foto google.com |
“Tiap amalan kita harus memenuhi dua
syarat agar diterima oleh Allah. Pertama ikhlas; niatnya hanya karena Allah.
Bukan karena ingin dipuji, ingin populer, atau ingin mendapat harta semata. Kedua
ittiba; sesuai yang dituntunkan Rasulullah. Kita tahu tidaknya berarti harus
belajar agama.” Tausiyah singkat yang disampaikan dalam
pengajian rutin di masjid kampus yang kuhadiri siang itu. Seusai menghadiri
kajian, aku berniat mampir ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Kulihat sosok
temanku—Dian—di sana.
“Kok nggak kelihatan tadi, Di?
Udah nggak pernah ikut pengajian, ya?” tanyaku hati-hati.
Dian tampak sedikit terkejut. “Oh,
iya, akhir-akhir ini banyak kegiatan di pesantren. Aku nggak bisa seaktif dulu
lagi di kegiatan kampus,” dalihnya.
Aku hanya ber-oh lalu
mengangguk, mencoba memahami. Di awal tahun perkuliahan, Dian bersemangat
mengikuti kegiatan lembaga dakwah kampus Asy Syifa. Meski belum bisa masuk di
kepengurusan tetap, ia rajin berpartisipasi dalam kepanitiaan di berbagai
kegiatan.
“Masya Allah… makin terlihat
cantik aja, Di!” seru seorang teman laki-laki pada Dian, suatu hari. Hari itu
ia memakai kerudung yang lebih lebar dari biasanya dipadankan dengan baju
panjang dan rok dengan warna-warna kalem. Parasnya yang memang elok dengan pipi
agak tembem, mata bulat, dan kulit bersih, tampak kian menawan.
“Hei, ada apa denganku? Nggak boleh
iri dengan kecantikan teman!” rutukku membatin. Dian tersenyum simpul mendengar
pujian tadi.
“Ran, nanti di acara pelatihan,
kira-kira ada kak Yusuf, nggak, ya?” bisik Dian pada Rani—teman kami—yang juga
aktif di kegiatan.
“Pasti ada, ‘kan dia ketua umum.
Memangnya kenapa?” sahut Rani sambil tersenyum menyeringai.
“Nggak apa-apa, ingin tahu saja,”
jawab Dian pendek dengan ekspresi datar.
Dian
memang pernah menyatakan rasa sukanya pada kak Yusuf—senior kami—secara sepintas
lalu. Apakah hanya karena itu dia rajin mengikuti kegiatan. Tapi, hati manusia
siapa yang tahu. Aku tidak boleh berprasangka buruk.
Hingga di akhir semester
berikutnya, dugaanku dan Rani itu seakan diiyakan sendiri oleh Dian. Ia tak
lagi terlihat muncul di masjid—kecuali sesekali untuk shalat—termasuk saat
jadwal kajian, seperti saat aku bertemu dengannya di perpustakaan. Ironisnya,
kerudungnya pun turut memendek seiring keabsenannya.
“Dian itu beruntung sekali, ya. Ayahnya
seorang ustadz
cukup terpandang. Mamanya cantik dan baik. Saudara-saudaranya banyak dan akrab
satu sama lain. pasti rumahnya tak pernah lengang,” ungkap Rani padaku sore itu,
di rumah kost kami. Aku tak berkomentar. Sebagian besar diriku membenarkan
perkataannya. Sebagian kecil lagi mencoba menolak.
Siang tadi kami berkunjung ke
rumah Dian, untuk kesekian kalinya. Kami diundang untuk menghadiri resepsi
pernikahan kakak sulung Dian—kak Dini. Kak Dini juga berparas cantik, dengan
kulit lebih gelap dari Dian. Ia baru setahun lulus kuliah. Rumah mungil
keluarga Dian disulap menjadi area resepsi sederhana dengan suguhan prasmanan
lezat, hasil kreasi mama Dian sendiri. Semenjak kakaknya resmi dilamar, Dian
acapkali memuji calon kakak iparnya. Seorang lelaki muda berwajah rupawan yang
agak pemalu.
Aku teringat akan keluargaku di
kota lain. Aku tinggal bersama ibu dan adik perempuanku satu-satunya. Beberapa tahun
lalu, bapak dan ibu memutuskan bercerai secara resmi. Mereka toh tak pernah
cocok sejak awal. Terekam jelas di pelupuk mataku, sejak aku kanak-kanak, bapak
dan ibu kerap bertengkar hebat atau sekadar beradu argumen. Perbedaan karakter
tampak nyata. Bapak itu baik dalam banyak hal, kecuali dalam hal tanggung
jawab. Sedangkan ibu adalah sosok perfeksionis yang keras. Tidak salah jika
mengingat bagaimana beliau tumbuh dan dibesarkan. Menjadi yatim semenjak kecil,
dengan enam orang saudara, menjadi tempaan hidup yang keras bagi ibu. Beliau terbiasa
bekerja keras dan merencanakan masa depan, tidak bisa hidup semaunya.
Hari itu, tatkala bapak
mengemasi barang-barangnya sesudah pertengkaran hebat di hari-hari sebelumnya,
hatiku menangis sekaligus meradang. Namun mataku bersikeras melawan air mata
yang ingin tumpah. Yang paling menyedihkan adalah bapak pergi bersama seorang
anak kecil, yang bahkan bukan darah dagingnya. Keinginannya menolong seorang
janda dan anaknya ditentang keras oleh ibu.
“Hah, kebiasaanmu selalu kambuh,
layaknya penyakit! Bapak anak itu ‘kan masih ada, bukannya sudah mati!” seru
ibu meradang kala itu.
Tak heran ibu berkata demikian. Sewaktu
adikku baru saja dilahirkan, bapak pernah tidak pulang cukup lama; kabarnya ke rumah
wanita lain. Sewaktu aku di bangku SMA, ibu kembali mencari-cari bapak yang tak
kunjung pulang. Itupun kabarnya sedang dengan wanita lain. pernah suatu hari
seorang wanita datang bersama anak gadisnya, yang kemungkinan besar saudara
tiriku--melihat gelagat ibu waktu itu. Barangkali aku dan adikku memang punya
saudara tiri di luar sana. Entahlah.
“Aku
hendak menikah dengan pak Ardi. Ayah dan mama sudah setuju,” kata Dian suatu
hari. Kabar ini tak terlalu mengejutkan bagiku dan Rani.
“Kamu sering bertemu dan pulang
bareng pak Ardi, Di?” celetuk Rani kala awal hubungan Dian dan pak Ardi
tercium.
“Iya, ‘kan nggak sampai deketan.
Ada tas besar pak Ardi yang membatasi kami,” kilah Dian malu-malu. Pak Ardi
adalah kepala sekolah di pesantren milik keluarga Dian, sekaligus tempat Dian
mengajar jika kosong dari kelas kuliah. Kekaguman Dian pada kak Yusuf sudah
benar-benar musnah agaknya.
Maka tak berselang lama sesudah
itu, Dian dan pak Ardi—sang kepala sekolah muda—menikah.
“Lagi-lagi Dian beruntung,”
pikirku. Mungkin benar apa yang dikatakan Rani. Jalan hidup Dian laiknya jalan
tol bebas hambatan dan minus tikungan tajam. Sebelum lulus kuliah, ia sudah
bertemu jodohnya.
“Hei, apa yang kau pikirkan? Mengapa
selalu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain dan sedikit sekali bersyukur?”
sentakku pada diri sendiri.
Ikhlaslah. Semua yang kita
jalani haruslah selalu dikembalikan kepada Allah. Bersabar dan bersyukur,
menerima dengan lapang dada tiap ujian dan jalan hidup—sesulit apapun—yang kita
lalui. Nasehatku pada diri sendiri. Sikap sinisku yang mulai mendarah daging
harus segera kuobati.
“Bersabar dan bersyukur adalah keindahan dari seorang Muslim. Tatkala ia
mendapat musibah, ia bersabar. Tatkala ia diberi nikmat, ia bersyukur. Sabar juga
berlaku ketika menaati perintah Allah dan menjauhi yang dilarang.” Lagi-lagi
sebuah tausiyah yang sangat mengena menyapa hari kelabuku.
Aku tercenung. Aku tak boleh
membenci dari orang tua mana aku dilahirkan. Ketetapan Allah pasti yang
terbaik. Ikhlas dan sabar atas semua yang telah menimpaku dan syukuri tiap cuil
nikmat tak terhingga yang kudapatkan akan lebih terasa meringankan. Ikhlas,
sabar, syukur; ilmu yang belajarnya seumur hidup.
Bertahun-tahun
sesudah peristiwa tersebut, aku bertemu dengan lelaki yang menjadi jodohku. Di momen
istimewa, saat ijab qabul selesai dibacakan, aku, bapak, dan ibu bersatu dalam
satu ruang dan waktu. Momen itu menjadi semacam prasasti bagi kami. Momen di
mana tiga hati yang pernah saling membenci dan melukai, menetralkannya dengan
sebuah penawar ajaib bernama keikhlasan dan meleburnya bersama air mata.
*Tulisan ini terinspirasi dari sebuah kisah nyata.
Tulisan ini diikut sertakan dalam GIVE AWAY TENTANG IKHLAS
Tulisan ini diikut sertakan dalam GIVE AWAY TENTANG IKHLAS
tidak mudah memang ya maaak...tapi ikhlas memang kunci banyak hal baik..semoga aku juga bisa...
BalasHapusiyaaa.. aamiin.. selagi masih hidup memang harus terus belajar. saya juga :)
Hapusikhlas dan sabar adalah kunci hidup tenang ya mak...
BalasHapusiya mak, betul sekali.. meski praktiknya tak segampang teori :)
Hapussuka dengan kalimat ini: ketetapan Allah itu pasti. Ikhlas, sabar dan syukur adalah ilmu yang belajarnya seumur hidup. bener banget. makasih ya sudah ikut give awayku.
BalasHapuskembali kasih :)
Hapus