Senin, 25 Agustus 2014

Wani Ngalah Luhur Wekasane

Posted by Menukil Aksara | 7:45:00 PM Categories:
 “Nduk, bulikmu Tini dan suaminya mau ke sini. Tadi telepon, katanya sudah di jalan,” ujar Kanthi pada anak sulungnya, Sari. Wajahnya tampak khawatir.

    “Kok tumben, mau jauh-jauh ke sini?” tukas Sari penuh curiga.


    Sepuluh menit kemudian, sebuah becak berhenti di depan rumah. Dua orang penumpang turun di tengah guyuran hujan yang tadi sempat lebat.


    “Aduh, Mbak, tadi aku sempat jatuh sewaktu mau naik bus!” keluh Tini.


    “Lha kok bisa? Masuk dulu, rebahan di kamar. Besok dipanggilkan tukang urut, kalau sekarang sudah malam,” jawab Kanthi berusaha tetap ramah.
 

♡♡♡

Belum juga mereka sempat beristirahat di kamar, Tini langsung menodong Kanthi untuk membicarakan hal serius malam itu juga.


    “Mbak, ini lho aku sudah bawa suratnya. Sampeyan tinggal tanda tangan, si Yono juga sudah tanda tangan kemarin,” ucap Tini berapi-api.


    “Surat apa tho, Dik?”


    “Piye--gimana sih, Mbak? Kan sudah kujelaskan sejak beberapa bulan silam, sampeyan, mbak Laksmi, Yono, Tono anaknya mbak Yul, kuminta tanda tangan sebagai persetujuan untuk permintaan balik nama tanah milik Emak.”


    “Bukannya Yono nggak tahu, Dik? Dia mau tanda tangan karena sampeyan bilang akan diatasnamakan bersama, tujuh bersaudara. Dia malah kaget, kok sampeyan pingin mengatasnamakan sampeyan sendiri!” sergah Kanthi.


    “Nggak tahu apanya? Wong aku justru rembukan pertama itu sama dia dan Tono. Wong kok mencla-mencle--orang kok bicaranya berubah-ubah!”


    “Lho sampeyan nggak percaya? Yowis kutelepon Yono ya sekarang?” kilah Kanthi seraya bersiap menekan nomor ponsel adiknya, Yono.


    Tini tampak gugup. Begitu telepon tersambung. Kanthi menyodorkan pada Tini untuk mengonfirmasi. Maka silat lidah dan debat pun tak terelakkan.
    “Jadi sampeyan tetap kukuh nggak mau tanda tangan, Mbak?”


    “Ya nggaklah, Dik. Sejak awal aku sudah menegaskan, nggak setuju kalau balik nama tanah peninggalan Emak dilakukan tanpa musyawarah seluruh keluarga besar, setidaknya ahli waris sah,” tegas Kanthi bertahan.


    “Kan di atas tanah itu dulunya hanya berdiri rumah kuno. Aku yang membangun hingga sebagus sekarang,” Tini masih ngotot.


    “Ya nggak masalah kalau soal itu. Silakan kamu bangun, kamu tempati sampai kapan pun, kami nggak keberatan.”


    “Aku yang keberatan, Mbak. Aku nggak mau lagi direpotkan dengan Mas Kusno yang kerap mampir, makan, keluar masuk seenaknya. Setelah tanah sudah atas namaku, aku nggak sudi lagi Mas Kusno bertandang!” ucap Tini sengit.


    Kanthi menghela nafas panjang. “Namanya juga tanah milik Emak. Semua keturunannya ya berhak berkunjung,” Kanthi membatin.


    “Lagipula, aku ini memang sudah dapat wasiat dari Emak sebelum wafat. Isinya menyerahkan tanah dan rumah itu untuk aku, karena aku yang merawat Emak sejak sakit hingga meninggal.”


    “Apalagi ini?” pikir Kanthi dalam hati.


    “Mosok--masa’ tho, Dik? Siapa saksi-saksinya? Suratnya ada?”


    “Saksi-saksinya: Bimo, Lik Kaslan, sebagai tokoh desa!” tukas Tini.


    “Ealah, wong orangnya sudah nggak ada kok masih dijadikan alibi,” batin Kanthi geli.


    “Aku ini sudah terlanjur pinjam uang ke bank. Yowis, kalau tetap ngotot nggak dikasih, uangnya aku pakai buat tabungan haji saja. Niatku nggak neko-neko--nggak macam-macam kok, pingin ibadah buat tabungan amal!” 


    Sejurus kemudian Tini kembali menimpali.
    “Kayu-kayu jati yang menyangga rumah bakal kujeboli. Mahal itu kubeli. Biar saja rumahnya kosong atau ditempati Mas Kusno!” Kali ini dia mengancam.


    Kanthi hanya mendesah dan tersenyum kecut.
    “Iya, mahal itu. Ambil saja, terserah sampeyan. Aku pinginnya ya sampeyan tetap di sana, nggak usah mikir aneh-aneh.” Kanthi akhirnya menyahut.


    “Ora sudi--nggak sudi! Aku mending cari rumah lain atau tanah, lalu kubangun rumah buat kost-kostan,” Tini sesumbar.
 

♡♡♡

    Pembicaraan itu berlanjut keesokan paginya, masih dengan hasutan yang sama. Ia pernah menjanjikan pembagian sejumlah uang pada keempat saudaranya, namun tidak berdasar pembagian adil, hanya berdasar kerelaannya. Kedua kakaknya ada yang tidak akan ia ikut sertakan dengan alasan sentimen yang konyol.


    Merasa terpojok dan rencananya kandas, Tini memutuskan pulang.
    Seusai kepergian Tini, Kanthi mengabari Laksmi dan Yono. Mereka menyatakan dengan tegas tidak akan pernah meridhoi rencana licik Tini itu. Mereka dan saudara-saudara yang lain sepakat untuk tetap membiarkan tanah itu sebagai warisan anak-cucu, sehingga mereka tetap bisa menyaksikan jejak silsilah keluarga dan kenangannya.


    Tini, saudara mereka yang satu ini memang sudah terkenal culas dan gemar mengadu domba sedari dulu. Sampai-sampai seorang keponakan Tini pernah berujar bahwa wataknya itu sudah bawaan orok. Tak terhitung ulahnya yang merugikan dan memecah belah keluarga besar, namun kakak-kakak dan adiknya lebih sering mengalah, tak membesar-besarkan masalah. Mereka masih memegang pepatah Jawa lama, “wani ngalah luhur wekasane” yang kurang lebih bermakna bahwa orang yang berani mengalah akan menuai kemuliaan di kemudiaan hari. Entah itu kemuliaan di hadapan keluarga (manusia) ataupun kemuliaan di hadapan Allah.
 

♡♡♡

    Beberapa bulan sesudah insiden itu, terbetik kabar bahwa Tini kembali menggertak akan pindah dan sibuk ke sana kemari mencari rumah dan tanah di kota tetangga. Namun pada kenyataannya, hingga kisah ini ditulis, dia masih bermukim di rumah peninggalan orangtuanya. Dia tak lagi menuntut pengalihan nama, namun kembali berulah dengan menutup pintu bagi sanak saudara di hari raya. Benarlah yang dikatakan pepatah lama tersebut, sekarang siapa yang berulah telah menuai aib dan nama buruk di mata keluarga besar dan tak mendapatkan apa yang diinginkannya. Dalam agama pun, kita dianjurkan untuk tidak serakah atas urusan duniawi dan menjalin tali silaturrahim dengan keluarga, bukan justru memutusnya, seperti yang dilakukan Tini.


*kisah ini ditulis berdasarkan kisah nyata dengan nama-nama pelaku yang disamarkan
*jumlah kata 838

Tulisan ini diikutsertakan dalam Kontes GA Sadar Hati~Bahasa Daerah Harus Diminati

Ojo Cedak Kebo Gupak

7 komentar:

  1. Salam kenal... untuk hal kebenaran jangan mau kalah ya mbak...

    BalasHapus
  2. hehe, iya, untuk kebenaran jangan gampang ngalah. ngalahnya pas adu urat alias berdebat aja. ada waktunya kita main siasat saja, mengalah dulu lalu bertahan kemudian. kalaupun membalas harus dengan pemikiran logis dan kepala dingin :)

    BalasHapus
  3. mengalah bukan bearti kalah ya mbak...

    BalasHapus
  4. yap, kalah untuk menang pada akhirnya, karena teguh pada kebaikan.

    BalasHapus
  5. you may win the battle but lose the war :-)
    *semacam quote ini lah ya*

    BalasHapus
  6. wistah! sangar men kisahe meh koyo sinetron. hehehe

    BalasHapus
  7. Duh Tini, membaja sekali hatimu terhadap saudara2mu. Semoga si Tini segera disadarkan ya dan lekas berubah.

    BalasHapus

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube