Lima,
sepuluh, hitungan menit terus bergulir. Aku duduk menanti dengan mata
berkeliaran. Nomor antrian kini menunjuk angka yang sama dengan yang tertera di
atas secarik kertas dalam genggamanku. Aku lekas beranjak.
“Sudah membawa persyaratannya?”
tanya sang customer service.
Kuulurkan kartu tanda pengenal sambil bersiap mengisi formulir yang telah lebih
dulu disodorkan.
“Tidak ada KTP sini?” Deg. Rasa
was-was sontak menyergap. Aku menggeleng lemah.
“Buat KTP sini dulu, ya. Setelah
jadi, silakan kembali lagi,” tutur perempuan muda itu seraya menyunggingkan
senyum.
Aku berjalan keluar dengan gontai.
Di perjalanan, otakku berputar mencari solusi. Sesampai di rumah kost, aku
lekas mencari sosok Pak Onang.
“Pak, bisa bantu saya membuat KTP?
Tapi saya hanya punya waktu kurang dari seminggu,” todongku. Lantas tanpa
babibu kupaparkan situasiku.
“Baiklah. Nanti kamu bicara dengan
Bu Adam—ibu kost—mengenai pencantuman namamu dalam kartu keluarganya,” ujar Pak
Onang.
Syukurlah, Bu Adam dan Pak Onang
bermurah hati menolongku. Lewat kenalan Pak Onang di kantor kecamatan, KTP baru
akhirnya kugenggam. Rekening tabungan bank pemberi dana bantuan pendidikan
harus pula dibuka.
“Mel, sudah lihat pengumuman di
jurusan?” tanya Marni—teman kuliahku—beberapa bulan kemudian. Aku bergegas
memeriksanya.
“Alhamdulillah,”
lirihku. Namaku termasuk dalam daftar penerima dana bantuan pendidikan semester
depan.
0 komentar:
Posting Komentar