Tulisan ringan ini terinspirasi dari beberapa penulis
yang menulis status terkait topik dalam judul di atas. Ada yang membedakan
antara profesi penulis profesional dengan pemulis yang sekadar menjadikannya
hobi. Bagi saya pribadi, saya tidak sepenuhnya setuju dengan pengkotak-kotakan
tersebut. Memang benar, penulis profesional yang hendak atau telah menerbitkan
tulisannya dalam bentuk buku, membutuhkan kerja sama dengan pihak penerbit,
sehingga ia berbeda dengan penulis yang sekadar menulis tanpa mementingkan
terbit tidaknya tulisannya di media. Namun
dari segi komitmen, keduanya bisa jadi sama. Seseorang yang menulis dengan niat
menyalurkan uneg-uneg, pemikiran, kisah secara positif dan bisa diambil manfaat
baik bagi dirinya maupun orang lain yang membaca (meski tidak dalam bentuk buku
terbit), bisa jadi sangat
berdedikasi dengan tulisannya. Di lain sisi, penulis yang telah dikenal lewat
buku-buku terbitannya yang terpajang di toko-toko buku, bisa jadi kurang berdedikasi dalam artian hanya mengejar materi dan
popularitas dari tulisannya.
Suatu
ketika saya membaca sebuah status dari seorang penulis yang bimbang antara
menjadi full time author ataukah
penulis dengan profesi tetap lain. Di lain waktu, ada pula penulis yang
sekaligus seorang pekerja kantoran yang menyatakan dirinya sengaja tidak keluar
dari pekerjaannya di kantor sebab ia mengaku mendapatkan banyak ide dari
pergaulan dan kehidupannya sebagai wanita karir. Bagi saya pribadi, baik
menjadi full time author maupun author yang merangkap pekerja atau
wirausahawan tidak ada yang salah. Yang lebih penting menurut saya baik melepas
profesi selain penulis atau tetap menjalani keduanya, akan membawa perbaikan
kualitas tulisan yang lebih baik dan memotivasi kita untuk berdedikasi pada
kualitas tulisan kita. Sebagai contoh, penulis yang merupakan ibu rumah tangga
kemungkinan besar ide tulisannya berasal dari kehidupan sehari-hari di
lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar, dan ini adalah hal yang bagus. Penulis
semacam ini biasanya akan peka dengan fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan
dan hubungan antar anggota keluarga. Kelemahannya, bisa jadi dia kurang mengeksplorasi atau kurang mendapat waktu
untuk mengeksplorasi ide-ide, kejadian di luar dunianya, contohnya dunia
bisnis, dunia traveling, dunia politik, dan semacamnya. Begitu pula sebaliknya,
penulis dengan latar belakang profesi lain semacam karyawan kantor, guru,
dokter, akan lebih banyak mengeksplorasi ide dari profesinya namun bisa jadi kurang menyentuh ranah
kehidupan keluarga dan masyarakat sekitar.
Menurut
hemat saya, eksplorasi ide di luar dunia masing-masing bisa dilakukan baik oleh
full time author maupun penulis
berprofesi lain, asalkan ada kemauan dan kesempatan. Seorang ibu rumah tangga
yang seorang penulis bisa saja meluangkan waktu berwisata bersama pasangan atau
keluarga disertai membuat catatan perjalanan yang detil yang merangkum jalur
perjalanan, perkenalan dengan orang-orang baru di perjalanan yang bisa mencakup
gaya hidup, budaya, dan peristiwa khusus. Bahkan catatan bisa dilengkapi peta,
foto, dan catatan kuliner atau objek wisata. Catatan semacam ini jelas sangat
berguna menciptakan ide-ide baru baik untuk naskah tulisan fiksi maupun non
fiksi. Di lain pihak, penulis dengan profesi guru atau karyawan misalnya, bisa
jadi tidak berkesempatan bepergian di waktu-waktu bebas. Hal ini bisa
mengakibatkan kejenuhan dan buntunya ide-ide segar. Meski demikian, cara-cara
lain masih bisa ditempuh, misalnya dengan mengajukan cuti atau berlibur di
waktu=waktu liburan sekolah. Bisa juga menggali ide dengan membaca buku-buku
karangan penulis lain dan mengunjungi toko-toko buku.
So, mari kita jadikan menulis sebagai
gaya hidup dan jiwa kita alih-alih sekadar gelar profesi tak berjiwa, sehingga
saat menulis, pembaca tergugah oleh apapun yang kita tuliskan dan
menggerakkannya menuju perubahan nyata yang positif.
0 komentar:
Posting Komentar