Jumat, 09 Mei 2014

Kerja Keras dan Kegigihan Seorang Gadis di Perantauan

Posted by Menukil Aksara | 10:14:00 PM Categories:


             Lembar kisah ini saya cuplik dari kisah semasa duduk di bangku kuliah. Pada tahun pertama perkuliahan, saya berkenalan dengan seorang gadis yang bernama Marini. Ia berasal dari provinsi yang sama dengan saya dan sama-sama tinggal jauh dari orang tua. Kami merasa memiliki banyak kecocokan sehingga memutuskan berteman baik.
                Marini ternyata menyimpan kisah hidup yang cukup membanggakan. Dia adalah anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara yang tinggal di sebuah desa di kabupaten Blitar. Kakak tertua Marini merantau ke Sulawesi ketika Marini masih di bangku SMP. Marini adalah seorang gadis bercita-cita tinggi yang setia pada idealismenya. Pada saat berusia 15 tahun, ia bertekad merantau ke Bogor demi meraih mimpinya. Di Bogor, Marini menumpang di sebuah rumah milik seorang dosen perguruan tinggi negeri yang juga merupakan kenalan keluarganya di Blitar. Di rumah milik sang dosen ini status Marini adalah anak asuh merangkap asisten rumah tangga. Dalam kesehariannya, Marini rajin membantu mengerjakan sebagian besar pekerjaan rumah tangga, termasuk mengasuh anak bungsu keluarga itu yang masih balita, di tengah kesibukannya belajar di sekolah. Setamat SMK Marini galau. Dilema menyergapnya. Di satu sisi, ia ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Di sisi lain, tak mungkin ia meminta bantuan biaya dari keluarga sang dosen, yang telah bermurah hati membantu biaya sekolahnya selama di Bogor. Mengharapkan bantuan dari kedua orang tuanya pun mustahil, mengingat kehidupan mereka sendiri yang bersahaja. Akhirnya Marini memutuskan bekerja sembari menabung untuk membiayai kuliahnya kelak. Allah melapangkan rizkinya dan memudahkan jalannya. Dua tahun kemudian, Marini berhasil mencatatkan diri sebagai mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di Bogor. Ia memilih perguruan tinggi ini tak lain karena pertimbangan biaya pendidikan yang terbilang terjangkau dibanding perguruan tinggi lain dengan kualitas yang tak jauh berbeda. Fakultas yang dipilihnya tak lain adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Salah satu harapan Marini adalah datangnya peluang untuk mendapatkan beasiswa pendidikan suatu saat kelak jika ia menorehkan prestasi.
                Kegalauan Marini agaknya masih berlanjut. Kali ini ia dilanda dilema antara tetap bertahan tinggal di rumah sang dosen atau keluar untuk hidup terpisah dan mencoba mandiri. Dua pilihan dengan resiko masing-masing. Marini lagi-lagi mengambil keputusan yang berani. Sesudah matang mempertimbangkan, ia berpamitan secara baik-baik kepada keluarga orang tua asuhnya. Dalam benaknya, keputusan ini akan memberinya banyak keleluasaan untuk merencanakan masa depan dan mengukir prestasi di kampus. Marini pun menyewa sebuah rumah kecil sederhana bersama teman-teman kuliah perempuannya tak jauh dari kampus.
                Marini membiayai kuliahnya dengan mengajar privat beberapa orang murid yang didapat lewat perkenalannya dengan orang tua mereka semasa bekerja di tempat sebelumnya. Selain itu, Marini menyiasati waktunya dengan mengaambil jadwal kuliah pada sore hingga malam hari. Meski tak melimpah, uang dari hasil mengajarnya ini masih cukup untuk menutupi biaya kuliah dan hidup sehari-hari, dengan syarat berhemat. Di kampus, Marini termasuk mahasisiwi cerdas yang disegani dan disukai oleh teman-temannya. IP-nya selalu di atas 3.0. peluang beasiswa yang ia nantikan akhirnya datang juga di suatu semester. Dengan penuh optimisme, Marini mengajukan permohonan sebagai calon penerima beasiswa. Kabar baik agaknya masih berpihak padanya. Ia lolos seleksi dan dipastikan menerima kucuran dana bantuan pendidikan di semester berikutnya. Prestasi akademis ia pertahankan hingga saat kelulusan. Saat wisuda tiba, Marini mencatatkan diri sebagai lulusan terbaik dengan IPK tertinggi di fakultasnya. Kedua orang tuanya yang jauh-jauh datang dari Blitar, tentu saja merasa bangga dan terharu atas kegigihan putri mereka di rantau. Tak lama berselang, Marini kembali mengukir prestasi. Ia lolos dalam wawancara kerja dan diterima mengajar di sebuah institusi pendidikan yang cukup ternama di Bogor. Ia berhasil mendapatkan pekerjaan sesuai bidang ilmu yang ditekuninya di bangku kuliah. Kini Marini telah menikah dan tinggal di kota kelahiran suaminya. Kecintaannya pada ilmu dan dunia pendidikan masih tetap ia pertahankan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Ya Rabb Aku Galau - Launching Buku Aida,Ma.

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube