Garis
senyum terlukis di bibir tak bergincuku. Penaku menari, menaati irama yang
tercipta dari batang otakku. Penaku meliuk-liuk lantas menukik tajam. Terjerembab,
tersentak sengatan arus emosi dari ceruk hatiku. Garis senyum itu mendadak
melengkung lemah, mengerucut menjadi satu titik. Kemudian sirna. Bibirku mencium
rasa asin. Ia kuyup oleh air yang mengalir dari hulu kelopak mataku.
“Arrgh… pilu nian melodi aksara yang
kau lampirkan, duhai!” rutukku padamu.
“Tapi kau tak sanggup palingkan
pandangmu dariku, bukan, Sayang?” sahut angkuhmu.
Bibirku terkatup. Hatiku membenarkanmu.
Semenjak kali pertama sua, kedua bola mataku berbinar atas pesonamu. Jiwa luguku
tergelitik rayuanmu.
“Apakah aku tlah jatuh cinta? Ah…
aku ‘kan masih terlampau kanak! Masih kelas empat sekolah dasar!” kilahku kala
itu.
“Iyaaa… kamu sudah tersihir oleh
mantra cintaku. Akuilah, aku ini cinta pertamamu, ‘kan?” godamu waktu itu.
Maka semenjak itu, aku menempel
padamu bak perangko pada amplop. Perangko dan amplop adalah sepasang sejoli
serasi di tahun-tahun itu.
Selaiknya cinta pertama, jantungku
kerap berdentum kala menggenggammu dengan jemari penaku. Parasku acapkali
memerah kala memproklamirkanmu di depan kelas, disaksikan berpasang-pasang
mata. Hatiku merekah bangga setiap satu bagian rangkamu tlah kurakit sempurna.
Hingga suatu hari, ibuku
memisahkanku darimu. Aku harus tumbuh mendewasa, katanya. Aku harus mencoba mencinta
rupa yang lain, timpalnya. Di luar sana, tersebar rupa-rupa cinta. Cinta-cinta
yang lebih menjanjikan. Janji akan bertimbunnya pundi-pundi rupiah dan
menghamparkan kemapanan.
Hatiku patah. Namun hidup terus
bergulir. Tahun demi tahun, dekade demi dekade. Aku gagal mencinta tulus rupa
yang lain. Maka ingatan hatiku menuntunku kembali padamu.
“Selamat datang kembali, Sayang!”
sambutmu sepenuh rindu.
Aku memelukmu dengan segenap hangat
dan tulus cinta. Kali ini, aku bertekad menggenggammu lebih erat dan melangkah
beriringan di bawah naungan restu penciptaku. Aku takkan hiraukan teriak
sumbang para pendengki dan pencemburu. Takkan kulepas genggammu sampai akhir
hayatku. Semoga.
“Hei… awalan di jumpa kedua ini tak
buruk, ‘kan? Aku memenangi penghargaan bertintakan namamu.” Dan kita pun
tersenyum. Senyum yang tak selugu dulu.
foto google.com |
FF ini diikutsertakan dalam Kuis Flash Fiction Cinta Pertama
Bagus ^_^ idenya menarik...
BalasHapusMakasih yaaa, udah ikutan ..
makasih kembali :)
Hapus