Sabtu, 28 Juni 2014

[cerpen Ramadhan] Puasa Saat Safar

Posted by Menukil Aksara | 9:36:00 AM Categories:
foto google.com

Hatiku langsung nelangsa begitu memasuki pool bus malam. Antrian panjang nan berjejal telah menghadangku. Maklum saja, hari ini adalah hari keenam jelang libur hari raya. Kiriman uang dari orang tua di kampung masuk di masa-masa akhir perburuan tiket.
    “Bagaimana, Wid? Masuk saja, yuk!” suara teman baikku, Yara, menyadarkanku.
    “Ayo aja-lah,” jawabku gontai.
    Kami merangsek mendekati loket pembelian tiket. Tak jelas lagi di mana tepatnya posisi loket tiket bus malam jurusan Blitar, di antara tiga loket yang ada. Manusia berdesakan membentuk pagar betis di sekeliling loket. Aku dan Yara berjinjit-jinjit dan berkali-kali melongok ke arah loket.
    “Semoga saja masih kebagian tiket sebelum hari raya. Agaknya kita akan lama di sini, Ra,” ujarku. Kami memutuskan menepi setelah upaya kami menembus barikade pengantri gagal. Yara mulai kehilangan semangat, berbeda jauh dengan awal keberangkatan tadi pagi.
    “Ini satu-satunya harapan kita, Wid. Kalau nggak kebagian tiket di sini juga, habislah kita.” Ucap Yara lesu.
    Aku tak menyahut. Aku hanya memandangi loket yang tak jua menunjukkan tanda-tanda sepi. Sebelum ke sini, kami sudah mendatangi pool bus malam dari P.O lain. Sayangnya, semua tiket menuju kota tujuan kami telah ludes terjual hingga hari raya tiba.
    Nyaris dua jam kami menunggu, bergantian merangsek menuju loket. Sengatan mentari begitu membakar kulit dan memerihkan kerongkongan. Akhirnya, beberapa detik jelang adzan Zuhur, Yara berhasil mengambil nomor antrian terdepan.
    “Akhirnyaaa... Kita dapat tiket, nih, Wid, tapi dua hari jelang Idul Fitri. Nggak apa-apa, ya?” ucap Yara padaku. Aku mengembuskan nafas lega. Biar sajalah mudiknya mepet, yang penting di hari raya kami tak merana kesepian di kota rantau ini.
***
    Jarum jam bergeser lambat namun pasti. Masih satu jam jelang keberangkatan bus. Aku dan Yara bergantian menunaikan kewajiban solat di musola tersembunyi di pojok belakang pool bus. Tak hentinya aku berzikir. Meski telah berkali-kali menempuh perjalanan mudik yang sangat jauh, aku masih saja merasakan sensasi debar gugup jelang keberangkatan. Satu-satunya cara untuk menepis kecemasan adalah dengan berzikir.
    “Widya, kamu bawa bekal makanan apa untuk buka dan sahur di jalan nanti?” tanya Yara sekonyong-konyong.
    “Oh, aku bawa roti dan beberapa minuman botol saja.”
    “Nggak bawa nasi? Oh iya, kamu nggak bisa masak di dapur ibu kost, ya. Jangan khawatir, aku bawa bekal nasi yang banyak. Lauknya cuma mi instan dan telur dadar, sih, tapi lumayanlah buat pengganjal perut kita,” ucap Yara riang.
    “Eh, bus kita datang! Sebaiknya kita lekas berkemas dan naik,” ujarku memotong pembicaraan tentang menu berbuka dan sahur.
    Bus yang kami tumpangi bukanlah bus kelas eksekutif. Bus ini adalah bus kelas patas ber-AC yang tak menyediakan toilet di dalam dan kupon makan.
    “Kamu sudah tahu ‘kan, Wid, harus naik bus antar kota dari mana dan ke mana?” tanya Yara sesudah kami duduk di kursi penumpang dan bus melaju pelan.
    “Insya Allah,” jawabku singkat. Yang Yara maksudkan tentulah sesampainya kami di Blitar. Tujuanku bukanlah Blitar. Aku harus meneruskan perjalanan panjang menuju kota asalku sendirian setelah Blitar nanti.
    “Pasti mahal, ya, tiket bus yang langsung ke kotamu,” kata Yara sejenak kemudian.
    “Iya, apalagi sudah terkena tuslah jelang hari raya. Setahuku, harganya bisa dua kali lipat atau lebih.”
    Yara berdecak. Baginya uang ratusan ribu untuk sekali jalan tentulah fantastis. Bagiku sebenarnya tak jauh beda. Orang tuaku hanyalah pegawai negeri sipil, gaji mereka pun tak seberapa.
    Untuk jangka waktu cukup lama, kami saling terdiam. Kami hanyut dalam alam pikiran masing-masing dan menatap pemandangan di luar kaca bus. Beberapa menit kemudian aku tertidur. Tatkala terbangun, matahari telah agak condong ke barat.
    “Hueks... hueks... “ Mendadak terdengar suara meresahkan. Sontak aku menoleh. Terlihat olehku seorang wanita muda tengah menadahi muntahannya di ujung seberang posisi dudukku. Aku langsung memalingkan pandang.
    “Ada apa, Wid?” tanya Yara, seakan menyadari perubahan raut mukaku.
    “Oh, ada yang mabuk, ya,” tukas Yara sesaat kemudian setelah tak mendapatkan jawaban dariku.
    “Ra, boleh tukar tempat duduk, nggak? Aku mendadak pusing,” pintaku pada Yara memelas. Bisa kurasakan keringat dingin mengalir ke sekujur tubuhku. Kepalaku berdenyut-denyut dan perutku serasa dipilin.
    “Kamu nggak enak badan? Ya sudah, tukar saja,” ucap Yara lantas bangkit. Kini aku duduk di sebelah kaca bus. Kusandarkan kepala dan kupejamkan mataku. Kutarik nafas panjang dan kucoba untuk tidur kembali.
    Adzan manghrib berkumandang ketika kami memasuki daerah Subang. Bus belum hendak berhenti untuk istirahat. Kurasakan sebuah tangan menepukku perlahan.
    “Sudah boleh buka, Wid. Minum lalu makan dulu, gih!” ujar Yara. Kuperhatikan dia sendiri sudah menghabiskan seperempat bagian minumannya.
    Kami pun menyantap bekal makanan yang dibawa Yara tanpa suara. Baru beberapa menit seusai makan, kami berbincang santai mengenai berbagai hal.
***
    “Silakan istirahat sejenak dan ke toilet. Bagi yang hendak sahur, masih ada waktu,” ucap sang awak bus kepada kami. Ini adalah perhentian kedua sesudah perhentian jelang Isya’ tadi.
    “Turun, yuk! Aku ingin ke toilet,” ajakku pada Yara.
    “Itu toiletnya! Sekalian ambil wudhu aja, Wid. Agaknya kita tidak akan bisa turun lagi saat Subuh nanti,” ucap Yara mengingatkan. Aku mengiyakan.
    “Bu, cepat sedikit! Banyak yang mengantri!” teriak seorang ibu berwajah ketus di sebelahku. Pengguna toilet di depannya terdengar masih asyik mandi. Suara deburan air, debum gayung di bak, dan aroma sabun mandi menyeruak. Ibu di sebelahku tampak semakin kesal. Dia kini menggedor-gedor pintu.
    Tak ada respon dari dalam kamar mandi tersebut. Tiba-tiba pintu di depanku terbuka. Belum sempat aku melangkah, ibu yang sedari tadi berdiri di sebelahku masuk tanpa babibu, menyerobot antrianku. Aku ternganga lantas mendengus kesal.
    “Baru saja tadi ngomel karena ada yang memakai kamar mandinya nggak toleran. Eh, sekarang dengan seenaknya saja memotong antrian!” tukasku ketus dengan volume suara yang kutinggikan. Seorang gadis lain tersenyum mendengar ocehanku.
    “Kenapa, Wid, kok cemberut?” tanya Yara ketika kami telah kembali ke dalam bus.
    “Tadi ada yang menyerobot antrianku,” jawabku pendek. Yara tersenyum. Dia tak bertanya lebih jauh, menyadari mood-ku yang sedang buruk.
***
    Menjelang pukul delapan pagi, kabupaten Blitar telah di ujung jalan. Kedua mata Yara berbinar mengetahui tujuannya telah dekat.
    “Nanti cuci muka dulu saja di pool. Cegat bus menuju Malang di jalan depan pool bisa, kok. Hati-hati, ya!” tutur Yara mewanti-wanti. Dalam hitungan menit kami akan berpisah.
    Tibalah kami di perhentian terakhir di Blitar. Kakak laki-laki Yara telah menanti di atas sepeda motornya. Rupanya Yara tak mampir dulu ke pool. Sang kakak menyuruhnya bergegas naik ke sepeda motor. Tinggallah aku sendiri, bersiap melanjutkan perjalanan yang masih berjam-jam lagi.
    Seusai membasuh muka dan merapikan diri di toilet pool, aku menunggu bus jurusan Malang di seberang jalan. Bus datang dalam hitungan menit.
***
    “Malang, Malang, perhentian terakhir!” teriak awak bus saat memasuki sebuah terminal. Aku pun buru-buru bangkit sembari menenteng tas.
    Kuedarkan pandangan. Terminal ini tak terlalu ramai. Hanya bus-bus kecil yang nampak. Tak kudapati bus bertuliskan Probolinggo, apalagi Situbondo di sekitarku.
    “Mas, kalau ke Situbondo atau Probolinggo, bisa naik ini?” tanyaku polos pada seorang awak bus.
    “Oh, bisa, Mbak. Naik, Mbak, belum penuh!” sahut sang awak bus dengan antusias.
    Bagai anak TK diperintah bu guru, aku menuruti ajakannya. Begitu mendapatkan posisi duduk yang nyaman, aku menyandarkan tubuh penatku.
    Perjalanan bus melewati jalan berkelok-kelok. Semakin lama semakin tajam pula tikungannya. Kuamati rumah-rumah kecil di sepanjang jalan. Rupanya ini daerah pegunungan. Satu jam telah berlalu. Satu jam berikutnya bergulir pula. Aku mulai curiga.
    “Masih jauhkah perjalanan? Kok lama dan berputar-putar, ya? Rutenya juga tak seperti yang dulu kulalui,” pikirku. Barulah aku tersadar, aku menumpangi bus yang salah. Bus ini tak menuju Probolinggo, tapi Lumajang. Itu pun jalurnya panjang.
    “Bodohnya aku ini!” rutukku pada diri sendiri. Hatiku meringis.
    Setibanya bus di terminal Lumajang, aku lekas mengonfirmasi perihal kedatangan bus Probolinggo pada petugas. Setelah yakin tak lagi salah, aku bergegas naik bus yang pertama kali masuk terminal. Perjalananku belum usai. Ada satu bus lagi sesudah ini.
    “Ya Allah, seharusnya aku sudah sampai di rumah saat ini,” keluhku seorang diri. Kupandang nanar jalanan di luar jendela bus. Penumpang bus menuju Situbondo yang kini kutumpangi, cukup padat. Beruntung aku masih mendapatkan jatah duduk.
    Semburat jingga di langit Maghrib menyambut kedatangan bus di pasir putih. Setengah jam lagi gerbang kotaku nampak. Kureguk air mineral yang tersisa di botol.
    “Alhamdulillah, masih bisa merasakan nikmat berbuka kedua di jalan,” gumamku menghibur diri, mencoba menyibak hikmah dari perjalanan di luar tenggat waktu ini.
    Ibu mencecarku dengan beberapa pertanyaan setibanya langkahku di rumah. Aku hanya tersenyum. Kujelaskan sekilas kecerobohanku di terminal Malang. Beliau prihatin.
    “Ah, yang penting aku tiba dengan selamat. Tiada yang senyaman kasur empukku di kamar sempit ini,” tukasku seraya merebahkan tubuh lelahku ke atas pembaringan.

2 komentar:

  1. Kasian ya Widya hehe emang bener-bener cobaan deh. Kak ini aku pertama kali mampir ke sini, ada debaran dan kayaknya aku mulai jatuh cinta sama tulisan Kakak hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi, iya, kalau mudik memang begitu sensasinya.. makasih ya udah mampir, jangan kapok hehe :)

      Hapus

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube