Selasa, 12 Agustus 2014

Hijab Syar’i Istiqomah Hati

Posted by Menukil Aksara | 8:52:00 PM Categories:
Aku terlahir sebagai anak sulung dari dua bersaudara. Aku dan adik perempuanku dibesarkan dalam sebuah keluarga yang minim ilmu tentang agama. Terpatri dalam diri kami definisi anak yang berbakti dan berprestasi adalah dengan bersekolah tinggi dan sukses meraih impian duniawi. Sekolah Islam? Ah, itu jauh sekali dari citra kami. Jika teringat kini, sungguh naïf diri ini kala itu, jika tidak bisa dibilang jahil. Sempat mengecap pendidikan dalam sekolah Katolik saat kecil; hanya karena iming-iming sistem pengajaran yang disiplin dan citra sekolah bonafit, aku menjadi sesosok pribadi anak Muslim yang gamang.

Di masa Sekolah Menengah Akhir, sedikit pergaulanku berubah. Aku berteman dengan beberapa anak gadis berkerudung rapi. Ya, itu kemajuan yang lumayan manis kan? Lalu apakah aku langsung tergerak untuk mengikuti jejak mereka? Ah, andai semudah itu. Mendapat tawaran untuk bergabung dengan eskul Rohis, aku menolak halus dan menghindar. Hidayah masih belum kupersilahkan masuk pintu hatiku.
Tiba waktunya aku bimbang menentukan pilihan universitas jelang masa akhir sekolah. Mengikuti tes masuk pertama, aku gagal. Kecewa, itu pasti. Namun di kemudian hari, aku tahu Alloh telah mengaturnya untukku.

Tak menyerah dengan kegagalan tes pertama, aku mengikuti jalur tes lain. Biidznillah, aku lolos kali ini. Pilihan universitas yang kubuat cukup riskan, tapi di sanalah aku diterima. Alloh membukakan jalan menuju hidayah tanpa kusadari.
Di lingkungan baru, di kota yang sangat jauh dari kota asalku, aku memulai lembar baru. Bersama beberapa teman dari sekolah asalku, aku belajar beradaptasi dan mandiri, memutus benang-benang rindu dalam zona nyamanku. Kalian tahu siapa teman-teman lama yang bersamaku di sini? Aha, benar, merekalah para gadis cantik berkerudung rapi.
∞∞∞
foto gugling

Hari berganti, minggu berjalan maju, kami mulai disibukkan oleh aktivitas perkuliahan. Hingga di suatu Jumat yang diberkahi, aku menuju kampus dengan kemeja panjang, celana panjang longgar, dan kerudung. Pertama kali kuliah dengan kerudung terasa ganjil untukku. Ehem, jangan salah paham dulu. Ini bukan karena aku telah menutup aurat dengan sadar dan permanen. Ini sekedar kewajiban karena mata kuliah Agama Islam yang kuambil.

“Wah gitu kan cantik, lebih cantik lagi jika tidak dilepas lagi kerudungnya,” celetuk teman baikku, si gadis berkerudung rapi. Aku cuma bisa membalas dengan senyuman kecil. Dia ini memang teman yang baik dan suka bicara tanpa basa-basi. Tapi aku belum siap, pikirku.

“Mumpung hari Jumat hari baik, niat baik itu jangan ditunda-tunda,” lanjut si dia dengan semangat bak motivator ternama.

Sepulang dari kampus, aku merenung. Aku mulai paham bahwa berjilbab itu wajib bagi anak gadis Muslim sepertiku, meski aku belum hapal betul dalilnya. Di lain sisi, hawa nafsuku mulai menyiagakan beraneka dalih. Aku belum siap. Membaca Qur-an saja aku masih terbata. Sholatku masih belum khusyu’ (yang kalau dipikir, entah apa korelasinya). Aku ini gagap bicara soal agama. Bagaimana dengan tanggapan orang tuaku di sana? Belum lagi dana bertambah untuk membeli kerudung dan baju-baju panjang. Berderet daftar bantahan siap menyingkirkan ide berjilbab yang membuat mata sulit terpejam.

Keesokan harinya, ajaib, seperti ada yang menggerakkanku untuk kembali berkerudung. Hatiku merasa malu dan terlampau sayang melepas kembali si kain persegi empat itu. Akhirnya, dengan kepercayaan diri yang berusaha digali, aku berangkat ke kampus dengan langkah pasti.

“Berjilbab? Kamu sudah yakin, Nak? Harus mantap dulu lho, jangan sampai nanti dibuka tutup,” komentar ibuku di seberang sana. “Kalau memang sudah siap ya terserah, asal kuliahnya yang benar, jangan ikut organisasi yang aneh-aneh,” ibuku melanjutkan dengan komentar yang mulai melebar. Aku cukup mengiyakan dan menyahut singkat dengan nada meyakinkan; yang sebenarnya agak kupaksakan. Bismillah, aku menguatkan diri dengan memohon pada-Nya.

Perubahan penampilanku tak berhenti hingga di situ. Tak lama berselang, aku memberanikan diri mengikuti pengajian Rohis kampus. Ilmuku bertambah, konsekuensi pun muncul. Kubuka lagi terjemah Al-Qur’an, kucari halaman surat Al-Ahzab ayat 59;
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kubalik lagi halaman demi halaman, kudapati terjemah surat An-Nuur ayat 31;
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”
Aku terdiam, membaca lagi dan lagi. Kucocokkan dengan apa yang telah kudengar dalam pengajian. Subhanalloh, masih jauh dari sempurna pakaianku. Dengan alasan keterbatasan pakaian panjang, aku memang masih memakai celana panjang, kemeja, dan kerudung sebatas dada. Sesekali aku kenakan rok panjangku yang memang hanya dua potong. Aku mencoba berpikir keras dari mana akan mendapatkan baju panjang yang sering disebut jilbab atau gamis itu. Di masaku, sangat jarang mahasiswa atau mayarakat umum yang mengenakan model pakaian seperti itu.
∞∞∞
foto gugling

Rumah kos baru merupakan jalan keluar dari Alloh. Di rumah ini, aku berkenalan dengan teman-teman baru; mereka yang sepemahaman denganku tentang wajibnya berhijab syar’i. Kami saling menyemangati dan berbagi. Suatu hari, muncul ide berbelanja bersama ke pasar kota. Tentu sudah tertebak apa yang sebenarnya kami buru di pasar nanti.
Rupanya tak semulus yang dibayangkan. Di pasar, tak banyak kami temui gamis dan kerudung syar’i dengan standar yang kami cari (tahu lah standar terjangkau tapi bagus milik anak kos). Pulang dengan membawa satu-dua gamis, kami memutuskan puas.

Tak cukup di situ, usaha kami berlanjut. Kali ini tujuan kami lebih “mewah”, yaitu pasar Tanah Abang Jakarta. Untuk ke sana, kami menumpang kereta rel listrik atau KRL yang jadwal pemberangkatan terpaginya adalah sebelum jam tujuh. Bersama semangat pagi yang menggebu, kami berangkat tepat waktu. Tak dinyana, kereta yang kami tumpangi sarat sekali dengan penumpang. Semakin jauh perjalanan, semakin banyak stasiun terlewati, penumpang makin berjubel tak terkendali. Malangnya, kami terhimpit; nyaris tak dapat berdiri tegak di dalam kereta. Sambil menahan tangis dalam hati, aku berdoa semoga pasar segera tampak. Ya Alloh, jika saja tahu akan begini, aku memilih tidak berangkat. Ampuni kami ya Rabb.

Setelah berjam-jam kami menjelajahi blok demi blok, kami pulang membawa bermeter-meter bahan kain untuk dijahit dan beberapa lembar kain untuk kerudung berneci rapi. Itu semua tak hanya milik kami berdua, tapi titipan teman-teman . Ya, demi menghemat ongkos dan tenaga, kami mengambil sistem perwakilan untuk keperluan belanja kain. Jera dengan insiden di KRL, kami tak lagi melirik Tanah Abang, setidaknya untuk beberapa waktu.
∞∞∞

Liburan semester tiba. Momen ini menjadi alasan kami untuk pulang kampung. Perasaan bahagia sekaligus gugup merayapi hatiku. Ini akan menjadi kepulanganku yang pertama sejak kuliah sekaligus yang pertama sejak berhijab syar’i. Kutepis gugupku dengan membangun rasa optimis yang masih menipis.

“Dari pondok ya Mbak?” tanya iseng seseorang di terminal.
Awalnya aku bingung dengan pertanyaannya, lalu tersadar. Oh, pasti karena penampilanku dan temanku yang bergamis dan berkerudung lebar ini. Akhirnya aku hanya menjawab dengan senyuman.

“Ini ada dua kain masing-masing panjangnya tiga meter untuk dijahit. Besok Ibu antar ke penjahit langganan,” ujar Ibu tak lama sesudah aku tiba di rumah. “Ibu cuma bisa mengira-ngira, semoga cukup untuk ukuranmu.”

Masya Alloh, tak kusangka Ibu sedemikian perhatian. Aku merasa bersalah sudah menyangka yang tidak-tidak sebelumnya. Sambil tersenyum-senyum sendiri, hatiku bersorak gembira. Alhamdulillah, aku akan mendapat gamis baru.

“Apa tidak repot pakai baju seperti itu? Lebih fleksibel pakai celana panjang, simpel,” tukas Tanteku yang mengomentari penampilan baruku.

“Tidak repot kok, masih bebas bergerak; kan ini lebar. Di dalamnya juga dirangkap dengan celana panjang, jadi aman,” sanggahku dengan mantap.

Jangan harap beliau ini sepengertian Ibu. Tanteku ini orangnya modis, plus pemahaman agamanya belum sempurna. Beliau juga tipe orang yang cinta sekali dengan celana panjang dan menganggapnya sebagai simbol kebebasan (padahal bebas bergerak itu tergantung kita aja). Sabar, itu kunci dalam menghadapinya.
∞∞∞

Tantangan berikutnya hadir di rentang masa mengajiku. Di organisasi dakwah kampus, aku dipercaya menjadi salah seorang pengurus departemen keputrian. Di suatu semester, program untuk menggencarkan dakwah hijab syar’i dicanangkan. Di masa itu, dakwah belum secanggih sekarang hingga melingkupi media sosial semacam Twitter dan Facebook. Dakwah masih berupa ajakan dari mulut ke mulut, pamflet, selebaran, hingga pengumuman yang ditempel di mading jurusan. Saatnya kami mengetengahkan ide baru berupa surat pribadi. Surat elektronik kah? Bukan. Maksud surat di sini adalah surat yang ditulis tangan dan disampaikan ke masing-masing orang yang menjadi target dakwah. Langkah berani yang menguji nyali.

Berhasilkah suratku sampai dengan selamat? Alhamdulillah tak ada penolakan keras. Kabar baiknya lagi, ada beberapa teman yang tergerak hatinya untuk berubah. Memang tak sepenuhnya sesuai harapan. Semua berproses, seperti aku dulu berproses. Kami hanya menyampaikan, Alloh jualah yang membukakan hati.
∞∞∞
foto gugling

Kini, bertahun-tahun telah berselang. Semua teman lama telah menjalani kehidupan di luar kampus. Menikah, mempunyai anak, dan bekerja di institusi bagi sebagian orang. Kami dipertemukan kembali lewat berbagai jalan. Salah satunya adalah lewat Facebook.
Sebuah foto diunggah menjadi sebuah status baru. Sang pemilik akun kebanjiran komentar terkait foto dirinya. Tampak seorang wanita muda berseragam dinas dengan setelan celana panjang dan kerudung sebatas dada. Aku sudah menyangka. Sebuah komentar sedih tertulis dari seorang teman lama, mempertanyakan hijab syar’inya.

“Ceritanya panjang, Mbak. Intinya aku tidak mau membuat keluargaku bersedih lagi,” jawab sang empunya status singkat; mengharapkan maklum kami atas pilihannya.

Sedih, itu sudah tentu. Perjuangan selama bertahun-tahun untuk mempertahankan idealisme, luntur begitu berhadapan dengan momok bernama ancaman keluarga. Seandainya keluarganya tahu bahwa kesedihan yang sesungguhnya adalah saat mereka menyesali keputusan mereka di akhirat kelak.


“Andai hidayah itu bisa kubeli, akan ku beli berkeranjang-keranjang untuk aku bagi-bagikan kepada mereka yang aku cintai,” demikian bunyi petikan hikmah. Saat Alloh sudah memuliakan kita dengan hidayah iman, maka menjaga hidayah itu sesungguhnya lebih sulit daripada mendapatkannya. Maka istiqomah itu jalan yang penuh onak duri, yang bayarannya pun lebih berharga dari dunia seisinya.
∞∞∞

2 komentar:

  1. "...maka menjaga hidayah itu sesungguhnya lebih sulit daripada mendapatkannya. Maka istiqomah itu jalan yang penuh onak duri, yang bayarannya pun lebih berharga dari dunia seisinya." :)
    Betul, apalagi untuk ana yang boleh dibilang 'anak baru' dalam pengetahuan tentang hijab syar'i. Membaca ini jadi termotivasi untuk terus istiqamah, insyaAllah. Lagi-lagi *Lima Bintang untuk blognya kak ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga kita selalu dianugerahi keistiqomahan hingga tutup usia :)

      Hapus

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube