Sabtu, 21 Juni 2014

[cermin] Karena Peduli Itu Berbagi

Posted by Menukil Aksara | 1:21:00 PM Categories:

    Rumah kontrakan bercat biru, berpagar besi itu acapkali terlihat lengang dari luar. Berbeda halnya dengan suasana di dalam rumah yang tak pernah surut dari suara celotehan para penghuninya.
    “Bagaimana persiapan acara seminar nasional kepemimpinannya, Fatma? Sudah 90% kah?” tanya Rima.
    “Insya Allah sudah. Doakan lancar, ya, Mbak, sampai acara selesai digelar,” ujar Fatma.
    “Tentu. Semangat, ya, adik-adikku. Semangat karena Allah!” ucap Rima—sang senior—sembari menyunggingkan senyum.
    Fatma adalah kepala departemen keputrian sebuah lembaga dakwah kampus. Diantara mereka bersepuluh, Fatma adalah yang tersibuk; seorang mahasiswi aktivis yang punya segudang prestasi.
    “Fitri, maafkan ayah ibu. Beberapa bulan terakhir ini, usaha ayah kurang berjalan lancar. Oleh sebab itu, mohon pengertianmu jika uang sakumu terpotong dan terlambat datang.” Fitri tercenung memandang sebuah pesan singkat yang dikirimkan pagi ini.
    “Dik Fit, ayo berangkat!” seru Fatma dari ruang tengah.
    “Iya, Kak!” sahut nyaring Fitri diikuti gerak sigap menuju asal suara.
    Satu jam kemudian, sekumpulan mahasiswa-mahasiswi duduk di sebuah ruang kesekretariatan yang dibatasi hijab putih. Sambil memperlihatkan raut wajah serius, mereka mendiskusikan persiapan jelang acara akbar yang tinggal menghitung hari.

    “Fit, makan bareng aku, yuk!” ucap Ratri, teman seangkatan sekaligus sekamar Fitri.
    “Nggak, makasih. Kamu makan aja, gih. Aku masih kenyang, kok,” tolak halus Fitri.    “Ayolah, Fit! Ini porsinya banyak, lho. Aku lebih bersemangat makan kalau ditemani,” bujuk Ratri sekali lagi. Kali ini dengan sedikit memaksa sambil menarik tangan Fitri. Akhirnya Fitri menuruti permintaan Ratri. Mereka pun makan sepiring berdua.
    “Masya Allah! Cantik sekali, Kak Fat!” puji Ratri.
    “Ini gamis dan kerudung merk terkenal, punyanya istri ustadz itu. Aku penasaran ingin membeli. Alhamdulillah ada rizki lebih dari mama,” ungkap Fatma dengan mata berbinar-binar.
       
    Ratri berdiri cemas di depan pintu kamar mandi. Di dalam, Fitri sedang muntah untuk kesekian kali. Seharian ini ia hanya mengurung diri di kamarnya.
    “Fit, kamu sakit apa? Mukamu pucat sekali!” tanya Ratri sambil meraba kening Fitri dengan punggung tangan.
    “Badanmu panas sekali! Kita ke rumah sakit sekarang, ya,” seru Ratri lantas bergegas keluar kamar. Beberapa menit kemudian dia kembali bersama Rima.
   
“Fitri didiagnosis positif mengidap typhus.”
    Fatma terhenyak. Sudah beberapa hari ini dia larut dalam kesibukan tiada jeda dan kondisi teman-teman satu rumah luput dari perhatiannya.
    “Sebenarnya Fitri sedang mengalami kesulitan, Kak. Kondisi keuangan orang tuanya sedang kritis,” papar Ratri.
    “Kami bermaksud mengumpulkan dana untuk melunasi biaya perawatannya di rumah sakit,” tutur Rima menambahkan.
   
   
Sepekan berlalu sudah. Fitri telah diperbolehkan pulang.
    “Aduh, aku lupa beli pembalut kewanitaan. Bagaimana ini?” Fatma bergumam panik di pagi buta itu.
    “Fit, punya persediaan pembalut, nggak?” tanya Fatma sungkan. Semua orang yang ditanyainya tidak memiliki apa yang dia butuhkan.
    “Oh, ada, Kak.” Fitri meraih barang yang dimaksud lalu menyodorkannya pada Fatma.
    “Alhamdulillah. Makasih, ya,” ucap Fatma lega. Di dalam hatinya tersemat janji untuk membalas kebaikan ini nanti.
   

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube