foto: google |
“Tanpa
impian, apalagi yang kita punya dalam hidup ini?” Kalimat itu barangkali yang
tepat menggambarkan urgent-nya sebuah impian bagi saya. Jatuh bangun dalam
hidup yang tidak pernah mungkin sempurna dalam pandangan manusia, bisa
mengantarkan seseorang ke satu titik kejenuhan bahkan keputusasaan. Saya
sendiri pernah mengalami ini. Salah satu motivator penyelamat kala hari-hari
berat itu menyergap adalah harapan untuk membumikan impian yang saya titipkan
jauh hingga ke langit.
Berani
bermimpi, berani pula menyusun rencana dan merealisasikannya. Itu harus
terpatri kuat dalam dada. Semenjak kecil saya sudah tertarik dengan dunia
kepenulisan dan sastra. Semasa SD, saya gemar menulis dan membaca puisi dan
pernah juga mengikuti lomba menulis esai. Sayangnya, minat itu terkubur dalam-dalam ketika saya menginjak
remaja. Tuntutan dari orang tua akan prestasi akademis dan ketidaktersediaan
kelas bahasa ketika SMA, menyisihkan impian saya menjadi seorang penulis.
Ditambah lagi, tidak ada riwayat penulis dalam keluarga besar saya.
Ketertarikan
dan gairah menulis kembali bersemi ketika saya memasuki periode akhir
perkuliahan. Merasa jenuh dan tidak cocok dengan bidang yang saya ambil,
membawa saya kembali pada dunia kepenulisan yang menjadi cinta pertama saya.
Saya mengawali aktivitas tulis menulis lewat blogging. Beberapa event kecil di
blog sempat saya ikuti dan menang di beberapa diantaranya. Malangnya, badai
hidup selanjutnya kembali menghanyutkan impian saya. Saya tidak menyerah.
Menulis tidak pernah mati dalam hati saya. Belum genap setahun belakangan ini saya
kembali aktif menulis. Kali ini saya bertekad untuk berjuang lebih keras. Saya nyalakan lagi semangat lewat berbagai
event menulis yang saya ikuti. Bersyukur, kemampuan saya menulis masih lumayan
sehingga saya berhasil lolos di beberapa event dan menghasilkan buku-buku
antologi.
“Menulis
bisa dilakukan sendirian, tetapi menjadi penulis butuh partner.” Itu sebuah
kutipan dari sebuah akun kepenulisan yang saya pegang. Yap, untuk saat ini,
belumlah pantas saya menyebut diri sebagai penulis yang sesungguhnya. Masih
panjang jalan yang harus saya tapaki menuju ke sana.
Dan
inilah deretan detil impian saya beserta rencana-rencananya. Saya bermimpi
menyelesaikan tiga novel sekaligus tahun ini dan diikutsertakan dalam kompetisi
bergengsi tingkat nasional. Saya juga harus tetap rutin berlatih dan mengukir
prestasi dengan mengikuti event-event lain yang infonya banyak bertebaran di
jejaring sosial dan grup kepenulisan yang saya ikuti. Saya masih harus mengejar
ketertinggalan saya dalam mencetak proyek antologi. Saya harus mendapat
pengakuan sebagai seorang penulis baru berbakat yang aktif menerbitkan karya
setidaknya setahun ke depan. Kemampuan menulis saya harus terus diasah dan
ditingkatkan selama setahun ke depan. Ide kreatif tak boleh henti digali. Apa
ukurannya? Tentu saja dari komentar para penulis senior dan rekan-rekan penulis
yang saya kenal lewat berbagai grup kepenulisan serta dari tanggapan penerbit.
Hingga saat ini, saya telah aktif tergabung di keanggotaan lebih dari 10 grup
kepenulisan, terutama secara online (mengingat domisili sementara saya sekarang di kota kecil). Saya harus
meluangkan waktu khusus
setiap hari untuk menulis dan membaca aneka buku. Saya sudah menganggarkan
pembelian buku-buku baru setiap bulannya. Perbanyak membaca buku-buku inspiratif
dan juara. Latihan menulis saya fokuskan dengan rutin meng-update postingan blog saya, menulis bebas opini-opini dalam otak,
menulis review buku-buku yang sudah
saya baca, dan tetap jadi “hantu” lomba-lomba kepenulisan. Saya tidak mau
sekadar menjadi penulis yang mainstream
dan terjebak dalam tren. Impian saya adalah menjadi penulis idealis yang
karya-karyanya memorable dan menggerakkan perubahan sesuai idealisme dalam otak
saya.
Impian
lain adalah mengenyahkan fenomena cinta drama Korea dan sinetron-sinetron karya
plagiator yang tidak mendidik. Mengapa tergila-gila pada budaya negeri lain
sedangkan budaya sendiri yang tertuang dalam berbagai novel karya
penulis-penulis inspiratif bertumpukan? Seorang penulis harus menjadi sutradara
perubahan di negeri sendiri. Jika tidak, maka hendak dikemanakan idealisme yang
dimiliki?
Target
impian berikutnya adalah mengalihkan budaya “tonton dan dengar” di kalangan
anak muda negeri ini ke budaya “baca dan tulis”. Saya bermimpi menyaksikan
anak-anak muda (bahkan kanak-kanak dan manula) asyik membaca di manapun mereka
berada. Di perpustakaan, di halte bus, di stasiun, di bandara, di
angkutan-angkutan umum, dan tentu saja di rumah mereka. Saya bermimpi buku-buku
saya menjadi bagian dari beralihnya budaya tersebut.
Impian
lebih tinggi adalah diterjemahkannya buku-buku karya saya ke dalam berbagai
bahasa asing dan bertengger di rak-rak
buku di seluruh nusantara, di luar negeri, dan dipamerkan di berbagai festival
internasional. Diundang menjadi penulis tamu berkeliling negeri dan dunia
adalah sebuah bayangan gila di benak saya. Siapa tahu, penulis-penulis henat
semacam si jenius Malcolm Gladwell, J.K. Rowling, Dan Brown, dan John Grisham
menawarkan proyek kolaborasi.
Jika
saya punya anak nanti (sekarang saya sudah menikah), saya akan menularkan kecintaan baca tulis ini pada
anak-anak saya. Harus ada perpustakaan pribadi dan segudang buku bacaan yang
mengakomodir pembelajaran mereka nantinya. Mereka harus lebih hebat dari ibu
mereka. Mereka boleh belajar bidang ilmu apapun, tapi menulis harus tetap dinomorsatukan.
Semoga suatu saat nanti, kesuksesan yang saya raih mampu membukakan mata
keluarga besar saya bahwa menjadi penulis adalah pilihan profesi lain yang
membanggakan. Profesi tak cuma pegawai negeri, karyawan swasta, dokter, polisi,
dan semacamnya. Semoga semua impian dan rencana saya didengar oleh Sang Maha
Pengabul Mimpi dan Doa.
Kemungkinan
terburuk, saya tidak memenangkan satu event-pun atau buku-buku saya tidak laku
di pasaran, lalu saya bangkrut, itu tidak mengapa, senyampang saya masih
bernafas, maka saya masih bisa menjumput ide lain. Biar nggak banyak uang, yang
penting tetap kaya tulisan hehe.. jika saya dicemooh beberapa orang, saya akan
bangkit lagi. Toh saya pernah melalui hal yang lebih buruk dari itu.
Jadi,
sekarang saya berani bilang, “I DECLARE, I WILL ACCOMPLISH MY DREAMS”.
Starts today, plan of achievement: next year and the following year until my
time is up.
foto: google |
tulisan ini diikutkan dalam GA Dare To Dream
keren :D mirip impiannya satriadharma.com sang penggegas baca tulis. makasih udah ikutan GA'nya yaa. semoga usaha kita semua setinggi impian yang udah kita buat ^^
BalasHapusiya kah? saya belum pernah baca hehe..sepertinya harus berkunjung ke web itu :D
Hapusmakasih sudah membaca ya Mbak Winda.. aamiiin,semoga nggak menyerah di tengah jalan :)
ngomong2 mbak lani kena timpuk award di --> http://windamaki.wordpress.com/2014/05/16/the-liebster-award-dariku-untukmu/ monggo ikutan selagi masih bisa ngetik :D
Hapusngomong2 mbak lani kena timpuk award di sini –> http://windamaki.wordpress.com/2014/05/16/the-liebster-award-dariku-untukmu/ monggo mulai ngetik lagi yaah *ngerjain*
Hapusmakasih timpukannya :D
Hapussudah dikerjakan :)
impianmu keren mbak, itulah penulis yang memiliki visi...semoga sukses dan tercapai deh
BalasHapusaamiin.. makasih ya.. semoga impian kita diijabah :)
HapusWah, impiannya ditulis secara jelas di sini :) mudah-mudahan tercapai ya mak, aamiin.
BalasHapushehe.. biar selalu ingat.
Hapusaamiin. makasih ya sudah mampir dan meninggalkan jejak :)
Allahu Akbar, ana merinding membacanya kak, semoga Allah mengabulkan mimpi-mimpi mulia kakak, aamiin ^_^
BalasHapusaamiin... makasih udah meninggalkan jejak :)
HapusSama-sama kak, terimakasih selalu menginspirasi kami ;)
Hapuseh, itu juga keren banget lho.. hayo kita berlari-lari mengejar-ngejar mimpi :D
BalasHapus