Minggu, 11 Mei 2014

Yang Sedikit Itu Lebih Menenangkan

Posted by Menukil Aksara | 11:35:00 PM Categories:
google.com
 
“Bu Bagong hendak berangkat umroh tak lama lagi. Ah, enaknya jadi karyawan BUMN itu. Saat pensiun mendapat hadiah paket umroh dan pesangon yang jumlahnya besar,” kata ibu suatu hari.
    Aku bingung menanggapinya, akhirnya berujung diam. Adalah manusiawi ketika ibu iri melihat keberuntungan orang lain dalam hal materi. Tapi memang aku cukup risih mendengarnya yang makin sering terlontar. Beberapa waktu lalu tetangga lainnya berangkat umroh, lagi-lagi hadiah pensiunan. Lingkungan rumah kami memang bekas kompleks perumahan karyawan sebuah BUMN. Tak heran, fenomena beruntun tadi menggelincirkan ibu pada rasa iri hati.
    “Ah, seandainya saja aku banyak uang, tentu sudah kuberangkatkan ibu ke tanah suci.” Kini giliranku yang berandai-andai dan mengeluh. Sebuah suara di sudut kepalaku menyadarkan agar tak melanjutkan angan-angan.
    Beberapa hari kemudian, tampak tetangga sebelah membeli sebuah mobil baru. Mobil berwarna hitam ber-merk terkenal itu sontak memicu keingintahuan ibu.
    “Ternyata mobil itu dibeli secara kredit. Anak sulungnya yang bekerja di luar Jawa yang membayar angsurannya,” tutur ibu beberapa hari setelahnya.
    “Hmm… kalau aku ogah, ah, Bu. Punya barang-barang mewah dengan mencicil serasa dikejar-kejar hutang,” sahutku begitu saja.
    Jangankan mobil, di rumah kami cuma ada sepeda motor yang diparkir manis di halaman. Ibu seorang pensiunan guru PNS, yang sudah bukan rahasia lagi kalau gaji dan uang pensiunnya tak seberapa. Aku sendiri tidak berlimpah harta dari pekerjaanku.
    Baru sebulan berlalu, kabar terdengar dari si mobil baru. Mobil itu penyok dan tergores akibat ulah ugal-ugalan seorang anak muda pengendara sepeda motor, yang menabrak si mobil.
    “Ibu baru saja dengar kabar tak mengenakkan,” tukas ibu tergopoh-gopoh.
    “Kabar apa, Bu?” tanyaku kaget.
    “Menantu perempuan pak Totok—istrinya Ferry yang polisi itu—dipenjara akibat kasus penggelapan uang.”
    Aku terhenyak. Rupanya benar rumor yang berhembus sejak beberapa waktu lalu. Aku beristighfar.
    “Uang ratusan juta buat apa, ya? Kok berani sekali,” kataku tak habis pikir.
    “Dia ‘kan memang gila harta dan kalau nggak salah uang itu dipakai untuk bisnis juga. Mungkin usaha sampingannya itu tak berhasil,” ucap ibu.
    Ironis sekali. Suaminya seorang aparat penegak hukum, tapi istrinya dipidanakan. Manusia memang mudah tergiur glamornya harta dan panjang angan-angan. Padahal harta itu hanya titipan, bisa sewaktu-waktu diambil lewat musibah. Nggak dibawa mati pula. Tiba-tiba aku merasa bersyukur. Meski kami tak berlimpah harta, tapi hidup kami berkecukupan. Ada rumah yang bisa dihuni, ada makan minum setiap hari, dan yang terpenting nggak kena jerat hukum gara-gara uang.

Yuk ikut Give away Yuk Menulis Part 2

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube