Waktu
Yang Hilang
“Sekarang kan sudah lewat jam
kantor.”
“Atasan menugasiku ke Bandung
mendadak. Besok aku pulang.”
Sesaat kemudian terdengar bunyi
klik. Sambungan telepon diputus. Ariyani teramat kesal. Jadwal fitting baju dan
konfirmasi undangan berantakan sudah. Dia menumpahkan kekesalannya pada sang
adik, yang menemaninya ke butik.
“Kok
terserah? Karena itu datanglah, cek sendiri gedung dan sajian resepsi yang akan
dihidangkan.”
“Aku percaya dengan seleramu. Aku
ada rapat dengan GM.”
Perdebatan yang kesekian kali.
Ariyani tak sanggup lagi. Air matanya tertumpah.
“Sabar, Yani. Bimo akan mengambil
cuti, wajar pekerjaannya justru kian menumpuk,” sang mama menenangkan.
“Kita saja yang mengatur hingga
beres, Kak. Winda siap membantu,” sang adik turut membesarkan hati.
“Besok
gladi bersih ya, nggak terima lagi alasan.’
“Iya, calon istriku. Aku pasti datang.”
Bimo.
Sejam lebih telah berlalu.
“Maaf tadi terjebak macet. Ada
kecelakaan beruntun.”
“Bagaimana kamu ini, telat hingga
sejam lebih!”
“Maaf, Ma. Proyek gol, jadi kerjaan
numpuk juga tadi.”
Dua
hari kemudian.
“Yakin kamu udah di jalan? Nggak ada
yang tertinggal?”
“Yakin dong, masa’ aku nggak hadir
di pernikahanku sendiri.”
Saat
percakapan hendak diakhiri, tiba-tiba dentuman keras terdengar
dari
belakang. Tubuh Bimo terhempas hebat dan mobilnya terbalik.
“Bimo?!”
0 komentar:
Posting Komentar