Mentari pukul sembilan pagi, merangkak naik hendak ke puncak keperkasaannya. Rumah gaduh oleh riuh rendah nyanyian rewel yang berselang-seling dengan ocehan dan tawa berderai. Dua bocah lelaki yang belum lagi menjejakkan kaki di bangku sekolah tengah asyik berkutat dengan dunia bermain penuh imaji.
Terdengar bunyi gerendel pintu pagar bergeser. Seseorang berjalan masuk seraya meneriakkan sesuatu, “Belanja, Bu? Lontong, kelapa parut, ikan pe—pari?”
Sontak si sulung yang memang biang heboh berseru histeris, “Ada Mbah Mah!”
Adiknya menguntit dan turut berjingkrak seakan ada tamu penting mengucap salam.
“Ini ada nasi dingin, Yu, tapi masih bisa dan enak dimakan. Sama sayur dan lauk juga. Ditaruh di kulkas jadi panaskan sendiri, ya, sebelum dimakan,” ujar seorang wanita paruh baya kepada Yu Timah, wanita penjual sayur yang nyaris tiap hari mampir menawarkan dagangan yang kerap sudah jauh dari lengkap itu.
“Oh, iya, Bu. Saya ambil plastik dulu,” sahut Yu Timah lantas bergegas menuju sepeda ontanya yang diparkir di depan rumah tetangga.
“Mbah, ini nasi buat Mbah Mah, ya? Buat dimakan?” tanya si sulung nyaring. Sudah menjadi kebiasaannya cerewet mempertanyakan segala hal dan ikut nimbrung dengan kesibukan yang tak selaiknya ia kerjakan.
Maka ketika Yu Timah sibuk memindahkan nasi dan sayur dari piring dan panci ke dalam plastik, kedua bocah laki-laki itu turut riang memperhatikan bahkan jail memunguti remah-remah nasi. Sang nenek hanya mampu menggeleng-geleng kepala dan tersenyum.
“Sudah, ya, Mbah Mah mau pulang. Makasih, ya, nasinya!” ucap Yu Timah pada dua kru cilik yang masih mengakrabinya.
Yu Timah telah bertahun-tahun berjualan sayur-mayur keliling. Bermodalkan sepeda kayuh yang telah tua dan keranjang buatan dari kayu lapuk yang ditempelkan sekenanya di bagian belakang sepeda, ia mengais rezeki di tiap-tiap pagi. Kala anak-anak sekolah dan para pegawai negeri sipil bersiap berangkat ke sekolah dan kantor mereka, Yu Timah menggelar dagangan sederhananya di pelataran rumah seorang warga dekat sebuah sekolah negeri. Di sana dia akan mangkal cukup lama, hingga matahari mulai naik sepenggalan. Maka pada jam-jam itulah kemudian dia berkeliling menjajakan dagangan yang acapkali telah jauh berkurang. Dagangan yang bisa dipastikan kalah saing dengan dagangan Pak Eeng, seorang penjaul sayur keliling lain yang beroperasi menggunakan motor gedenya. Salah satu rumah yang disinggahi Yu Timah adalah rumah Bu Lastri, seorang pensiunan guru.
***
Hari ini hari Ramadhan pertama. Aktivitas rutin di rumah Bu Lastri sedikit mengalami pergeseran. Anak perempuan yang tinggal serumah dengannya beserta suami dan kedua balitanya tengah menjalani masa liburan pergantian tahun ajaran baru sekaligus menyambut awal Ramadhan.
“Nanti kalau ada Yu Timah berikan nasi ini sama lauk yang ada di piring!” pesan Bu Lastri pada anaknya.
“Yu Timah itu masih punya anak kecil, Bu? Nasi dan lauk yang sering Ibu berikan, apakah dimakan anaknya?”
“Iya, masih ada yang SD. Yang besar sih udah nikah, tapi kondisinya ya nggak jauh beda dengan ibunya. Kasihan lho... Yu Timah cerita kalau dia seringkali kepayahan sesampainya di rumah. Dengan pemberian lauk dari kita—meskipun itu sisa di mata kita—dia mengaku terbantu sekali sehingga tidak kepikiran lagi anaknya kelaparan sepulang sekolah.”
“Lah suaminya bukannya kerja juga, Bu?”
“Iya, jadi buruh tani. Kamu tahu sendiri lah buruh tani itu kerjanya nggak tentu dan diupahnya jelas nggak besar.”
Anggota keluarga Bu Lastri memang tak ada yang memiliki perut berkapasitas jumbo. Mau sedikit atau banyak, lauk yang dimasak oleh Bu Lastri hampir selalu berpeluang bersisa. Itu pun jarang disajikan kembali keesokan harinya, karena tergantikan oleh hidangan menu baru. Teramat sayang jika makanan sisa kemarin yang sebenarnya masih layak konsumsi itu harus berakhir di tong sampah. Jadilah Bu Lastri berinisiatif mengahngatkannya atau menyimpannya di lemari pendingin untuk kemudian dihibahkan pada Yu Timah esoknya.
***
Bu Lastri mendengus kesal pagi itu. Tampak olehnya sepiring nasi yang baru bersisa sebagian diletakkan begitu saja di atas meja makan.
“Nit, ini nasi sisa nyuapi anak-anak? Sudah berapa kali Ibu bilang, kalau ngambilkan jangan kebanyakan! Senang sekali menyia-nyiakan nasi seperti ini. Siapa yang disuruh menghabiskan kalau sudah begini, kamu ‘kan juga puasa?!” omel Bu Lastri panjang.
Anak perempuannya tak menyahut. Ia memang bertabiat buruk, bebal kalau dinasehati. Berkali-kali mengulang kesalahan yang sama.
“Mbah, ada Mbah Mah!” seru si sulung riang.
“Ini, berikan ke mbah Mah, kalau begitu,” jawab sang nenek sembari menyodorkan sepiring nasi yang disambut antusias sang cucu.
“Bu, kalau ada jatah zakat fitrah nanti, jangan lupa sisihkan buat saya, ya,” pinta Yu Timah pada Bu Lastri beberapa menit kemudian.
“Oh, iya. Nanti kupesankan sama Nita juga. Biasanya jatah dari murid-murid sekolahnya ‘kan banyak juga.”
Permintaan Yu Timah tersebut bukan kali pertamanya terucap. Di tiap penghujung Ramadhan dia memang kerap meminta secara blakblakan pada keluarga bu Lastri. Bu Lastri tak merasa keberatan. Toh, dia justru lega mengetahui dengan pasti siapa yang mendapat zakat fitrah dari keluarganya ketimbang jika disalurkan lewat institusi.
***
Di sebuah rumah mungil sangat sederhana yang masih berlantaikan tanah, Yu Timah tampak duduk berselonjor sepulangnya dari berjualan.
“Mak, aku dapat jatah baju baru, nggak, lebaran ini?” tanya si bungsu sekonyong-konyong.
“Lebaran nggak mesti berpakaian baru, Ti. Bajumu masih ada yang bagus ‘kan, yang diberi sama bu Haji waktu itu?” jawab Yu Timah enggan. Bu Haji yang ia maksud adalah seorang tetangga yang baru pulang selepas menunaikan ibadah haji.
Yu Timah memang kerap dimintai bantuan kala ada tetangganya yang menggelar hajatan, entah pesta syukuran, tunangan, atau walimahan. Jika sudah begitu, biasanya Yu Timah akan meliburkan diri dari berjualan. Upah yang diberikan lumayan, sehingga bisa menyamai kerja kerasnya menjajakan sayur-mayur hingga nyaris tengah hari.
“Yaah, Emak... “ sungut sang bungsu lalu berjalan gontai menjauh.
“Jangankan baju baru, Nduk. Buat buka dan sahur saja emakmu ini harus memeras keringat di bawah sengatan matahari,” ucap Yu Timah membatin. Ia pun menghela napas.
***
Tiga hari jelang hari raya, perumahan warga yang biasa menjadi target Yu Timah berjualan telah lengang ditinggalkan penghuninya mudik. Mayoritas penduduk memang pendatang dan tentu tak mengherankan jika momen Lebaran menjadi ajang silaturrahim keluarga besar.
“Belanja, Bu?” Yu Timah berseru kepada seorang tuan rumah.
“Libur, Yu. Tadi sudah belanja ke pasar. Oh ya, tunggu dulu!”
Selang sepuluh menit kemudian, sang tuan rumah—Bu Nurul—kembali ke teras sambil membawa sekantong plastik besar pakaian layak pakai.
“Ini, Yu. Baju-baju saya dan Indah—anaknya—yang sudah nggak dipakai atau kesempitan. Masih lumayan bagus, kok. Kalau Yu Timah mau, bawa pulang saja. Kalau nggak mau, ya saya nggak maksa.”
Yu Timah menatap kantong plastik jumbo itu. Pupil matanya membesar dan tangannya menggapai kantong plastik untuk diperiksa.
“Wah, masih bagus-bagus memang, Bu. Ada kerudung juga, pas buat saya. Saya ambil, ya!” seru Yu Timah senang. Mimik mukanya tampak tulus bersyukur menerima pemberian itu.
“Dan ini, saya ada sedikit uang THR buat Yu Timah.”
Yu Timah terhenyak. Ia sama sekali tak menduga mendapat THR dari seseorang yang bahkan bukan majikannya atau pernah mempekerjakannya belakangan ini. Seraya menghaturkan terima kasih berulang kali, Yu Timah menerima uluran amplop putih itu.
Terdengar bunyi gerendel pintu pagar bergeser. Seseorang berjalan masuk seraya meneriakkan sesuatu, “Belanja, Bu? Lontong, kelapa parut, ikan pe—pari?”
Sontak si sulung yang memang biang heboh berseru histeris, “Ada Mbah Mah!”
Adiknya menguntit dan turut berjingkrak seakan ada tamu penting mengucap salam.
“Ini ada nasi dingin, Yu, tapi masih bisa dan enak dimakan. Sama sayur dan lauk juga. Ditaruh di kulkas jadi panaskan sendiri, ya, sebelum dimakan,” ujar seorang wanita paruh baya kepada Yu Timah, wanita penjual sayur yang nyaris tiap hari mampir menawarkan dagangan yang kerap sudah jauh dari lengkap itu.
“Oh, iya, Bu. Saya ambil plastik dulu,” sahut Yu Timah lantas bergegas menuju sepeda ontanya yang diparkir di depan rumah tetangga.
“Mbah, ini nasi buat Mbah Mah, ya? Buat dimakan?” tanya si sulung nyaring. Sudah menjadi kebiasaannya cerewet mempertanyakan segala hal dan ikut nimbrung dengan kesibukan yang tak selaiknya ia kerjakan.
Maka ketika Yu Timah sibuk memindahkan nasi dan sayur dari piring dan panci ke dalam plastik, kedua bocah laki-laki itu turut riang memperhatikan bahkan jail memunguti remah-remah nasi. Sang nenek hanya mampu menggeleng-geleng kepala dan tersenyum.
“Sudah, ya, Mbah Mah mau pulang. Makasih, ya, nasinya!” ucap Yu Timah pada dua kru cilik yang masih mengakrabinya.
Yu Timah telah bertahun-tahun berjualan sayur-mayur keliling. Bermodalkan sepeda kayuh yang telah tua dan keranjang buatan dari kayu lapuk yang ditempelkan sekenanya di bagian belakang sepeda, ia mengais rezeki di tiap-tiap pagi. Kala anak-anak sekolah dan para pegawai negeri sipil bersiap berangkat ke sekolah dan kantor mereka, Yu Timah menggelar dagangan sederhananya di pelataran rumah seorang warga dekat sebuah sekolah negeri. Di sana dia akan mangkal cukup lama, hingga matahari mulai naik sepenggalan. Maka pada jam-jam itulah kemudian dia berkeliling menjajakan dagangan yang acapkali telah jauh berkurang. Dagangan yang bisa dipastikan kalah saing dengan dagangan Pak Eeng, seorang penjaul sayur keliling lain yang beroperasi menggunakan motor gedenya. Salah satu rumah yang disinggahi Yu Timah adalah rumah Bu Lastri, seorang pensiunan guru.
***
Hari ini hari Ramadhan pertama. Aktivitas rutin di rumah Bu Lastri sedikit mengalami pergeseran. Anak perempuan yang tinggal serumah dengannya beserta suami dan kedua balitanya tengah menjalani masa liburan pergantian tahun ajaran baru sekaligus menyambut awal Ramadhan.
“Nanti kalau ada Yu Timah berikan nasi ini sama lauk yang ada di piring!” pesan Bu Lastri pada anaknya.
“Yu Timah itu masih punya anak kecil, Bu? Nasi dan lauk yang sering Ibu berikan, apakah dimakan anaknya?”
“Iya, masih ada yang SD. Yang besar sih udah nikah, tapi kondisinya ya nggak jauh beda dengan ibunya. Kasihan lho... Yu Timah cerita kalau dia seringkali kepayahan sesampainya di rumah. Dengan pemberian lauk dari kita—meskipun itu sisa di mata kita—dia mengaku terbantu sekali sehingga tidak kepikiran lagi anaknya kelaparan sepulang sekolah.”
“Lah suaminya bukannya kerja juga, Bu?”
“Iya, jadi buruh tani. Kamu tahu sendiri lah buruh tani itu kerjanya nggak tentu dan diupahnya jelas nggak besar.”
Anggota keluarga Bu Lastri memang tak ada yang memiliki perut berkapasitas jumbo. Mau sedikit atau banyak, lauk yang dimasak oleh Bu Lastri hampir selalu berpeluang bersisa. Itu pun jarang disajikan kembali keesokan harinya, karena tergantikan oleh hidangan menu baru. Teramat sayang jika makanan sisa kemarin yang sebenarnya masih layak konsumsi itu harus berakhir di tong sampah. Jadilah Bu Lastri berinisiatif mengahngatkannya atau menyimpannya di lemari pendingin untuk kemudian dihibahkan pada Yu Timah esoknya.
***
Bu Lastri mendengus kesal pagi itu. Tampak olehnya sepiring nasi yang baru bersisa sebagian diletakkan begitu saja di atas meja makan.
“Nit, ini nasi sisa nyuapi anak-anak? Sudah berapa kali Ibu bilang, kalau ngambilkan jangan kebanyakan! Senang sekali menyia-nyiakan nasi seperti ini. Siapa yang disuruh menghabiskan kalau sudah begini, kamu ‘kan juga puasa?!” omel Bu Lastri panjang.
Anak perempuannya tak menyahut. Ia memang bertabiat buruk, bebal kalau dinasehati. Berkali-kali mengulang kesalahan yang sama.
“Mbah, ada Mbah Mah!” seru si sulung riang.
“Ini, berikan ke mbah Mah, kalau begitu,” jawab sang nenek sembari menyodorkan sepiring nasi yang disambut antusias sang cucu.
“Bu, kalau ada jatah zakat fitrah nanti, jangan lupa sisihkan buat saya, ya,” pinta Yu Timah pada Bu Lastri beberapa menit kemudian.
“Oh, iya. Nanti kupesankan sama Nita juga. Biasanya jatah dari murid-murid sekolahnya ‘kan banyak juga.”
Permintaan Yu Timah tersebut bukan kali pertamanya terucap. Di tiap penghujung Ramadhan dia memang kerap meminta secara blakblakan pada keluarga bu Lastri. Bu Lastri tak merasa keberatan. Toh, dia justru lega mengetahui dengan pasti siapa yang mendapat zakat fitrah dari keluarganya ketimbang jika disalurkan lewat institusi.
***
Di sebuah rumah mungil sangat sederhana yang masih berlantaikan tanah, Yu Timah tampak duduk berselonjor sepulangnya dari berjualan.
“Mak, aku dapat jatah baju baru, nggak, lebaran ini?” tanya si bungsu sekonyong-konyong.
“Lebaran nggak mesti berpakaian baru, Ti. Bajumu masih ada yang bagus ‘kan, yang diberi sama bu Haji waktu itu?” jawab Yu Timah enggan. Bu Haji yang ia maksud adalah seorang tetangga yang baru pulang selepas menunaikan ibadah haji.
Yu Timah memang kerap dimintai bantuan kala ada tetangganya yang menggelar hajatan, entah pesta syukuran, tunangan, atau walimahan. Jika sudah begitu, biasanya Yu Timah akan meliburkan diri dari berjualan. Upah yang diberikan lumayan, sehingga bisa menyamai kerja kerasnya menjajakan sayur-mayur hingga nyaris tengah hari.
“Yaah, Emak... “ sungut sang bungsu lalu berjalan gontai menjauh.
“Jangankan baju baru, Nduk. Buat buka dan sahur saja emakmu ini harus memeras keringat di bawah sengatan matahari,” ucap Yu Timah membatin. Ia pun menghela napas.
***
Tiga hari jelang hari raya, perumahan warga yang biasa menjadi target Yu Timah berjualan telah lengang ditinggalkan penghuninya mudik. Mayoritas penduduk memang pendatang dan tentu tak mengherankan jika momen Lebaran menjadi ajang silaturrahim keluarga besar.
“Belanja, Bu?” Yu Timah berseru kepada seorang tuan rumah.
“Libur, Yu. Tadi sudah belanja ke pasar. Oh ya, tunggu dulu!”
Selang sepuluh menit kemudian, sang tuan rumah—Bu Nurul—kembali ke teras sambil membawa sekantong plastik besar pakaian layak pakai.
“Ini, Yu. Baju-baju saya dan Indah—anaknya—yang sudah nggak dipakai atau kesempitan. Masih lumayan bagus, kok. Kalau Yu Timah mau, bawa pulang saja. Kalau nggak mau, ya saya nggak maksa.”
Yu Timah menatap kantong plastik jumbo itu. Pupil matanya membesar dan tangannya menggapai kantong plastik untuk diperiksa.
“Wah, masih bagus-bagus memang, Bu. Ada kerudung juga, pas buat saya. Saya ambil, ya!” seru Yu Timah senang. Mimik mukanya tampak tulus bersyukur menerima pemberian itu.
“Dan ini, saya ada sedikit uang THR buat Yu Timah.”
Yu Timah terhenyak. Ia sama sekali tak menduga mendapat THR dari seseorang yang bahkan bukan majikannya atau pernah mempekerjakannya belakangan ini. Seraya menghaturkan terima kasih berulang kali, Yu Timah menerima uluran amplop putih itu.
Yu Timah, mengingatkan bahwa di sekitar kita masih banyak sekali Yu Timah-Yu Timah yang lain... *rada mbrebes mili kak bacanya, oh Yu Timah, semoga selalu sabar :)
BalasHapusKurang maknyus, ya, kisahnya. baru "rada" hihi... tapi ini dari kisah nyata sih, nggak kubumbu-bumbui berlebihan. tapi pasti di luar sana ada banyak yang kisahnya lebih menyentuh.
Hapus'rada' karena pas mau tumpah ana tahan kak, (y) membuat yang baca merenung, "sudah bersyukurkah saya?" good job kak
Hapusbersyukur itu mudah tapi suka banyak lupanya :(
BalasHapus