengungkap siapa pencerita yang berperan sebagai mata yang melihat segala.


    Setting Lembah Lahambay yang elok dengan kehidupan yang bernaung di sana menjadi pemikat yang tak terbantahkan. Tak cukup sampai di situ, Tere Liye membumbui latar-latar lain yang berpindah-pindah, dari dalam negeri hingga luar negeri yang dituturkan dengan lancar, tanpa kesan dipaksakan, menyatu dengan karakter tokoh dan alur-plot.


    Potongan-potongan ingatan dari masa lalu yang diungkapkan satu per satu oleh para tokoh cerita seolah puzzle yang menjaga rasa penasaran pembaca dan membuat pembaca enggan meletakkan buku atau menjeda proses membaca hingga tiba di halaman terakhir. Selain itu, juga disematkan beberapa kalimat mengandung tanya di bagian akhir bab-bab tertentu. Sebuah kemahiran yang memang menjadi ciri khas Tere Liye.


    Selama menyimak kisah panjang ini, saya tak bisa membendung air mata, bahkan semenjak di awal-awal bab. Namun bukan kisah cinta romantis yang mengaduk-aduk emosi saya. Sama sekali bukan. Ketulusan Laisa-lah yang sukses membuat air mata saya terus mengucur tak terelakkan. Salah satu contoh dialog yang menguras tangis adalah:


    “Tapi sebelum hari itu tiba, sebelum masanya datang, dengarkan Kakak, kalian harus rajin sekolah, rajin belajar, dan bekerja keras. Bukan karena hanya demi Mamak yang sepanjang hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian harus selalu bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati datang menjemput...” (halaman 138)


    Adegan tatkala si bungsu Yashinta memberikan sambutan sebagai wakil wisudawan terbaik mengingatkan saya pada adegan serupa di novel Tere Liye yang lain, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Bedanya, kali ini nuansa cintanya jauh lebih menusuk, cinta pada keluarga, terutama pada sang kakak. Dan di adegan ini pulalah saya kembali menitikkan air mata.


    Kemiripan lain dengan novel Tere Liye tersebut di atas adalah pengulangan usia para tokohnya, yang dimaksudkan sebagai penekanan. Sayangnya, kali ini banyak saya temukan kesalahan. Antara usia yang disebutkan satu dengan lainnya ada ketidakcocokan. 


    Secara utuh, kisah Bidadari-Bidadari Surga ini memang luar biasa. Kisah kehidupan yang amat bisa jadi nyata, dapat kita jumpai di sekitar. Yang menjadi catatan saya hanyalah dibanding kekurangan Laisa, keempat adiknya digambarkan nyaris sempurna baik secara fisik, kecerdasan, maupun pencapaian prestasi. Apakah ini dimaksudkan sebagai jurang penegas perbedaan yang memang nyata di dunia ini. Ada orang-orang yang dianugerahi ‘kesempurnaan’, ada pula yang sangat ‘tidak sempurna’. Hanya kemudian, hikmah dalam kisah ini adalah bahwa yang terlihat tak sempurna di mata manusia itu justru yang sempurna di pandangan Allah. Catatan lain untuk novel ini adalah berserakannya typo di sepanjang halaman demi halamannya. Cukup banyak ejaan yang tidak tepat yang diulang-ulang. Bagaimanapun, karya sastra yang telah cetak ulang berkali-kali ini layak diacungi tak hanya satu jempol. Karya yang brilian, yang menyentuh sisi kemanusiaan sekaligus kerelejiusan.

6 komentar:

  1. wah, saya belum baca yang ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya sukaa, Mbak. pertama kalinya saya baca novel yang sangat menyentuh hampir di tiap halamannya.

      Hapus
  2. saya baca novel ini dah lama.. tapi masih terkenang-kenang sampe sekarang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, ini novel lama. Saya saja yang baru sempat baca, Mbak, hehe.. epilognya itu makjlebb banget.

      Hapus
  3. Aku punya novel ini... Baca resensinya jadi pengen langsung baca. Rwsensinya juaraaa deh.. Asyik bisa buat belajar.

    BalasHapus

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube