Aku
menatap layar ponsel sembari jari-jariku menekan-nekan serampangan. Tiada
kabar. Ketika aku bersiap meletakkannya kembali, sekonyong-konyong ia menyenandungkan sepotong irama tanpa getar.
Aku selalu benci getar suara ponsel. Sebuah pesan berlambang telepon masuk.
“Sebelum pulang, jalan-jalan dan
mampir ke sini dulu nih,” tulis si dia.
Sejenak kemudian beberapa foto
kuterima. Dengan segenap rasa ingin tahu, kubuka foto-foto itu. Kuperbesar salah
satu foto dengan sekali tekan sehingga kedua mataku mampu melihat lebih jelas. Terpampang
sebuah gambar bangunan didominasi cat merah menyala, berpadu padan dengan cat
merah muda, putih, hijau, dan keemasan berdiri megah di sana. Agaknya bangunan
itu bertingkat, dengan jendela-jendela berlengkung bernuansa klasik. Di puncak
bangunan utama, sebuah kubah bermodel sederhana dengan warna hijau cerah
menunjukkan identitas bangunan itu. Di kanan-kiri bangunan utama, masing-masing
menjulang perkasa sebuah menara berwarna merah menyala. Lima atap melengkung
tersusun berjeda di menara itu. Atap melengkung bernuansa keemasan dihiasi
warna merah di tepi juga mempercantik sebuah gapura di pintu masuk utama
bangunan. Gapura itu disangga dua pilar merah menyala dengan ornamen cincin
putih di bagian tengah dan ujung atasnya. Di tengah kedua pilar, melengkung
sebidang hijau bertuliskan nama bangunan. Dengan latar hitam, tulisan berabjad
China dan Latin itu seakan saling menerjemahkan. “Masjid Muhammad Cheng Hoo”,
bunyi tulisan berwarna keemasan itu.
“Ah, pantas saja bangunan itu kental
dengan nuansa China,” gumamku kemudian.
Pernah sekali waktu, si pengirim
foto ini mengatakan padaku bahwa Cheng Ho adalah seorang Muslim bersuku Hui. Ia
adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan kaisar ketiga
Dinasti Ming. Cheng Ho termahsyur
berkat ekspedisi pelayarannya hingga ke Malaka pada abad ke-15. Sebuah
pengetahuan baru yang kudapat sepintas lalu saat aku dan si dia berbincang
ringan.
“Wah, asyik banget bisa mampir ke
sana!” seruku dalam balasan pesan.
“Iyalah. Ini ‘kan satu dari beberapa
masjid Cheng Hoo di Indonesia,” balasnya.
“Lho, masjid ini tidak hanya satu?”
tanyaku bingung.
“Masih ada lagi di Surabaya,
Pasuruan, dan Purbalingga,” jelasnya.
Aku membulatkan bibir. Dari sekian masjid itu, kau berada di
Palembang, yang paling jauh dari sini, kesalku dalam hati. Bibirku kini
mengerucut.
Kupandangi
lagi foto lainnya. Sewujud rindu menggapai-gapai, ingin menarik pulang sosok lelaki berkaos biru muda yang
sedang berpose di depan pagar masjid dalam foto.
“Argh,
bukannya mengobati kangen, fotonya justru membuat ingin terbang ke sana!”
protesku kemudian.
Sebuah emoticon masuk dengan sebentuk wajah
yang menyeringai disertai kata maaf.
0 komentar:
Posting Komentar