Berbincang mengenai pameran, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pertunjukan (hasil karya seni, barang hasil produksi, dan sebagainya), saya tak terlampau sering mengunjunginya. Pameran yang sempat saya hadiri hingga saat ini barangkali masih dapat dihitung dengan jari tangan dan kaki. Di masa kecil hingga remaja, pameran yang paling kerap saya hadiri bersama keluarga adalah pameran lokal yang diadakan oleh pemerintah kabupaten tempat saya berdomisili. Dalam pameran tersebut, aneka instansi dan pengusaha skala kecil hingga menengah di wilayah kabupaten Situbondo diberikan wadah untuk memamerkan sekaligus menjual hasil produksi mereka. Namun selain berisi pameran hasil produksi daerah, bukan rahasia lagi jika penjual makanan dan minuman serta aneka permainan anak turut memeriahkan pameran ini. Tak heran jika kemudian arena pameran lebih mirip pasar malam tahunan. Negatifnya mungkin dengan tak terfokusnya misi pameran itu sendiri, namun positifnya ini menjadi ajang berkumpul para keluarga dan memanjakan anak-anak mereka. Pameran lain yang lekat dalam ingatan saya adalah pameran lingkungan hidup yang bertajuk Green Festival, digelar setahun sekali di Jakarta, di area stadion Gelora Bung Karno. Dalam pameran ini kita disuguhi aneka pernak-pernik pengelolaan lingkungan hidup, pemaparan mengenai efek rumah kaca dan global warming serta tips meminimalisirnya, dan aneka produk ramah lingkungan. Pameran ini sangat representatif dengan hadirnya aneka alat peraga lengkap, brosur-brosur yang bertebaran di tiap stand, kuis berhadiah, komputer yang terhubung dengan info pameran, hingga komunikasi langsung dengan para peserta pameran di tiap stand.
Jika dipersempit ke jenis pameran buku, bisa saya katakan bahwa saya pernah berkunjung ke pameran buku Bogor beberapa tahun silam ketika masih berdomisili di sana. Selain itu, saya juga beberapa kali sempat menghadiri pameran buku di Jakarta, khususnya Islamic Book Fair di Senayan. Pameran buku Bogor tentulah tak sebesar dan semegah Islamic Book Fair. Pameran ini dilangsungkan di sebuah gedung serbaguna di pusat kota. Ketika saya ke sana pun, saya tak mendapati pengunjung yang membludak. Entah ini disebabkan oleh terbatasnya stand yang memeriahkan, kurang bervariasinya acara pendukung, gaung promosi yang kurang maksimal, atau bisa jadi minat baca masyarakat masih minim. Hal ini berkebalikan dengan fakta yang saya jumpai kala mengunjungi Islamic Book Fair di Jakarta. Lokasi yang strategis di pusat kota dan sudah dikenal masyarakat, transportasi umum menuju lokasi yang cukup mudah, serta semaraknya peserta pameran yang notabene pihak penerbitan buku dari seluruh Indonesia, diskon yang cukup menggiurkan, promosi yang relatif gencar, dan semaraknya acara-acara pendukung pameran semacam bincang kepenulisan, bedah buku, tamu-tamu penulis ternama yang dihadirkan, menjadi magnet yang mampu menarik pengunjung tak hanya dari Jakarta tapi juga luar Jakarta.
Meski Islamic Book Fair cukup mewakili keberhasilan penyelenggaraan pameran buku tahunan berskala nasional, tetap saja ada celah kekurangan. Dari pengalaman dan obrolan dengan kawan-kawan peminat buku, pameran semacam ini tak terlampau signifikan meraih pembeli buku, meski dengan iming-iming potongan harga. Mayoritas teman-teman berkunjung ke sana untuk cuci mata, mencari informasi terkait buku-buku yang lebih luas, temu penulis favorit, atau sekadar sarana berkumpul bersama keluarga atau rekan. Mengapa? Karena sudah lazim diketahui bahwa harga buku-buku yang ditawarkan tak berbeda dengan harga jual di toko-toko buku umumnya (bahkan ada toko buku yang menawarkan harga lebih murah). Apalagi program gebyar diskon di pameran buku diatur hingga mencapai puncak di akhir periode pameran, yang artinya di akhir pekan, waktu di mana pengunjung sedang membludak-membludaknya, dan stok buku yang diincar pembeli bisa jadi sudah kosong. Alasan lain masyarakat tidak menghadiri adalah ketiadaan waktu karena kesibukan atau karena malas berdesak-desakan.
Lantas bagaimana mengatasi kekurangan ini? Menurut kacamata penilaian saya, banyak hal yang memang patut mendapat sorotan pembenahan. Di sini saya menggunakan sudut pandang seorang peminat buku, yang artinya peminat aktivitas baca tulis. Bagi saya, buku adalah jendela dunia, sumber ilmu dan inspirasi. Maka saya sebagai pembaca, mengharapkan keanekaragaman jenis buku yang akan saya temui di pameran, yang hanya terjadi setahun sekali. Selain itu, kelengkapan dan kebaruan (update) informasi terkait buku-buku ini juga menjadi perhatian saya. Sebagai penulis (bisa dikatakan penulis pemula), pameran buku bisa menjadi ajang mencari informasi terkait pasar buku (genre apa yang sedang diminati), seluk beluk penerbitan buku, peluang menerbitkan buku, dan hal-hal terkait. Untuk detilnya, saya ingin menjabarkan pendapat saya dalam poin-poin berikut:
• Persiapan matang penyelenggaraan oleh panitia bekerjasama dengan berbagai elemen terkait, termasuk peserta pameran itu sendiri
• Hindari peserta pameran di luar lingkup buku dan penerbitan yang terlampau banyak. Hal ini untuk menghindari fokus pengunjung yang terpecah sekaligus menghilangkan kekhasan pameran buku itu sendiri
• Perbanyak acara-acara bincang kepenulisan, bedah buku, temu penulis dan penandatanganan buku, serta seluk beluk dunia penerbitan. Bisa juga dengan seminar ilmiah terkait sorotan minat baca masyarakat
• Pengaturan stand-stand sedemikian rupa, tidak acak, sehingga pengunjung nyaman sekaligus mudah menemukan sesuai urutan atau sasaran
• Pengunjung pada umumnya datang bersama keluarga, anak, saudara, kerabat, dan teman. Untuk memberikan kepuasan bagi pengunjung dari segala umur, pihak penerbit dan panitia bisa menyediakan aneka permainan edukatif dan komunikatif bagi anak-anak, disertai lomba-lomba berhadiah buku atau voucher belanja bagi kalangan remaja dan dewasa
• Tata ruang pameran hendaknya dirancang semenarik mungkin di tiap stand dan ruang pameran, mengesankan dunia buku yang tidak monoton, tidak membosankan. Jangan sampai jejeran stand yang biasa saja dekorasinya, jejalan pengunjung, ketidaknyamanan fasilitas dan pelayanan menjadikan jera pengunjung yang bisa jadi baru pertama kali hadir
• Fasilitas tambahan semacam toilet, tempat wudhu, tempat sholat, stand makanan dan minuman diatur sebaik mungkin sehingga tidak menjadikan acara berburu buku menjadi meresahkan karena melalaikan kewajiban shalat-- misalnya, atau sulitnya mengisi perut yang keroncongan sehabis lelah berkeliling. Juga tak lupa ketersediaan peta dan jadwal acara lengkap dengan ruang pelaksanaan di pintu masuk pameran
• Promosi yang digencarkan jauh hari sebelum acara digelar. Promosi bisa berupa lomba blog seperti yang sedang berlangsung ini, melalui media sosial (facebook, twitter, instagram), melalui media cetak dan elektronik semacam televisi dan radio, roadshow, penyebaran pamflet dan brosur di pusat-pusat keramaian semacam mal, kampus, sekolah, bahkan bisa juga area perumahan dan perkantoran
• Perketat keamanan di sekitar area pameran. Ini berkaitan dengan kenyamanan pengunjung, sebut saja dari kemungkinan terjadinya tindak kriminalitas, hilangnya anak-anak yang dibawa serta, dan semacamnya. Bagaimanapun juga area pameran sangat luas dan berbagai kemungkinan bisa terjadi
• Diskon yang rasional. Tidaklah mengherankan jika minat pengunjung ke pameran akan menurun jika tak ada potongan harga signifikan yang berbeda dari hari-hari biasanya dan toko-toko buku pada umumnya
• Hindari sedapat mungkin menyelenggarakan pameran full di hari-hari sibuk kala masyarakat beraktivitas dan tak sempat memikirkan waktu luang ke pameran
Mudahnya, saya katakan, bahwa kala memutuskan datang ke sebuah pameran buku, saya membayangkan suatu wahana seru yang di dalamnya saya akan dimanjakan dengan hidangan lengkap terkait perbukuan dan penerbitan. Saya tak ingin kapok datang hanya karena sulit menemukan kamar mandi umum terdekat, mushala bersih, warung makan higienis, atau khawatir anak-anak yang saya bawa tak betah semenit pun berkeliling, bahkan kecele dengan harga buku yang justru lebih mahal atau tidak selengkap di toko.
*temaharipertama
*blogpost ini diikutsertakan dalam Lomba Parade NgeBlog Pameran Buku Bandung 2014
Jika dipersempit ke jenis pameran buku, bisa saya katakan bahwa saya pernah berkunjung ke pameran buku Bogor beberapa tahun silam ketika masih berdomisili di sana. Selain itu, saya juga beberapa kali sempat menghadiri pameran buku di Jakarta, khususnya Islamic Book Fair di Senayan. Pameran buku Bogor tentulah tak sebesar dan semegah Islamic Book Fair. Pameran ini dilangsungkan di sebuah gedung serbaguna di pusat kota. Ketika saya ke sana pun, saya tak mendapati pengunjung yang membludak. Entah ini disebabkan oleh terbatasnya stand yang memeriahkan, kurang bervariasinya acara pendukung, gaung promosi yang kurang maksimal, atau bisa jadi minat baca masyarakat masih minim. Hal ini berkebalikan dengan fakta yang saya jumpai kala mengunjungi Islamic Book Fair di Jakarta. Lokasi yang strategis di pusat kota dan sudah dikenal masyarakat, transportasi umum menuju lokasi yang cukup mudah, serta semaraknya peserta pameran yang notabene pihak penerbitan buku dari seluruh Indonesia, diskon yang cukup menggiurkan, promosi yang relatif gencar, dan semaraknya acara-acara pendukung pameran semacam bincang kepenulisan, bedah buku, tamu-tamu penulis ternama yang dihadirkan, menjadi magnet yang mampu menarik pengunjung tak hanya dari Jakarta tapi juga luar Jakarta.
Meski Islamic Book Fair cukup mewakili keberhasilan penyelenggaraan pameran buku tahunan berskala nasional, tetap saja ada celah kekurangan. Dari pengalaman dan obrolan dengan kawan-kawan peminat buku, pameran semacam ini tak terlampau signifikan meraih pembeli buku, meski dengan iming-iming potongan harga. Mayoritas teman-teman berkunjung ke sana untuk cuci mata, mencari informasi terkait buku-buku yang lebih luas, temu penulis favorit, atau sekadar sarana berkumpul bersama keluarga atau rekan. Mengapa? Karena sudah lazim diketahui bahwa harga buku-buku yang ditawarkan tak berbeda dengan harga jual di toko-toko buku umumnya (bahkan ada toko buku yang menawarkan harga lebih murah). Apalagi program gebyar diskon di pameran buku diatur hingga mencapai puncak di akhir periode pameran, yang artinya di akhir pekan, waktu di mana pengunjung sedang membludak-membludaknya, dan stok buku yang diincar pembeli bisa jadi sudah kosong. Alasan lain masyarakat tidak menghadiri adalah ketiadaan waktu karena kesibukan atau karena malas berdesak-desakan.
Lantas bagaimana mengatasi kekurangan ini? Menurut kacamata penilaian saya, banyak hal yang memang patut mendapat sorotan pembenahan. Di sini saya menggunakan sudut pandang seorang peminat buku, yang artinya peminat aktivitas baca tulis. Bagi saya, buku adalah jendela dunia, sumber ilmu dan inspirasi. Maka saya sebagai pembaca, mengharapkan keanekaragaman jenis buku yang akan saya temui di pameran, yang hanya terjadi setahun sekali. Selain itu, kelengkapan dan kebaruan (update) informasi terkait buku-buku ini juga menjadi perhatian saya. Sebagai penulis (bisa dikatakan penulis pemula), pameran buku bisa menjadi ajang mencari informasi terkait pasar buku (genre apa yang sedang diminati), seluk beluk penerbitan buku, peluang menerbitkan buku, dan hal-hal terkait. Untuk detilnya, saya ingin menjabarkan pendapat saya dalam poin-poin berikut:
• Persiapan matang penyelenggaraan oleh panitia bekerjasama dengan berbagai elemen terkait, termasuk peserta pameran itu sendiri
• Hindari peserta pameran di luar lingkup buku dan penerbitan yang terlampau banyak. Hal ini untuk menghindari fokus pengunjung yang terpecah sekaligus menghilangkan kekhasan pameran buku itu sendiri
• Perbanyak acara-acara bincang kepenulisan, bedah buku, temu penulis dan penandatanganan buku, serta seluk beluk dunia penerbitan. Bisa juga dengan seminar ilmiah terkait sorotan minat baca masyarakat
• Pengaturan stand-stand sedemikian rupa, tidak acak, sehingga pengunjung nyaman sekaligus mudah menemukan sesuai urutan atau sasaran
• Pengunjung pada umumnya datang bersama keluarga, anak, saudara, kerabat, dan teman. Untuk memberikan kepuasan bagi pengunjung dari segala umur, pihak penerbit dan panitia bisa menyediakan aneka permainan edukatif dan komunikatif bagi anak-anak, disertai lomba-lomba berhadiah buku atau voucher belanja bagi kalangan remaja dan dewasa
• Tata ruang pameran hendaknya dirancang semenarik mungkin di tiap stand dan ruang pameran, mengesankan dunia buku yang tidak monoton, tidak membosankan. Jangan sampai jejeran stand yang biasa saja dekorasinya, jejalan pengunjung, ketidaknyamanan fasilitas dan pelayanan menjadikan jera pengunjung yang bisa jadi baru pertama kali hadir
• Fasilitas tambahan semacam toilet, tempat wudhu, tempat sholat, stand makanan dan minuman diatur sebaik mungkin sehingga tidak menjadikan acara berburu buku menjadi meresahkan karena melalaikan kewajiban shalat-- misalnya, atau sulitnya mengisi perut yang keroncongan sehabis lelah berkeliling. Juga tak lupa ketersediaan peta dan jadwal acara lengkap dengan ruang pelaksanaan di pintu masuk pameran
• Promosi yang digencarkan jauh hari sebelum acara digelar. Promosi bisa berupa lomba blog seperti yang sedang berlangsung ini, melalui media sosial (facebook, twitter, instagram), melalui media cetak dan elektronik semacam televisi dan radio, roadshow, penyebaran pamflet dan brosur di pusat-pusat keramaian semacam mal, kampus, sekolah, bahkan bisa juga area perumahan dan perkantoran
• Perketat keamanan di sekitar area pameran. Ini berkaitan dengan kenyamanan pengunjung, sebut saja dari kemungkinan terjadinya tindak kriminalitas, hilangnya anak-anak yang dibawa serta, dan semacamnya. Bagaimanapun juga area pameran sangat luas dan berbagai kemungkinan bisa terjadi
• Diskon yang rasional. Tidaklah mengherankan jika minat pengunjung ke pameran akan menurun jika tak ada potongan harga signifikan yang berbeda dari hari-hari biasanya dan toko-toko buku pada umumnya
• Hindari sedapat mungkin menyelenggarakan pameran full di hari-hari sibuk kala masyarakat beraktivitas dan tak sempat memikirkan waktu luang ke pameran
Mudahnya, saya katakan, bahwa kala memutuskan datang ke sebuah pameran buku, saya membayangkan suatu wahana seru yang di dalamnya saya akan dimanjakan dengan hidangan lengkap terkait perbukuan dan penerbitan. Saya tak ingin kapok datang hanya karena sulit menemukan kamar mandi umum terdekat, mushala bersih, warung makan higienis, atau khawatir anak-anak yang saya bawa tak betah semenit pun berkeliling, bahkan kecele dengan harga buku yang justru lebih mahal atau tidak selengkap di toko.
*temaharipertama
*blogpost ini diikutsertakan dalam Lomba Parade NgeBlog Pameran Buku Bandung 2014
Beneran deh mbak nggak ada deuuh yang sekeren IBF jakarta. Yahh, walau banyak kekurangan tapi segitu deh standarnya kalau mau bikin pameran. Besar, banyak varian dan even juga, harga lumayan miring lagi mbak mel. Karena ngebayangin setiap pameran buku pasti seperti IBF, jadi suka kecewa kalau datang ke pameran buku yang lain di mana gitu. Dateng jauh-jauh, nyampe... bukunyaaaa, bikin kecewa. Di Surabaya juga nggak ada pameran buku setaraf IBF jakarta mbak. #manyun
BalasHapushehe.. iya, di sini juga nggak ada. Ada juga pameran kecil. Toko buku besar aja nggak ada :))
HapusKalau udah semangat datang tapi mengecewakan itu memang sesuatu :D
wah.. mantap nih ulasannya, Mbak.. komplet..
BalasHapusWah, ada mbak Linda... makasih atas kunjungannya..
Hapusini sharing sesuai pengalaman saya ke pameran hehe... semoga bermanfaat :)
Informatif sekali mak :D suskes ya pameran bukunya
BalasHapusterima kasih, semoga bermanfaat :)
Hapusmantap Mak laporannya.
BalasHapusmakasih ya, kunjungannya :D ini mengorek-ngorek ingatan hehe..
HapusAku sih jarang banget ke pameran buku. Tp kalau ke sana pengennya dpat buku baru kualitas bagus dg harga murah hehehehe. Kalau dulu seringnya hunting buku untuk anak2 (sdh ibu2 soale)
BalasHapusMoga sukses ya 😃
yup. karena itu isinya buku, biasanya tujuan utama adalah berburu buku-buku yang baru dan mungkin ada juga yang udah langka di pasaran.. ibu-ibu juga harus melek buku, ya... :))
BalasHapus