Malam
itu kami putuskan melanjutkan wisata kuliner di kota Jember. Dinginnya hawa
malam menusuk kulit, dibalut pula oleh hujan deras yang mengguyur kota semenjak
siang. Mendung masih menggantung ketika kami keluar hotel. Halaman hotel masih
basah, udara lembab. Kami menaiki sepeda motor sambil merapatkan jaket.
Kehidupan malam di kota ini tak mati hanya karena air turun dari langit.
Kendaraan padat berlalu lalang; pertokoan dan tempat karaoke bersahut-sahutan
meriuhkan suasana malam. Lampu-lampu saling berkedip; warna-warninya memantul
di kelopak mata. Setelah lima belas menit menyusuri jalanan kota, kami tiba di
sebuah rumah makan. Kiri kanan jalan dipadati oleh warung internet, persewaan
komputer, dan aneka warung makan. Pelataran sempit rumah makan tujuan kami
disesaki kendaraan pengunjung. Empat gadis berkerudung, berpakaian kasual,
tengah asyik mengobrol sambil menyantap menu pesanan mereka. Kami memilih meja
kosong di dekat pintu masuk. Aku melihat cermin besar menggantung di dinding
sebelah kanan. Warna merah bata dinding dan lampu-lampu menggantung ala lampion
di atasku, menggelitikku untuk berfoto. Tak lama kemudian kami memesan makanan
ke meja pelayanan sekaligus melirik daftar menu yang terpajang di dinding
belakang meja. Nama-nama menunya unik dan harganya ramah di kantong.
Pandanganku tercuri oleh sesosok pelayan. Ia berseragam sama dengan yang
lainnya. Yang membuatku meliriknya tak lain karena dandanannya yang cukup menor
dan gayanya yang gemulai. Ah, apakah menjadi pelayan rumah makan ala mahasiswa
seperti ini harus mengubahnya menjadi lelaki gemulai sepeti itu? Aku akhirnya
hanya tersenyum kecil.
Senin, 05 Mei 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar