Kamis, 08 Mei 2014

KKM dan Langkanya Air

Posted by Menukil Aksara | 3:55:00 PM Categories:


             Tempat yang masih lekat dalam ingatan saya sebenarnya cukup banyak. Sayangnya tak semua tempat tersebut sempat terekam dalam lensa kamera. Maklum, saya tidak hobi jepret sana-sini , apalagi jika saya yang menjadi objeknya (nggak fotogenik dan nggak pede pula). Dengan mempertimbangkan segala sesuatunya (halah, udah mirip pertimbangan mau nikah aja), saya memilih menceritakan sebuah desa di kabupaten Bogor. Meski tak ingat betul nama desa tersebut, tapi masih terekam jelas peristiwa-peristiwa berkesan selama saya berkunjung ke sana.
foto google.com
Foto koleksi pribadi
                Saya ke sana pada tahun 2008 bersama teman-teman sekampus yang sedang mengambil mata kuliah Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM). Kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil mahasiswa dari jurusan dan program studi berbeda, namun tetap satu fakultas. Perjalanan ke desa tujuan ditempuh dengan angkutan kota yang kami sewa sejak dari kampus. Sebuah perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan selama dua jam lebih harus kami tempuh dengan hawa panas di musim kemarau. Kami melewati jalan raya yang cukup padat. Satu-satunya penghibur perjalanan adalah ketika kami melewati wilayah perkebunan kelapa sawit di kecamatan Cigudeg dengan pemandangan yang cukup indah. Sesampai kami di kecamatan tujuan, kami harus singgah dulu di kantor camat untuk menghadiri acara penyambutan. Desa tujuan kami rupanya masih cukup jauh dari kantor camat dan jalan raya. Jalanan desa tidak beraspal, berbatu dan berlubang. Yang lebih mengejutkan adalah ketika kami diantarkan ke rumah penduduk yang agaknya akan menjadi tempat tinggal sementara kami selama di desa. Rumah tersebut tak berkamar mandi dan berjamban. Kamar mandinya hanya sekenanya dan hampir selalu kosong dari air. Para mahasiswi tidur di sebuah ruangan kotor dan sempit tanpa alas, kecuali tikar yang sudah sangat usang. Masalah makan sehari-hari, kami serahkan pada pemilik rumah. (tentu saja kami membayar biaya sewa rumah dan makan). Yang malang adalah kualitas masakan dari nyonya rumah yang jauh dari menarik, bergizi, dan lezat, bahkan secara objektif bisa dibilang sekenanya. Saya merasa kasihan pada teman-teman yang sehari-harinya memang sulit makan dan pemilih dalam hal makanan. Tentu saja sebuah siksaan bagi mereka memakan masakan yang tak menggugah selera. Masalah kami bukan itu saja. masalah lebih berat lain muncul dari ketersediaan air bersih yang sangat minim. Selama tinggal di sana, saya dan teman-teman mahasiswi hanya bisa mandi sekali sehari; itupun dengan menumpang ke sana kemari. Dengan muka “ditebal-tebalkan”, kami bergiliran mengantri mandi dan buang hajat ke rumah tetangga yang salah satunya adalah seorang janda muda yang cukup murah hati. Untuk mencuci baju, kami terpaksa melakukannya di sungai, terkadang sekaligus buang hajat jika diperlukan (hahaha…). Pernah suatu hari, kami menumpang mandi dan mencuci baju ke rumah kenalan lain yang jaraknya cukup jauh dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Kabarnya, masalah kelangkaan air, terutama di musim kemarau ini muncul setelah lahan banyak dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Karakteristik pohon kelapa sawit yang tidak mampu menyimpan air, menyebabkan persediaan air tanah berkurang drastis di musim kemarau. Tentu saja, kelapa sawit adalah komoditi yang menjanjikan di lain sisi. Ini juga diperparah dengan sikap warga yang masih enggan membangun jamban. Sungai masih menjadi favorit mereka. Pernah kami mengalami berpapasan dengan serombongan kerbau yang habis dimandikan ketika bermaksud mencuci baju di sungai dekat sekolah hihihi…
foto koleksi pribadi
                Kenangan lain adalah masa-masa kami menjalankan berbagai program KKM di desa ini. Salah satunya adalah membantu mengajar di sebuah sekolah setingkat SD yang didirikan oleh seorang guru penduduk asli desa. Jangan bayangkan gedung sekolah permanen nan luas dan megah, tapi bayangkanlah sebuah bangunan mungil penuh kerusakan di sana-sini yang letaknya terpencil di tengah-tengah lahan kosong dan dikelilingi persawahan. Bangunan sekolah ini juga hanya memiliki dua ruangan kelas yang digunakan bergantian. Antar ruangannya hanya disekat oleh papan tripleks kecil, sehingga tidak kondusif dipakai untuk belajar di saat bersamaan. Jangan bayangkan pula siswa-siswanya datang rapi berseragam. Mereka mayoritas berasal dari keluarga kurang mampu yang bersekolah mengenakan pakaian seadanya, bersandal, dan kadang berwajah kumal seperti tidak mandi. Fenomena ini bukanlah di luar Jawa, tapi di sebuah kabupaten yang cukup terkenal di Jawa Barat dan untuk ke sana melewati kampus sebuah perguruan tinggi ternama.
                Awalnya kami mematok standar pembelajaran yang sama dengan SD pada umumnya. Pada faktanya, jangankan diajari berbahasa asing, baca tulis dan berhitung saja mereka masih terbata-bata, meski sudah menginjak kelas akhir. Akhirnya kami bersepakat untuk focus mengajari baca tulis dan berhitung serta diselingi banyak kegiatan outdoor.
                Sisi lain dari desa ini adalah kegemaran para pemudanya pada olahraga sepakbola. Saat kami di sana, hampir tiap sore pemuda desa berlatih dan bertanding di lapangan desa. Penjual makanan dan minuman ikut memeriahkan pertandingan. Saking cintanya pada olahraga ini, seorang tokoh desa bahkan pernah menyarankan sebuah parpol ternama untuk menyumbang perlengkapan sepakbola demi meraup suara dari kalangan pemuda, dan memang berhasil.
               
foto koleksi pribadi
            
Ketika tiba saat perpisahan, kami dibantu warga mengadakan pesta perpisahan sederhana yang bertempat di bangunan sekolah mungil yang saya ceritakan tadi. Momen makan bersama beralaskan daun pisang, bermenukan jengkol, menjadi momen paling tak terlupakan. Itu adalah kali pertama saya makan jengkol hahaha… selain itu, sebelumnya saya juga sempat dikenalkan pada kuliner khas desa, berupa sambal yang terbuat dari isi biji kluwak (yang biasa dipakai sebagai bumbu utama rawon). Peristiwa yang paling mengharukan adalah saat berpamitan dengan murid-murid sekolah dasar sederhana. Kami saling meneteskan air mata kala itu. Persinggahan kami di desa ini menjadi pembuka mata tentang fakta negeri dan menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dibenahi di sini.


Tulisan ini diikutsertakan dalam GA A Place To Remember

 


2 komentar:

  1. Sambel biji kluweknya bikin penasaran nih hehehee... Foto makan bersamanya itu keren, memorable pastinya yaa

    Terima kasih telah berpartisipasi dalam GA ini. Good luck.

    BalasHapus
    Balasan
    1. rasanya seperti kluwek hihi... kalau saya lebih doyan sambel terasi atau sambel lombok ijo aja maak :)))

      Hapus

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube