Dunia literasi Indonesia sejauh pengamatan saya telah jauh berkembang. Penerbit-penerbit bertunas, menguncup, dan mekar di Indonesia. Penerbit mayor yang buku-bukunya beredar di pasaran luas, baik offline maupun online, baik di toko-toko buku besar maupun kecil jumlahnya sudah sulit saya hapal (memangnya hapalan? Hehe...). Demikian juga penerbit minor atau indie publishing yang skala penjualan buku terbitnya lebih terbatas. Sekarang ini, jika saya membeli buku baru, maka ketika membaca nama penerbitnya, tak jarang saya mengerutkan kening karena merasa tak familiar (ooh.. ada, ya, nama penerbit seperti ini hehe...). Para penulis pun tak kalah banyak lahir dan bersaing menorehkan karya dan prestasi. Terpampang di rak-rak toko buku besar, nama-nama baru di dunia kepenulisan bersama novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, atau buku nonfiksi populer mereka yang teranyar. Sungguh sebuah kemajuan yang patut dibanggakan, terlepas dari kualitas mereka masing-masing. Saya sebagai penyuka buku sekaligus peminat dunia kepenulisan turut bersyukur atas angin segar ini.
logo IKAPI |
Lantas, dengan bejibunnya penerbitan, penulis, dan karya-karya yang dihasilkan, adakah wadah yang bertugas mempersatukan mereka, menjadi mediasi dan penyambung tali silaturahmi? Tentu saja ada dan harus ada. Nah, selama ini, penerbit-penerbit di Indonesia telah berada dalam naungan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Apa itu IKAPI? Apa saja wewenangnya? Kegiatan apa sajakah yang telah diselenggarakan? Saya sendiri memang bukanlah praktisi dunia penerbitan sehingga yang saya ketahui tentang IKAPI amatlah sedikit (hanya kerap mendengar nama). Untuk itu, agar saya bisa memahami lebih baik dan memberikan pandangan objektif, saya berangkat dari penelusuran di website resmi IKAPI Indonesia.
Latar Belakang IKAPI
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) adalah asosiasi profesi penerbit satu-satunya yang menghimpun para penerbit buku dari seluruh Indonesia. IKAPI didirikan pada tanggal 17 Mei 1950 di Jakarta. Para pelopor dan inisiator pendirian IKAPI adalah Sutan Takdir Alisjahbana, M. Jusuf Ahmad, dan Nyonya A. Notosoetardjo. Pendirian IKAPI didorong oleh semangat nasionalisme setelah Indonesia merdeka tahun 1945.
IKAPI kemudian menjadi organisasi profesi penerbit buku berasaskan Pancasila, gotong royong, dan kekeluargaan. Atas kesepakatan para pendiri IKAPI, diangkatlah Achmad Notosoetardjo sebagai Ketua pertama IKAPI, Ny. Sutan Takdir Alisjahbana sebagai wakil ketua, Machmoed sebagai sekretaris, M. Jusuf Ahmad sebagai bendahara, dan John Sirie sebagai komisaris. Pada masa awal tersebut bergabung tiga belas penerbit sesuai dengan buku yang disusun Mahbub Djunaidi dan versi lain dari Zubaidah Isa menyebutkan jumlah empat belas penerbit bergabung pada masa awal IKAPI tersebut. Namun, baik Mahbub maupun Zubaidah tidak menyebutkan siapa saja penerbit yang bergabung tersebut.
Lima tahun setelah berdiri, IKAPI mampu menghimpun 46 anggota penerbit yang sebagian besar berdomisil di Jakarta dan sisanya di Pulau Jawa dan Sumatra. IKAPI dipusatkan di Jakarta sebagai ibu kota negara. Dalam sejarah perkembangannya, Medan sebagai salah satu kota basis penerbitan di Indonesia telah lebih dulu memiliki organisasi yang menghimpun penerbit dan pedagang buku lokal sejak 1952. Organisasi itu bernama Gabungan Penerbit Medan (Gapim) dengan 40 anggota dan 24 di antaranya adalah pedagang buku. IKAPI kemudian merangkul Gapim melalui kunjungan ketua IKAPI ke Medan pada September 1953. Gapim bersedia melebur ke dalam wadah IKAPI sehingga terbentuklah IKAPI Cabang Sumatra Utara pada Oktober 1953 dengan 16 anggota sebagai cabang IKAPI pertama.
Visi IKAPI
Menjadikan industri penerbitan buku di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan dapat berkiprah di pasar internasional.
Misi IKAPI
Ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa melalui upaya penciptaan iklim perbukuan yang kondusif, pengembangan sistem perbukuan yang kompetitif, dan peningkatan profesionalisme asosiasi serta para anggotanya sehingga perbukuan nasional mampu berperan secara optimal demi mempercepat terbentuknya masyarakat demokratis terbuka dan bertanggung jawab.
gambar dari SINI |
Dari latar belakang pendirian, visi dan misi di atas, IKAPI telah menggelar aneka program dan kegiatan. Berangkat dari semangat cita-cita Ikapi dalam mencerdaskan bangsa dan memajukan perbukuan nasional, berbagai usaha untuk memperluas kesempatan membaca dan memperbesar golongan pembaca dengan jalan mendirikan perpustakaan desa telah dilakukan. Demikian pula usaha menyebarkan hasil cipta sastrawan indonesia dengan jalan mengekspor buku dan usaha melindungi hak cipta. Kepengurusan IKAPI pun diduduki oleh jajaran penulis dan editor yang juga aktif berkiprah di berbagai penerbit Indonesia.
Tantangan IKAPI untuk memenuhi kebutuhan anggotanya dari masa ke masa terus meningkat. Kini banyak penerbit yang berdiri, tetapi tidak sedikit pula yang tidak berminat menggabungkan dirinya kepada Ikapi. Tentu hal ini tidak dapat dilarang, apalagi sejak era reformasi yang menjadikan semua orang berhak berpendapat dan berhak pula ikut atau tidak dalam suatu institusi/organisasi. Nah, di sinilah tugas IKAPI beserta jajaran pengurusnya menjawab tantangan tersebut. Bagaimana mempromosikan sekaligus memberikan bukti nyata kepada penerbit-penerbit yang masih enggan bergabung, bahwa mereka akan kehilangan peluang emas dalam banyak hal. Di antaranya: pengembangan profesionalitas perbukuan, perlindungan kode etik bisnis penerbitan buku serta bantuan hukum (advokasi) terhadap masalah-masalah terkait perbukuan, informasi tentang berbagai kebijakan pemerintah menyangkut perbukuan, proyek-proyek pengadaan buku pemerintah, maupun kegiatan-kegiatan nasional atau internasional di bidang perbukuan, silaturahim atau hubungan antarpenerbit sehingga dapat membina kerja sama dalam bentuk penerbitan bersama (co-publishing) atau kerja sama lainnya yang saling menguntungkan, eksistensi sebagai anggota organisasi profesi untuk berhubungan dengan organisasi profesi atau organisasi bisnis lainnya, dan terakhir prioritas keikutsertaan dalam berbagai event pameran buku, baik yang diadakan di Indonesia maupun di luar negeri dengan biaya yang lebih efisien.
gambar dari SINI |
Jika tantangan dalam mempersatukan seluruh penerbit buku di Indonesia mampu dijawab dengan baik oleh IKAPI, saya percaya bahwa IKAPI akan menunjukkan peran nyata yang maksimal di dunia baca tulis. Bukankah kekuatan terbesar terletak pada persatuan dan kekompakan langkah? Ibarat semboyan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Selain itu, dengan bersatu dan kompaknya penerbit-penerbit di Indonesia, akan mudah melakukan kontrol terhadap kualitas industri penerbitan, bersama karya yang dihasilkan. Ini akan menekan kasus-kasus miring terkait konten buku yang tidak layak terbit.
gambar dari SINI |
Jika saya boleh berandai-andai menjadi pengurus IKAPI, reformasi apa yang sekiranya akan saya lakukan dalam mengembangkan dunia baca tulis di Indonesia? Hmm... sebuah pertanyaan sulit. Dengan menelisik aneka kegiatan yang telah berhasil digawangi IKAPI, seperti pameran buku, festival buku Indonesia di luar negeri dengan menggalang kerjasama dengan institusi asing, kursus kepenulisan dan konvensi editor, mengikuti aneka seminar dan expo di dalam dan luar negeri, saya bisa merumuskan beberapa hal yang saya rasa belum terwujud. Antara lain:
• Mewajibkan tiap penerbit yang menjadi anggota IKAPI untuk memiliki program wakaf buku dan pengadaan perpustakaan keliling atau taman bacaan
• Mewajibkan tiap penerbit dalam keanggotaan untuk mengirimkan penulisnya secara bergantian dalam seminar atau konvensi nasional maupun internasional yang dirujuk IKAPI
• Menggiatkan aneka award (penghargaan), event kepenulisan di berbagai daerah yang dilaksanakan berbarengan dengan penyelenggaraan pameran atau pesta buku bersama seluruh penerbit terkait
• Mempererat hubungan baik dengan media, komunitas, forum penggiat literasi dalam rangka kerja sama dan promosi aneka kegiatan, kalau bisa dibuat kerja sama dalam jangka panjang
• Menggalakkan penerbitan buku-buku sastra klasik dan berbahasa daerah atau yang mengangkat budaya daerah yang positif, sekaligus membatasi terbitnya buku-buku sastra modern yang terlampau banyak mengandung muatan bahasa non formal. Ini demi mencegah terkikisnya bahkan punahnya akar bahasa Indonesia baku dan bahasa daerah
• Memberikan sanksi atau bahkan memasukkan dalam daftar hitam bagi anggotanya yang terbukti melanggar kode etik kepenulisan atau menerbitkan buku yang tak layak baca (bermuatan negatif)
gambar dari SINI |
Sudah pasti banyak kekurangan dalam usulan saya di atas mengingat saya belum benar-benar paham seluk beluk dunia penerbitan buku dan program-program IKAPI. Namun saya tetap menaruh harapan besar supaya IKAPI sebagai sebuah wadah resmi berskala nasional mampu menunjukkan eksistensi di ranah publik. Tak seharusnya ke depan nanti masih ada penulis baru, peminat buku, yang asing mendengar IKAPI, atau bertanya-tanya, “Memangnya apa yang telah dilakukan IKAPI?”
Referensi: www.ikapi.org
Blogpost ini diikutsertakan dalam Lomba Parade Ngeblog #PameranBukuBandung2014
Wah, jan siip jeng mel. Mantap jadi penulis beneran nih. Semoga menang ya....
BalasHapushihi... aamiin dah. makasih, ya, komentarnya. Ini Ari, kan, ya? :)
BalasHapusKeren nih Mak artikelnya...met ngontes semoga sukses ya...
BalasHapusmakasih, ya. sukses juga untuk mbak Rita :)
Hapusaduh keren2 terus tulisan kaka.. semoga jadi juara n penulis terkenal ya kak :-)
BalasHapusaihh, semoga bisa bermanfaat deh, hehe, makasih Raihana :)
Hapusbagus kak, tulisannya bermanfaat. sukses selalu :)
BalasHapusTerima kasih, salam kenal, ya :)
BalasHapuscoba komentar ... masuk gak , ana baru nyoba ngeBlog ^^
BalasHapushehe. masuk, kok. yuk, ngeblog :)
Hapus