Subuh di kampung yang sunyi terasa menjemukan bagi seorang Adisty yang merupakan sosok gadis metropolitan tulen. Di kota asalnya, Adisty pasti masih erat memeluk guling dan tersenyum-senyum menghayati mimpi berjumpa seorang Lee Min-ho, aktor Korea Selatan yang diklaim sebagai calon pacar siri kesepuluhnya. Saking dahsyat mimpinya, Adisty bisa sampai meneteskan air liur rasa pete, akibat malas menggosok gigi sehabis santap malam keluarga. Ya, meskipun mengaku keluarga ningrat, selera makan keluarga Adisty tetaplah mewarisi moyang mereka yang asli Tegal. Oh, ya, sebagai catatan, Subuh ini Adisty sudah bangun. Simbah rajin membangunkannya tiap Subuh dan melarang keras kembali tidur selama berlibur di kampung.
“Nduk, jangan keluar rumah dulu seharian ini, ya! Lagi ada musibah di kampung kita. Preman kampung ada yang mati semalam. Matinya ndak jauh dari rumah kita!” Adisty yang sedang sibuk mendengarkan alunan musik K-Pop di ponsel pintarnya, tak terusik dengan wanti-wanti sang simbah. Baru setelah dicolek oleh Simbah, dia menoleh sambil mendengus. Simbah geleng-geleng kepala lantas melenggang masuk ke dapur.
“Masa’ aku dipingit seharian! Aku ‘kan bosen, pingin ke toko di ujung jalan sebentar.” Dengan mengendap-ngendap, bertudung jaket polkadot hadiah perpisahan dari mantan teman tapi mesra kelimanya, Adisty sukses melewati kamar Simbah. Dengan berjalan kaki—berhubung dia nggak bisa mengendarai sepeda onta milik Simbah Kakung—Adisty menyusuri jalanan yang temaram. Baru setengah perjalanan, sekonyong-konyong muncul Udin, kerabat jauh Adisty yang super katrok dan gemar menguntit ke mana pun Adisty melangkah. Mengetahui gadis pujaannya berjalan sendirian, Udin menempel bak perangko sembari mengoceh tak jelas juntrungannya. “Biar deh, daripada gue jalan sendiri, agak spooky juga nih!” kata Adisty membatin.
Brukk...! Si Udin tiba-tiba jatuh berdebum di jalan. Adisty terlonjak kaget. “Din, Udin... kamu nggak papa, ‘kan?” ucap Adisty seraya mencolek bahu Udin dengan ujung jari telunjuk seakan Udin barang najis. Semenit berlalu, Udin bergeming. Bulu kuduk Adisty kian meremang. Udara malam yang dingin kian menggigit tulang. Adis spontan merapatkan jaket. Mendadak terdengar desau angin diikuti dedaunan yang bergesekan, menciptakan melodi soundtrack film Kutukan Sadako yang pernah ditontonnya. Dari sudut matanya, Adis menangkap bayang sosok tinggi besar berjalan sempoyongan di kejauhan. Adisty mendadak panik. Dia terngingang peringatan Simbah tentang preman yang mati terpeleset kemarin malam. Sontak Adisty lari terbirit-birit, berputar arah menuju rumah Simbah.
“Dis, kok lari?!” seru Udin sejurus kemudian. “Eh, siapa itu? Kok mirip pre-pre-man ma-buk yang mati di sini? Jangan-jangan dia minta pertanggungjawaban atas ulahku!” Udin yang sudah siuman dari pingsan pura-puranya lekas mengambil langkah seribu tanpa babibu. Udin teringat kekhilafannya membuang kulit pisang di jalan dan desas-desusnya mengakibatkan sang preman menjumpai ajal.
“Nduk, jangan keluar rumah dulu seharian ini, ya! Lagi ada musibah di kampung kita. Preman kampung ada yang mati semalam. Matinya ndak jauh dari rumah kita!” Adisty yang sedang sibuk mendengarkan alunan musik K-Pop di ponsel pintarnya, tak terusik dengan wanti-wanti sang simbah. Baru setelah dicolek oleh Simbah, dia menoleh sambil mendengus. Simbah geleng-geleng kepala lantas melenggang masuk ke dapur.
“Masa’ aku dipingit seharian! Aku ‘kan bosen, pingin ke toko di ujung jalan sebentar.” Dengan mengendap-ngendap, bertudung jaket polkadot hadiah perpisahan dari mantan teman tapi mesra kelimanya, Adisty sukses melewati kamar Simbah. Dengan berjalan kaki—berhubung dia nggak bisa mengendarai sepeda onta milik Simbah Kakung—Adisty menyusuri jalanan yang temaram. Baru setengah perjalanan, sekonyong-konyong muncul Udin, kerabat jauh Adisty yang super katrok dan gemar menguntit ke mana pun Adisty melangkah. Mengetahui gadis pujaannya berjalan sendirian, Udin menempel bak perangko sembari mengoceh tak jelas juntrungannya. “Biar deh, daripada gue jalan sendiri, agak spooky juga nih!” kata Adisty membatin.
Brukk...! Si Udin tiba-tiba jatuh berdebum di jalan. Adisty terlonjak kaget. “Din, Udin... kamu nggak papa, ‘kan?” ucap Adisty seraya mencolek bahu Udin dengan ujung jari telunjuk seakan Udin barang najis. Semenit berlalu, Udin bergeming. Bulu kuduk Adisty kian meremang. Udara malam yang dingin kian menggigit tulang. Adis spontan merapatkan jaket. Mendadak terdengar desau angin diikuti dedaunan yang bergesekan, menciptakan melodi soundtrack film Kutukan Sadako yang pernah ditontonnya. Dari sudut matanya, Adis menangkap bayang sosok tinggi besar berjalan sempoyongan di kejauhan. Adisty mendadak panik. Dia terngingang peringatan Simbah tentang preman yang mati terpeleset kemarin malam. Sontak Adisty lari terbirit-birit, berputar arah menuju rumah Simbah.
“Dis, kok lari?!” seru Udin sejurus kemudian. “Eh, siapa itu? Kok mirip pre-pre-man ma-buk yang mati di sini? Jangan-jangan dia minta pertanggungjawaban atas ulahku!” Udin yang sudah siuman dari pingsan pura-puranya lekas mengambil langkah seribu tanpa babibu. Udin teringat kekhilafannya membuang kulit pisang di jalan dan desas-desusnya mengakibatkan sang preman menjumpai ajal.
0 komentar:
Posting Komentar