Jumat, 20 Juni 2014

[Resensi Novel] Kisah Dua Perempuan Beda Zaman Di Persaksian Sejarah

Posted by Menukil Aksara | 9:30:00 PM Categories:
J
Judul Buku       : Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman
Penulis             : Afifah Afra
Penyunting       : Ayu Wulan
Penata Letak    : Puji Lestari
Desain Sampul : Andhi Rasydan
Penerbit            : Penerbit Indiva, 2014

Jika ada sesuatu yang membinasakan sekaligus menghidupkan, dia adalah cinta. Petikan kalimat dari novel best seller ini menjadi pembuka sekaligus daya tarik pertama bagi pembaca. Kupasan tentang cinta selalu menjadi topik pilihan utama bagi para penulis novel. Bertebaran novel-novel romantis berceloteh tentang cinta dalam aneka rupa. Apa kelebihan dari novel ini dibandingkan novel-novel cinta lainnya? Pesan apa yang hendak disuguhkan oleh penulis—Afifah Afra—yang telah menorehkan prestasinya lewat novel-novel best seller-nya sebelumnya?

Sinopsis
Huru hara 1998 tak sekadar telah menimbulkan perubahan besar di negeri ini. Sebongkah luka yang dalam pun menyeruak di hati para pelakunya. Mei Hwa, gadis keturunan Tiong Hoa adalah salah satunya. Dalam ketertatihan, Mei Hwa berusaha menemukan kembali kehidupannya. Beruntung, pada keterpurukannya, dia bertemu dengan Sekar Ayu, perempuan pelintas zaman yang juga telah terbanting-banting sekian lamanya akibat silih bergantinya penguasa, mulai dari Hindia Belanda, Jepang, hingga peristiwa G30S PKI. Sekar Ayu yang telah makan asam garam kehidupan, mencoba menyemaikan semangat pada hati Mei Hwa nan rapuh. 
Novel ini indah dalam gambaran rencah badai kehidupan yang sekaligus melantunkan berbagai kisah: persahabatan, ketulusan, pengorbanan, dan juga cinta. Tak lupa dipersembahkan kisah penggapaian hidayah beberapa tokohnya dalam kitaran takdir kehidupan mereka.

Keunggulan Novel

Sebagai sebuah karya sastra, novel ini benar-benar melukiskan keindahannya, melalui kekayaan diksinya, keindahan sekaligus keakuratan deskripsinya, narasi yang apik dan unik, penokohan yang kuat dan latar belakang sejarah yang dirunutkan sedemikian rupa sehingga tak membosankan. Sebagai pembaca yang tak terlampau menggemari sejarah yang biasanya dijejali dengan banyak sekali tokoh, tahun, peristiwa dan intrik, saya menikmati novel ini laiknya novel non-sejarah. Deskripsi yang akurat menandakan penulis melakukan riset dalam jangka waktu yang lama. Sebagai contohnya adalah penggambaran Solo di tahun 1936 di bab kedua, yang demikian apik dan nyata, seolah kita dibawa menuju era tersebut (hal. 35-59). Demikian halnya penggambaran Solo di tahun 1999 di bab pertama tersaji menarik diselingi guyon dan sindiran khas kalangan menengah ke bawah (hal. 15-34). Gaya penceritaan menggunakan sudut pandang orang pertama dan ketiga dalam balutan alur maju mundur, memikat rasa ingin tahu pembaca sekaligus mendekatkan pembaca dengan sang tokoh utama. Minimnya kesalahan cetak dan ejaan, ketepatan ukuran dan jenis font, serta lay out isi yang rapi, turut menyokong kualitas novel ini.

Kekurangan Novel

Kekayaan dan kecanggihan diksi dalam penuturan novel ini terkadang kurang pas jika dikaitkan dengan latar belakang tahun di mana adegan berlangsung, atau kurang pas dengan latar belakang si tokoh sendiri. 

Sebagai contoh, narasi dalam prolog, “...kayu yang kehilangan berat basahnya karena terlalu lama terpanggang di oven kehidupan. Kayu yang jangankan para penjarah mata duitan, bahkan rayap pun enggan berlangkan, karena ketiadaan saripati yang tersisa untuk digerogoti.... mungkin tak benar-benar sebatang kayu, karena yang masih tegak sejatinya hanya onggokan belulang yang terbebat selapis tipis penuh keriut, bak lembaran daun jeruk purut yang cairannya tersedot si kutu kebul.” (hal.11-12).

 Menurut saya, istilah-istilah yang dipakai kurang pas dengan sang tokoh yang dikisahkan wanita dari zaman tahun 30-an dan mengalami peristiwa-peristiwa tragis. Akan lebih menohok jika diksinya dipilih yang mengarahkan pembaca pada penggambaran kedahsyatan badai hidup yang dialami, diksi yang lebih “sadis”, tidak mendayu-dayu, indah, dan cenderung ilmiah. 

Demikian halnya dalam melukiskan kegilaan sementara yang dialami Mei Hwa, lewat khayalan metamorfosis menjadi rase, elang, kutilang, bahkan Sun Go Kong, menurut saya kurang pas dan greget jika dikaitkan dengan trauma seorang korban perkosaan sekaligus saksi meninggalnya sang orangtua. Apakah tidak mungkin jika khayalan kegilaannya itu dibuat lebih dalam, lebih melantur, sekaligus ilmiah, mengingat Mei Hwa adalah seorang mahasiswi kedokteran yang cerdas sekaligus labil emosinya?

 Terkait kelogisan cerita, memang beberapa kebetulan bersifat fiktif mewarnai kisah selaiknya sebuah novel fiktif. Ada beberapa catatan yang saya buat, seperti peristiwa bertemunya Sekar Ayu dengan Tuan Harada dan istri, terkesan terlampau kebetulan dan dipaksakan menyelipkan peristiwa sejarah pemindahan ibukota Jepang. 

Perjumpaan kembali Sekar Ayu dengan sang kakek dan nenek dari pihak ayah, juga memunculkan tanya pada benak saya. Ke manakah ibunya? Meski sang ibu depresi berat, tapi tak secuilpun kisah mengetengahkan keberadaannya, demikian pula dengan kabar mengenai keluarga ibunya. Selain itu, motivasi kembalinya Ayu ke Indonesia melalui mimpi pertemuan dengan sang ibu dan tuntutan membalas dendam, mendadak tidak ada tindak lanjutnya, lenyap seiring ajaran dari sang guru dadakan, Ishihara. 

Selama di bawah pengasuhan sang kakek yang kyai pula, muncul ketidaklogisan bagi saya, menyaksikan begitu lambannya sang kakek menyikapi kedekatan cucunya dengan para pemuda menyesatkan dan beda agama (Purnomo). 

Di dalam bab-bab terakhir, hal yang mengusik saya datang dari kesadaran Mei Hwa dan sang kakak, Zak untuk menjadi mualaf. Terlampau ringan dan mulus kisah pencapaian hidayah ini, meski tentu tidak ada yang tidak mungkin. 

Sayang pula menurut saya, tokoh Sekar Ayu sebagai tokoh dengan porsi kisah lebih banyak justru kurang mendapat porsi dibandingkan dengan Mei Hwa. Pun, ketika mereka telah bertemu. Apakah tidak bisa dikisahkan dia berbagi perjalanannya di lintasan zaman dengan Mei Hwa, sehingga secara langsung Mei Hwa dapat menyerap hikmah mendalam.

Terakhir, mengenai insiden terbenturnya kepala Mei Hwa di lintasan rel yang menyebabkan pulihnya ingatan secara berangsur adalah ide yang terlampau umum, seperti dalam kisah-kisah film dan sinetron. 

Terkait sampul, meskipun saya yakin ada filosofi di balik desainnya, saya merasa warna dan desainnya terlampau kalem dibandingkan isi novel yang cenderung dramatis dan tragis. Barangkali warna merah menyala atau selipan nuansa gelap akan lebih menggambarkan isi cerita.

Tak ada karya manusia yang sempurna, sebagaimana ketidaksempurnaan manusia itu sendiri. Bagi para penyuka novel percintaan—yang religius sekalipun—mungkin novel ini terasa kurang feel-nya, karena bagaimanapun banyak unsur sejarah dan hikmah kehidupan lain yang ingin ditawarkan oleh penulisnya. Di antara pesan penting tersebut adalah peran besar pemuda-pemudi negeri ini sebagai agen perubahan--barangkali sekarang justru ditantang menjadi subjek perubahan itu sendiri. Bagi saya pribadi, novel ini adalah wajah baru novel sejarah masa kini yang sekaligus menghadirkan sosok penulis perempuan yang idealis.


0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube