Memutuskan merantau ke kota yang jauh dari kota saya berasal demi melanjutkan pendidikan, sesungguhnya cukup berat bagi saya kala itu. Namun dengan tekad yang telah bulat, saya besarkan hati dan beranikan diri untuk menetapi keputusan yang telah dibuat. Selain pengalaman hidup mandiri jauh dari orang tua yang nihil, hal yang cukup dikhawatirkan oleh ibu saya ketika itu adalah mengenai penyakit mabuk darat saya yang hampir selalu kambuh tiap kali menempuh perjalanan menggunakan bus. Ironisnya, jarak yang luas membentang diantara kedua kota, memaksa saya bertahan di dalam kotak ajaib raksasa tersebut selama nyaris 24 jam lamanya. Membayangkannya saja membuat saya gugup setengah mati waktu itu.
Pertama kali berangkat ke rantau, ada bapak yang menemani hingga ke kota tujuan. Dan benar saja, saya tak kuasa menahan kambuhnya mabuk darat saya. Alhasil, saya tak semenitpun mampu menikmati pemandangan kota-kota asing—yang bahkan baru kali pertama itu saya lalui—di sepanjang perjalanan. Saya tak menghiraukan lagi pandangan rishi dan mencibir dari penumpang lain. Perut terasa sakit sehabis mual dan muntah bertubi-tubi. Badan saya pun lemas. Yang paling kocak dari perjalanan perdana ini adalah celetukan dari seorang ibu muda yang duduk tak jauh dari saya dan bapak. Ibu ini menanyakan apakah bapak adalah suami saya. Tentu saja saya terhenyak sekaligus geli dengan pertanyaan aneh itu. Antara menahan tawa dengan menahan rasa sakit di sekujur badan, saya hanya menggeleng lemah dan memberi isyarat dengan tangan saya. Mungkin penampilan bapak yang masih awet muda dan terlihat rapi meski sekadar berkaos sederhana, serta kondisi saya yang lemah sehingga kerap bersandar manja pada bapak, membuat si ibu tersebut menduga demikian.
Tatkala libur semester dan libur menjelang lebaran tiba, saya rutin mudik menggunakan jasa bus malam. Tak heran, selama bertahun-tahun tinggal di perantauan, jasa bus malam dari berbagai perusahaan sempat saya cicipi. Di tiap perjalanan tersebut, biasanya ada yang berbeda. Tidak pernah saya melalui perjalanan dengan bertemu penumpang yang sama atau suasana yang sama. Itulah uniknya catatan perjalanan ini. Beberapa pengalaman lain sempat terekam rapi dalam memori.
Pernah satu masa, ketika saya hendak kembali ke kota perantauan, saya mendapat tempat duduk di barisan kedua sebelah kiri. Perjalanan berjalan lancar. Seperti biasanya, selalu ada dua sopir di tiap bus malam. Mereka menyetir bergantian. Jika salah satunya sedang rehat, maka yang lainnya akan memanfaatkan waktu untuk tidur di bangku paling belakang. Setelah melalui perjalanan panjang melewati kota-kota di sepanjang jalur pantura dan berhenti istirahat sejenak di beberapa pos, kami akhirnya memasuki wilayah ibukota Jakarta. Sopir yang tengah bertugas di pagi itu masih terbilang muda dengan dandanan modis dan necis. Sambil mengendarai bus, sopir tersebut mengobrol santai dengan seorang awak bus yang duduk di bangku cadangan dekat pintu. Obrolan mereka kian lama kian meruncing ke masalah yang bersifat pribadi. Sang sopir menceritakan perihal kehidupan rumah tangga poligaminya. Suaranya yang nyaring, saya yakin didengar oleh sebagian besar penumpang bus yang masih tersisa—sebagian telah turun sebelum masuk ibukota. Namun ia seakan tak ambil pusing dengan hal itu. Saya sendiri merasa malu harus mendengar penuturan sang sopir yang blak-blakan tersebut. Ia antara lain menceritakan perihal istri pertamanya yang tak tahu menahu mengenai pernikahan keduanya. Juga mengenai konflik batin dari si istri kedua terkait pembagian waktu dan perhatian sang suami yang jelas terpecah. Masih ada detil-detil kisah rumah tangga yang diselipkan dengan santainya oleh sang sopir dalam penuturannya. Di benak saya kala itu, mau tak mau terbetik pembenaran atas desas-desus gaya hidup para sopir yang tak terlepas dari godaan wanita dan acapkali cenderung kebablasan. Jika sang sopir tadi benar berpoligami, menurut saya itu lebih baik ketimbang dia main perempuan dengan cara yang tidak dibenarkan.
Di lain kesempatan, saya kembali berjumpa dengan manusia unik lainnya di dalam bus. Kali ini saya mendapat kawan seperjalanan seorang gadis belia nan lugu yang agaknya bermaksud ke ibukota untuk memenuhi panggilan kerja sebagai asisten rumah tangga. Gadis tersebut duduk di sebelah saya dan naik dari kota yang berbeda. Saya tipe orang yang tak pandai berbasa-basi—apalagi dengan orang asing—dan lebih sering menghabiskan waktu di perjalanan dengan diam atau tidur. Maka selain basa-basi perkenalan kami, kami nyaris tak terlibat percakapan mendalam sepanjang perjalanan. Di pertengahan perjalanan, gadis ini berkali-kali menunjukkan ketidaknyamanan. Awalnya saya tidak terlalu mempermasalahkan sikapnya, karena siapapun bisa bolak-balik berganti posisi duduk kala telah berjam-jam berada dalam bus. Namun ketika kami hendak turun di pos peristirahatan yang kedua—di sebuah rumah makan—saya baru menyadari sebab musabab yang sebenarnya. Tak saya duga, rupanya teman sebangku saya ini sedang mengalami menstruasi. Dan selidik punya selidik, ia tidak suka mengenakan pembalut kewanitaan sekali pakai. Sebagai gantinya, ia memilih menggunakan kain untuk menghindari kebocoran. Tapi malang bagi si gadis, tetap saja si tamu bulanan itu menodai kursi yang didudukinya dan membuatnya risih sekaligus salah tingkah. Ketika bus kami memasuki area parkir terminal Rawamangun Jakarta, si gadis dijemput oleh orang yang hendak mempekerjakannya. Ia turun lebih dulu daripada saya. Ironisnya, noda darah yang ditinggalkannya mengeluarkan aroma anyir yang mengundang beberapa ekor lalat hinggap. Saya sendiri agak heran, bisa juga lalat-lalat itu masuk ke bus. Saya pun hanya mampu tersenyum kecut sembari mencari kursi yang telah kosong untuk kemudian pindah tempat duduk.
Beberapa catatan perjalanan tadi terhimpun sewaktu saya beruntung mengantongi tiket pulang bus malam yang melaju hingga kota asal saya. Adakalanya saat musim liburan panjang di ujung mata, tiket bus malam tadi ludes terjual, tak menyisakan selembarpun untuk saya. Di momen seperti ini, mau tak mau saya membeli tiket bus malam dengan jurusan kota lain dan nantinya saya harus menyambung perjalanan menggunakan bus lain hingga sampai ke kota tujuan. Pernah di suatu liburan, saya dan seorang teman baik dari satu kota yang sama, terpaksa mudik menumpangi bus malam jurusan Blitar. Kala itu, penyakit mabuk darat masih kerap menyerang. Kondisi bus kelas ekonomi yang pengap tanpa pendingin ruangan, kian diperparah oleh hadirnya oknum-oknum penumpang dan awak bus yang merokok selama perjalanan. Alhasil, ini memperparah penyakit saya. Prihatin dan khawatir menyaksikan kondisi saya yang lemas tak berdaya, teman saya berinisiatif mengajak mampir ke rumah seorang kakak kelas di Blitar, yang kebetulan telah mudik lebih awal. Lucunya, kami hanya beristirahat sejenak di rumah kakak kelas kami ini—menumpang mandi juga pada dasarnya. Tawaran menginap terpaksa kami tolak mengingat perjalanan menuju rumah masih jauh. Orang tua kami pasti cemas jika kami tak segera pulang. Syukurlah, meski dengan kondisi tubuh yang jauh dari bugar, saya berhasil tiba di rumah dengan selamat pada malam harinya, disambut rentetan pertanyaan dari ibu saya.
Di lain kesempatan, saya mudik bersama seorang teman baik yang berasal dari Blitar. Bus malam yang kami tumpangi memang bertujuan akhir Blitar. Kami berpisah, di mana teman saya dijemput saudaranya, sedang saya melanjutkan perjalanan ke Situbondo sendirian. Bus berikutnya menurunkan saya di sebuah terminal kecil di Malang. Berhubung ini baru kali kedua saya melalui jalur ini, saya tak ingat bahwa seharusnya saya menumpang angkotan kota ke terminal lain di kota yang sama, barulah saya bisa mendapatkan bus ke kota asal saya. Alih-alih mencari angkutan kota, saya malah bertanya pada seorang awak bus jurusan Lumajang, apakah bus tersebut menuju Situbondo. Bisa dibayangkan betapa linglungnya saya waktu itu, bukan? Malangnya lagi, perjalanan yang saya tempuh kali ini mengambil jalur daerah pegunungan yang panjang berliku-liku dan memakan waktu berjam-jam. Pemandangan kaki gunung yang hijau, berhawa sejuk, dilingkupi hutan lebat, dan diselipi rumah-rumah mungil nan sederhana milik penduduk desa di kaki gunung, sedikit mengobati rasa penat dan sesal saya karena salah memilih jalur. Ketika bus memasuki terminal Lumajang, hari telah beranjak siang. Saya bergegas mencari bus lain dengan tujuan Probolinggo untuk nantinya menyambung lagi ke bus lain bertujuan Situbondo. Saat akhirnya bus memasuki gerbang wilayah Situbondo, senja telah menggelincirkan matahari ke ufuk barat. Saya disuguhi pesona sunset di sepanjang garis pantai wilayah Situbondo yang mengundang decak takjub saya. Ini kali pertama saya mudik disambut dengan sunset yang menawan. Dan meskipun saya berbuka puasa di perjalanan, saya tetap wajib bersyukur atas petualangan tak terencana ini. Kini, tiap kali mengingatnya, saya akan tersenyum geli sekaligus bahagia.
Pertama kali berangkat ke rantau, ada bapak yang menemani hingga ke kota tujuan. Dan benar saja, saya tak kuasa menahan kambuhnya mabuk darat saya. Alhasil, saya tak semenitpun mampu menikmati pemandangan kota-kota asing—yang bahkan baru kali pertama itu saya lalui—di sepanjang perjalanan. Saya tak menghiraukan lagi pandangan rishi dan mencibir dari penumpang lain. Perut terasa sakit sehabis mual dan muntah bertubi-tubi. Badan saya pun lemas. Yang paling kocak dari perjalanan perdana ini adalah celetukan dari seorang ibu muda yang duduk tak jauh dari saya dan bapak. Ibu ini menanyakan apakah bapak adalah suami saya. Tentu saja saya terhenyak sekaligus geli dengan pertanyaan aneh itu. Antara menahan tawa dengan menahan rasa sakit di sekujur badan, saya hanya menggeleng lemah dan memberi isyarat dengan tangan saya. Mungkin penampilan bapak yang masih awet muda dan terlihat rapi meski sekadar berkaos sederhana, serta kondisi saya yang lemah sehingga kerap bersandar manja pada bapak, membuat si ibu tersebut menduga demikian.
Tatkala libur semester dan libur menjelang lebaran tiba, saya rutin mudik menggunakan jasa bus malam. Tak heran, selama bertahun-tahun tinggal di perantauan, jasa bus malam dari berbagai perusahaan sempat saya cicipi. Di tiap perjalanan tersebut, biasanya ada yang berbeda. Tidak pernah saya melalui perjalanan dengan bertemu penumpang yang sama atau suasana yang sama. Itulah uniknya catatan perjalanan ini. Beberapa pengalaman lain sempat terekam rapi dalam memori.
Pernah satu masa, ketika saya hendak kembali ke kota perantauan, saya mendapat tempat duduk di barisan kedua sebelah kiri. Perjalanan berjalan lancar. Seperti biasanya, selalu ada dua sopir di tiap bus malam. Mereka menyetir bergantian. Jika salah satunya sedang rehat, maka yang lainnya akan memanfaatkan waktu untuk tidur di bangku paling belakang. Setelah melalui perjalanan panjang melewati kota-kota di sepanjang jalur pantura dan berhenti istirahat sejenak di beberapa pos, kami akhirnya memasuki wilayah ibukota Jakarta. Sopir yang tengah bertugas di pagi itu masih terbilang muda dengan dandanan modis dan necis. Sambil mengendarai bus, sopir tersebut mengobrol santai dengan seorang awak bus yang duduk di bangku cadangan dekat pintu. Obrolan mereka kian lama kian meruncing ke masalah yang bersifat pribadi. Sang sopir menceritakan perihal kehidupan rumah tangga poligaminya. Suaranya yang nyaring, saya yakin didengar oleh sebagian besar penumpang bus yang masih tersisa—sebagian telah turun sebelum masuk ibukota. Namun ia seakan tak ambil pusing dengan hal itu. Saya sendiri merasa malu harus mendengar penuturan sang sopir yang blak-blakan tersebut. Ia antara lain menceritakan perihal istri pertamanya yang tak tahu menahu mengenai pernikahan keduanya. Juga mengenai konflik batin dari si istri kedua terkait pembagian waktu dan perhatian sang suami yang jelas terpecah. Masih ada detil-detil kisah rumah tangga yang diselipkan dengan santainya oleh sang sopir dalam penuturannya. Di benak saya kala itu, mau tak mau terbetik pembenaran atas desas-desus gaya hidup para sopir yang tak terlepas dari godaan wanita dan acapkali cenderung kebablasan. Jika sang sopir tadi benar berpoligami, menurut saya itu lebih baik ketimbang dia main perempuan dengan cara yang tidak dibenarkan.
Di lain kesempatan, saya kembali berjumpa dengan manusia unik lainnya di dalam bus. Kali ini saya mendapat kawan seperjalanan seorang gadis belia nan lugu yang agaknya bermaksud ke ibukota untuk memenuhi panggilan kerja sebagai asisten rumah tangga. Gadis tersebut duduk di sebelah saya dan naik dari kota yang berbeda. Saya tipe orang yang tak pandai berbasa-basi—apalagi dengan orang asing—dan lebih sering menghabiskan waktu di perjalanan dengan diam atau tidur. Maka selain basa-basi perkenalan kami, kami nyaris tak terlibat percakapan mendalam sepanjang perjalanan. Di pertengahan perjalanan, gadis ini berkali-kali menunjukkan ketidaknyamanan. Awalnya saya tidak terlalu mempermasalahkan sikapnya, karena siapapun bisa bolak-balik berganti posisi duduk kala telah berjam-jam berada dalam bus. Namun ketika kami hendak turun di pos peristirahatan yang kedua—di sebuah rumah makan—saya baru menyadari sebab musabab yang sebenarnya. Tak saya duga, rupanya teman sebangku saya ini sedang mengalami menstruasi. Dan selidik punya selidik, ia tidak suka mengenakan pembalut kewanitaan sekali pakai. Sebagai gantinya, ia memilih menggunakan kain untuk menghindari kebocoran. Tapi malang bagi si gadis, tetap saja si tamu bulanan itu menodai kursi yang didudukinya dan membuatnya risih sekaligus salah tingkah. Ketika bus kami memasuki area parkir terminal Rawamangun Jakarta, si gadis dijemput oleh orang yang hendak mempekerjakannya. Ia turun lebih dulu daripada saya. Ironisnya, noda darah yang ditinggalkannya mengeluarkan aroma anyir yang mengundang beberapa ekor lalat hinggap. Saya sendiri agak heran, bisa juga lalat-lalat itu masuk ke bus. Saya pun hanya mampu tersenyum kecut sembari mencari kursi yang telah kosong untuk kemudian pindah tempat duduk.
Beberapa catatan perjalanan tadi terhimpun sewaktu saya beruntung mengantongi tiket pulang bus malam yang melaju hingga kota asal saya. Adakalanya saat musim liburan panjang di ujung mata, tiket bus malam tadi ludes terjual, tak menyisakan selembarpun untuk saya. Di momen seperti ini, mau tak mau saya membeli tiket bus malam dengan jurusan kota lain dan nantinya saya harus menyambung perjalanan menggunakan bus lain hingga sampai ke kota tujuan. Pernah di suatu liburan, saya dan seorang teman baik dari satu kota yang sama, terpaksa mudik menumpangi bus malam jurusan Blitar. Kala itu, penyakit mabuk darat masih kerap menyerang. Kondisi bus kelas ekonomi yang pengap tanpa pendingin ruangan, kian diperparah oleh hadirnya oknum-oknum penumpang dan awak bus yang merokok selama perjalanan. Alhasil, ini memperparah penyakit saya. Prihatin dan khawatir menyaksikan kondisi saya yang lemas tak berdaya, teman saya berinisiatif mengajak mampir ke rumah seorang kakak kelas di Blitar, yang kebetulan telah mudik lebih awal. Lucunya, kami hanya beristirahat sejenak di rumah kakak kelas kami ini—menumpang mandi juga pada dasarnya. Tawaran menginap terpaksa kami tolak mengingat perjalanan menuju rumah masih jauh. Orang tua kami pasti cemas jika kami tak segera pulang. Syukurlah, meski dengan kondisi tubuh yang jauh dari bugar, saya berhasil tiba di rumah dengan selamat pada malam harinya, disambut rentetan pertanyaan dari ibu saya.
Di lain kesempatan, saya mudik bersama seorang teman baik yang berasal dari Blitar. Bus malam yang kami tumpangi memang bertujuan akhir Blitar. Kami berpisah, di mana teman saya dijemput saudaranya, sedang saya melanjutkan perjalanan ke Situbondo sendirian. Bus berikutnya menurunkan saya di sebuah terminal kecil di Malang. Berhubung ini baru kali kedua saya melalui jalur ini, saya tak ingat bahwa seharusnya saya menumpang angkotan kota ke terminal lain di kota yang sama, barulah saya bisa mendapatkan bus ke kota asal saya. Alih-alih mencari angkutan kota, saya malah bertanya pada seorang awak bus jurusan Lumajang, apakah bus tersebut menuju Situbondo. Bisa dibayangkan betapa linglungnya saya waktu itu, bukan? Malangnya lagi, perjalanan yang saya tempuh kali ini mengambil jalur daerah pegunungan yang panjang berliku-liku dan memakan waktu berjam-jam. Pemandangan kaki gunung yang hijau, berhawa sejuk, dilingkupi hutan lebat, dan diselipi rumah-rumah mungil nan sederhana milik penduduk desa di kaki gunung, sedikit mengobati rasa penat dan sesal saya karena salah memilih jalur. Ketika bus memasuki terminal Lumajang, hari telah beranjak siang. Saya bergegas mencari bus lain dengan tujuan Probolinggo untuk nantinya menyambung lagi ke bus lain bertujuan Situbondo. Saat akhirnya bus memasuki gerbang wilayah Situbondo, senja telah menggelincirkan matahari ke ufuk barat. Saya disuguhi pesona sunset di sepanjang garis pantai wilayah Situbondo yang mengundang decak takjub saya. Ini kali pertama saya mudik disambut dengan sunset yang menawan. Dan meskipun saya berbuka puasa di perjalanan, saya tetap wajib bersyukur atas petualangan tak terencana ini. Kini, tiap kali mengingatnya, saya akan tersenyum geli sekaligus bahagia.
Untuk melengkapi catatan perjalanan ini, saya akan berbagi sedikit tips berkaitan dengan perjalanan menggunakan jasa transportasi darat, terutama bus malam. Pertama, jaga kesehatan menjelang perjalanan. Kedua, siapkan obat-obatan dan keperluan pertolongan pertama pada kejadian tak terduga, misalnya haid atau mabuk darat. Ketiga, pesanlah tiket jauh hari sebelum keberangkatan, apalagi menjelang hari libur nasional dan hari raya. Keempat, pilihlah bus yang paling nyaman akomodasi dan pelayanannya, dan sebisa mungkin hindari berganti-ganti bus jika kita sendirian. Kelima, jagalah barang bawaan, jangan sampai hilang atau tercecer di jalan. Keenam, berdoalah sebelum berangkat, terutama saat sudah berada di dalam bus dengan doa yang telah disyariatkan agama untuk memohon keselamatan. Have a nice trip then.
0 komentar:
Posting Komentar